Anda di halaman 1dari 7

Pendahuluan

Filsafat Islam dimulai sejak abad 7 Masehi atau wafatnya Rasulullah SAW. Pada masa itu orang-
orang Islam berijtihad mencari jalan keluar atas masalah agama, sosial, politik, dll melalui teks
agama dan berfikir mendalam. Masuknya filsafat Yunani ke dalam kebudayaan Islam
berpengaruh terhadap kemajuan pemikiran umat Islam di zaman kekhalifahan Abbasyiah.
Filsafat bisa bersatu dengan Islam melalui jasa ulama al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, dll.
Sehingga menghasilkan filsafat Islam. Filsafat Islam adalah hasil pemikiran filsuf muslim
tentang ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu atutran
pemikiran yang logis dan sistematis. Dalam perjalanannya filsafat Islam mengalami
perkembangan sehingga terbentuklah tiga aliran besar filsafat yang akan dibahas di makalah ini.
Aliran-Aliran dalam Filsafat Islam

1. Aliran Paripatelik (Aristotelian)


Istilah Parispatelik jika diubah menjadi bahasa Arab menjadi masya’un yang artinya
“ia yang berjalan dan memutar dan berkeliling”. Paripatelik merujuk pada kebiasaan
Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan filsafat.
Beberapa filsuf Muslim yang yang dikategorikan dalam aliran ini, yaitu al-Kindi, al-Farabi,
dan Ibnu Sina, Ibnu Rusd dan Nashir al-Din Thusi.

Menurut Mulyadhi, paripatelik dalam kaitannya dengan filsafat Islam dikenali


dalam beberapa hal berikut.

a. Modus ekspresi atau penjelasan para filosof peripatetik bersifat sangat diskursif (bahtsi),
yaitu menggunakan logika formal yang didasarkan pada penalaran akal. Prosedur penalar
an mereka adalah “silogisme”, yakni metode penarikan kesimpulan dari pengetahuan yan
g telah diketahui dengan baik, yang tersusun dari premis mayor dan minor, yang kemudia
n menghasilkan term yang mengantarai dua premis tersebut dan disebut “middle term” at
au al-hadd al-awsath;1
b. Karena sifatnya yang diskursif, filsafat ini menangkap objeknya dengan menggunakan si
mbol, baik berupa kata-kata atau konsep maupun representasi. Langkah pengetahuan ini
diperoleh secara tidak langsung melalui perantara, atau yang disebut dengan “indifferensi
al” dan biasanya dikontraskan dengan modus pengenalan lain yang disebut ilmu hudhuri
(knowledge by presence) yang menangkap objeknya secara langsung melalui kehadiran;2

c. Ciri lain dari filsafat Peripatetik dari sudut metodologis ini adalah penekanan yang sangat
kuat pada daya-daya rasio sehingga kurang memprioritasakan pengenalan intuitif. Akibat
penekanan yang terlalu tinggi pada daya-daya akliah, pembahasan mereka seringkali dika
takan tidak memperoleh pengetahuan yang otentik pengalaman hasil olah spiritual/ misti
k. Namun, itu tidak berarti mereka menafikan keberadaan daya-daya spiritual yang dipro
duksi dari intuisi suci. Mereka meyakini bahwa proses intuisi suci merupakan kemampua
n yang hanya dimiliki Nabi atau wali. Sehingga proses pencarian dan pencapaian kebenar
an yang dilakukan oleh selain Nabi dan wali adalah dengan melatih rasionalitas fikir.3

Aliran ini barangkali pantas disebut sebagai wakil dari rasionalis Islam. Contoh nyata ali
ran ‘peripatetik” ini misalnya dalam ajaran mereka yang biasa disebut hylomorfisme, yaitu ajara
n yang menyatakan bahwa apa pun yang ada di dunia ini terdiri atas dua unsur utamanya itu mate

