Anda di halaman 1dari 28

FILOSOFI JAWA DALAM TRADISI ZIARAH DAN LABUHAN

DI CEPURI PARANGKUSUMO

Mata Kuliah Filsafat Jawa

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd.

Disusun Oleh :

1. Gardhika Adrian Eka Laksa (1720


2. Immanuel Ardiatama (18205241037)
3. Naufal Manggala Wicaksana (18205241040)
4. Rizki Widya Savitri (18205241055)

KELAS B

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAERAH

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang bangsa yang besar dengan
berbagai keragaman, baik dari suku, ras, dan agama, maupun budaya yang
tersebar di penjuru nusantara. Sebagai masyarakat yang tinggal di pulau Jawa
khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, dapat kita jumpai berbagai
budaya yang masih dilestarikan sampai sekarang. Berbagai budaya dan tradisi
tersebut dapat dikaji dalam sudut pandang kefilsafatan.
Nilai filsafat yang terkandung dalam suatu budaya terdiri dari berbagai
macam. Diantaranya seperti yang tertulis dalam buku Filsafat Jawa oleh Prof.
Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd (2013 : 67-89) disebutkan bahwa dasar-dasar
filsafat Jawa diantaranya Metafisika, Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.
Nilai-nilai filsafat ini tidak lepas dari unsur kepercayaan yang dianut oleh
suatu masyarakat di daerah tersebut.
Dalam tugas observasi ini, kami mengangkat budaya yang masih
dilestarikan oleh masyarakat di obyek Cepuri Parangkusumo. Cepuri
Parangkusumo dipercaya merupakan tempat yang sakral, bersejarah dan
memiliki daya magis yang tinggi sehingga hingga saat ini tradisi tersebut
masih terus dilakukan. Budaya yang kami bahas adalah tradisi ziarah di
petilasan dan upacara labuhan di pantai Parangkusumo, Kretek, Bantul,
Yogyakarta. Menurut keterangan warga sekitar Cepuri, banyak pengunjung
yang dating dari berbagai daerah untuk melakukan ziarah di tempat ini.
Beberapa pengunjung bahkan sampai bermalam untuk menanti hari ziarah
yang tepat. Menurut kami, budaya ziarah dan labuhan yang dilakukan oleh
masyarakat dari seluruh pelosok nusantara ini sangat kental dengan filsafat
Jawa yang masih dipercaya masyarakat Yogyakarta, khususnya pada
masyarakat di sekitar Cepuri Parangkusumo. Kemudian, kami memilih
masyarakat Cepuri dan budaya yang masih dilestarikan sebagai objek dari
observasi kelompok kami. Dalam melakukan observasi kami juga melakukan
wawancara dengan juru kunci Cepuri, Mbah Tris, dan pengunjung yang
datang dari berbagai daerah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah petilasan Cepuri Parangkusumo ?
2. Bagaimana prosesi ziarah dan upacara labuhan berlangsung?
3. Mengapa masyarakat mempercayai daya magis dari Cepuri Parangkusumo
?
4. Nilai-nilai kefilsafatan apa saja yang terkandung dalam prosesi ziarah di
petilasan dan upacara labuhan?

C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah petilasan Cepuri Parangkusumo
2. Mengetahui prosesi yang dilakukan dalam ziarah dan upacara labuhan.
3. Mengetahui hubungan antara sejarah, nilai-nilai kebudayaan jawa dan
kepercayaan masyarakat terhadap daya magis Cepuri Parangkusumo.
4. Mengetahui nilai-nilai kefilsafatan yang ada dalam ziarah di petilasan
Cepuri dan dalam upacara labuhan.

D. Manfaat
1. Menambah pengetahuan mengenai budaya daerah, khususnya tentang
ziarah di petilasan Cepuri dan upacara labuhan.
2. Mengetahui berbagai nilai budaya yang ada dalam ziarah di petilasan
Cepuri dan upacara labuhan.
3. Mengetahui nilai-nilai kefilsafatan yang terkandung dalam ziarah di
petilasan Cepuri dan upacara labuhan.
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Filsafat

Filsafat berusaha menyusun suatu bagan konsepsional yang memadai


untuk dunia tempat kita hidup ,aupun untuk diri kita sendiri. Ilmu
menjelaskan tentang kenyataan empiris yang dialami, filsafat berusaha untuk
memperoleh penjelasan mengenai ilmu dan yang lebih luas dari ilmu itu
sendiri. Filsafat berusaha memberi penjelasan tentang dunia seluruhnya,
termasuk dirinya sendiri. Dalam sudut pandang ini, filsafat mencari kebenaran
tentang segala sesuatu dan kebenaran ini harus dinyatakan dalam bentuk yang
paling umum. Kattsoff (2004:12-13).
Filsafat menjadi suatu “Ajaran Hidup”. Orang mengharapkan dari
filsafat dasar-dasar ilmiah yang dibutuhkan untuk hidup. Filsafat diharapkan
memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana kita harus hidup untuk menjadi
manusia yang sempurna, yang baik, yang susila, dan bahagia. Jadi, tidak
hanya ilmu yang teoritis saja, melainkan yang praktis juga, artinya yang
mencoba menyusun aturan-aturan yangharus dituruti agar hidup kita
mendapat isi dan niai. Dan ini sesuai dengan arti “filsafat”sebagai usaha
mencari kebijaksanaan yang meliputi baik pengetahun (insight) maupun sikap
hidup yang benar-benar, yang sesuai denga pengetahuan itu. Driyarkara
(2006:2012).
Philosophy-Filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia. Istilah
Yunani philein=”Mencintai”, sedangkan philos= “teman”. Istilah Sophos =
“bijaksana”, dan Shopia = “kebijak-sanaan”. Apabila istilah filsafat mengacu
pada asal kata philen dan Sophos, maka berarti “mencintai sifat bijaksana”
(bijaksana sebagai kata sifat). Apabila filsafat mengacu pada asal kata Philos
dan Sophia, maka berarti “teman kebijaksanaan” (kebijaksanaan sebagai
benda). Mudhofir(2001:277).
B. Hakikat Filsafat Jawa

Masyarakat Cepuri Parangkusumo serta tradisi yang masih


dipertahankan hingga kini merupakan bagian dari kebudayaan Jawa. Dalam
kehidupan masyarakatnya terdapat unsur-unsur kebudayaan yaitu : (1) bahasa,
(2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan
teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, dan (7)
kesenian (Koentjaraningrat, 1979:218). Kebudayaan Jawa didasarkan atas
peta kewilayahan yang meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau
Jawa, dengan pusat kebudayaan wilayah bekas kerajaaan Mataram sebelum
terpecah pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan Surakarta (Kodiran dalam
Koentjaraningrat, 2007: 329).

