Anda di halaman 1dari 32

BAB II

FILSAFAT JAWA

A. Prinsip dasar
Tujuan filsafat, sebagaimana telah dikemukakan dalam pembicaraan
terdahulu, adalah mencari dan mengungkapkan kebenaran. Telah pula diketahui,
banyak pemikir atau filsuf yang beranggapan bahwa “kebenaran adalah satu, namun
yang benar, bisa jadi banyak”. Pernyataan itu menyiratkan pengertian bahwa
pencapaian kebenaran, dapat dilakukan dengan berbagai cara, berbagai metode,
yang hasilnya pun dapat beragam, dapat berlainan. Asal melalui jalan filsafat yang
benar, perbedaan pendapat, perbedaan temuan dalam pemikiran filsafati, tetap
dapat dibenarkan. Tujuan pertama filsafat, menurut Poespowardojo (1977:3)
bukanlah mencari “uniformitas”, kesatuan atau keseragaman pandangan, melainkan
“pluriformitas”, keberagaman pandangan.
Meskipun terdapat perbedaan bahkan tak jarang pertentangan pandangan
dalam dunia filsafat, tetapi selalu tetap saja bertolak dari landasan yang sama, yaitu
satu keinginan untuk membahas objek atau “sesuatu” yang dipermasalahkan,
dipertanyakan, secara menyeluruh dan mencoba memahaminya dengan menggali
sesuatu sampai ke akar-akarnya. Tujuannya sama, mencari hakikat (segala) sesuatu.
Bahwa pendekatan filsafati di dunia Barat lebih mengedepankan aspek rasionalitas,
seperti yang ditempuh ahli ilmu pengetahuan dengan metoda ilmiahnya; sementara
di Timur di samping penggunaan aspek nalar atau rasio seringkali dengan
memanfaatkan kepekaan rasa, seperti yang di tempuh oleh para ahli mistik dan
seniman, tidak perlu dipermasalahkan secara panjang lebar. Perbedaan pendekatan
itu tidak dapat menafikan, meniadakan kesamaan tujuan mereka, yaitu segala
sesuatu yang benar, atau bahkan kebenaran itu sendiri.

Pengantar Filsafat Jawa 11


Dalam suatu perbincangan tentang dialektika nilai budaya Barat dan Timur
muncul banyak pandangan yang sangat menarik. Apabila diperbandingkan, Timur
dan Barat ibarat Yin dan Yang. Barat dengan nilai-nilainya yang lebih maskulin,
dinamis, terbuka, aksi, kuat, dan sebagainya, dapat dianalogikan dengan Yang; Timur
dengan nilai-nilainya yang lebih feminin, menerima, tertutup, kontemplatif, lembut,
dan sebagainya, dapat dianalogikan dengan Yin (To Thi Anh, 1994:89). Secara
terpisah keduanya telah mengembangkan berbagai aspek kemungkinan, manusia
yang kaya, dan tak terbatas. Dengan demikian setiap kebudayaan, termasuk di
dalamnya, alam pemikirannya, memiliki keunikan tersendiri yang dapat
disumbangkan kepada dunia.
Dalam konteks yang sama, Northrop (1960:376) mengemukakan bahwa:
“Timur dan barat, jika dianalisa untuk menentukan dasar-dasar pengetahuan dan
filsafatnya, dapat dikatakan, bukan seperti yang diduga Coomaraswamy: suatu hal
yang sama, tidak juga seperti yang ditegaskan Kipling: dua hal yang bertentangan;
tetapi justru merupakan dua hal yang meskipun berbeda, tetapi saling melengkapi”
Pembicaraan tentang filsafat Jawa dalam perkuliahan ini pada hakikatnya
diarahkan pada kedua model pendekatan sebagaimana dikembangkan di Barat,
meski dalam pengertian yang sangat terbatas, di samping secara materiil,
mengingat sifat objek dan keberadaannya, juga terutama diarahkan pada
pembahasan filsafat ini dalam konteks dunia Timur. Dalam konteks ini, pendekatan
pertama mengasumsikan bidang filsafat Jawa sebagai bidang ilmu yang
memanfaatkan metode-metode ilmiah, atau paling tidak pendekatan yang bersifat
ilmiah, sementara yang kedua, dengan mempertimbangkan sifat dan keberadaan
objeknya secara konvensional, filsafat Jawa dipandang sebagai sebentuk pandangan
hidup. Sebagai sintesa atau gabungan kedua pendekatan itu, dapat dijelaskan
demikian.
Filsafat Jawa, sebagaimana diakui secara konvensional, dipahami sebagai
sebentuk pandangan hidup. Jadi filsafat Jawa berarti “pandangan hidup Jawa”.
Dalam pengertian ini, filsafat Jawa dimengerti sebagai suatu azas yang
kebenarannya telah diyakini dan diterima sedemikian rupa, sehingga azas itu
kemudian dijadikan pedoman manusia atau masyarakat Jawa, untuk menjawab
Pengantar Filsafat Jawa 12
berbagai masalah mendasar yang dihadapi dalam hidup keseharian. Sementara itu
pada saat yang sama, upaya pemahaman sistem filsafat Jawa dengan pengertian itu,
dilakukan dengan mengikuti metode atau tepatnya tahapan-tahapan pemahaman
sebagaimana dikenal dalam disiplin filsafat pada umumnya, yakni dengan menelaah
bagian-bagian filsafat itu sebagai sebuah disiplin ilmu.
Dengan kata lain, pembicaraan tentang filsafat Jawa dalam buku ini,
mencakup dua pengertian filsafat yang dikenal umum, yaitu bahwa: yang menjadi
objek pembicaraan ini adalah Filsafat Jawa dalam pengertian pandangan hidup
Jawa, sementara model pendekatan yang dilakukan dalam menelaah objek
menggunakan metode atau prosedur filsafat sebagai ilmu, yakni pendekatan
filsafati yang memiliki ciri-ciri keilmuan yang ilmiah.

B. Karakteristik Filsafat Jawa


Filsafat Jawa dalam pengertian filsafat atau pandangan hidup Jawa,
sebagaimana filsafat Nusantara pada khususnya dan (sebagian) filsafat Timur pada
umumnya, pada dasarnya bukan (semata-mata) hasil aktivitas otak atau rasio
manusia. Dalam konteks ini, filsafat Jawa lebih merupakan hasil penghayatan suatu
kehidupan rohani dalam upaya mencari kejelasan yang sedalam-dalamnya
mengenai “makna kehidupan” atau tentang hakikat segala sesuatu yang “ada” dan
yang ‘mungkin ada” (Cf. Sri Mulyono, 1982:16). Dalam konteks ini, filsafat Jawa
sedikit berbeda dengan hasil pendekatan filsafat umum yang mengedepankan sifat
ilmiah atau keilmuan.
Secara konvensional telah diterima umum bahwa dalam kedudukannya yang
khusus seperti itu, filsafat Jawa bukan “ilmu” yang dalam sifat dan metode kerjanya
sangat mengedepankan aspek rasionalitas, melainkan “ngelmu” yang lebih
mementingkan pendekatan “rasa” (rosing rasa). Dalam khazanah kebudayaan
Jawa, ngelmu tidak dapat diterjemahkan dengan ilmu, karena ngelmu dengan ilmu
memang berbeda.
Filsafat Jawa sebagai “ngelmu”, memiliki sesutu arti “ajaran rahasia yang
diturunkan secara tertutup atau esoteris”, digunakan sebagai pedoman hidup.
Ngelmu hanya dapat dicapai dengan “laku” (ngelmu kalakone kanthi laku), yakni

Pengantar Filsafat Jawa 13


laku bangsaning batin atau olah rohani. Dalam idom tasawuf atau sufisme, jalan
rohani atau laku batin itu disebut dengan istilah tarekat, atau dalam filsafat Cina,
khususnya Lao-ts disebut dengan istilan jalan Tao. Upaya untuk menempuh jalan
rohani itu juga disebut dengan istilah “suluk”, atau menurut istilah kaum Orientalis
dari Barat disebut dengan istilah mistisisme Islam. Di Jawa, suluk semacam ini, ada
yang menyebutnya dengan istilah mistik Jawa, sebuah sebutan yang kurang begitu
tepat.
Bertolak dari pengertian itu dapat dikemukakan bahwa Ngelmu adalah
pengetahuan yang bersifat batiniah atau rohaniah. Dalam dunia sufisme Islam yang
banyak diacu oleh masyarakat pendukung kebudayaan Jawa, ngelmu batiniah
seperti itu disebut dengan istilah makrifat. Makrifat sendiri menurut Hamka
(1966:106) merupakan ujung perjalanan ilmu pengetahuan. Dengan meminjam
idiom Jawa untuk kepentingan serupa, Hamka (1966:130) juga menyebut makrifat
ini dengan istilah ngelmu sejati. Makrifat atau ngelmu sejati itu hakikatnya
pengetahuan tertinggi dalam mengenal Tuhan. Dalam kebudayaan Jawa, tataran ini
disebut dengan Sastra Jendra. Sastra sendiri berarti ngelmu ‘knowlegde’, Ja berarti
‘yang terlahir’ atau ‘sejati’, atau ‘yang sesungguhnya’, sementara Indra adalah
sebutan bagi Tuhan. Sastra jendra berarti “The Real Knowlegde of God” atau
“Pengetahuan Sejati tentang Tuhan”.
Berkaitan dengan itu, Sri Mulyono (1982:16) menjelaskan beberapa
karakteristik ngelmu sejati atau alam filsafat Jawa yang secara konvensional dikenal
dan dihayati masyarakat Jawa pendukungnya. Karakteristik itu antara lain sebagai
berikut.
Sebagai sebuah sistem, filsafat Jawa (dalam artian pandangan hidup Jawa)
berarti kehidupan rohani yang ditempuh melalui upaya batin, rasa, dalam rangka
mencari hakikat segala sesuatu; dalam wujudnya: a) mencari kejelasan tentang asal
mula dan tujuan akhir kehidupan manusia atau sangkan-paraning dumadi; b)
pencarian pengenalan Tuhan yang sejati, dan c) pembinaan hubungan antar sesama
manusia dan hubungan dengan dunia.
Filsafat Jawa merupakan sarana untuk mempertinggi tingkat rohani, agar
manusia dapat mencapai nilai-nilai kautaman ‘super moral’, dan meraih sesuatu
Pengantar Filsafat Jawa 14
yang ada di balik dunia wadag, dunia yang dapat ditangkap indra manusia, sehingga
akhirnya dapat nggayuh kasampurnan ‘mencapai kesempurnaan hidup’.
Sebagai sarana sekaligus jalan rohani (laku bangsaning batin), filsafat Jawa
merupakan alat menuju kalepasan ‘bebas dari penderitaan’. Dengan laku yang
benar, manusia dapat mencapai tujuan akhir hidupnya; yakni celak coloking Hyang
Widhi, momor pamoring sawujud ‘dapat sedekat mungkin dengan cahaya Tuhan,
dan dapat bersatu dengan yang Illahi’.
Buah pengahayatan filsafat Jawa berbentuk ungkapan-ungkapan hasil
renungan filsafati dalam bentuk suluk, atau karya-karya lain yang bermotifkan suluk.
Dalam tradisi Jawa ungkapan-ungkapan suluk ini umumnya berbentuk pendek-
pendek, sepotong-sepo-tong, berbentuk kiasan, lambang. Tak jarang hubungan
antar ungkapan yang satu dengan yang lain terkesan kurang serasi, tidak sistematis,
dan bersifat dialektis, sehingga menumbuhkan banyak penafsiran.

