Anda di halaman 1dari 27

POKOK BAHASAN DAN INDIKATOR

BAB I : POSISI MANUSIA DAN KEBUDAYAAN INDONESIA PADA FF UNWIRA


Indikatornya:
Mahasiswa memahami secara dinamis posisi mata kuliah manusia dan kebudayaan Indonesia
pada Fakultas Filsafat

BAB II : REPRESENTASI ETNOGRAFI MANUSIA DAN KEBUDAYAAN INDONESIA


Indikatornya:
Mahasiswa memahami ontologi manusia Indonesia dan kebudayaannya yang secara
representatif terungkap dalam elemen-elemen etnografinya.

BAB III : RANCANG BANGUN KEPRIBADIAN BANGSA


DAN KEPRIBADIAN NASIONAL
Indikatornya:
Mahasiswa secara dinamis memahami manusia dan kebudayaan Indonesia dari sisi rancang bangun
yang adil dan beradab terhadap makna kepribadian bangsa dan kepribadian nasional.

BAB I
POSISI MANUSIA DAN KEBUDAYAAN INDONESIA
PADA FFA UNWIRA
Tujuan: Mahasiswa memahami secara dinamis posisi mata kuliah manusia dan kebudayaan Indonesia pada
Fakultas Filsafat
1. Pengertian Manusia dan Kebudayaan Indonesia
Dalam bahasa Indonesia, kata manusia adalah serapan dari kata Sansekerta ”manusya”. Sinonimnya
adalah ”nara/nari”. Manusia pertama dalam tradisi lingusitik ini adalah ”Manu”. Kata manusia sinonim
dengan kata ”insan” dan ”orang”. Kata ’insan’ berasal dari serapan bahasa Arab. Kata ”orang” adalah asli
dari bahasa Melayu Riau. Bagaimana dengan pengertian kata manusia dalam tradisi yang lain, termasuk
dalam tradisi lokal Anda masing-masing?
Dari sisi sejarah keberadaannya, manusia yang dewasa ini masuk kategori manusia Indonesia, sudah
ada sejak masa purba, yaitu 1,5 juta tahun SM (Koentjaraningrat, 2007: 3). Selanjutnya, kata kebudayan
dalam Bahasa Indonesia sepadan dengan kata “culture” dalam bahasa Inggris yang berasal dari kata Latin
“colere” yang artinya ”pengolahan”. Di sini kebudayaan terkait erat dengan konsep pengolahan alam natural
untuk menjadi alam kultural dan metakultural. Pengolahan alam natural menjadi alam kultural dan
metakultural ini menggunakan berbagai potensi jati diri insani (1 Tes 5:23), yang terdiri dari elemen tubuh
(soma), jiwa (psuke), dan roh (pneuma). Potensi tubuh ada dalam seluruh elemen dari organ tubuh yaitu dari