Ciptoprawiro (1986: 11) berdasarkan definisi bahwa “filsafat diartikan


suatu pencarian dengan kekuatan sendiri tentang hakikat segala wujud
(fenomena), yang bersifat mendalam dan mendasar”, apa yang ada dalam
banyak perenungan di Jawa yaitu suatu usaha untuk mengartikan hidup
dengan segala pangejawantahannya, manusia dengan tujuan akhirnya,
hubungan yang nampak dengan yang gaib, yang silih berganti dengan yang
abadi, tempat manusia dalam alam semesta, adalah merupakan pemikiran
filsafat.

Ciptoprawiro (1986:12) lebih lanjut menyatakan bahwa ungkapan-


ungkapan, renungan-renungan filsafat Jawa merupakan sarana untuk
mencapai kesempurnaan, suatu langkah ke jalan menuju kelepasan atau
bahkan mencapainya, satu-satunya jalan bagi manusia untuk sampai kepada
tujuan akhirnya. Pengetahuan (filsafat) senantiasa hanya merupakan sarana
untuk mencapai kesempurnaan, dapatlah dirumuskan bahwa di Jawa, filsafat
berarti cinta kesempurnaan (the love of perfection). Filsafat Jawa juga dapat
dikatakan ngudi kasampurnan (berusaha mencari kesempurnaan).
Filsafat Jawa menurut Kusbandriyo (2007:13) dimaknai sebagai
filsafat yang menekankan pentingnya kesempurnaan hidup. Manusia berfikir
dan merenungi dirinya dalam rangka menemukan integritas dirinya dalam
kaitan dengan Tuhan. Dimensi ini adalah karakteristik yang dominan dan
tidak dapat dilepaskan dengan kecenderungan hidup manusia Jawa.
Pemikiran-pemikiran Jawa merupakan suatu usaha untuk mencapai
kesempurnaan hidup, oleh karena itu intuisi memegang peranan penting.

Filsafat Jawa, sebagaimana dikemukakan oleh Zoetmulder (melalui


Kusbandriyo, 2007:13) mengandung pengetahuan filsafat yang senantiasa
merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan. Berfilsafat dalam
kebudayaan Jawa berarti ngudi kasampurnan. Manusia mencurahkan seluruh
eksistensinya, baik jasmani maupun rohani untuk mencapai tujuan itu.
Eksistensi manusia diasumsikan sebagai kenyataan, dari kenyataan itu
dipertanyakan dari mana asalnya, ke mana tujuannya.

C. Pengertian Masyarakat
Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal
dari kata Latin socius yang berarti (kawan). Istilah masyarakat berasal dari
kata bahasa Arab syaraka yang berarti (ikut serta dan berpartisipasi).
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah
ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai
prasarana melalui warga-warganya dapat saling berinteraksi. Definisi lain,
masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu
rasa identitas bersama. Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat yang
memiliki keempat ciri yaitu: 1) Interaksi antar warga-warganya, 2). Adat
istiadat, 3) Kontinuitas waktu, 4) Rasa identitas kuat yang mengikat semua
warga (Koentjaraningrat, 2009: 115-118).
Semua warga masyarakat merupakan manusia yang hidup
bersama,hidup bersama dapat diartikan sama dengan hidup dalam suatu
tatanan pergaulan dan keadaan ini akan tercipta apabila manusia melakukan
hubungan, Mac lver dan Page (dalam Soerjono Soekanto 2006: 22),
memaparkan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan, tata cara,
dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok, penggolongan, dan
pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan manusia. Masyarakat
merupakan suatu bentuk kehidupan bersama untuk jangka waktu yang cukup
lama sehingga menghasilkan suatu adat istiadat, menurut Ralph Linton (dalam
Soerjono Soekanto, 2006: 22) masyarakat merupakan setiap kelompok
manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama,sehingga mereka
dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu
kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas sedangkan
masyarakat menurut Selo Soemardjan (dalam Soerjono Soekanto, 2006: 22)
adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan dan
mereka mempunyai kesamaan wilayah, identitas, mempunyai kebiasaan,
tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.
Menurut Emile Durkheim (dalam Soleman B. Taneko, 1984: 11)
bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara mandiri,
bebas dari individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya.
Masyarakat sebagai sekumpulan manusia didalamnya ada beberapa unsur
yang mencakup. Adapun unsur-unsur tersebut adalah:
1. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama;
2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama;
3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan;
4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.