C. Bidang Telaah Filsafat Jawa


Meskipun sebagai sebentuk pandangan hidup, filsafat Jawa memiliki
beberapa karakteristik yang berbeda dengan hakikat filosofiknya yang bersifat
ilmiah, tetapi dalam telaah terhadap kedalamannya dapat dimanfaatkan
pendekatan yang lebih berwawasan keilmuan, meskipun tidak sepenuhnya.
Pendekatan yang dimaksud, bertolak dari bidang-bidang filsafati yang dikenali
sebagai cabang-cabang filsafat yang terpisah.
Dengan memperhatikan karakteristiknya, bidang-bidang yang dimaksud,
meliputi: metafisika, yakni bidang filsafat Jawa yang mempermasalahkan aspek
hakikat segala sesuatu, atau perosalan-persoalan mendasar tentang “ada”;
epistemologi atau saintika, yakni bidang filsafat yang berkaitan dengan seluk beluk
pengetahuan pada umumnya, estetika, yakni bidang yang mempermasalahkan
aspek keindahan, serta etika, yakni bidang kajian filsafat yang berurusan dengan
aspek-aspek moralitas. Deskripsi tentang prinsip-prinsip dasar bidang-bidang filsafat
itu dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Metafisika-Jawa

Pengantar Filsafat Jawa 15


Dalam pengertian umum, metafisika merupakan bidang atau cabang filsafat
yang mempersoalkan masalah-masalah mendasar tentang “ada”, ‘being’. Dalam
pandangan tradisional, bidang filsafat ini dipahami dalam artinya sebagai sebuah
telaah tentang “ada” sebagai ‘ada”, ‘the study of “being as such”, dengan demikian
telaah ini berusaha mengemukakan berbagai pandangan yang mendasar dan
komprehensif tentang segala sesuatu yang dapat dikenali. Kerangka ini membuat
bidang ini menjadi cabang filsafat yang sulit untuk dipahami. Dalam perkembangan
yang lebih mutakhir, metafisika yang secara etimologis berasal dari istilah Yunani:
“meta ta physica” (sesudah atau di balik realitas fisik), diartikan sebagai: “telaah
tentang semua sifat atau watak terdalam dan fundamental dari suatu benda atau
kenyataan ‘ultimate nature’ yang berada di balik pengalaman langsung manusia”
Dalam artinya sebagai sebentuk pandangan hidup, secara makro pada
dasarnya filsafat Jawa meletakkan dirinya dalam posisi bidang umum metafisika ini.
Dalam konteks ini, sistem filsafat Jawa yang oleh sebagian orang dikenali sebagai
“ngelmu sejati’, atau “ngelmu kasampurnan”, atau “suluk” dalam kebudayaan Islam
(dan kelak kemudian juga dalam kebudayaan Nusantara), dan yang senantiasa
berusaha melakukan pencarian tentang sangkan paraning dumadi (yang juga
mencangkup pencarian hakikat segala sesuatu), memang berada kerangka dalam
dunia metafisik.
Meskipun demikian, secara sistemik terdapat bagian-bagian filsafat Jawa ini
yang dapat dijabarkan secara lebih khusus, dengan tidak terlalu mengikatkan diri
pada aspek metafisis yang menjadi kerangkanya, sekalipun belum dapat dilepaskan
sama sekali. Dalam hal ini, filsafat Jawa sebagai suatu keseluruhan dapat dipilah
menjadi dua aspek besar bidang filosofik, yaitu ontologi dan kosmologi.
Bidang ontologis filsafat Jawa secara umum mengungkap watak kenyataan
atau realitas tertinggi atau wujud “ada” (being) pada umumnya. Sementara, bidang
kosmologis filsafat ini berkaitan dengan telaah tentang “ada” (keberadaan ‘being’)
jagad gumelar atau alam semesta, misalnya berkenaan dengan asal-mula, watak,
dan perkembangannya, sehingga menjadi sebuah “sistem” yang teratur.

Pengantar Filsafat Jawa 16


Dalam sejarah kebudayaan Jawa, aspek ontologis dan kosmologis filsafat
Jawa ini banyak dibicarakan dalam teks-teks suluk dan primbon Jawa, atau teks-teks
prototipnya yang telah berkembang pada masa-masa sebelumnya, seperti pada
karya-karya sastra mandala. Sebagaimana diketahui, karya-karya sastra suluk dan
primbon mulai muncul semenjak era sastra Jawa pesisir pada abad 16 dan mencapai
puncak perkembangannya pada jaman Surakarta pada abad 18-19, sedangkan
sastra mandala berkembang pada penghujung jaman Majapahit, yakni sekitar abad
15, atau sedikit sebelumnya.

2. Estetika-Jawa
Meskipun sebagai suatu sistem, filsafat Jawa dalam perkembangannya yang
terakhir cenderung diarahkan pada hal-hal yang berkaitan dengan aspek metafisis
(Cf. Sri Mulyono, 1982), namun bukan berarti di dalamnya sama sekali tidak
disinggung masalah-masalah yang lebih bersifat kemanusiaan, seperti citraan
estetika bagi manusia pada umumnya.
Secara etimologis dapat diketahui bahwa istilah estetika berasal dari kata
dalam bahasa Yunani aestheticos yang berarti ‘berhubungan dengan pencerapan
(visualisasi atau pengindraan)’. Secara konsepsional estetika didefinisikan sebagai
cabang filsafat yang berurusan dengan aspek keindahan ‘beauty’ atau “dengan yang
indah” ‘beautiful’, khususnya dalam kaitannya dengan bidang seni dan dengan
perasaan, serta acuan nilai dalam kegiatan kesenian.
Bertolak dari itu dapat dikemukakan bahwa hal-hal yang dapat dipelajari dari
bidang estetika ini adalah semua hal yang berkaitan dengan pengalaman seni
manusia, proses pengalaman seni, dan aspek alami tertentu dan karya manusia lain
yang non-kesenian, khususnya yang berkaitan dengan indah atau jeleknya bentuk
atau aspek indrawinya.
Sejauh ini belum diketahui adanya konsep yang pasti dan menyeluruh
tentang estetika dalam alam filsafat Jawa, meskipun demikian secara marginal
‘terbatas’, dapat disaksikan bagaimana para “seniman Jawa“ telah berhasil
mengekspresikan pengalaman seninya sebagaimana dapat disaksikan dalam teks
sastra lama Jawa, semenjak jaman periode Jawa Kuna (dalam bentuk puisi-puisi

Pengantar Filsafat Jawa 17


kakawin dan karya-karya purana dan parwa dalam bentuk prosa), periode Jawa
Pertengahan (pada puisi-puisi kidung dan prosa-prosa dari lingkungan mandala),
periode Jawa Baru (dalam tembang-tembang macapat pesisir dan serat-serat klasik
dari kalangan istana), dan pada periode Jawa Mutakhir meski masih dalam taraf
perkembangan; dapat juga diketemukan “konsepsi” mereka dalam seni
pertunjukan (rakyat dan istana), dalam seni sungging dan ragam hias, seni musik,
seperti yang dapat disaksikan dalam pagelaran wayang, misalnya.
Dari bidang-bidang itu dapat diketahui misalnya, bagaimana sikap dan
pandangan mereka di dalam hidup dan kehidupan yang berkesenian. Secara umum
dapat disimpulkan bahwa konsep-konsep para seniman Jawa tentang estetika
secara konvensional tidak dapat dilepaskan dari citraan dan idealisme mereka, yang
mereka letakkan dalam keseluruhan hidup dan kehidupan mereka, dalam kaitannya
dengan diri sendiri, sesama, dengan alam semesta, dan acuan puncaknya: dengan
Sang Sangkan Paraning Dumadi. Secara konvensional, ekspresi seni bagi manusia
Jawa adalah juga ungkapan religiusitas mereka.
3. Etika Jawa
Secara konsepsional, etika Jawa adalah bagian dari sistem filsafat Jawa yang
berurusan dengan pertimbangan-pertimbangan tentang baik-buruknya perilaku
manusia Jawa, benar atau salah suatu tindakan, tentang kewajiban-kewajiban
manusia Jawa sebagai warga masyarakat, dalam kaitannya dengan diri sendiri,
sesama, alam semesta, dan Sang Maha Pencipta. Oleh karena sistem etika ini
berkaitan dengan nilai dan kewajiban manusia, maka hakikatnya etika Jawa juga
dapat dipilah menjadi dua bagian besar sistem etika, yaitu pertimbangan-
pertimbangan tentang nilai ‘judgements of value’ yang harus diacu dalam kehidupan
sehari-hari, serta pertimbangan tentang kewajiban ‘judgements of obligation’ yang
harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pembicaraan tentang etika sebagai sistem filsafat, hal-hal yang dapat
dipandang sebagai objek kajian tentang etika Jawa antara lain adalah:semua
pernyataan moral, tindak tanduk dan perilaku manusia Jawa, keputusan-keputusan
yang diambil dalam mengahadapi situasi tertentu dalam hidup keseharian,

