FILSAFAT JAWA
A. Prinsip dasar
Tujuan filsafat, sebagaimana telah dikemukakan dalam pembicaraan
terdahulu, adalah mencari dan mengungkapkan kebenaran. Telah pula diketahui,
banyak pemikir atau filsuf yang beranggapan bahwa “kebenaran adalah satu, namun
yang benar, bisa jadi banyak”. Pernyataan itu menyiratkan pengertian bahwa
pencapaian kebenaran, dapat dilakukan dengan berbagai cara, berbagai metode,
yang hasilnya pun dapat beragam, dapat berlainan. Asal melalui jalan filsafat yang
benar, perbedaan pendapat, perbedaan temuan dalam pemikiran filsafati, tetap
dapat dibenarkan. Tujuan pertama filsafat, menurut Poespowardojo (1977:3)
bukanlah mencari “uniformitas”, kesatuan atau keseragaman pandangan, melainkan
“pluriformitas”, keberagaman pandangan.
Meskipun terdapat perbedaan bahkan tak jarang pertentangan pandangan
dalam dunia filsafat, tetapi selalu tetap saja bertolak dari landasan yang sama, yaitu
satu keinginan untuk membahas objek atau “sesuatu” yang dipermasalahkan,
dipertanyakan, secara menyeluruh dan mencoba memahaminya dengan menggali
sesuatu sampai ke akar-akarnya. Tujuannya sama, mencari hakikat (segala) sesuatu.
Bahwa pendekatan filsafati di dunia Barat lebih mengedepankan aspek rasionalitas,
seperti yang ditempuh ahli ilmu pengetahuan dengan metoda ilmiahnya; sementara
di Timur di samping penggunaan aspek nalar atau rasio seringkali dengan
memanfaatkan kepekaan rasa, seperti yang di tempuh oleh para ahli mistik dan
seniman, tidak perlu dipermasalahkan secara panjang lebar. Perbedaan pendekatan
itu tidak dapat menafikan, meniadakan kesamaan tujuan mereka, yaitu segala
sesuatu yang benar, atau bahkan kebenaran itu sendiri.
2. Estetika-Jawa
Meskipun sebagai suatu sistem, filsafat Jawa dalam perkembangannya yang
terakhir cenderung diarahkan pada hal-hal yang berkaitan dengan aspek metafisis
(Cf. Sri Mulyono, 1982), namun bukan berarti di dalamnya sama sekali tidak
disinggung masalah-masalah yang lebih bersifat kemanusiaan, seperti citraan
estetika bagi manusia pada umumnya.
Secara etimologis dapat diketahui bahwa istilah estetika berasal dari kata
dalam bahasa Yunani aestheticos yang berarti ‘berhubungan dengan pencerapan
(visualisasi atau pengindraan)’. Secara konsepsional estetika didefinisikan sebagai
cabang filsafat yang berurusan dengan aspek keindahan ‘beauty’ atau “dengan yang
indah” ‘beautiful’, khususnya dalam kaitannya dengan bidang seni dan dengan
perasaan, serta acuan nilai dalam kegiatan kesenian.
Bertolak dari itu dapat dikemukakan bahwa hal-hal yang dapat dipelajari dari
bidang estetika ini adalah semua hal yang berkaitan dengan pengalaman seni
manusia, proses pengalaman seni, dan aspek alami tertentu dan karya manusia lain
yang non-kesenian, khususnya yang berkaitan dengan indah atau jeleknya bentuk
atau aspek indrawinya.