Menurut Emile Durkheim (dalam Djuretnaa Imam Muhni, 1994: 29-31)


keseluruhan ilmu pengetahuan tentang masyarakat harus didasari pada
prinsip-prinsip fundamental yaitu realitas sosial dan kenyataan sosial.
Kenyataan sosial diartikan sebagai gejala kekuatan sosial didalam
bermasyarakat. Masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi
kehidupan bersama antar manusia. Hukum adat memandang masyarakat
sebagai suatu jenis hidup bersama dimana manusia memandang sesamanya
manusia sebagai tujuan bersama.Sistem kehidupan bersama menimbulkan
kebudayaan karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu
dengan yang lainnya (Soerjono Soekanto, 2006: 22). Beberapa pendapat para
ahli di atas dapat disimpulkanmasyarakat memiliki arti ikut serta atau
berpartisipasi, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut society. Bisa
dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berinteraksi
dalam suatu hubungan sosial. Mereka mempunyai kesamaan budaya, wilayah,
dan identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan
yang diikat oleh kesamaan.
BAB III

METODE KEFILSAFATAN

Metode sering diartikan sebagai jalan berpikir dalam bidang keilmuan. Dalam
konteks keilmuan metode berarti cara atau prosedur yang ditempuh dalam rangka
mencapai kebenaran. Jadi metode kefilsafatan adalah cara yang digunakan untuk
mengkaji atau meneliti karya-karya filsafati. Metode dalam bidang filsafat terdiri
atas:

1. Metode kritis
Yaitu suatu metode yang menganalisis istilah dan pendapat dengan
mengajukan pertanyaan secara terus-menerus sampai hakikat yang ditanyakan
(Asmoro Achmadi, 1994, hal. 22).
2. Metode intuitif
Yaitu suatu metode dengan melakukan introspeksi intuitif, dengan
memakai symbol-simbol (Asmoro Achmadi, 1994, hal. 22).
3. Metode analisis abstraksi
Yaitu dengan jalan memisah-misahkan atau menganalisis didalam
angan-angan (didalam pikiran hingga sampai pada hakikat (ditemukan
jawaban)  (Asmoro Achmadi, 1994, hal. 22).
4.  Metode Skolastik
Umumnya metode ini menonjolkan segi yang sintesis-deduktif
(menarik sebuah sintesa dalam cara-cara deduktif), dengan bertitik tolak dari
sejumlah definisi dan asas-asas  yang diasumsikan jelas dengan sendirinya,
lalu ditarik sebuah inferensi (kesimpulan) darinya. Salah satu metode
skolastik yang principal adalah dengan pemanfaatan ilmu logika dan kosakata
filosofikal dari apa yang 24 abad lalu pernah diajarkan oleh Aristoteles, yakni
prinsip mendemonstrasikan dan mendiskusikan (Herman Bakir, 2006,
hal.226).
5. Metode Induktif-Emperikal
Dalil-dalil yang diajukan disini adalah bahwa hanya melalui
pemahaman empirikallah orang akan dapat menyajikan sebuah pengertian
yang benar, dan keseluruhan pengertian dalam ruas pengintrospeksian harus
disebandingkan dengan yang diperoleh (Herman Bakir, 2006, hal.227).
6. Metode Geometris
Melalui analisis mengenai hal-hal kompleks, dicapai intuisi akan
hakikat  sederhana (ide terang dan berbeda dari yang lain) dari hakikat itu
dideduksikan secara matematis segala pengertian lainnya (Surajiyo, 2005, hal.
8). Rene Descartes berpendapat bahwa ada ketersusunan alami dalam
kenyataan yang ada hubungannya dengan pengertian manusia. Disamping itu,
ia berusaha keras untuk menemukan yang benar. Adapun yang harus
dipandang sebagai yang benar adalah apa yagn jelas dan terang (clear and
distinct). Berbeda halnya dengan metode empirisme yang diolah Hobes. Ia
berpangkal kepada empirisme secara konsekuen. Sekalipun ia berpangkal
pada dasar-dasars empiris, namun ia menerima juga metode yang dipakai
dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia  telah mempersatukan empirisme
dengan rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat materialistis yagn konsekuen
pada zaman modern (Surajiyo, 2005, hal. 11).
7. Metode Fenomenologis
Dengan jalan beberapa pemotongan sistematis, refleksi atas fenomin
dalam kesadaran mencapai penglihatan hakikat-hakikat murni (Surajiyo,
2005, hal. 8).
Ada dua hal yang dapat diperhatikan dalam kaitannya dengan ini yaitu sebagai
berikut:
a. Penstudi harus mengindahkan apa yang olehnya disadari dari pengamatan
persepsinya dengan lebih berhati-hati dan intensif ketimbang apa yang
dikerjakan olehnya dalam keseharian.
b. Penstudi harus berstandar pada serangkaian observasi dan
menginterpretasi tanpa berurusan dengan prakonsepsi (prasangka)
(Herman Bakir, 2006, hal.236).
8.  Metode Dialektis
Dengan jalan mengikuti dinamis pemikiran atau alam sendiri, menurut
anti thesis, sintesis dicapai hakikat kenyataan. Peristilahan dialektis dalam
filsafat merupakan metode untuk menginvestifigasi alam kebenaran dengan
menganalisis secara kritikal konsep-konsep dan hipotesis-hipotesis. Salah satu
contoh yang paling mutakhir dari metode dialektis ini adalah dialog-dialog
Plato, dimana penulis mencari dengan studi kebenaran melalui diskusi dalam
format pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban (Herman Bakir, 2006,
hal.232).
9. Metode Analitika Bahasa
Dengan jalan analisis pemakaian bahasa sehari-hari ditentukan sah
atau tidaknya ucapan-ucapan filosofis (Surajiyo, 2005, hal. 9). Metode ini
dapat dinilai cukup netral sebab sama sekali tidak mengendalikan salah satu
filsafat. Keistimewaan dalam metode ini adalah semua kesimpulan dan
hasilnya senantiasa didasarkan kepada penelitian bahasa yang logis
(Sudarsono, 1993, hal. 96-102).
10. Metode Deduksi-Metafisikal (Transendentalis)
Metode ini lahir sebagai konsekuensi dari keragu-raguan seorang filsuf
filamboyan Jerman, Immanuel Kant terhadap sejumlah kemungkinan dan
kompetensi dari kubu metafisikal. Bagi beliau dalam memecahkan problem,
kubu ini tidak pernah mengajukan metode ilmiah dalam cara-cara yang pasti
dan meyakinkan (memberi kepuasan) dan metafisikal lagi-lagi selalu dimulai
dari permulaan. Karenanya nilai-nilai objektif dari ilmu-ilmu positif harus
diberikan tempat yang utama dalam aktus-aktus penelitian, sebab hanya
dengan itulah orang akan dapat menghasilkan kemajuan yang berarti dalam
kehidupan kesehariannya (Herman Bakir, 2006, hal.230).
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Masyarakat di sekitar Cepuri Parangkusumo