Pengantar Filsafat Jawa 18


bagaimana cara orang Jawa bertindak, bersikap, dan bertutur kata, yang
kesemuanya diukur dari nilai baik dan buruk; atau pantas dan tidak pantas.
Secara teoretik, sistem etika Jawa dapat dipilahkan menjadi tiga kelompok:

a. Etika deskriptif; yaitu sistem yang mencoba menjelaskan pengalaman moral


secara deskriptif, atau uraian-uraian tentang pengalaman manusia Jawa dalam
bidang moral, juga berusaha untuk mengetahui dasar motivasi, kemauan, dan
tujuan perbuatan seseorang atau kelompok masyarakat Jawa tertentu. Di sini
akan tampak upaya membedakan keadaan faktual moralitas masyarakat, dengan
keadaan yang harus “ada” dalam kehidupan moral masyarakat Jawa. Dalam
teks-teks sastra lama sebagai contoh, baik teks-teks lisan maupun tertulis, kondisi
ini dapat disaksikan dalam teks-teks fiksi naratif, dongeng, cerita rakyat, lebih-
lebih yang bertema didaktis.

b. Etika normatif; yaitu bagian dari sistem etika Jawa yang membicarakan apa-apa
yang seharusnya ada dalam pergaulan dan pergulatan hidup masyarakat Jawa,
apa-apa yang seharusnya dilakukan oleh orang jawa dalam hidup keseharian
mereka; di samping juga: apa-apa yang seharusnya tidak boleh ada atau tidak
boleh dilakukan dalam hidup bermasyarakat, dan sebagainya. Oleh karena
berkaitan dengan keharusan-keharusan atau norma-norma, etika ini juga
berkaitan dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dalam masyarakat Jawa.
Di samping dapat dilihat dalam sistem hukum adat yang masih berlaku dalam
masyarakat Jawa, jenis etika ini dapat dilihat pada karya-karya sastra lama, baik
lisan maupun tulis, yang bertemakan didaktis, khususnya dalam teks-teks niti,
tutur, wulang, atau teks-teks singir pesisiran, dan sebagian suluk Jawa.

c. Etika Kritik; yaitu bagian sistem etika yang dilakukan orang atau masyarakat Jawa
ketika secara bersama atau sendiri-sendiri mereka mencoba menelaah istilah-
istilah tertentu, aspek bahasa tertentu, yang dipakai dalam pembicaraan tentang
moralitas, serta cara pandang tertentu yang digunakan untuk membenarkan
pernyataan-pernyataan yang mereka kemukakan berkaitan dengan masalah-
masalah etik dan moral. Sebagai contoh perbicangan dalam suatu pertemuan,
misalnya tentang arti ‘unggah-ungguh’ dalam masyarakat Jawa.

Pengantar Filsafat Jawa 19


4. Saintika atau Epistemologi Jawa
Saintika atau epistemologi-Jawa adalah bagian dari sistem filsafat Jawa
secara keseluruhan yang berurusan dengan telaah tentang asal-mula, susunan
(struktur) pengetahuan masyarakat Jawa, bagaimana cara-cara yang meereka
tempuh untuk mendapatkannya, jenis-jenis pengetahuan yang ada pada mereka,
serta dalam pengertian yang lebih terbatas, juga tentang validitas atau kesahihan
pengetahuan yang mereka miliki.
Sumber-sumber yang dapat dijadikan bahan pelacakan untuk melihat
pengetahuan yang (pernah) dan telah dimiliki oleh masyarakat Jawa adalah dengan
melihat karya-karya yang telah mereka hasilnya. Dari sejarah kebudayaan Jawa
pengetahuan tentang itu dapat disaksikan melalui karya-karya monumental
masyarakat Jawa dari masa lalu. Karya-karya itu dapat berupa candisila dan
candibhasa. Yang dimaksud dengan “candisila” adalah karya-karya atau artefak
peninggalan kuna berupa bangunan-bangunan yang masih dapat disaksikan
keberadaannya; sedangkan “candibhasa” adalah teks-teks sastra lama yang
menyimpan segudang informasi yang sangat luar biasa tentang kehidupan dan
kemajuan yang telah dimiliki oleh masyarakat Jawa dari jaman ke jaman.

Pengantar Filsafat Jawa 20


BAB VIII.
WAYANG DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT JAWA

A. Tentang Epistemologi Wayang


1. Pengantar
Sebagai karya kreatif manusia, wayang merupakan ekspresi kebudayaan yang
layak untuk mendapat perhatian dan penghargaan yang sepantasnya. Tidak seorang
pun dapat menolak kenyataan bahwa wayang merupakan suatu hal yang sangat
menarik perhatian dan pantas dihargai, mengingat sifatnya yang multidimensional,
multifungsional, di samping beragam kandungan nilai filosofik yang menyertainya.
Sebagai karya kreatif, dimensi artistik wayang menawarkan nilai-nilai seni
rupa, seni sastra, seni drama, dan seni musik tradisi yang terbangun menjadi suatu
harmoni yang demikian mentakjubkan, sementara dimensi filosofik wayang
terwujud dalam eksistensinya sebagai sarana dalam dunia pendidikan, dalam media
informasi, hiburan, dan dalam batas tertentu juga sebagai media bagi ekspresi rasa
religiusitas para pendukungnya.
Harmonia atau keselarasan dimensi artistik wayang yang diaksentuasikan
dalam beberapa cara, seperti dalam jalinan berbagai cerita dan penceritaan, cara
pentas dan jagad pakelirannya, struktur instrumen dan seni pedalangannya, semua itu
pada hakikatnya merupakan sebentuk citra hidup dan kehidupan manusia melalui
tampilan-tampilan simbolik yang harus diterjemahkan dan dicermati, di samping
untuk dinikmati. Dalam konteks inilah kandungan nilai filosofik wayang dapat lebih
dicerna oleh para penikmatnya.
Dari sisi yang lebih praktis, dimensi filosofik wayang juga tampak pada
beragam fungsinya sebagai media pendidikan yang dalam hal ini menawarkan
berbagai bentuk serta alternatif ajaran tentang manusia dan kemanusiaan, seperti
masalah-masalah kebenaran, keadilan, kejujuran, kepahlawanan, kesusilaan,

Pengantar Filsafat Jawa 21


kejiwaan, filsafat, dan berbagai problematika kemanusiaan yang kadang sukar untuk
dipecahkan. Nilai didik seperti itu, sangat bermanfaat bagi manusia baik sebagai
individu maupun sebagai bagian dari masyarakat secara keseluruhan.
Penampilan wayang dari masa ke masa senantiasa mengalami perkembangan,
selalu menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat pendukungnya. Dari sisi ini,
wayang berusaha menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya, dengan demikian di
dalam dirinya terkandung sifat dasar komunikatif: kemampuan untuk selalu
melayani proses komunikasi dengan berbagai pihak di sekitarnya. Sifat komunikatif
ini memungkinkan wayang dapat dimanfaatkan untuk memahami suatu tradisi, yang
dengan demikian dapat dimanfaatkan sebagai sarana potensial untuk mendekati
masyarakat, dan yang pada akhirnya dapat digunakan untuk menawarkan berbagai
informasi yang berkaitan dengan masalah-masalah kehidupan dan seluk beluknya.
Dari sejarah perkembangannya juga dapat diketahui bahwa wayang juga
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan mitis-religius sebagaimana pada
awal penciptaannya, dan dalam batas tertentu, juga sampai pada perkembangannya
yang terakhir; wayang juga dipergunakan untuk kepentingan magis, seperti dalam
upacara-upacara “ruwatan” dan upacara-upacara sejenisnya. Di samping itu, pada sat
yang sama, sifat kreatif-artistik wayang juga mampu memberi kepuasan-kepuasan
indrawi pada para penikmatnya, dengan demikian ia juga memiliki fungsi sebagai
penghibur.
2. Wayang: Antara Pandangan Tradisi dan Konsepsi
Dalam cerita-cerita tradisional, wayang dikatakan sebagai hasil karya para
Wali yang diciptakan dalam rangka pengembangan Islam di tanah Jawa. Dalam
konteks ini, wayang digunakan sebagai salah satu sarana dakwah. Pemanfaatan
wayang dalam upaya ini perlu dilakukan, mengingat masyarakat Jawa telah demikian
akrab dengan kehidupan beragama dan berkebudayaan Hindu-Buddha. Sementara,
wayang sendiri muncul dan berkembang dengan ide dasar agama dan kebudayaan
itu. Di pihak lain, pemunculan gagasan atau ide dasar agama dan kebudayaan Hindu
dalam wayang, tampaknya telah menumbuhkembangkan asumsi bahwa wayang (dan
seluk-beluknya), memang merupakan produk budaya Hindu yang berasal dari India.
Sementara itu, bertolak dari beberapa data yang bersifat ilmiah-akademik,
tidak sedikit sarjana yang memiliki pandangan lain tentang wayang. Antara lain,
dengan mempertimbangkan aspek bahasa dan asal-usul katanya, wayang yang