1
Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Lentera Hati, 2006),

hal. 20
2
Ibid, hlm 21
3
Ibid, hlm 222
ri (hyle/ al-hayula) dan bentuk (morphis/ shurah). Dalam sejarah filsafat, ajaran ini dirumuskan d
engan jelas oleh Aristoteles, sebagai hasil reformasi terhadap ajaran gurunya Plato, yang mengat
akan bahwa apa pun yang ada di dunia ini tidak lain adalah bayang-bayang dari ide-ide yang ada
di dunia. Yang kemudian biasa disebut dengan ide-ide Plato (platonic ideas). Ide-ide ini kemudia
n diformulasikan Aristoteles sebagai bentuk, dan bayang-bayangnya sebagai materi. Tetapi bentu
k disini tidak dimaksudkan sebagai sebuah wujud materi melainkan semacam esensi (hakikat), d
an materi adalah bahan mati yang tidak akan memiliki wujudnya jika tidak diisi oleh esensi dan d
iberi bentuk.
Di dunia Islam, al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd memiliki pandangan hylo
morfis ini. Indikasi terkuat dari pengembangan makna hylomorfis ini misalnya pada penyebutan
akal aktif (al-‘aql al-fa’al) oleh Ibnu Sina dan al-Farabi sebagai pemberi bentuk (wahib al- shuwa
r). Di sisi lain, materi atau bahan disebut dengan mumkin al- wujud, yaitu kemungkinan atau pot
ensi dari sesuatu untuk mewujud, namun belum lagi mewujud. Untuk menjadikan potensi-potens
i ini mewujud maka perlu ditambahkan bagi materi itu -mumkin al-wujud- bentuk. Setelah pengg
abungan tersebut, materi tersebut telah memiliki wujud atau menjadi nyata, ada dan berbentuk se
bagaimana yang dapat dilihat oleh kita. Perubahan arah prosedural dari “bahan" atau mumkinul
wujud inilah yang menjadi letak perbedaan antara filsafat Yunani dan Islam.
Meski diakui perubahan ini hanya memberikan sedikit “informasi" dari ajaran Islam, nam
un sebagai sebuah ijtihad awal dari pembacaan kritis terhadap filsafat Yunani ini sudah sangat da
pat dan berhak mendapatkan apresiasi. Sebagai gambaran adalah reinterpretasi filosof muslim ter
hadap teori emanasi sebagai gambaran perubahan dari “nihilo” menjadi “wujud". Menarik karen
a akal aktif diidentikkan dengan malaikat jibril, sebelum kemudian memikirkan dirinya sendiri d
an berubah menjadi aktualisasi akal manusia. Identifikasi malaikat inilah merupakan pengaruh Is
lam dalam filsafat Yunani, karena Yunani tidak mengenal identitas malaikat. Meski teori emanas
i merupakan ide Plotinus, namun al-Farabi dan Ibnu Sinalah yang memperjelas proses dan perjal
anan emanasi tersebut sampai kemudian berwujud pada manusia. Perlu diketahui, Aristoteles tid
ak menjelaskan bagaimana proses perubahan dan pemberian bentuk dari esensi pada materi, dan
Plotinus tidak merinci bagaimana emanasi memunculkan ragam materi yang sangat banyak ini.
Apalagi saat itu terdapat diktum filosofis telah diterima secara umum, yang menyatakan bahwa d
ari yang satu akan muncul yang satu juga

2) Aliran lluminasionis (isyraqi) Aliran lluminasionis didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi al-
Maqtul (w. 1911), ide-idenya mengenai illuminasionis dituangkan dalam Kitab Hikmah al-
lsyraq. Berbeda dengan peripatetik, yang lebih menekankan penalaran rasional sebagai metode
berfikir dan pencari kebenaran, filsafat llluminasionis mencoba memberikan tempat yang
penting bagi metode intuitif, sebagai pendamping atau malah menjadi dasar bagi penalaran
rasional. Suhrawardi pernah mengklasifikasi pencari kebenaran dalam tiga kelompok:

a. Mereka yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam seperti para sufi tetapi tidak

mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan pengalamannya itu secara diskursif;

b. Mereka yang memiliki kecakapan; nalar diskursif, tetapi tidak memiliki pengalamana mistik
yang cukup mendalam dan;

c. Mereka yang disamping memiliki pengalaman mistik yang mendalam dan otentik, juga
memiliki kemampuan nalar dan bahasa diskursif. Pengalaman mistik diterangkan Suhrawardi
sebagai sebuah pengalaman langsung melihat realitas sejati, itu sebabnya illuminasionis
memiliki modus pengenalan yang disebut dengan “ilmu hudhuri" lawan dari peripatetik yang
merupakan pengenalan melalui simbol-simbol yang tampak. Arti penting pengalaman mistik
bagi seorang pencari kebenaran adalah pengetahuan sejati, karena untuk mengetahun
kebenaran yang nilainya sangat “absurd” ini, diperlukan tidak hanya akal tapi juga sense, atau
yang dalam bahasa Sindhunata dikutip Haidar Baghir dengan rahsa. Dari sintesa mistik dan
'aqli inilah, Suhrawardi kemudian menjelaskan konsep metafisika cahaya. Bagi Suhrawardi,
Tuhan adalah cahaya, sebagai satu-satunya realitas yang sejati. Ketika dihubungkan dengan
cahaya-cahaya lain, Tuhan adalah Cahaya di atas cahaya (Nur al-Anwar), la adalah sumber
cahaya, dari mana semua cahaya lainnya berasal atau memancar. Menurutnya, segala sesuatu
yang ada di dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Tetapi, hanya cahaya yang memiliki
wujud positif, dan kegelapan adalah negatif, dalam arti tidak memiliki realitas objektif.
Kegelapan ada sebagai konsekuensi dari ketiadaan cahaya, maka ketika cahaya datang
kegelapan telah sirna. Bagi Suhrawardi benda-benda tidak memiliki definisi atau kategori yang
tegas, ini jelas berbeda dari apa yang disampaikan kaum peripatetik, yang beranggapan bahwa
bentuk benda merupakan kategorik. Artinya, benda bagi peripatetik adalah wujud yang tetap
tetapi bagi illuminasionis benda-benda bersifat relatif. Karena pandangannya ini,
illuminasionis memberikan penekanan lebih pada esensi dan tidak pada bentuk berwujud. Jika
Ibnu Sina meyakini wujud yang real melalui bentuk yang terlihat dan nyata, bagi Suhrawardi,
esensilah yang real, sedangkan wujud tidak memiliki hubungan realistik dengan realitas.