1. Mata Pencaharian Hidup
Mayoritas mata pencaharian warga disekitar Cepuri, Parangkusumo ini
adalah seorang nelayan. Menjadi seorang nelayan karena letaknya dekat
dengan bibir pantai Parangkusumo. Disamping itu ada juga yang menjadi
pedagang oleh-oleh, pedagang kelontong, petani, penjual jasa penginapan,
Polisi, TNI, PNS, dan sebagainya. Selain itu ada juga warga yang
melakukan pekerjaan sampingan, seperti yang terdapat saat kami
observasi di petilasan Cepuri yaitu menjadi pedagang bunga setaman dan
dupa. Biasanya pedagang ini jualan didepan pintu masuk petilasan Cepuri
dari pagi hingga malam. Ada juga penjual jasa untuk menemani seseorang
yang telah berziarah kemudian ingin melakukan labuhan di pantai
Parangkusumo ketika malam hari, seperti yang dilakukan oleh Mbah Tris.
2. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan yang berlaku di wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta adalah parental (bilateral) yaitu kekerabatan atau
keanggotaan kelompok dihitung dari garis keturunan pihak laki-laki
maupun pihak wanita. Kedua belah pihak dianggap mempunyal hak sama,
pihak laki-laki dan juga pihak wanita. Namun demikian kedudukan suami-
isteri tidak sama. Kedudukan suami dipandang lebih tinggi, tetapi isteri
berkuasa dalam urusan rumah tangga. Demikian pula halnya sistem
kekerabatan yang berlaku di Cepuri, Parangkusumo, Parangtritis, Kretek,
Bantul, Yogyakarta. Mereka membentuk kelompok terkecil dalam
kelompok kekerabatan yaitu keluarga batih (nuclear family), atau
kulawarga seperti umumnya terdapat di DIY. Anggota keluarga ini terdiri
dari ayah (suami), ibu (isteri) dan anak. Sedang yang menjadi kepala
somah biasanya laki-laki (suami), tetapi sering juga kepala somah itu
wanita.
Di daerah penelitian ini terdapat juga kelompok kekerabatan yang
disebut sanak-sedulur atau kindred dalam istilah ilmu Antropologi
(Koentjaraningrat, 1967: 106). Kindred ini merupakan kekerabatan yang
luas, sebab selain keluarga batihnya sendiri, juga menjangkau saudara
kandung, saudara sepupu (dari pihak ayah dan ibu), bibi-bibi, paman-
paman (dari pihak ayah dan ibu) serta saudara-saudara dari kedua pihak.
Sedang rnengenai sebutan dalam istilah kekerabatan bagi mereka yang
telah menjadi suami isteri hanya satu nama. Ayah, ibu dan anak itu
kemudian merupakan keluarga terkecil yang dinamai keluarga batih.
3. Stratifikasi Sosial
Stratifikasi yang ada dalam masyarakat sekitar Cepuri, Parangkusumo
masih tetap terjaga. Unsur-unsur yang membentuk adanya stratifikasi ini
adalah adanya perbedaan kekuasaan, kekayaan, pendidikan, dan lain-lain.
Masyarakat didaerah Cepuri, Parangkusumo ini masih menghormati
kepada orang-orang yang dianggap mempunyai kedudukan dan kekuasaan
pada daerah tersebut, baik dalam wadah formal atau informal. Seseorang
yang merupakan atau keluarga yang berkedudukan tinggi selalu dihormati
oleh warga sekitar. Seperti menghormati juru kunci petilasan Cepuri, serta
menghormati pemuka agama, menghormati RT, Dukuh, Lurah, Camat,
dan sebagainya.
4. Bahasa dan Kesenian
Media komunikasi yang pertama dan yang utama digunakan di
masyarakat yaitu bahasa. Bahasa memiliki kemampuan dan keampuhan
mendekatkan jarak sosial - ekonomi - budaya anggota-anggota
masyarakat. (Nursid Sumaatmaja, 1981: 23).
Bahasa yang digunakan dalam masyarakat daerah Cepuri,
Parangkusumo ini adalah bahasa Jawa. Ketika berbicara dengan orang
yang lebih tua seperti berbicara kepada nenek, ayah, dan orang lain yang
lebih tua biasanya menggunakan basakrama / kramainggil. Tetapi terdapat
juga yang menggunakan basa ngoko/madya yang digunakan oleh orang
tua kepada orang yang lebih muda atau yang digunakan oleh orang yang
sudah benar-benar akrab, seperti pada teman dengan sebayanya.
Kesenian yang ada seperti karawitan, pertunjukan wayang, kethoprak,
solawatan, dan lain-lain yang sering dipentaskan ketika salah satu warga
memiliki hajatan atau ketika ada festival-festival. Kesenian tradisional ini
sedang disorot agar tetap lestari dan diketahui oleh generasi milenial. Hal
ini merupakan usaha untuk menjaga generasi penerus agar tidak tergerus
oleh kemajuan jaman yang semakin pesat.
Disini juga mengenalkan busana tradisional seperti busana yang
digunakan oleh juru kunci yaitu menggunakan busana Mataraman.
Sehingga pengunjung yang datang juga dapat menambah wawasan tentang
busana tradisional yang ada di daerah tersebut.
5. Sistem Religi
Masyarakat daerah Cepuri Parangkusumo ini mayoritas memeluk
agama Islam kemudian disusul dengan agama Kristen dan Katholik.
Selain berpegang teguh dengan ajaran yang telah dianut mereka juga
masih percaya akan ajaran yang telah diajarkan oleh nenek moyang
(kejawen) seperti kepercayaan terhadap adanya roh halus, kekuatan gaib,
makhluk halus, benda-benda yang mempunyai kekuatan sakti dan
sebagainya. Roh-roh halus, makhluk-makhluk halus tadi supaya tidak
mengganggu manusia, maka manusia berusaha mendekatinya atau
menaklukkannya dengan cara mengadakan upacara (ritual). Upacara ini
berupa slametan lengkap dengan rangkaian sajen-sajen, disertai
pelaksanaan-pelaksanaan tertentu, sesuai dengan keperluan upacara itu
sendiri. Misalnya upacara kelahiran, perkawinan, khitanan, kematian,
bersih desa dan lain-lain.
Dalam masyarakat daerah Cepuri, Parangkusumo ini masih percaya
dengan kekuatan magis dari petilasan Cepuri yang diyakini sebagai tempat
bertemunya Ibu Ratu Roro Kidul dan Panembahan Senopati. Mereka yang
datang di petilasan ini memanjatkan doa supaya hajat atau tujuan yang
diinginkan segera tercapai. Selain itu juga banyak masyarakat dari luar
kotabahkan luar pulau yang mendatangi petilasan Cepuri ini. Bisanya
seseorang yang telah memanjatkan doa di petilasan Cepuri akan syukuran
dengan melakukan labuhan yaitu seperti melabuh uang, buah, makanan
ataupun sesajen seperti bunga setaman di pantai Parangkusumo.
6. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan yang ada dalam masyarakat daerah Cepuri,
Parangkusumo adalah sistem pengetahuan religi. Dapat dikatakan sistem
pengetahuan religi karena orang-orang yang datang berziarah di petilasan
Cepuri ini mencari ketentraman hati dengan cara memanjatkan doa. Jadi
tempat petilasan Cepuri ini sebagai sarana untuk berdoa kepada Tuhan
Yang Maha Esa.