Pengantar Filsafat Jawa 22


dikaitkan dengan ‘bayang-bayang’, ‘remang-remang’, ‘ruh’, ‘dewa’, atau ‘arwah
para leluhur’, wayang dianggap merupakan produk budaya Jawa asli yang muncul
jauh sebelum Islam dan Hindu datang dan berpengaruh di Jawa (Brandes dan Hazeu,
1897; Poerbatjaraka, 1926). Dalam konteks ini, wayang dikaitkan dengan upaya
atau aktivitas pemujaan terhadap nenek moyang dengan dilatari kepercayaan
animisme dan dinamisme.
Arwah leluhur yang sudah meninggal dianggap sebagai pelindung yang kuat.
Sebagai pelindung, mereka dapat memberikan bantuan dan pertolongan kepada
orang-orang yang masih hidup. Ruh nenek moyang dan mereka yang sudah
meninggal itu dibangunkan dan didatangkan dengan perantaraan seorang “syaman”
(Sri Mulyono, 1989). Cara mendatangkan ruh seperti itu dilakukan dengan diiringi
nyanyian, puji-pujian, serta aneka sajian. Pada konteks inilah wayang mula-mula
diciptakan.
Adanya perbedaan pandangan mitologis tradisional dengan yang ilmiah-
akademik tentang asal-usul wayang itu sebenarnya tidak perlu dipertentangkan.
Dalam hal-hal tertentu masing-masing pihak memiliki kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan. Kajian tentang wayang yang muncul pada masa-masa
terakhir membuktikan hal itu.
Pigeaud (1967) beranggapann bahwa peran para Wali sebagaimana
dikemukakan dalam pandangan tradisional, dapat dikombinasikan dengan pendapat
ilmiah tentang hal yang sama. Kombinasi itu dijadikan dasar asumsi bahwa pada
awal perkembangan Islam di Jawa, semua mitos dan kepercayaan animistis,
termasuk repertoar atau pagelaran wayang, pada masa-masa pra-Islam yang semula
dianggap sakral, kemudian dipopulerkan oleh Para Wali dalam daerah yang seluas-
luasnya sebagai seni profan yang perwujudan akhirnya disesuaikan dengan
pengembangan Islam sekaligus perkembangan jaman secara sistematis dan
terlembaga. Dalam kosteks itu, wayang menjadi sarana komunikasi yang sangat
efektif bagi pengembangan agama dan sikap budaya yang Islami, sehingga pada
akhirnya muncul mitos penciptaan wayang oleh Para Wali sebagaimana disebutkan
terdahulu.
Proses “Islamisasi” wayang dan aspek budaya lain seperti itu tentu sajatidak
harus disertai dengan upaya meninggalkan sama sekali atau mengesampingkan
sapek-aspek lama yang bersumber India-Hindu ataupun warna-warna animistik yang

Pengantar Filsafat Jawa 23


pernah akrab dengan masyarakat Jawa. Dalam konteks ini, terjadilah akulturasi
budaya; yakni budaya lama yang bercorak animis dan Hinduistik berkembang atau
dikembangkan ke arah budaya baru yang lebih bernuansa Islami, atau yang
menyiratkan warna-warna keislaman, meskipun di sana-sini masih terasa kenthal
dengan nilai-nilai yang digantikan.
Kebijakan kompromistik Para Wali dalam mengembangkan wayang,
membuat wayang yang memiliki corak multidimensional menjadi unsur budaya yang
lebih bersifat komunikatif daripada sebelumnya. Hal itu tidak mengherankan
mengingat segala perubahan apapun yang terjadi pada manusia pada umumnya, baik
berupa perubahan dalam bidang penambahan pengetahuan maupun yang berkenaan
dengan sikap mental, menuntut berlangsungnya suatu proses komunikasi yang
intensif, lebih-lebih jika unsur penyebab perubahan itu berasal dari luar. Dengan
demikian secara langsung atau pun tidak, perkembangan wayang “dalam bentuknya
yang baru” yang lebih menekankan sifat komunikatif daripada sebelumnya, turut
berperan dalam pengubahan sifat sakral wayang menjadi seni pertunjukkan yang
lebih bersifat profan dan lebih mudah untuk diterima umum.

3. Wayang: Perkembangan dan Jenisnya


Hingga kini belum ada kepastian sejak kapan repertoar atau seni pertunjukan
wayang dikenal orang. Sejauh ini data terawal tentang itu baru diperoleh dari
kakawin Jawa Kuna yang berasal dari masa pemerintahan Prabu Airlangga di Jawa
Timur, sekitar tahun 1019-1042 M atau padaabad XI. Kakawin itu merupakan
karya besar Mpu Kanwa yang berjudul Arjunawiwaha (Wiryamartana, 1990).
Adapun bagian kakawin karya Mpu Kanwa yang menyiratkan adanya seni pagelaran
atau repertoar wayang itu, antara lain sebagai berikut.
“Hananonton ringgit manangis asekel mudha hidepan, huwus wruh
towin yan walulang inukir molah angucap, hatur ning wwang tresneng
wisaya malaha ta wihikana, ri tatwa nyan maya sahana-hana ning
bhawa siluman”

‘Ada orang menonton wayang, menangis, sedih, kacau hatinya. Telah


tahu pula, bahwa kulit yang dipahatlah yang bergerak dan bercakap itu.
Begitulah rupanya orang yang lekat akan sasaran indera, melongo saja,

Pengantar Filsafat Jawa 24


sampai tak tahu. Bahwa hakikatnya mayalah segala yang ada, sulapan
belaka’.
(AW. Pupuh V.
Sikharini: 9)

Dari kutipan itu dapat diperoleh beberapa informasi penting, yaitu pertama,
seni pertunjukan wayang (kulit) telah muncul dan dikenal pada abad XI; kedua,
kemahiran dalang dalam menghidupkan wayangnya telah membuat penonton terlena
dan mampu mengguncangkan perasaan penonton sehingga mereka menangis
tersedu-sedu, dan ketiga, wayang pada saat itu dipercaya memiliki daya magis,
entah itu ceritanya, pembawa cerita atau dalangnya, atau wayang itu sendiri yang
kekuatannya dibiaskan melalui tangan dan kemampuan Sang Dalang. Dari sini juga
dapat diyakini bahwa dalang memegang peranan yang utama dalam pertunjukkan
wayang.
Kelebihan dalang dalam menghidupkan dan mendramatisasikan wayang-
wayang di tangannya, seolah membeberkan suatu lukisan hidup dan kehidupan
manusia di dunia. Hal itu terntara telah menggetarkan jiwa manusia yang
menikmatinya. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah benar dalang pada saat itu
telah benar-benar mampu menggetarkan jiwa penikmatnya, ataukah justru kakawin
Arjunawiwahalah yang berhasil menghidupkan atau mendramatisir seni
pertunjukkan wayang sebagaimana dikemukakannya.
Dalam konteks itu, tidak mustahil bahwa berkembangnya kakawin hingga ke
puncak-puncak puitika Jawa Kuna saat itu berpengaruh terhadap perkembangan seni
pentas tradisional, dalam hal ini pagelaran wayang sebagaimana disebut terdahulu.
Di lain pihak, tidak tertutup kemungkinan bahwa unsur kepercayaan magis-religius
yang melekat pada masyarakat pada saat itu memungkinkan terbangunnya suatu
suasana yang sangat sakral dan mitis, dengan demikian memudahkan (sebagian)
penonton terlena dan terkena ‘wisaya’ sebagaimana dilukiskan dalam kakawin
Arjunawiwaha itu.
Berikut dikemukakan tonggak-tonggak penting lain dalam perkembangan
wayang seperti yang dikemukakan oleh Singgih Wibisana (1983), yang pada
dasarnya secara umum pernah dikemukakan oleh beberapa ahli dalam kapasitas
yang berlainan. Para ahli yang dimaksud antara lain adalah: Raffles dalam History

Pengantar Filsafat Jawa 25


of Java (1817, edisi cetak ulang pada tahun 1978), J. Kats dalam: Het Javaansche
Toneel Wajang Poerwa (1923), Hardjowirogo dalam Sedjarah Wajang Poerwa
(1949); Pigeaud, dalam Literature of Java (jilid I, 1967); Brandon, dalam Three
Javanese Shadow Plays (1970); R.M. Sajid dalam Bauwarna Kawruh Wayang
(1971); dan juga Sri Mulyono, dalam Wayang, Asal-usul, Filsafat, dan Masa
Depannya (1982).
Adapun intisari dari sejarah perkembangan wayang dari berbagai pihak itu
antara lain sebagai berikut.
a. Pemunculan Struktur Naskah Lakon
Pada awal abad XII seorang pujangga istana Kadiri bernama Mpu Panuluh,
menggubah sebuah kakawin bertema epik (wiracarita) yang berjudul
Gatotkacasraya. Yang menarik dari kakawin itu -dari sekian banyak kelebihannya-
adalah struktur naratif kakawin yang berbentuk struktur dramatik yang sedikit
berbeda dengan berbagai kakawin lain sebelumnya. Kakawin ini digubah dengan
gaya yang sangat mirip dengan naskah panduan bagi Dalang untuk mementaskan
cerita wayang, atau dengan kata lain teks kakawin Gatotkacasraya itu mirip dengan
sebuah naskah lakon.

b. Pemunculan figur ‘Punakawan’


Pemunculan figur atau tokoh ‘punakawan’ sebagai pendamping, sebagai
“abdi”, sekaligus sebagai penasehat tokoh utama dalam kakawin, juga merupakan
fenomena yang tidak kalah menarik. Figur atau tokoh itu sagaknya merupakan
‘pinjaman’ dari tokoh dalam cerita rakyat yang sudah populer di kalangan
masyarakat umum. Dalam konteks ini, Pigeaud (1967) beranggapan bahwa
kemunculan tokoh-tokoh punakawan dalam cerita rakyat dan kemudian muncul
dalam kakawin, dapat dikaitkan dengan asal mula terjadinya kosmos dan tata
kemasyarakatan dalam mitologi Indonesia kuno. Di sini, prototip punakawan dalam
berbagai bentuknya, sangat diutamakan.
Hingga saat ini, punakawan dalam tradisi pewayangan senantiasa
dimunculkan dalam perannya sebagai penjelmaan dewa tertentu (yang di dalam
mitologi asli dari luar, dewa ini tidak dikenal) dan memiliki kelebihan dari dewa
lain pada umumnya.