Sejauh ini belum diketahui adanya konsep yang pasti dan menyeluruh
tentang estetika dalam alam filsafat Jawa, meskipun demikian secara marginal
‘terbatas’, dapat disaksikan bagaimana para “seniman Jawa“ telah berhasil
mengekspresikan pengalaman seninya sebagaimana dapat disaksikan dalam teks
sastra lama Jawa, semenjak jaman periode Jawa Kuna (dalam bentuk puisi-puisi
b. Etika normatif; yaitu bagian dari sistem etika Jawa yang membicarakan apa-apa
yang seharusnya ada dalam pergaulan dan pergulatan hidup masyarakat Jawa,
apa-apa yang seharusnya dilakukan oleh orang jawa dalam hidup keseharian
mereka; di samping juga: apa-apa yang seharusnya tidak boleh ada atau tidak
boleh dilakukan dalam hidup bermasyarakat, dan sebagainya. Oleh karena
berkaitan dengan keharusan-keharusan atau norma-norma, etika ini juga
berkaitan dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dalam masyarakat Jawa.
Di samping dapat dilihat dalam sistem hukum adat yang masih berlaku dalam
masyarakat Jawa, jenis etika ini dapat dilihat pada karya-karya sastra lama, baik
lisan maupun tulis, yang bertemakan didaktis, khususnya dalam teks-teks niti,
tutur, wulang, atau teks-teks singir pesisiran, dan sebagian suluk Jawa.
c. Etika Kritik; yaitu bagian sistem etika yang dilakukan orang atau masyarakat Jawa
ketika secara bersama atau sendiri-sendiri mereka mencoba menelaah istilah-
istilah tertentu, aspek bahasa tertentu, yang dipakai dalam pembicaraan tentang
moralitas, serta cara pandang tertentu yang digunakan untuk membenarkan
pernyataan-pernyataan yang mereka kemukakan berkaitan dengan masalah-
masalah etik dan moral. Sebagai contoh perbicangan dalam suatu pertemuan,
misalnya tentang arti ‘unggah-ungguh’ dalam masyarakat Jawa.
Dari kutipan itu dapat diperoleh beberapa informasi penting, yaitu pertama,
seni pertunjukan wayang (kulit) telah muncul dan dikenal pada abad XI; kedua,
kemahiran dalang dalam menghidupkan wayangnya telah membuat penonton terlena
dan mampu mengguncangkan perasaan penonton sehingga mereka menangis
tersedu-sedu, dan ketiga, wayang pada saat itu dipercaya memiliki daya magis,
entah itu ceritanya, pembawa cerita atau dalangnya, atau wayang itu sendiri yang
kekuatannya dibiaskan melalui tangan dan kemampuan Sang Dalang. Dari sini juga
dapat diyakini bahwa dalang memegang peranan yang utama dalam pertunjukkan
wayang.
Kelebihan dalang dalam menghidupkan dan mendramatisasikan wayang-
wayang di tangannya, seolah membeberkan suatu lukisan hidup dan kehidupan
manusia di dunia. Hal itu terntara telah menggetarkan jiwa manusia yang
menikmatinya. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah benar dalang pada saat itu
telah benar-benar mampu menggetarkan jiwa penikmatnya, ataukah justru kakawin
Arjunawiwahalah yang berhasil menghidupkan atau mendramatisir seni
pertunjukkan wayang sebagaimana dikemukakannya.
Dalam konteks itu, tidak mustahil bahwa berkembangnya kakawin hingga ke
puncak-puncak puitika Jawa Kuna saat itu berpengaruh terhadap perkembangan seni
pentas tradisional, dalam hal ini pagelaran wayang sebagaimana disebut terdahulu.
Di lain pihak, tidak tertutup kemungkinan bahwa unsur kepercayaan magis-religius
yang melekat pada masyarakat pada saat itu memungkinkan terbangunnya suatu
suasana yang sangat sakral dan mitis, dengan demikian memudahkan (sebagian)
penonton terlena dan terkena ‘wisaya’ sebagaimana dilukiskan dalam kakawin
Arjunawiwaha itu.