B. Sejarah Petilasan Cepuri Parangkusumo


Secara administratif, Cepuri Parangkusumo ini berada di Dusun
Mancingan, Kelurahan Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, DI
Yogyakarta. Cepuri Parangkusumo tepat berada di pinggir pantai selatan atau
Samudera Hindia. Lokasi Cepuri Parangkusmo ini berada di sisi barat dari
Pantai Parangtritis. Cepuri Parangkusumo merupakan suatu tempat yang
bersejarah dimana konon pada zaman dahulu, di tempat inilah terjadi
pertemuan dua tokoh besar sebelum Kerajaan Mataram berdiri. Dua tokoh
tersebut adalah Danang Sutawijaya atau lebih dikenal dengan Panembahan
Senopati yang bertemu dengan sang penguasa laut selatan, yaitu Kanjeng Ratu
Kidul.

Di Cepuri Parangkusumo, terdapat dua buah batu tua berusia ratusan


tahun yang dipercaya menjadi tempat bertemunya Panembahan Senopati
dengan Kanjeng Ratu Kidul. Dua batu tersebut pun ada namanya masing-
masing. batu yang besar disebut Selo Ageng sedangkan yang lebih kecil
disebut Selo Sengker.

Di Selo Ageng inilah pertama kali Danang Sutawijaya (kelak bergelar


Panembahan Senopati) melakukan semedi. Namun karena tidak nyaman,
maka ia berpindah tempat ke Sela Sengker. Dalam riwayatnya, Danang
Sutawijaya bertapa di batu keramat tersebut karena menuruti nasihat Ki Juru
Mertani. Meditasi yang luar biasa tersebut, mengakibatkan kekacauan di
Kerajaan Laut Selatan.
Bergolaknya laut kidul ini kemudian mengakibatkan Ratu Kidul, yang
menguasai dunia gaib Laut Selatan akhirnya keluar. Ia mencari tahu apa
penyebab kekacauan di kerajaannya. Nah, di saat ia keluar, ia mendapati
sosok lelaki gagah tengah bertapa. Ratu Kidul segera tahu, penyebab
kekacauan kerajaannya tersebut adalah karena semedi yang dilakukan oleh
pria gagah nan tampan pada zamannya itu. Kanjeng Ratu Kidul lalu
menanyakan apa yang dikehendaki lelaki itu. Sutawijaya menjawab, bahwa ia
menginginkan agar Ratu Kidul membantunya dalam mendirikan dan
membesarkan kerajaan yang hendak didirikannya.
Ratu Kidul menyanggupi permintaan Sutawijaya. Namun, dengan
syarat bahwa Sutawijaya dan keturunannya yang menjadi raja, harus bersedia
menjadi suaminya. Sutawijaya pun menyetujui syarat ini, asalkan perkawinan
tersebut tidak membuahkan keturunan. Perkawinan yang dimaksud disini
bukan perkawinan secara lahir tetapi secara batin.
Di kemudian hari, Kerajaan Mataram Islam pun berdiri. Semua itu,
menurut mitos yang beredar, karena peran serta dari Ratu Kidul. Hingga kini,
seperti yang kita tahu keberadaan Mataram Islam yang didirikannya itu masih
tetap lestari, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Kontrak perkawinan politik antara Danang Sutawijaya dengan Ratu
Kidul, kemudian diteruskan sampai sekarang oleh raja-raja dinasti Mataram,
terutama Kasultanan Yogyakarta. Maka, hingga kini Kasultanan Yogyakarta
selalu menggelar prosesi labuhan di pantai Parangkusumo setiap tahunnya.
Pertemuan Ratu Kidul dan Danang Sutawijaya di kedua batu keramat
itu yang kemudian hingga kini masih diyakini kebenarannya oleh sebagian
masyarakat. Dalam pertemuan itu, Ratu Kidul duduk di Selo Sengker,
sedangkan Danang Sutawijaya duduk di Sela Ageng. Karena ikatan asmara
antara Sutawijaya dan Ratu Kidul terjadi di dua batu keramat tadi, kedua batu
tersebut lalu dijuluki Batu Asmara.