Pengantar Filsafat Jawa 26


Dalam ujudnya yang cenderung “hina”, hakikatnya punakawan
memfungsikan dirinya sebagai ‘penguasa’ yang menguasai kehidupan manusia. Ia
adalah penasehat para raja dan ksatria dalam memayu hayuning bawana, menjaga
dan memelihara ketertiban alam semesta. Dalam peran itu, penampilan (para)
punakawan pada dasarnya selalu dibungkus dengan selimut misteri yang seringkali
tidak terungkapkan. Meskipun demikian, betapapun misteriusnya peran punakawan
dalam pagelaran wayang, jarang atau bahkan tidak pernah sosok punakawan ini
dimainkan secara keliru oleh para dalangnya. Di pihak lain, penonton tidak pernah
protes terhadap setiap penampilan punakawan dalam permainannya.
Dalam perkembangannya yang terakhir, punakawan memiliki peran dan
fungsi tambahan lain, yakni di samping berfungsi sebagai abdi dan penasehat bagi
“tuannya”, ia (mereka) juga memfungsikan dirinya sebagai jembatan penghubung
beberapa dunia yang terpisah. Fenomena itu merupakan sesuatu yang tak
terbayangkan sebelumnya, demikian Singgih Wibisono (1983). Dalam pagelaran
wayang dewasa ini, punakawan juga berfungsi sebagai saluran komunikasi yang
lincah dan luwes. Dalam kondisinya yang tetap saja misterius, gelap, tetapi ia
memperlakukan dirinya sebagai penerang, sebagai pembuka jalan yang
menjembatani sakaralitas dunia atas (dunia dewa-dewa, para raja, ksatria sebagai
cermian dunia ideal) dengan warna profan dunia bawah, dunia masyarakat
keseharian (dunia para abdi, sebagai simbol masyarakat kebanyakan). Kebebasan
kreatif para dalang dalam mengolah peran para punakawan untuk menanggapi hal-
hal yang aktual dalam hidup sehari-hari, di samping menjadi daya tarik yang cukup
potensial bagi penonton pagelaran wayang, hakikatnya juga menjadi jembatan yang
ampuh untuk menghubungkan dunia wayang (dunia idea) dengan dunia penonton
(dunia manusia biasa yang sarat dengan masalah nyata sehari-harinya).

c. Profanitas dan Perkembangan Wayang


Profanitas wayang terutama melalui peran baru punakawan seperti itu, pada
dasarnya telah mulai dirintis semenjak masa Para Wali di pesisir utara Jawa pada
abad XV dan XVI dan mulai semaraknya perkembangan Islam di Jawa.
Sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan terdahulu, perkembangan ini
membawa dampak yang sangat luas bagi perkembangan wayang itu sendiri.

Pengantar Filsafat Jawa 27


Tradisi pagelaran wayang kulit dengan berbagai pembaruan yang dirintis
Para Wali terus berkembang dari masa ke masa, hingga akhirnya olaeh para dalang
wayang kulit (purwa) dimunculkan tarian golek ‘boneka’ kayu berdimensi tiga
matra di akhir pertunjukan. Kata golek ‘boneka’ dalam perbendaharaan kata bahasa
Jawa juga berarti ‘mencari’. Dengan penampilan tarian golek kayu di akhir
pertunjukan, para dalang yang telah habis mementaskan (cerita) wayang secara
tuntas, secara simbolis mengajak penonton untuk ikut “mencari” makna yang tersirat
dalam pagelaran yang baru dimainkan, dengan demikian penontonm dapat
memperoleh pesan-pesan positif yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Dalam
konteks ini, wayang bukan semata-mata “tontonan’, melainkan yang lebih utama
adalah “tuntunan”. Golek kayu menyiratkan pesan: goleka dalan rahayu; carilah
jalan keselamatan, kesejahteraan.
Perkembangan wayang yang dirintis Para Wali sebagai seni pertunjukan
yang profan namun sekaligus sarat dengan pesan, mencapai “puncak’-nya pada awal
awal abad XIX. Masa-masa itu dalam kesusastraan Jawa klasik terkenal dengan
jaman renesans atau jaman pencerahan dengan pusat perkembangannya di istana
Surakarta. Pada saat itu kalangan istana Surakarta (yang dikenali sebagai pusat
kebudayaan Jawa) menghasilkan banyak karya sastra yang bernilai tinggi. Di
samping lahir beberapa karya ‘monumental’ dalam karya sastra Jawa klasik dari
tangan para pujangga istana, seni pedalangan dan karawitan sebagai pengiring
pagelaran wayang juga berkembang pesat berkat para dalang sekaligus musisi istana
Surakarta.
Hasil kreasi para seniman istana itu kemudian dibakukan sebagai panduan
bagi para dalang dalam setiap pagelarannya. Pembakuan itu meliputi: bahasa
padhalangan, struktur pagelaran, corak dan jenis lakon, gendhing pengiring, dan
beberapa aspek pewayangan lainnya (Hardjowirogo, 1949; Brandon, 1970;
Singgih Wibisono, 1983). Sampai kini, dalam batas tertentu, hasil pembakuan itu
masih menjadi “panutan“ oleh kebanyakan dalang di Jawa, bahkan sampai daerah
luar kebudayaan Jawa. Pagelaran wayang saat itu telah menjadi semacam wadah
nilai-nilai budaya yang sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan sosial-budaya
masyarakat Jawa pada umumnya.
d. Jenis-jenis Wayang

Pengantar Filsafat Jawa 28


Dalam sejarahnya, wayang muncul dalam beberapa perwujudan, sejalan
dengan perubahan waktu dan selera masa pendukungnya. Pertama, mula-mula
tampil bentuk wayang kulit sebagai wujud yang paling populer dengan daerah
perkembangan yang sangat luas, terutama di daerah Jawa bagian tengah dan timur.
Daerah penyebarannya menjangkau wilayah yang jauh lebih luas lagi, seperti Bali,
Lombok, daerah Sumatra bagian selatan. Diketahui kemudian, di daerah-daerah
tersebut wayang menempuh jalur perkembangannya tersendiri.
Jenis kedua, berupa wayang golek dari kayu yang berdimensi tiga matra.
Mula-mula tumbuh di pesisir utara Jawa, kemudian berkembang pesat di daerah
Jawa bagian Barat pada umumnya. Dalam konteks ini, subjek cerita wayang masih
berkisar seputar Ramayana dan Mahabharata. Baru pada dekade berikutnya
muncul wayang golek yang berbeda, yang disebut Golek Menak, yang
memanfaatkan cerita epos Wong Agung Menak atau Amir Ambyah. Cerita ini
merupakan bentuk adaptasi dari hikayat Melayu Amir Hamzah, yang berasal dari
Persi). Di Jawa cerita itu berkembang menjadi berbagai versi Serat Menak, hingga
akhirnya muncul dalam bentuk pagelaran wayang golek. Mula-mula muncul dari
daerah pesisir utara Jawa timur, dan berkembang sampai ke daerah-daerah yang
mendapat pengaruh kebudayaan Islam di Jawa, Lombok, dan sebagian Sumatra dan
Kalimantan.
Di samping wayang kulit purwa, pada perkembangan berikutnya muncul
jenis wayang madya dan wayang gedhog; yang sama-sama dibuat dari kulit berukir.
Wayang madya mangambil cerita dari raja-raja Jawa keturunan Parikesit, hingga
periode kerajaan Kediri. Parikesit adalah generasi terakhir raja-raja dinasti Bharata,
yang berkuasa di Hastina seusai perang besar Bharatayuda. Sementara itu, wayang
gedhog merupakan “penyambung” wayang madya, yang menceritakan kisah raja-
raja Kediri dan sekitarnya, dengan tokoh utamanya Panji dan istrinya Dewi
Candrakirana.
Pada masa-masa berikutnya muncul wayang klithik dan krucil, yaitu jenis
wayang dua dimensi yang terbuat dari kayu pipih sebagaimana pada wayang kulit,
dengan tangan-tangan yang juga terbuat dari kulit. Wayang ini memang mengambil
pola wayang kulit, meski ‘sungging’-nya tidak serumit garis ukiran prototipnya.
Cerita yang diambil untuk dipentaskan, berasal dari kisah Damarwulan, Menak
Jingga, dan tokoh-tokoh lain sejamannya, yang berasal dsari dinasti akhir kerajaan

Pengantar Filsafat Jawa 29


Majapahit. Dari sini, dalam lingkup yang lebih terbatas, muncul wayang timplong
dan gandrung, yang mengambil pola jebnis wayang krucil. Hanya saja dalam
wayang baru ini, dimiliki persediaan kisah yang lebih bervariasi, seperti: Baron
sekender, Jaka Mursada , Jaran Pandan, dsb. Khusus pada wayang gandrung,
terdapat karakteristik yang cukup khas dan sedikit berlainan jika dibanding wayang
lain sejenisnya. Kekhasan ini lebih-lebih jika dilihat dari pementingannya terhadap
aspek magis-religius dalam setiap pementasannya.
Jenis yang sedikit berbeda dengan semua yang telah disebut terdahulu,
adalah jenis wayang beber. Wayang diduga muncul semenjak jaman Majapahit ini,
telah sangat dikenal pada abad XVIII. Wayang ini memang berbeda dengan jenis
wayang lain jik dilihat dari sisi bentuk dan teknik pementasannya. Wayang ini
berupa kain yang direntang (dibeber) di antara dua tiang yang ditancapkan,
sementara dalam tiap lembar kain yang direntangkan itu terlukis gambar-gambar
wayang yang berisi cerita. Ceritanya mengambil kisah Panji, yang diduga memiliki
versi jauh lebih tua jika dibanding kisah Panji dalam wayang gedhog maupun Serat-
serat Panji dalam tradisi tulis, yang dikenal pada jaman Surakarta. Hingga saat ini,
wayang beber masih sering dipentaskan di daerah Pacitan; meski dengan
kepentingan khusus yang berkaitan dengan upacara religio-magis, bukan sebagai
tontonan umum. Fenomena ini mirip dengan yang terjadi pada wayang Gandrung,
jenis wayang krucil yang diciptakan dan dimainkan dengan kepentingan khusus.
Jenis wayang lain yang juga berbeda dengan wayang-wayang terdahulu,
adalah jenis wayang Wong. Wayang ini muncul di lingkungan istana Jawa pada
abad ke XIX, sejalan dengan memuncaknya perkembangan seni tari di lingkungan
istana. Wayang Wong ini beru menjadi populer dalam lingkungan masyarakat
umum pada awal abad XX (Pigeaud, 1938).
Pada paruh kedua abad XX bermunculan wayang lain yang umumnya
terbuat dari kulit sebagaimana wayang Purwa. Wayang-wayang baru itu adalah :
Wayang Wahyu, yang bercerita tentang rasul-rasul dalam agama Nasrani; Wayang
Sadat, dengan cerita dakwah Islam yang dilakukan oleh Wali Sanga di Jawa;
kemudian Wayang Pancasila, dan Wayang Suluh yang mengambil topik kehidupan
masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan dan berfungsi untuk penyuluhan
masyarakat; serta jenis Wayang Kancil yang berisi kisah dalam dongeng Kancil.
Dalam perkembangan terakhir muncul Wayang Dupara, jenis wayang Purwa yang

Pengantar Filsafat Jawa 30


dimodifikasikan dengan seni rupa kontemporer; di samping itu juga muncul jenis
Wayang Suket, yang terbuat darumput di daerah Banyumas.