3) Aliran Mu’tazilah

Mu’tazilah adalah salah satu pelopor aliran kalam rasionalistis. Sejarah muncuknya
mu’tazilah terdapat beragam versi, namun yang akan penulis hanya akan sampaikan satu versi
saja yang paling populer. Al-Baghdadi (w.409 H) menyatakan bahwa Washil bin Atha (w.131 H)
serta temannya Amr bin Bab diusir oleh hasan Al-Basri (30-110 H) dari majelisnya karena ada
pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya
berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar berada diantara dua kedudukan yaitu
anatara mukmin dan kafir.4

Mu’tazilah masuk dalam aliran filsafat Islam karena banyak memberikan porsi kepada akal
dalam menguatkan penjelasan tentang Tuhan. Hal ini tercakup dalam lima ajaran dasar teologi
Mu’tazilah (al-ushul al khamsah) berikut ajarannya.

a. At-tauhid (pengesaan Tuhan)

At-tauhid merupakan inti sari dan prinsip utama ajaran Mu’tazilah. Tauhid menurut mereka
bahwa Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya.
Tuhan satu-satunya yang Esa, yang unik, dan tidak ada yang menyamainya. Untuk memurnikan

4
keesaan Allah, Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat. Agaknya konsep
peniadaan sifat Tuhan ini (nafs ash-shifat) mengambil pendapat dari Aristoteles, memang tidak
dipungkiri bahwa aliran ini telah terkena pengaruh filsafat Yunani. Akan tetapi, hal itu tidak
menjadikan mereka sebagai pengikut buta hellenisme. Mereka berusaha dengan keras untuk
menjadikan pemikiran hellenisme ini dijadikan senjata mematikan terhadap serangan para
penentangnya.

b. Al-Adl

Ajaran Mu’tazilah yang ke dua adalah al-adl yang berarti Tuhan Maha Adil, keadilan
Tuhan terjadi karena Dia Maha sempurna. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-
benar adil menurut sudut pandang manusia. Hal ini karena alam semesta diciptakan untuk
kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik(ash-ashalah dan
terbaik(al-ashlah), dan bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan adil apabila tidak melanggar
janji-Ny. Dengan demikian Tuhan terikat dengan janji-Nya.

1. Perbuatan Manusia

Menurut golongan Mu’tazilah manusia bebas melakukan perbuatannya sendiri terlepas dari
kehendak dan kekuasaan Allah, baik secara langsung maupun tidak atau dikenal dengan istilah
free act and free will. Akan tetapi Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan
yang buruk.

2. Berbuat baik dan terbaik

Maksut dari konsep ini adalah Tuhan tidak dapat berbuat jahat karena Tuhan bersifat adil.
Maksutnya adalah kewajiban Tuhan untuk berperilaku baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan
tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan bahwa Tuhan penjahat dan
penganiaya, suatu yang tidak layak bagi Tuhan.

3. Mengutus Rasul

Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan kepada manusia karena
alasan 1) Tuhan wajib berlaku baik kepada semua manusia 2) al-Qur’an secara tegas menyatakan
bahwa kewajiban Tuhan untuk berbelas kasihan kepada manusia. 3) Mengutus Rasul agar
manusia beribadah kepadanya.

C. Al-Wa’d wa Al-Wa’id
Ajaran yang keempat ini erat hubungannya dengan ajaran yang kedua di atas. Al-Wa’d wa Al-
Wa’id berarti janji dan ancaman. Menurut Mu’tazilah, Tuhan yang mahaadil dan Mahabijaksana
tidak akan melanggar janji-janji-Nya. Tuhan berjanji untuk memberi pahala masuk surga bagi
orang yang berbuat baik dan mengancam dengan siksaan neraka atas orang yang durhaka.
Begitupula janji Tuhhan akan memberikan ampunan kepada orang yang bertaubat nasuha.

D. Al-Manzilah Bain Manzilatain


Washil bin Atha’ berpendapat bahwa kedudukan orang muslim yang melakukan dosa besar
berada diantara kafir dan mukmin, lebih tepatnya keududukan fasiq. Orang fasik kalau belum
bertaubat sampai akhir hayatnya maka akan disiksa di neraka sebagai pengampunan dosa,
selanjutnya akan dimasukan ke surga.

E. Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy’an Munkar

Ajaran yang terakhir adalah menyuruh ,ebajikan dan melarang kemungkaran. Ajaran ini
menekankan keberpihakan pada kebenaran dan kebaikan. Konsekuensi logis dari keimanan
manusia. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantarannya dengan
menyuruh orang berbuat baik da mencegahnya dari kejahatan.

Daftar Pustaka
Gholib, Achmad. 2009. Filsafat Islam. Pamualang:Faza Media

Mulyadhi Kartanegara. 2006. Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar Flsafat Islam.


Jakarta: Lentera Hati

Anda mungkin juga menyukai