Anda di halaman 1dari 5

Tim Dosen Pengampu Mata Kuliah Filsafat Eksistensi Manusia :

1. Dr. Muh. Tamar, M.Psi.


2. Ichlas Nanang Afandi, S.Psi., M.A.
3. Istiana Tajuddin, S.Psi., M.Psi., Psikolog
4. Syurawati Muhiddin, S.Psi., M.A.
5. Sitti Muthia Magfirah M, S.Psi., M.Psi., Psikolog

ESAI FILSAFAT EKSISTENSI MANUSIA


MANUSIA DIPANDANG DALAM FILSAFAT BUDAYA LOKAL

Muhammad Fathin Azmi


C021221053
Kelas Psikologi B
Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
2022
ESAI MANUSIA DIPANDANG DALAM FILSAFAT JAWA

Apakah ada Filsafat Jawa? Karena selama ini kalau bicara mengenai
filsafat, pasti akan mengarah ke Filsafat Barat dan Filsafat Timur. Jika ada, di
mana kedudukan Filsafat Jawa ini?

Untuk mencari tahu lebih dalam, perlu untuk melihat historis orang Jawa
yang telah tumbuh dan berkembang sejak jaman dulu ketika masih menggunakan
bahasa Jawa Kuna. Di masa itu tradisi sastra telah berkembang pesat. Dalam
berbagai karya sastra Jawa baru itu terkandung nilai-nilai kebijaksanaan hidup
yang merupakan bagian dari Filsafat Jawa. Jadi, terhadap pertanyaan adakah
Filsafat Jawa? Maka, jawabannya adalah ada.

Tentang keberadaan filsafat Jawa, bahwa dipengaruhi oleh Filsafat India


dan Filsafat Cina. Dari hal ini bisa disimpulkan kedudukan filsafat Jawa
merupakan bagian dari Filsafat Timur. Namun kemudian konsep India dan Cina
berubah mengikuti ajaran Islam sejak Islam masuk ke wilayah Jawa. Sama seperti
filsafat India, filsafat Jawa juga menekankan pentingnya kesempurnaan hidup.
Manusia berpikir dan merenungi dirinya menemukan kaitan tanggung jawab
dengan Tuhan selaku penciptanya. Pemikiran-pemikiran Jawa merupakan suatu
usaha untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Kemudian secara tujuan, filsafat Barat dan filsafat Barat sama-sama


bertujuan untuk mengenal diri. Jalan pencapaian dan pengembangannya yang
berbeda. Dalam cara pandang filsafat Barat, filsafat berarti cinta kebijaksanaan
karena digunakan untuk mencapai kebijaksanaan. Sementara dalam filsafat Jawa,
filsafat berarti cinta kesempurnaan karena digunakan sebagai sarana mencapai
kesempurnaan.

Kebudayaan Jawa adalah pancaran budi manusia Jawa, yang merangkum


kemauan, cita-cita, ide, maupun semangatnya dalam mencapai kesejahteraan,
keselamatan, dan kebahagiaan lahir batin. Kebudayaan Jawa telah ada sejak
zaman pra-histori. Datangnya bangsa Hindu-Jawa dan dengan masuknya agama
Islam dengan kebudayaannya, maka kebudayaan Jawa menjadi filsafat sinkretis
yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu-Jawa, dan Islam. Pemikiran
filsafat di Jawa adalah suatu usaha yang memaknai hidup dengan segala
pancarannya, manusia dengan tujuan akhirnya, hubungan yang kasat mata dengan
yang gaib, yang fana dengan yang abadi, serta kedudukan manusia dalam alam
semesta ini.

Dalam filsafat Jawa, manusia selalu berada dalam hubungan dengan


lingkungannya, yaitu Tuhan dan alam semesta dan menyadari kesatuan
hubungannya. Maka, manusia adalah manusia-dalam-hubungan dalam
mempergunakan kodrat kemampuannya yang selalu diusahakan kesatuan cipta-
rasa-karsa. Berbeda dengan kebudayaan Barat yang memiliki jarak antara manusia
dengan lingkungannya.

Filsafat Jawa dimaknai sebagai filsafat yang menekankan pentingnya


kesempurnaan hidup. Pemikiran-pemikiran Jawa merupakan suatu usaha untuk
mencapai kesempurnaan hidup, oleh karena itu intuisi memegang peranan
penting. Berfilsafat dalam kebudayaan Jawa berarti usaha mencapai
kesempurnaan. Manusia mencurahkan seluruh eksistensinya, baik jasmani
maupun rohani untuk mencapai tujuan itu. Usaha itu merupakan kesatuan,
kebulatan. Oleh karena itu pada dasarnya tidak ada perbedaan bidang metafisika,
epistemologi, maupun etika. Ketiganya merupakan segi yang tak terpisahkan
dalam gerak usaha manusia menuju kesempurnaan, karena filsafat Jawa tidak
mempertanyakan apakah manusia, apakah Tuhan. Eksistensi manusia
diasumsikan sebagai kenyataan, dari kenyataan itu dipertanyakan dari mana
asalnya, ke mana tujuannya. Segala makhluk hidup itu sesungguhnya tidak
mempunyai kekuasaan, seperti sampah dalam lautan tidak mungkin berharap
menyatu. Gusti tetaplah Gusti, hamba tetaplah hamba, tidak bisa saling berganti.