Berikut dikemukakan tonggak-tonggak penting lain dalam perkembangan
wayang seperti yang dikemukakan oleh Singgih Wibisana (1983), yang pada
dasarnya secara umum pernah dikemukakan oleh beberapa ahli dalam kapasitas
yang berlainan. Para ahli yang dimaksud antara lain adalah: Raffles dalam History
1. Struktur Lakon
Pagelaran wayang, sebagaimana dapat disaksikan dewasa ini, memiliki
prototip sarana pentas dan kelengkapan musik yang sudah digunakan pada jaman
neo-litikum, meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Dengan mengutip
pandangan Brandes dan Hazeu (1887) dalam desertasinya, dapat dikemukakan
bahwa pertunjukkan wayang atau ‘bayang-bayang’ semacam itu, pada awalnya
merupakan kegiatan keagamaan, khususnya upacara magis-religius yang
dilaksanakan dalam rangka pemujaan roh leluhur yang dilaksanakan pada malam
hari. Sebagai kerangka cerita, dimanfaatkanlah cerita-cerita dari mitologi kuno yang
telah banyak dikenal di tengah masyarakat, antara lain berkaitan dengan kisah-kisah
kepahlawanan nenek moyang.
Dengan berkembangnya kebudayaan Hindu di Jawa, kerangka cerita yang
menjadi model kisah-kisah dunia pewayangan akhirnya dikembangkan dengan epos
Mahabharata dan Ramayana yang diadaptasikan dengan mitos setempat. Cerita-
cerita India yang telah diadaptasikan itu dituliskan kembali menjadi karya-karya
monumental Jawa Kuna semanjak abad IX-X, yang sebagian di antaranya menjadi
pakem pokok pagelaran wayang.
Kisah-kisah saduran itu diterima dengan baik di kalangan masyarakat Jawa,
dan menjadi kisah-kisah roman-dramatik yang sangat bernilai. Paduan dari nilai-nilai
kearifan India dan Jawa yang telah dikemas sedemikian rupa telah membentuk
sebuah kisah yang seolah-olah mampu menggabarkan kisah nyata manusia dalam
pergulatan antara idealisme dan kenyataan keseharian. Berbagai konfilk terus
menerus diketengahkan dan diarahkan pada suatu penyelesaian yang sarat dengan
nilai kebajikan dan kebijaksanaan.
Pergulatan berbagai nafsu ditonjolkan sebagai cermin sekaligus kritik
terhadap hidup dan kehidupan para tokohnya, pada akhirnya mengarah pada
tersusunnnya sebuah dasar kebijakan moral yang bijaksana dan penuh kearifan
manusia. Konflik-konflik abadi yang senantiasa bergulat di dalam diri manusia
3. Penutup
Demikianlah, sebagai penutup pembahasan tentang wayang dapat
dikemukakan bahwa bagi sebagian masyarakat Jawa, wayang hakikatnya merupakan
bahasa simbol dari keseluruhan hidup dan kehidupan masyarakat, pada awalnya
yang lebih bersifat rohani daripada fungsinya sebagai hiburan yang memuaskan sisi
indrawi manusia. Wayang hakikatnya lebih merupakan tuntunan yang harus
dicermati dan dihayati daripada tontonan yang sekedar dapat dinikmati. Dalam
monteks ini dapat dikemukakan bahwa meskipun wayang (purwa) benar-benar
mengambil epik India sebagai kerangka dasarnya, namun dalam bentuk
“kejawaannya” dapat dianggap sebagai ciptaan kreatif para pujangga dan ahli pikir
Jawa (atau Indonesia) yang berasal dari pencerapan intelektual dan penghayatan
rohani yang demikian tinggi nilainya.
Dalam konteks ini pula, dapat dikemukakan pandangan Rassers (1991) yang
antara lain mengungkapkan bahwa Wayang merupakan sebuah dunia yang demikian
luas, rumit, berumur sangat tua, dan memerlukan perenungan yang sangat dalam.
Wayang bukan semata-mata karya adaptasi India, karena di dalamnya banyak sekali
unsur yang tidak diketemukan di India sendiri. Dalam pengertian ini, Brandes dan