C. Prosesi Ziarah di Cepuri Parangkusumo dan Labuhan di Pantai Selatan


Cepuri Parangkusumo dipercaya memiliki daya magis yang tinggi
karena sejarahnya dan sisi metafisika yang ada disana. Hal ini membuat
Cepuri Parangkusumo dikenal sebagai tempat yang tepat untuk melakukan
tirakat atau berdoa. Para peziarah tersebut biasanya berdoa atau tirakat di
depan kedua batu keramat kemudian menaburkan bunga setaman. Di sekitar
Cepuri Parangkusumo, banyak didapati penjual bunga setaman, dupa serta
kemenyan. Cepuri Parangkusumo paling ramai dikunjungi peziarah saat
malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Hari biasa tidak terlalu ramai, tapi
tetap banyak yang datang.
Saat kami melakukan observasi, kami tiba di lokasi sekitar pukul
14.00 WIB. Pada waktu tersebut, belum ada aktivitas ziarah. Hanya ada
beberapa pengunjung yang duduk-duduk di Pendopo sebelah barat Cepuri.
Berdasarkan keterangan pengunjung, Cepuri Parangkusumo mulai ramai
menjelang matahari terbenam atau sekitar pukul 17.00 WIB. Akhirnya kami
menunggu hingga senja tiba. Setelah itu, Juru kunci Cepuri Parangkusumo
tiba sekitar pukul 16.30 WIB. Beliau mengenakan surjan peranakan Kraton
Yogyakarta. Setelah gerbang cepuri dibuka, juru kunci kemudian menyiapkan
perlengkapan-perlengkapan ziarah seperti menggelar tikar dan membakar
dupa serta kemenyan. Sang juru kunci memiliki satu asisten yang bertugas
diluar untuk mengatur antrean pengunjung yang akan melakukan ziarah.
Pengunjung pun satu persatu bergantian masuk ke area cepuri untuk
melakukan ziarah. Pertama, pengunjung masuk dan bersalaman dengan sang
juru kunci serta mengungkapkan tujuan untuk berziarah. Kemudian juru kunci
memepersilakan pengunjung untuk berdoa di samping batu. Setelah selesai
berdoa, pengunjung melakukan tabur bunga diatas batu Cepuri
Parangkusumo. Biasanya, prosesi ziarah ini dilengkapi dengan prosesi
melarung bunga di pinggir pantai selatan, namun kebanyakan pengunjung
hanya melakukan ziarah di cepuri parangkusumo saja. Aktivitas ziarah ini
dilakukan pada jam-jam yang sudah ditentukan, yaitu pada saat sebelum terbit
fajar dan sebelum matahari tenggelam. Diluar jam tersebut, sang juru kunci
tidak berada di area cepuri Parangkusumo.
Masih satu kompleks dengan cepuri parangkusumo, di sisi selatan
cepuri terdapat dua bangunan yang saling berhadapan. Bangunan ini
digunakan untuk berganti pakaian sang juru kunci sebelum melayani
pengunjung yang hendak berziarah. Pada bangunan ini juga disimpan
perlengkapan atau peralatan labuhan seperti payung yang berwarna keemasan,
alat untuk membawa sesajen, dan lain-lain.
Labuhan juga merupakan prosesi yang tidak bisa dipisahkan dengan
adanya cepuri parangkusumo ini. Setiap Tahun, Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Prosesi adat yang dihadiri ribuan warga dan digelar setiap
satu tahun sekali tersebut merupakan bentuk puji syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa, sekaligus bagian dari rangkaian kegiatan peringatan
Tingalan Dalem Jumenengan atau bertakhtanya Sri Sultan HB X sebagai
Raja Keraton Yogyakarta.
Prosesi dimulai dengan berdoa dan berziarah di Cepuri
Parangkusumo. Setelah itu, iring-iringan para Abdi Dalem pembawa
empat ancak mulai berangkat menuju Pantai Selatan. Dua songsong
payung kuning berwarna keemasan berada di paling depan prosesi iring-
iringan. Empat ancak yang dibawa berisi beraneka macam sesajian yang
hendak dilarung. Masing-masing ancak diusung oleh empat abdi dalem
dari empat sisi penjuru.
Ancak pertama berisi pengageman (pakaian) perempuan sebagai
syarat utama labuhan. Konon, ancak pertama ini merupakan
persembahan untuk Kanjeng Ratu Kidul sebagai penguasa laut selatan.
Kemudian, ancak kedua berisi pendherek pengageman yaitu aneka
pakaian Sultan namun bukan pakaian utama. Ancak ketiga dan keempat
merupakan sekar yang berisi pakaian abdi dalem.
Menurut keterangan Abdi Dalem Parangkusumo, Mas Jajar
Surakso Tri Rejo, Labuhan merupakan adat tradisi Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Tradisi ini merupakan jalinan silaturahmi
antara penguasa laut selatan yang biasa dikenal dengan Kanjeng Ratu
Kidul dengan para penguasa kerajaan Mataram.
Namun, bantuan yang diulurkan penguasa pantai selatan
memiliki catatan, di antaranya, antara Ratu Pantai Selatan dengan para
penguasa kerajaan Mataram Islam yang sekarang menjadi
Ngayogyakarta Hadiningrat harus ada hubungan secara berkelanjutan.
Labuhan merupakan tradisi untuk menjalin silaturahmi itu. Namun pada
hakikatnya, Labuhan merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan agar
Sultan selalu sehat dan Kraton selalu langgeng.