Filsafat Jawa tentang asal dan arahnya tercermin dalam wejangan Seh
Amongraga tentang asal-usul manusia di dunia. Disebutkan bahwa manusia
diciptakan di dunia ini harus tahu asalnya. Barang siapa tahu dirinya,
sesungguhnya tahu Tuhan. Dalam filsafat Jawa terkandung pandangan hidup
berupa hidup berselaras. Dikutip dari ajaran Sosrokartono yang diterjemahkan
sebagai berikut:

Kalau saya takut, saya tidak mantap dengan Tuhan saya. Perlindungan
saya Tuhan saya, tameng saya ya Tuhan saya. Tetapi saya tidak boleh
meninggalkan pedoman saya sendiri atau lupa dengan maksud dan tujuan hidup,
yaitu mengabdi kepada sesama umat Tuhan dan berusaha menjaga kelestarian
hidup. Yang selalu menjadi tujuan hidup saya tidak lain adalah menjauhkan dari
keingingan, doa saya tidak lain hanya memiliki harta, keselamatan, membuat
senang pada sesama. Peralatan saya tidak lain adalah badan dan budi/watak.
Perilaku saya selalu berlaku sebagai sesama hidup, selalu melakukan sebagai
murid yang membuat hidup, wajib selalu sebagai makhluk hidup untuk hidup
berselaras secara batin dan rasa (Sosrokartono dalam Soenarto-Timur, 1996:39).

Ajaran Sosrokartono menunjukkan pentingnya faktor aku dalam


hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta. Bahwa manusia hidup di dunia
berpusat kepada aku. Aku adalah pusat kehidupan semesta. Alam semesta
merupakan kesatuan utuh yang terdiri atas berjuta-juta aku (dalam hal ini individu
manusia) lainnya yang menghuni permukaan bumi, yang satu dengan lainnya
berbeda, yang memiliki kewenangan masing-masing dan memiliki titik pusatnya
terhadap kehidupan semesta yang utuh. Manusia tidak hidup sendiri, melainkan
hanya mampu mengatur hidup masing-masing selaras dengan masyarakat serta
alam lingkungannya. Selain mengandung makna mengingatkan manusia agar
menghormati kepentingan sesama hidup serta lingkungannya, juga mengandung
ajaran pengakuan adanya Tuhan yang merupakan sumber dari segala sumber
kehidupan semesta. Hubungan Tuhan, manusia, dan alam semesta digambarkan
bahwa Tuhan tidak dibayangkan seperti apa pun, dekat tiada bersentuhan, jauh
tidak ada perbatasan. Manusia terdiri dari unsur-unsur yang menjadi sarana
kembali, jasmani dan rohani. Alam semesta atau dunia penuturan tentang
penciptaan dunia dan gambaran dunia berbentuk beraneka ragam dengan unsur-
unsur budaya Hindu, Budha, dan Islam.
Filsafat Jawa tidak bisa dilepaskan dari filsafat moral Jawa, bahwa etika
norma-norma Jawa hanya berlaku secara relatif, norma-norma itu memang
berlaku, tetapi tidak mutlak. Tidak satu pun norma-norma moral Jawa boleh
dipegang secara mati-matian, tidak satu norma pun dapat memberi orang hak
untuk melibatkan diri secara seratus persen. Masyarakat Jawa mengembangkan
daya ikat norma-norma moral agar menemukan batasnya pada prinsip kerukunan.
Filsafat moral Jawa mengandung keutamaan-keutamaan moral yang tercermin
pada sikap kesediaan untuk melepaskan diri. Sikap-sikap itu adalah kesabaran,
kerelaan untuk menerima segala-galanya untuk melepaskan apa yang dimiliki.

Dalam etika Jawa, baik buruk tidak terlepas dari eksistensi manusia yang
terwujud dalam pelbagai keinginan yang dikaitkan dengan empat nafsu:
mutmainnah, amarah, lauwamah, dan supiah. Keinginan baik (mutmainnah) selalu
berhadapan dengan keinginan buruk (amarah-lauwamah-supiah) sebagai dasar
manifestasi perilaku manusia. Karena tujuan hidup manusia adalah kesempurnaan,
maka pertentangan antara baik dan buruk diatasi dengan peningkatan kesadaran,
yaitu kedewasaan jiwa manusia yang tidak hanya diperoleh dengan usaha sendiri
selama hidup, tetapi juga sudah ada sejak lahirnya.

Anda mungkin juga menyukai