1
rambut sampai dengan sumsum. Potensi jiwa terdapat dalam seluruh elemen psikologis insani yang terdiri
dari elemen pikiran, perasaan dan kehendak yang positif dan negatif. Sedangkan potensi roh berkaitan
langsung dengan elemen intuisi, ilham dan nurani insani yang berhubungan dengan unsur roh baik dan roh
jahat dan seharusnya terarah sempurna menuju persekutuan dengan Roh Tuhan.
Alam natural yang diolah menjadi alam kultural adalah hasil pengungkapan diri insani dengan
mengolah alam natural yang terdiri dari alam dunia dan alam antropologis ke dalam materi fisik maupun
materi non-fisik dan menjadi warisannya yang dinamis (Vatikan II, GS 53). Selanjutnya alam natural dan
alam kultural juga diolah menjadi alam meta-kultural, yaitu proses dan hasil pengungkapan diri manusia
(cipta, rasa, karsa dan karya) dalam tataran iman, harap dan kasih untuk mengolah alam rohani ke dalam
materi fisik maupun non-fisik dan diwariskan secara dinamis. Pewarisan hanya mungkin terjadi jika produksi
dan produk budaya itu baik, benar, utuh dan indah selaras zaman.
Manusia Indonesia disebut juga manusia Nusantara. Manusia Nusantara ini berdiam di daerah Asia
Tenggara, yaitu di ribuan pulau yang terbentang dari pulau Irian bagian Barat di wilayah Timur Nusantara,
sampai di pulau Sumatera di wilayah Baratnya, dan terbentang dari pulau Rote di wilayah Selatan sampai di
pulau Talud di wilayah Utara. Manusia Nusantara ini bermukim di darat dan di sepanjang pesisir pantai
pulau-pulau tersebut, yang luasnya, kalau dirata-ratakan sekitar 1.904.345 Km2.
Lingkungan geografisnya ini menjadi salah satu faktor yang turut membentuk kebudayaan
Indonesia. Posisi silang di antara dua benua dan dua lautan, yaitu Benua Asia dan Australia, dan lautan
Hindia dan Pasifik; menyebabkan adanya pengaruh luar terhadap penduduk asli Nusantara. Iklim tropis, dan
berbagai fenomena alam yang menyertainya menyebabkan adanya tantangan untuk menciptakan budaya
yang merespons hal tersebut seperti tampak pada bentuk bangunan rumah, model pakian adat dan kuliner
yang unik.
Manusia Nusantara adalah campuran berbagai ras. Ada ras asli yang direpresentasikan oleh
keberadaan manusia purba yang fosil, artefak dan beberapa sistem budayanya ditemukan di Jawa dan Flores.
Manusia Prasejarah yaitu manusia yang belum mengenal tulisan di Nusantara, dengan budaya yang terbagi
dalam periodesasi zaman yang disebut zaman batu dan logam. Zaman batu terdiri dari zaman paleolitikum –
mesolitikum –neolitikum - Megalitikum. Zaman logam, khususnya zaman perunggu, yang juga disebut
zaman dongson.
Manusia Nusantara sebagian berasal dari perpindahan beberapa bangsa Asia yang diteorikan oleh
beberapa ahli berasal dari Asia Tengah, dan melaluinya menimbulkan adanya peradaban tulisan, sehingga
memasuki masa sejarah. Masa sejarah di Indonesia terdiri dari 4 lapisan, yaitu lapisan Hindu-Budha; lapisan
Kong Hu Chu, lapisan Islam, dan Lapisan Kristiani.
2. Posisi Mata Kuliah Manusia dan Kebudayaan Indonesia
Mata Kuliah Manusia dan Kebudayaan Indonesia adalah bahan kuliah yang bermanfaat untuk
pendalaman MK Penelitian Kebudayaan dengan konteks keindonesiaan pada FF Unwira. Dimensi filosofis
yang dicermati dalam MK Manusia dan Kebudayaan di FF Unwira adalah hanya aspek
ontology( keberadaan) dan epistemologinya. Aspek ontologi akan dijelaskan dari sisi representasi etnografi
Indonesia pada bab II dan aspek epistemologinya(sistemnya) akan dijelaskan pada bab III dengan tekanan
pada refleksi tentang rancang bangun kepribadian bangsa dan kepribadian nasional yang multicultural
( secara ontologis budayanya banyak dan semuanya sederajat)