D. Kepercayaan Masyarakat dengan Sejarah Cepuri Parangkusumo


Di jaman yang serba modern saat ini, tak bisa dipungkiri bahwa
masih banyak masyarakat yang mempercayai kekuatan benda-benda
tertentu atau tempat tertentu khususnya untuk meminta sesuatu.
Keyakinan tersebut bukan tanpa alasan mengingat terdapat sejarah besar
dan nilai-nilai yang masih eksis diyakini hingga kini dan terus dijaga.
Fenomena yang kami amati di Cepuri Parangkusumo juga
demikian. Cepuri Parangkusumo dengan jejak sejarahnya dan nilai
magis yang kuat membuat tempat ini tersohor ke seluruh penjuru
nusantara. Banyak orang yang datang ke tempat ini berziarah. Namun,
kebanyakan ziarah dan doa yang dilakukan pengunjung membawa
maksud dan tujuan tertentu, tak lain dan tak bukan adalah meminta
sesuatu agar sesuatu tersebut tercapai. Meski pada hakikatnya doa
tersebut dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun sebagian
pengunjung tetap meyakini bahwa bertirakat di Cepuri Parangkusumo
membawa kemungkinan terkabul yang lebih besar dibandingkan berdoa
di tempat lain.
Kepercayaan pengunjung tersebut didukung oleh banyak faktor.
Faktor yang menjadi dasar adalah laku tirakat Panembahan Senopati di
tempat ini yang membuat pengunjung percaya bahwa dengan bertirakat
seperti yang dilakukan Panembahan Senopati, keinginanannya juga
dapat terkabul. Hal ini juga selaras dengan nilai-nilai kebudayaan jawa
dimana keberhasilan suatu cita-cita hanya bisa didapat dengan laku atau
melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh serta berserah diri kepada
Tuhan. Kemudian, kepercayaan masyarakat juga didukung faktor
penyebaran kabar dari mulut ke mulut bahwa ada pengunjung yang
benar-benar tercapai keinginannya setelah bertirakat di Cepuri
Parangkusumo. Meski tingkat keberhasilan tak bisa dibuktikan dengan
penelitian yang rasional, bagaimanapun kepercayaan seseorang menjadi
bagian yang sulit untuk diselami dan menjadi keyakinan masing-masing
pribadi.

E. Analisis Kefilsafatan Tradisi yang dilakukan di Cepuri Parangkusumo


1. Aliran Filsafat
Ada 10 aliran yang mempengaruhi pola pikir manusia yaitu,
1) Rasionalisme merupakan aliran filsafat yang berpegang teguh pada
akal. Itulah sebabnya mengapa Rasionalisme menganggap akal adalah
alat terpenting dalam memperoleh dan menguji pengetahuan. Menurut
aliran ini, pengetahuan dapat dicari dengan akal dan penemuan dapat
diukur dengan akal pula.
2) Empirisme memerlukan pembuktian secara indrawi untuk
menentukannya. Pembuktian secara indrawi yaitu dilihat, didengar,
dan dirasa. Menurut aliran filsafat ini, pengetahuan dapat diperoleh
melalui pengalaman dan perantaraan indera. Kebenaran berdasarkan
pengalaman berhasil membawa pengaruh terhadap bidang Hukum dan
Hak Asasi Manusia.
3) Positivisme adalah aliran filsafat yang bersifat faktual. Artinya,
menjadikan fakta-fakta sebagai dasar kebenaran. Pengetahuan tidak
diperbolehkan membelakangi fakta. Menurut aliran ini, satu-satunya
pengetahuan adalah ilmu, dan yang dapat dijadikan obyek
pengetahuan hanyalah fakta. Positivisme mendapatkan persetujuan
untuk berupaya dalam membuat aturan bagi manusia dan alam.
4) Kritisisme adalah aliran filsafat yang melakukan penyelidikan
terhadap rasio beserta batasan-batasannya. Kritisisme melakukan kritik
terhadap Rasionalisme dan Empirisme karena kedua aliran filsafat itu
sangatlah berlawanan. Untuk menentukan kebenaran, Rasionalisme
mengandalkan akal sedangkan Empirisme mengandalkan pengalaman.
5) Idealisme adalah aliran filsafat yang percaya bahwa sesuatu yang
konkret hanyalah hasil pemikiran manusia. Kaum Idealisme
menyebutnya sebagai ide atau gagasan. Menurut Idealisme, ide atau
gagasan adalah pengetahuan dan kebenaran tertinggi. Untuk
memahami sesuatu, Idealisme menggunakan metode dialektik. Yaitu
metode yang menggunakan dialog, pemikiran, dan perenungan.
6) Naturalisme adalah aliran filsafat dari hasil berlakunya hukum alam
fisik. Menurut aliran Naturalisme, setiap manusia yang lahir ke bumi
membawa tujuan yang baik dan tidak ada seorang pun membawa
tujuan yang buruk. Layaknya setiap bayi yang terlahir dalam keadaan
suci dan Tuhan telah menganugerahkan berbagai potensi yang dapat
berkembang secara alami kepadanya. Kaum Naturalisme menyebut hal
itu sebagai kodrat. Untuk mempertahankan kodrat tersebut, maka
diperlukan adanya pendidikan.
7) Materialisme adalah aliran filsafat yang menghakikatkan materi
sebagai segalanya. Oleh sebab itu, materialisme menggunakan
metafisika. Jenis metafisika yang digunakan tentu saja metafisika
materialisme. Materialisme menekankan bahwa faktor-faktor material
memiliki keunggulan terhadap spiritual dalam fisiologi, efistemologi,
penjelasan histori, dan sebagainya. Menurut Materialisme, pikiran
(roh, jiwa, dan kesadaran) merupakan materi yang bergerak.
8) Intuisionisme adalah aliran filsafat yang menganggap intuisi (naluri
atau perasaan) sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran. Intuisi
adalah aktivitas berpikir yang tidak didasarkan atas penalaran dan
tidak bercampur aduk dengan perasaan.
9) Fenomenalisme adalah aliran filsafat yang menganggap fenomena
(gejala) sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme
bergerak di bidang yang pasti.
10) Sekularisme adalah aliran filsafat yang membebaskan manusia dari
hal-hal yang bersifat supernaturalisme atau keagamaan. Dalam kata
lain, sekularisme hanya bersifat keduniawian. Sekularisme
mengarahkan manusia untuk tidak percaya kepada Tuhan, kitab suci,
dan hari akhir.