4. Dalang, Sang Pewaris Aktif Budaya Wayang

Ketika Mpu Kanwa mengutarakan bagaimana para penonton pagelaran


wayang menjadi terhanyut dalam pagelaran wayang yang disajikan, maka dengan
tidak mengesampingkan sikap magis-religius para penonton Majapahit waktu itu,
yakni yang menganggap wayang tidak sekadar sebagai hiburan, tetapi juga
merupakan wahana penyerahan diri mereka kepada Yang Mahamutlak, maka sedu
sedan tangis penonton yang tengah menyaksikan ketrampilan Dalang dalam
menghidupkan wayang-wayangnya, dapat menjadi saksi dan bukti akan kualitas
Sang Dalang sebagai aktor utama dalam pagelaran wayang itu.
Dalam setiap pagelaran wayang (kecuali Wayang Wong yang memang
memiliki spesifikasi tertentu), Dalang senantiasa menduduki peran sentral. Dalam
bahasa teater modern, Dalang dapat dikatakan sebagai tokoh utama sekaligus
sutradara yang handal dalam setiap pementasan wayang. Dalam kasus tertentu,
peran Dalang bahkan tidak terbatas hanya sampai di sini. Sejalan dengan fungsi
pagelaran Wayang sebagai upacara ritual atau keagamaan, dalam hal ini untuk
“menyembah leluhur”, Dalang dianggap sebagai medium, perantara, atau syaman
antara manusia dengan alam semesta, jagad cilik dengan jagad gedhe, atau antara
komunitas manusia dengan dunia spriritual (Pustaka Utama Grafiti, 1987). Oleh
karena itu, lebih-lebih pada masa-masa silam, masyarakat menempatkan Dhalang
dalam posisi yang sangat terhormat.
Dengan peran sepenting itu, Dalang dalam dunia pewayangan jelas memiliki
tanggung jawab yang jauh lebih berat jika dibanding peran sutradara dalam dunia
teater modern. Di samping menguasai alam insaniah, seorang Dalang yang
mumpuni harus mampu “menguasai alam keilahian. Peran seperti itu mirip dengan
yang disandang oleh para Ra Kawi dalam khazanah Kakawin Jawa Kuna, yang oleh
Zoetmulder disebut sebagai “Imam Magi Sastra”. Penguasaan alam Ilahiah bagi
manusia dalam alam kehidupan nyata, tidak semudah yang seringkali ditempuh oleh
para “titah” dalam dunia pewayangan sebagaimana dituturkan para Dalang dalam
pagelaran wayang mereka.

Pengantar Filsafat Jawa 31


Ketika para Dalang berusaha memperoleh daya-daya luwih untuk sampai
pada alam Ilahiah, mereka menetapkan diri mereka sebagai titah dalam jagad
pewayangan. Mereka menjalani semacam (atau berbagai macam) laku yang
dipersyaratkan; mereka pun menjalani tapa dengan tata cara tertentu.
Dalam desertasinya tentang Dalang dan wayang-wayangnya, Groendael
(1987) mengungkapkan bahwa dari ulah tapa, seorang Dalang akan memperoleh
kekuatan batin yang diperlukan, yang akan memberinya daya terhadap kekuatan
yang tidak kasat mata. Seorang Dalang yang menjadi informannya menjelaskan
bahwa ia telah menjalani laku tapa semenjak umur empat belas tahun. Laku-nya
antara lain: berpuasa, mutih (makan nasi tanpa lauk dan hanya minum air tawar, di
samping secara periodik membaca mantra-mantra, berendam di dalam air, baik di
sungai maupun sendhang; atau kadang diharuskan berjalan-jalan mengelilingi
desanya sebanyak tujuh kali menjelang matahari terbenam.
Dalang-dalang terkenal juga tidak pernah meninggalkan berbagai macam
laku yang dipercaya memberinya kekuatan pada saat ia belajar dan selama ia
menjadi dalang (Bakdi Sumanto (1988). Ada yang nglakoni laku neles (menjalani
laku tidur berhujan-hujan di halaman ketika datang musimnya), ada yang tapa
nganyep, yaitu jenis laku hanya makan nasi dingin dan air tawar saja, ada yang tapa
ngebleng, tidur dan masuk ke dalam kotak wayang selama beberapa hari, dsb.
Yang dilakukan para Dalang atau calon Dalang sebagaimana dikemukakan
itu, memang merupakan syarat yang mutlak harus dilakukan, jadi bukannya asal
melakukan tanpa alasan tertentu. Ketika mereka telah melangkahkan kaki untuk
menjadikan Dalang sebagai profesinya, meski baru dalam niat saja, mereka dituntut
keadaan untuk segera meleburkan diri ke dalam dunia wayang.
Tidak heran jika dikatakan bahwa para Dalang atau Calon Dalang
menempatkan mereka dalam alam pikiran mitis yang masih umum hidup di tengah
masyarakat luas (Bakdi Sumanto, 1988). Yang pantas dicatat, mereka melakukan
tatacara sebagaimana dilakukan para ksatria dalam dunia pewayangan yang tengah
nggayuh kemantapan ngelmu, tidak setiap saat mereka mampu membuka rahasia
atau misteri yang melingkari keberadaan mereka dalam kaitannya dengan “rahasia”
keberadaan mereka sebagai “jagad cilik” di hadapan semesta sebagai jagad gedhe-
nya. Dengan demikian tugas dan tanggung jawab Dalang terhadap wayang-
wayangnya, terhadap komunitas yang mendukungnya, serta lebih-lebih terhadap

Pengantar Filsafat Jawa 32


Sumber kekuatan “mutlak” yang sebagian kecil dapat dimilikinya, merupakan
sesuatu yang sangat berat.

B. Nilai Filosofik Wayang Purwa

1. Struktur Lakon
Pagelaran wayang, sebagaimana dapat disaksikan dewasa ini, memiliki
prototip sarana pentas dan kelengkapan musik yang sudah digunakan pada jaman
neo-litikum, meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Dengan mengutip
pandangan Brandes dan Hazeu (1887) dalam desertasinya, dapat dikemukakan
bahwa pertunjukkan wayang atau ‘bayang-bayang’ semacam itu, pada awalnya
merupakan kegiatan keagamaan, khususnya upacara magis-religius yang
dilaksanakan dalam rangka pemujaan roh leluhur yang dilaksanakan pada malam
hari. Sebagai kerangka cerita, dimanfaatkanlah cerita-cerita dari mitologi kuno yang
telah banyak dikenal di tengah masyarakat, antara lain berkaitan dengan kisah-kisah
kepahlawanan nenek moyang.
Dengan berkembangnya kebudayaan Hindu di Jawa, kerangka cerita yang
menjadi model kisah-kisah dunia pewayangan akhirnya dikembangkan dengan epos
Mahabharata dan Ramayana yang diadaptasikan dengan mitos setempat. Cerita-
cerita India yang telah diadaptasikan itu dituliskan kembali menjadi karya-karya
monumental Jawa Kuna semanjak abad IX-X, yang sebagian di antaranya menjadi
pakem pokok pagelaran wayang.
Kisah-kisah saduran itu diterima dengan baik di kalangan masyarakat Jawa,
dan menjadi kisah-kisah roman-dramatik yang sangat bernilai. Paduan dari nilai-nilai
kearifan India dan Jawa yang telah dikemas sedemikian rupa telah membentuk
sebuah kisah yang seolah-olah mampu menggabarkan kisah nyata manusia dalam
pergulatan antara idealisme dan kenyataan keseharian. Berbagai konfilk terus
menerus diketengahkan dan diarahkan pada suatu penyelesaian yang sarat dengan
nilai kebajikan dan kebijaksanaan.
Pergulatan berbagai nafsu ditonjolkan sebagai cermin sekaligus kritik
terhadap hidup dan kehidupan para tokohnya, pada akhirnya mengarah pada
tersusunnnya sebuah dasar kebijakan moral yang bijaksana dan penuh kearifan
manusia. Konflik-konflik abadi yang senantiasa bergulat di dalam diri manusia