2
BAB II
REPRESENTASI ETNOGRAFI MANUSIA DAN KEBUDAYAAN INDONESIA

Tujuan dari pokok bahasan ini adalah agar mahasiswa memahami ontologi manusia Indonesia dan
kebudayaannya yang secara representatif terungkap dalam elemen-elemen etnografinya.
2.1 Pengantar
Ontologi manusia, dari sisi jenis kelamin tubuhnya, terdiri dari dua jenis, yaitu pria dan wanita.
Kedua jenis kelamin ini memiliki 3 unsur diri, yaitu unsur tubuh, jiwa dan roh. Ontologi kebudayaannya
terdiri dari 3 wujud dan 9 unsur. Ketiga wujud kebudayaan itu terdiri dari:
1. Wujud ide berupa gagasan, nilai, norma, aturan yang ada dalam kompleksitas sistem simbol, yang
mengandung sistem makna yang abstrak. Para antropolog menyebutnya dengan istilah culture
system.
2. Wujud aktivitas atau produksi yang berciri faktual, fisikal dan konkret yang terikat dengan ruang
dan waktu. Para antropolog menyebutnya dengan istilah social system.
3. Wujud artefak atau produk budaya sebagai benda-benda material yang fisikal dan konkret, yang ada
dalam ruang dan waktu (historis). Para antropolog menyebutnya dengan istilah physical culture.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut mencakup 9 unsur atau elemen sistemik universal yang terdiri
dari elemen sistem komunikasi, sistem organisasi, sistem pengetahuan, sistem teknologi, sistem mata
pencaharian, sistem kesenian, sistem religi, sistem permainan, system kuliner.
Sistem komunikasi terdiri dari elemen komunikasi lisan, komunikasi isyarat, komunikasi tulis,
komunikasi cetak, dan komunikasi elektronik. Sistem pengetahuan terdiri dari elemen pengetahuan tentang
tubuh diri insani, pengetahuan tentang alam fauna dan flora, pengetahauan matematik, pengetahuan tentang
alam gaib, pengetahuan pengobatan, pengetahuan hukum, pengetahuan filosofis, dsbnya. Sistem organisasi
sosial terdiri dari sistem kekerabatan, sistem perkawinan, sistem hukum, sistem pemerentahan, dsbnya.
Sistem teknologi terdiri sistem peralatan hidup, seperti peralatan makan, pakian, perumahan, senjata,
transportasi, pertambangan, dsbnya. Sistem mata pencaharian seperti berburu, meramu, bertani, berdagang,
mengajar, dan berbagai produk jasa untuk memperoleh nafkah. Sistem kesenian seperti seni rupa,seni ukir,
seni suara, seni tari, seni sastra, dsbnya. Sistem religi seperti sistem kepercayaan religi asli, religi kanonik
dan religi populer. Sistem permainan seperti permainan-permainan lokal dan permainan-permainan global`
Sitem kuliner, seperti kuliner lokal dan global.
Makna yang terdapat dalam setiap sistem tersebut terdapat dan terbaca melalui sistem simbol, yang
memuat dua sisi, yakni sisi kognitif dan sisi evaluatif. Kalau yang disoroti adalah sisi kognitifnya, maka
makna yang didapat berupa sistem kepercayaan dan pengetahuan yang akan memungkinkan para penganut
suatu kebudayaan dapat mengenal dan memahami dunianya, melihat dan memahami masyarakatnya,
mengenal dan memahami dirinya sendiri, dan bahkan memahami dan mengenal siapa Yang Ilahi yang wajib
disembahnya atas cara yang khas. Jika sisi yang disorti itu menonjolkan aspek evaluatif, maka sistem simbol
itu mengandung sistem nilai.
Sejatinya makna kebudayaan itu identik dengan nilai-nilai kebudayaan sehingga setiap sistem
budaya selalu menetapkan ethos (semangat dan sikap hidup yang dianggap baik), logos (pikiran, imajinasi,

3
dan ajaran yang dianggap benar), pathos (perasaan dan hasrat yang dianggap halus, tulus, dan indah) dalam
relasinya dengan Yang Ilahi, yang insani, dan alam lingkungannya.
Ada tiga konsep praktis Geertz tentang sistem simbol yang memproduksi makna dalam kebudayaan
pada umumnya, yaitu tanda (sesuatu yang selalu menunjuk kepada yang lain), lambang (sesuatu yang
menunjukkan sesuatu yang lain, tetapi juga menyembunyikan sesuatu), dan ikon (istilah khusus untuk
menyebut hal yang sakral. Sebagai tanda, ikon itu menunjuk pada sesuatu yang sakral; sebagai lambang, ikon
menyatakan sekaligus menyembunyikan Yang Kudus.
Selanjutnya pada bab ini mahasiswa akan mengerjakan tugas terbimbing tentang gambaran
etnografis dari etnisnya masing-masing sebagai representasi dari manusia dan kebudayaan Indonesia. Buku
acuan etnografisnya adalah “Manusia dan Kebudayaan Indonesia Di Indonesia”, karangan Prof. Dr.
Koentjaraningrat, penerbit Djambatan, cetakan ke-22, tahun 2007.
Acuan penelitiannya, dapat mengikuti laporan hasil penelitian etnogafis dari Kampung Guru Sina berikut
2.2 Contoh Kajian Hasil Penelitan Etnografi

LAPORAN PENELITIAN FUNDAMENTAL

IDEOLOGI WANITA
DALAM TEKS BUDAYA PATA TEKE
DI KAMPUNG GURU SINA, NGADA, FLORES

Oleh
Dr. Watu Yohanes Vianey, M.Hum

DIBIAYAI OLEH
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONAL
SESUAI DENGAN SURAT PERJANJINAN:
NO: 276/SP2H/PL/DIT.LITABMAS/ IV/2011, TANGGAL 14 APRIL 2011

FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA KUPANG
2011

KATA PENGANTAR

Isi laporan ini mengkaji tentang ”Ideologi Wanita Dalam Teks Budaya Pata Teke Di Kampung
Guru Sina, Kabupaten Ngada, Flores. Kiranya berkat kasih karunia Tuhan, totalitas studi ini dapat
menawarkan model kajian budaya untuk rekonstruksi ideologi wanita yang terbenam dalam ’teks budaya’
lokal pada elemen sistem tanda dan simbol yang terdapat dalam keberadaan dan praktek pata teke di
Kampung Guru Sina. Semoga rekonstruksi ideologi wanita yang terungkap dalam term ideologi ine weta
dan ideologi vagina dalam karya ini ini berdaya relevan bagi pengembangan Ipteks yang berwawasan budaya
lokal, dalam rangka merayakan keindahan realitas bhineka tunggal ika, yang mencerdaskan bangsa
Indonesia.

4
Karena itu pada awal karya ini, peneliti sungguh berterima kasih kepada pihak DP2M dari Dirjen
Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan dan pihak Pusat Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat Universitas Katolik Widya Mandira atas perhatiannya atas kegiatan penelitian ini.
Peneliti juga menyadari bahwa laporan ini belumlah sempurna. Karena itu pula peneliti mengharapkan saran
dari pembaca yang konstruktif atas karya ini. Mane nobiscum Domine.

Penulis

ABSTRAK

Penelitian ini merespons secara filosofis dan bertanggung jawab terhadap fenomena
keberadaan ideologi atau sistem nilai yang diyakini tentang kaum wanita yang terdapat dalam teks
pata teke. Pata teke itu adalah teks budaya lokal orang Ngada dalam bentuk konfigurasi ‘puisi-
nyanyi-tari’, yang masih hidup di Kampung Guru Sina, Flores. Tujuan penelitiannya adalah sebagai
berikut. (1) Untuk memahami keberadaan ideologi tentang wanita yang terbenam dalam teks
budaya pata teke dengan pendekatan ontologi organisme. (2) Menjelaskan interaksi yang etis
antara wanita dan pria sebagaimana termuat dalam teks budaya lokal dengan pendekatan ontologi
relasi. (3) Menginterpretasi makna ideologi wanita yang ada dalam teks budaya lokal dengan
praktek interaksi sosialnya, dengan pendekatan aksiologi komunitarian.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan pengumpulan data menggunakan teknik
wawancara mendalam, pengamatan terlibat, dan studi dokumen. Penelitian ini dikaji dengan
mengaplikasikan teori proses, teori semiotika, dan teori dekonstruksi yang dimanfaatkan secara
eklektik.
Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada dua kategori ideologi wanita dalam
tradisi lokal, yaitu ideologi ine weta sebagai varian dari ideologi familialisme dan ideologi vagina
sebagai varian dari ideologi feminis. Dengan demikian kajian ini memiliki manfaat teoritis. Manfaat
teoretisnya adalah memperkuat tradisi keilmuan filsafat dan ekonomi tentang ideologi wanita yang
berbasis kearifan lokal, yang berguna bagi pemerkayaan bahan kuliah di Fakultas Filsafat Agama
dan Fakultas Ekonomi dalam bidang kajian wanita yang menunjang kesejahteraan ekonomi yang
humanis.
Lebih dari itu, karya ini juga mempunyai manfaat praktis yang strategis bagi bangkit dan
bertumbuhnya ideologi wanita komunitarian, yang menghormati martabat wanita dalam hidup dan
berkarya, sebagai bagian integral dari perjuangan perwujudan keluhuran martabat manusia pada
umumnya.
Kata kunci: ideologi, pata teke, teks budaya, wanita