Aliran filsafat yang sesuai dengan masyarakat daerah Cepuri,


Parangkusumo adalah

2. Metafisika
Istilah ini berasal dari bahasa Yunani metataphysika yang berarti hal-
hal yang terdapat sesudah fisika. Metafisika dapat didefinisikan sebagai
bagan pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan pertanyaan
mengenai hakikat yang ada yang terdalam. Kattsof (2004:72-74).
Metafisika yang ada dalam masyarakat Cepuri, Parangkusumo adalah

3. Ontologi
Ontologi merupakan bagian dari filsafat yang paling umum. Ontologi
merupakan metafisika umum, yang mempersoalkan adanya segala sesuatu
yang ada.
Ontologi yang ada dalam masyarakat Cepuri, Parangkusumo yaitu,
1) Petilasan Cepuri.
2) Pantai Parangkusumo.
3) Dupa dan bunga setaman.
4. Logika
Ada 2 logika yang berkembang secara umum, yaitu :
a. Logika Deduktif
Logika Deduktif adalah cara berpikir dimana dari pernyataan
yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola
pikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah
pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung
silogismus ini kemudian dapat dibedakan menjadi prenis mayor dan
premis minor. Kesimpulan merupakan pegetahuan yang didapat dari
penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut.
b. Logika Induktif
Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan
kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan
yang bersifat umum. Kambing mempunyai mata, gajah mempunyai
mata, demikian juga dengan sapi, singa, dan bintang lainya. Dari
kenyataan-kenyatan ini kita dapat menarik kesimpulan yang bersifat
umum yakni semua binatang mempunyai mata. Kesimpulan yang
bersifat umum ini mempunyai dua keuntungan. Keuntungan yang
pertama ialah bahwa pernyataan yang bersifat umum ini bersifat
ekonomis. Kehidupan yang beranekaragam dengan berbagai corak dan
segi dapat direduksikan menjadi beberapa pernyataan. Keuntungan
yang kedua adalah dimungkinkan proses penalaran selanjutnya baik
secara induktif maupun secara induktif. Secara induktif maka dari
berbagai pernyataan yang bersifat umum dapat disimpulkan
pernyataan yang bersifat lebih umum lagi.
Jadi logika yang kami gunakan untuk menyimpulkan kegiatan
observasi dalam masyarakat daerah Cepuri, Parangkusumo adalah
logika induktif. Yaitu kami telah mencari data dengan melakukan
wawancara dan dengan mencari sumber-sumber lain dari internet.
5. Epistemologi
Epistemologi atau filsafat pengetahuan adalah cabang filsafat yang
mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Epistemologi yang ada dalam masyarakat Cepuri, Parangkusumo
adalah

6. Aksiologi
Aksiologi dapat diartikan sebagai wacana filosofis yang
membicarakan nilai dan penilaian. Aksiologi digunakan terutama sebagai
teori umum mengenai nilai.
Aksiologi yang ada dalam masyarakat Cepuri, Parangkusumo yaitu,
1) Nilai Agama
Yaitu masyarakat sekitar ataupun masyarakat dari berbagai
daerah yang ingin mencari ketentraman batin dengan cara melakukan
ziarah / berdoa di petilasan Cepuri, dan kemudian sebagai rasa syukur
atas rezeki dari Tuhan Yang Maha Esa mereka melakukan labuhan di
pantai Parangkusumo.
2) Nilai Moral
Dapat ditemukan ketika akan memasuki daerah petilasan
Cepuri harus meminta ijin kepada juru kunci serta menggunakan
pakaian sopan yang menutup aurat.
3) Nilai Sosial
Adanya hubungan yang baik antar warga sekitar. Juga
tergambar saat kami melakukan observasi masyaraakat yang ada
disekitar petilasan Cepuri menyambut kami dengan baik seperti
menyapa bahkan ikut berbincang-bincang.
4) Nilai Budaya
- Tergambar saat adanya juru kunci yang menggunakan dan secara
tidak langsung memperkenalkan busananya yaitu busana
Mataraman.
- Biasanya jika seseorang yang telah melakukan ziarah / nyekar di
petilasan Cepuri dan hajat yang diinginkannya tercapai maka orang
tersebut biasanya melabuh makanan bahkan uang dan bahkan
menggelar pertunjukan wayang sebagai rasa syukur atas rezeki
yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
7. Estetika
Estetika adalah filsafat keindahan. Nilai disini merupakan niai yang
dapat dilihat dengan mata telanjang. Nilai keindahan yang dapat dilihat
secara langsung dan sangat Nampak pada pelaksanaanya.
Estetika yang ada dalam masyarakat Cepuri, Parangkusumo yaitu,
1) Bangunan yang ada di petilasan yang sangat bagus dan instagramable.
2) Busana yang digunakan oleh juru kunci yaitu busana Mataraman.
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Wibawa, Sutrisna. 2013. Filsafat Jawa. Yogyakarta:UNY Press.

Muhammad Ibnu Soim. 2013. Bab I Metodologi Kefilsafatan. Diunduh Jum’at 29


November 2019 jam 17.00 WIB. https://ibnu-soim.blogspot.com/2013/04/bab-i-
metodologi-kefilsafatan.html

Tinjauan Tentang Masyarakat . Diunduh Jum’at 29 November 2019 jam 17.20 WIB.
https://www.google.co.id/url?q=https://eprints.uny.ac.id/8538/3/BAB%25202%2520-
%252008401244022.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwilzKKum4_mAhVwH7cAHZ-
rC0oQFjAJegQIAxAB&usg=AOvVaw1kRa6AHaGzU4MmUrztJK3O

http://www.akarasa.com/2017/03/cepuri-parangkusumo-tempat-sutawijaya.html
Diunduh Senin 9 Desember 2019 pukul 20.02 WIB.

Anda mungkin juga menyukai