Pengantar Filsafat Jawa 33


disusun dalam wawasan bahasa para pujangga, yang dalam perkembangannya
dipentaskan ke dalam lakon pagelaran wayang yang seolah benar-benar dilakukan
oleh manusia dalam hidup mereka sehari-hari.
Baeratus-ratus tahun pagelaran wayang telah sangat berperan dalam
kehidupan masyarakat pendukungnya. Sebagai ekspresi kebudayaan, drama ini telah
menyajikan butiran-butiran kata-kata bijak bagaikan mutiara yang sangat bermakna:
bukan saja untuk kepentingan peribadatan (metafisika), pengetahuan (saintika atau
epistemologis), pendidikan (etika), dan hiburan (estetika), tetapi juga bermanfaat
bagi bahan baku fantasi untuk bahan nyanyian, pencitraan atau lukisan estetis, serta
menyajikan bahan imaji yang puitis untuk petuah-petuah religius yang mampu
mempesona dan menggetarkan jiwa manusia yang menghayatinya (Sri Mulyono,
1982:12). Dalam konteks ini, wayang (purwa) adalah ekspresi budaya manusia yang
paling lengkap dan mendasar.
Bagi sebagian orang Jawa, wayang pada hakikatnya merupakan simbol yang
menjelaskan keberadaan atau eksistensi manusia dalam kaitan antara daya-daya
natural dan supranatural yang di dalamnya sangat sarat dengan nilai-nilai kehidupan.
Kaitan dua dunia antara tokoh-tokoh Pandawa dengan Kurawa, pihak-pihak Rama
dengan Rahwana, hakikatnya merupakan bias dari pandangan orang Jawa tentang
hubungan manusia dengan alam semesta, manusia dengan Sang Maha Pencipta,
antara manusia dengan sesamanya, hubungan antara dunia atas dengan dunia bawah,
tua dengan yang muda, laki-laki-perempuan, kiri dan kanan, dan bahkan antar
manusia dengan dirinya pribadi.
Dalam struktur lakon wayang purwa, tokoh-tokoh yang dimunculkan dan
saling berlaga dalam pentas pertunjukkan, hakikatnya merupakan manifestasi atau
pangejawantahan jiwa manusia. Satu sosok tokoh wayang, menyimpan sifat
dialektis dalam dirinya. Satu tokoh wayang, tidak jarang, tidak hanya menampilkan
satu sisi perwatakan saja, seperti lajimnya: tokoh yang satu dengan yang lain
memiliki watak yang saling berlainan. Dalam penokohan wayang, seringkali
dijumpai adanya pemilikan berbagai perwatakan yang dimiliki oleh satu tokoh
wayang tertentu.
Sebagai contoh digambarkan tokoh Bima atau Werkudara, yang ditampilkan
sebagai sosok manusia yang gagah, besar, dan terkesan kasar dalam bertingkah laku,
namun sekaligus ia adalah seorang yang sangat halus budinya. Ia digambarkan

Pengantar Filsafat Jawa 34


sebagai “kaku laksana pikulan, tetapi lemas bagaikan seutas tali”. Ia adalah seorang
Salik, seorang mistikus yang suka berasyik-masyuk mencari Tuhannya, namun
sekaligus ia adalah seorang senapati perang dan ksatria yang tak terkalahkan di setiap
medan pertempuran.
Bima, menurut Sri Mulyono (1982:22), dalam pakeliran pedalangan telah
dijadikan model atau pola seorang manusia teladan, manusia pilihan, bahkan karena
watak dan perilakunya, ia seringkali dijadikan tolok ukur bagi berbagai kalangan.
Dalam masyarakat kebudayaan Jawa, ia kerap dijadikan contoh dan pembanding
bagi kaum moralis, para prajurit, dan kaum pencari Tuhan. Apakah seseorang itu
sudah cukup berbakti sebagaimana kebaktian Bima, atau apakah seseorang sudah
“putus ing kawruh”, makrifat, sebagaimana kearifan Bima dalam memandang
hakikat kehidupan. Dalam konteks ini, muncullah papatah Jawa: “aja kesusu muluk,
yen durung melok, aja kesusu besus yen durung pecus” ‘janganlah manusia itu
tergesa-gesa melambungkan dirinya merasa seolah-olah dialah yang tertinggi
ilmunya, terpandai, apabila ia belum berhasil membuahkan karya yang berarti,
jangan pula tergesa-gesa berpenampilan yang berlebihan, atau suka menunjukkan
siapa dirinya, apabila sesungguhnya ia belum berisi’.
Arjuna dikenal sebagai seorang ksatria yang sangat tampan, namun
penampilannya sederhana, gerakannya halus, lemah lembut tutur katanya, sopan
santun perilakunya, namun pada saat yang sama ia sekaligus digambarkan sebagai
seorang yang sangat cekatan dalam olah senjata, berhati baja, dan pantang menyerah
di setiap perjuangannya, pantang mundur dan senantiasa memenangkan peperangan.
Watak dan sikapnya membuat semua orang mencintainya, para wanita, orang-orang
yang mengenalnya, bahkan oleh musuh-musuhnya sekalipun. Ia adalah penakluk
wanita, namun bukan seorang yang bermata keranjang. Pendek kata, Arjuna adalah
seorang teladan, sebagai ksatria, sebagai lelaki, sebagai pembela kebenaran, dan
sebagai pencari ilmu pengetahuan.
Kemudian sebagai contoh lain, dapat diambil tokoh Drona. Drona atau
Bagawan Kombayana, adalah guru utama Bima dan Arjuna. Sebagai seorang yang
berkedudukan di Sokalima, wilayah Hastina, Drona sering ditampilkan dalam
penampilan yang buruk, sebagaimana dalam tampilan wadagnya yang serba “rusak”.
Meskipun demikian, bagi beberapa pihak, justru keadaan lahiriah Drona itulah yang
hendak ditonjolkan bahwa sebagai seorang “guru”, Drona adalah guru yang mursyid,

Pengantar Filsafat Jawa 35


yang sebenarnya karena lebih mengedepankan aspek batin daripada aspek
lahiriahnya. Drona sudah “mungkur” dari aspek-aspek keduniawian.
Sebagaimana tokoh abiyasa, Drona dilukiskan dalam wayang purwa sebagai
wayang telah mengikat tangan kirinya. Bedanya, sebagai tokoh golongan “kiri”,
tangan kiri Drona terletak di depan, berbeda dengan Abiyasa yang sama-sama
mengikat tangan kirinya, namun sebagai tokoh golongan “kanan”, tangan kirinya
terletak di belakang. Tangan kanan wayang secara konvensional melambangkan
upaya perjuangan kebenaran, sementara tangan kiri merupakan simbol “laku ngiwa”,
artinya mengedepankan perbuatan-perbuatan dan nafsu jahatnya.
Penampilan Drona, di samping tangannya yang sudah “mati”, juga tampak
dari hidungnya yang bengkok, dan matanya yang menyempit (ngriyip), sebagai
lambang bahwa ia telah meninggalkan nafsu dan keinginan-keinginan duniawinya.
Penampilan Drona jauh berlainan dengan penampilan kebanyakan golongan
raksasa. Raksasa sering dilukiskan sebagai tokoh yang serba berlebihan. Gigi raksasa
dibuat rangah, besar, tajam, dan menyeramkan. Matanya melotot besar, hidung,
mulut, serta roman mukanya serba seram menakutkan. Tubuhnya besar dan
kasar.Kekasaran dan bentuk yang serba besar ini melambangkan watak yang serba
serakah, rakus, suka terbius nafsu amarah dan keinginan-keinginan duniawiah dan
serba tampak menyenangkan. Segala hal yang tampak di mata dan tercium enak,
itulah yang baik dan harus segera dikuasai. Segala hal ingin dimiliki dan
dikuasainya, dicengkeram dan dimakannya. Demikianlah gambaran tokoh raksasa
yang serba mengedepankan sisi lahiriah kehidupan. Kebanyakan tokoh “kiri” dalam
panggung wayang, juga dilukiskan dengan karakteristik semacam itu, dengan
berbagai variasinya, tentu saja.
2. Struktur Pagelaran Wayang Purwa
Berikut diuraikan struktur pagelaran wayang purwa, yang secara
konvensional diakui memiliki karakteristik filosofik tertentu, yang muncul dalam
serangkaian perlambang atau tampilan simbolik yang harus dicermati dan ditafsirkan
maknanya.
1. Pandhapi Suwung
Pandhapi suwung, tinengeran gunungan tumpuk ana tengah, minangka
pralambanging alam suwung sadurunge ana samubarang dadi, mung ana Pengeran
Jati.

Pengantar Filsafat Jawa 36


2. Gendhing patalon
Gendhing patalon pitung werna, minangka pralambanganging alam martabat:
a. Cucurbawuk, pralambanganging alam ahadiyah
b. Srikaton, “ “ wahdah
c. Pareanom, “ “ wahidiyah
Suksmailang “ “ arwah
d. Ayak-ayakan, “ “ amsal
e. Slepegan, “ “ ajsam
f. Sampak, “ “ insan
3. Dhodhoging Kothak
Dhodhoging kothak mawa cempala rambah kaping lima, minangka pratandha yen
pagelaran bakal kawiwitan, pralambang mudlah-ing Pangeran kang diparingake
marang Kanjeng Nabi Adam AS, awujud: nur, rahsa, ruh, nafsu, kalawan budi.
4. Gunungan
Kandhege obahing gunungan kalawan tinarik mudhun saka madyaning kelir
rambah kaping telu, minangka pralambang tumuring zat, sipat, asma, kalawan
Af’al-E Gusti Allah marang titah (Nabi Adam AS), ganep telung tataran:
a. Pambukane ‘tata malige’ sajroning Bait Al-Makmur; awujud malige
karamening Gusti ana sajroning mustakane Nabi Adam kang linimputan Gusti
Allah SWT.
b. Pambukaning Tata Malige sajroning bait Al-Mukharam; awujud laranganing-
Gusti sajrone dhadhane Nabi Adam kang kalimputan dening Gusti Allah SWT.
c. Pambukane Tata Malige sajroning Bait Al-Muqadas, awujud malige
kasucening Gusti, ana sajrone cupu manike Kanjeng Nabi adam AS kang uga
kalimputan Gusti Allah SWT.
Obahing gunungan mangisor lan kandhek rambah kaping telu ana mustaka,
dhadha, kalawan cupu manik (wohing dzakar) mau uga ateges tumuruning cipta,
rasa, dalah karsaning tumitah.
5. Pecahing Kandhaga
Tumuruning gunungan karo, banjur diselehake ana bun-bunaning Ki Dhalang,
dikantheni ujar paseksen (mantra/donga) shahadat-jati. Gunungan karo banjur
dipisah, siji diselehake ana sisih tengen, liyane diselehake sisih kiwa. Pisahing

Pengantar Filsafat Jawa 37


gunungan karo mau mujudake pralambang pecahing kandhaga, utawa bungkusing
jabang bayi (selaput plasenta).
6. Abdi Parekan Kembar
Metune abdi parekan wanita kembar loro cacahe, minangka pralambang metune
banyu kawah kang ngiring laire titah ing dunya
7. Ratu sineba
Metune Ratu ana pasewakan agung, minangka pralambang lairing jabang bayi ana
satengahing jagad gumelar.
8. Sinewakan
Metune para rayine Sang Prabu dalah para andhahane minangka pralambang metune
ari-ari kang tut buri kalairane titah kabeh.
9. Gayutane Jagad cilik lawan jagad gedhe. Wiwit metune para paraga wayang ana
satengah-tengahing jagad pakeliran kang jirung dening suluk, tembang, dalah
karawitan, ujudake pralambanging jagad cilik kang awujud titah (manungsa) lan
jagad gedhe awujud jagad gumelar (alam semesta).
10. Perang-peranganing (peprincening) episode sajroning pagelaran, bisa
kawancah dadi telung bageyan, yaiku:
a. Pathet nem (udakara jam 09.00-12.00)
b. Pathet sanga (udakara jam 12.00-03.00)
c. Pathet manyura (udakara jam 03.00-05.30)
11. Episode kapisan, kang kalebu golonganing jejeran pathet nem, mujudake
pralambang tumrap manungsa kang durung diwasa. Episode kang diwiwiti kanthi
tanceping gunungan (kayon) miring mangiwa iki, bisa kawancah maneh dadi
pirang-pirang jejeran, kayata:
a. Jejeran ing Paseban agung (ratu sineba dalah sinewakan kaya kang kasebut
ing angka 7-8) , ‘kedhaton’, sarta jejeran ‘sanggar pamujan’; minangka
pralambang mangsakalane manungsa lair ing donya, tinampenan ibu
pamomong, sarta panggulawenthah amrih cecaketan marang Gustine.
b. Paseban njawi, pralambang mangsa kalane manungsa wiwit nyumurupi
padhanging hawa ana sakjabaning bale somah.
c. Jaranan, minangka pralambang mangsa kalane si ‘bocah lagi seneng
dedolanan, nguja kekarepan, lan nengenake kasukane pribadi.

Pengantar Filsafat Jawa 38


d. Perang ampyak, mujudake pralambange bocah kang wus wiwit ngancik
diwasa, wiwit ngadhepi sakehing rubeda, ananging isih bisa mrantasi kanthi
becik.
e. Sabrangan, utawa jejeran ana sabrang, mujudake pralambang nalika mangsa
kalane anaking manungsa mau wis ngancik ana ing alam kadiwasan; nanging
durung bisa mbedakake bener lan luput, seneng nguja hawa nepsu lan
angkara murka; mula tansah nengenake butuhe pribadi.
f. Perang gagal, kang mujudake jejeran pungkasan ing episode patet nem.
Perangan iki minangka pralambang nalikane manungsa wis nduweni
gegayuhan tartamtu, ananging durung tetep, madhep, lan mantep anggone
ngupaya kasiling gegayuhan mau.
12. Episode pathet sanga, kang kawiwitan kanthi tumanceping gunungan (kayon)
jejeg ana satengahinh kelir, kaya ing wiwitaning pagelaran. Ana ing periode iki,
gunungan kang tumancep ing tengah-tengahing pakeliran (pancering jagad)
banjur dibedhol ngeget, sarta dilakokake kanthi solah tartamtu kang nuduhake
getering jagad awit saka solah bawaning manungsa kang ora pener, lan bakal
ana owah-owahan kang ora baen-baen. Episode iki bisa kawancah dadi telung
jejeran, mangkene:
a. Bambangan (kang kawiwitan kalakoning gara-gara), jejerane satriya kang
ngadhep sawijining bagawan utawa Pandhita. Minangka pralambang
mangsakalane manungsa kanthi temen nyoba maguru utawa ngangsu kawruh
kanggo sangu ing tembe buri.
b. Perang kembang, yaiku jejeran nalika sang sinatriya maju perang ngadhepi
buta (yaksa) cacah papat, yaiku: Buta Cakil, Rambut-geni, Pragalba, lan Kala
Baliuk kang dadi pralambang nalikane manungsa kang wis kasil nggeguru
banjur ngadhepi coban saka napsu papat cacahe, yaiku: sufiah, aluwamah,
amarah, sarta mulhimah.
c. Sintren, yaiku satriya kang ngaso lan diadhepi dening punakawan sarta
sintren sawise ngrampungi para yaksa kang dadi pepalangiing lakune.
Perangan iki mujudake pralambang nalika manungsa wis wiwit mantep
sajrone ngupaya kasiling gegayuhan, lan cancut taliwanda saperlu siyaga
angrampungi pakaryan wajib: nggayuh kautaman, netepi darmane dhewe-
dhewe.

Pengantar Filsafat Jawa 39


13. Pathet manyura, kang kawiwitan kanthi tumanceping gunungan (kayon)
miring menengen. Perangan ana episode iki bisa kawancah dadi telung
jejeran, yaiku:
a. Jejer manyura, yaiku nalikane para paraganing wayang wis madhep mantep
marang gegayuhane dhewe-dhewe, kabeh padha ngupaya kasiling gegayuhan
mau, kang tundhane nuwuhake gendra. Iki minangka pralambang nalika
manungsa sajrone bebrayan agung padha ngupaya butuhe dhewe kang bisa
njalari crah siji lan sijine.
b. Perang brubuh, perange kabeh paraga kang ngugemi gegayuhane dhewe.
Pralambang kahanane manungsa ing alam gumelar kang padha silih ungkih,
salang-tunjang, rebut butuh, ngupaya gegayuhane dhewe-dhewe.
c. Tayungan lan tancep kayon. Jejeran sawise cetha sapa sing bener lan endi
sing luput. Pralambang tumrap manungsa nalikane bisa ngundhuh wohing
pakarti.
d. Joged golek, jogede golekan kayu.

3. Penutup
Demikianlah, sebagai penutup pembahasan tentang wayang dapat
dikemukakan bahwa bagi sebagian masyarakat Jawa, wayang hakikatnya merupakan
bahasa simbol dari keseluruhan hidup dan kehidupan masyarakat, pada awalnya
yang lebih bersifat rohani daripada fungsinya sebagai hiburan yang memuaskan sisi
indrawi manusia. Wayang hakikatnya lebih merupakan tuntunan yang harus
dicermati dan dihayati daripada tontonan yang sekedar dapat dinikmati. Dalam
monteks ini dapat dikemukakan bahwa meskipun wayang (purwa) benar-benar
mengambil epik India sebagai kerangka dasarnya, namun dalam bentuk
“kejawaannya” dapat dianggap sebagai ciptaan kreatif para pujangga dan ahli pikir
Jawa (atau Indonesia) yang berasal dari pencerapan intelektual dan penghayatan
rohani yang demikian tinggi nilainya.
Dalam konteks ini pula, dapat dikemukakan pandangan Rassers (1991) yang
antara lain mengungkapkan bahwa Wayang merupakan sebuah dunia yang demikian
luas, rumit, berumur sangat tua, dan memerlukan perenungan yang sangat dalam.
Wayang bukan semata-mata karya adaptasi India, karena di dalamnya banyak sekali
unsur yang tidak diketemukan di India sendiri. Dalam pengertian ini, Brandes dan

Pengantar Filsafat Jawa 40


Hazeu (1887) menambahkan bahwa: pengoperan dari India adalah sangat tidak
mungkin, karena pertunjukan (wayang) di India sangat berlainan.
Berikut pandangan Hidding (1831:624) tentang dunia wayang (purwa) yang
telah diterjemahkan oleh Sri Mulyono (1982:152-153) yang antara lain terungkap
demikian.
“Di dalam wayang, saya melihat segala kejadian di alam semesta ini
tergambarkan, yang dapat terungkapkan dalam berbagai macam cara,
namun yang selalu mengandung satu buah pikiran yang tunggal, yaitu
dari alam kematian akan bangkit atau dibangkitkan kembali
(sebagaimana -pen.) kehidupan ini …………………. Arti magis
religius wayang, menurut pendapat saya, harus berada pada
diresapkannya pengertian kepada para penontonnya mengenai rahasia
kehidupan di dunia, karena dalam pertunjukkan wayang, mereka
diajak untuk mengikuti perlawanan dalam alam semesta dan
memenangkannya, perkawinan para tokohnya, bumi dan langit,
ketenteraman dan keraharjan, yang membuat ketertiban dan kedamaian
dunia menjadi terjamin,…… yang membuat mereka ikut merasakan
kebahagiaan itu. Dengan demikian kehidupan dan daya hidup mereka
menjadi berkembang dan meningkat” i

Pendek kata, bagi (sebagian) masyarakat Jawa, pagelaran wayang (purwa)


adalah sebuah pagelaran (kembali) kehidupan yang harus ditafsirkan maknanya.
Orang menyaksikan wayang sebagaimana mereka melihat sebuah cermin. Dalam
sebuah pagelaran wayang, yang disaksikan bukan semata-mata pertunjukan wayang
itu sendiri, melainkan sesuatu yang tersirat dalam lakon wayang itu. Dengan
demikian dipahami bahwa secara konvensional, pagelaran wayang benar-benar
merupakan seni kreatif yang harus dipahami, dihayati, dan lebih baik lagi apabila
nilai-nilainya yang masih relevan dapat diwujudkankan dalam kehidupan sehari-
hari; bukan sekedar disaksikan untuk kepuasan sekilas saja. Wayang adalah juga
tuntunan di damping tontonan. Begitulah.

Pengantar Filsafat Jawa 41


i
Dr. K.A.H. Hidding dalam tulisannya: Tijschrift voor Indische Taal Landen Volkenkunde. Majalah Pengetahuan
tentang Bahasa, negara, dan Rakyat Hindia-belanda. Tahun 1931 jilid LXXI, terbitan ke-3 dan ke-4, halaman 624.

Anda mungkin juga menyukai