Contoh ini diambil dari laporan penelitian penulis pada bab V dari judul penelitian di atas`
5.1.1 Gambaran Umum Kampung Guru Sina
Guru Sina sebagai sebuah wilayah penelitian ini, berada di pulau Flores, Kabupaten Ngada,
Kecamatan Jerebu’u, Desa Watu Manu. Dalam sub bab ini akan berturut-turut dideskripsikan secara umum
tentang: (1) Keadaan Geografis; (2) Sejarah; dan (3) Gambaran Etnografis.
5.1.1.1 Keadaan Geografis
Kampung Guru Sina berada di pulau Flores. Panjang pulau Flores 350 Km², yang berada pada
119°48 - 123°1 Bujur Timur dan 8°- 9° Lintang Selatan dari garis Khatulistiwa. Flores dari segi wilayah
pemerintahan adalah sebagai bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Timur, yang dibentuk tanggal 20 Desember
1958. Dewasa ini Flores telah memiliki 8 Kabupaten, yaitu Kabupaten Manggari Barat, Kabupaten
Manggarai, Kabupaten Manggarai Timur, Kabupaten Ngada, Kabupaten Nage - Keo, Kabupaten Ende-Lio,
Kabupaten Sikka, dan Kabupaten Flores Timur. Kabuaten Nage-Keo dimekarkan dari Kabupaten Ngada,
pada bulan Mei 2007.

5
Kampung Guru Sina berada di Kabupaten Ngada. Kabupaten Ngada terletak di Flores bagian
tengah, dengan posisi 120°45 - 121°5 Bujur Timur, dan 8° - 9° derajat Lintang Selatan dari garis
Khatulistiwa. Peta pulau Flores dan Kabupaten Ngada itu dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2 berikut.
Gambar 1. Peta Pulau Flores. Sejak tahun 2007, pulau Flores telah memiliki 8 Kabupaten.

Gambar 2 Peta Kabupaten Ngada, sebelum mengalami pemekaran dengan Kabupaten Nage Keo pada bulan
Mei 2007. Kecamatan Jerebu’u adalah bagian dari Kabupaten Ngada.
Kabupaten Ngada sejak tahun 2007 telah memiliki 10 Kecamatan, yaitu (1) Kecamatan Riung, (2)
Kecamatan Riung Barat, (3) Kecamatan Wolo Meze; (4) Kecamatan Soa; (5) Kecamatan Go Lewa, (6)
Kecamatan Bajawa, (7) Kecamafan Bajawa Utara, (8) Kecamatan Bajawa Selatan, (9) Kecamatan Aimere,
dan (10) Kecamatan Jerebu’u. Wilayah Kampung Guru Sina masuk dalam wilayah Kecamatan Jerebu’u.
Kecamatan Jerebu’u ini didirikan pada tahun 2003, yang membawahi 6 Desa, yaitu Desa Manu Bhara, Desa
Watu Manu, Desa Tiwo Riwu, Desa Dari Wali, Desa Naru Wolo, dan Desa Neno Wea. Kampung Guru Sina
terletak di Desa Watu Manu.
Desa Watu Manu memiliki beberapa dataran yang cukup luas. Dataran ”Jere” yang menjadi pusat
perkebunan rakyat. Dataran ”Watu Maba” yang menjadi tempat didirikannya berbagai fasilitas publik,
khususnya fasilitas kesehatan (Puskesmas), fasilitas keamanan (Kantor Kepolisian) tingkat Kecamatan
Jerebu’u, fasilitas rohani (Kapela Watu Manu), dan fasilitas olah raga (lapangan sepak bola dan volley).
Dataran Nobe Nawa, mejadi lokasi perkampungan tradisional Guru Sina. Wajah perkampungan tersebut
dapat dilihat pada dua foto berikut.

Gambar 3a. Foto Kampung Guru Sina, posisi dari tengah kampung, dari area Watu Wae ke arah
Utara bagian Timur. Dokumen Watu, 2011

Gambar 3b. Foto Kampung Guru Sina, posisi dari bagian Barat ke arah Utara. Dokumen Watu
2011.

Wilayah Kampung Guru Sina masuk dalam Desa Watu Manu. Desa ini terdiri dari tiga Dusun,
dengan luas desa sebesar 4,6 Km². Jumlah keseluruhan penduduknya pada tahun 2011 sebanyak 820 jiwa,
dengan tingkat pendidikan yang berfariasi, mulai dari tingkat TK sampai dengan PT. Tingkat pendidikan
dapat dijelaskan sebagai berikut. TK usia 3-6 tahun, yang terdiri dari pria 23 orang, perempuan 22 orang.
Tamat SD/sederajat, pria 130 orang, wanita 120 orang. Usia 12-56 tahun tamat SMP/sederajat, pria 17 dan
wanita 9 orang. Tamat SMA/sederajat, pria 32 orang, wanita 39 orang. Tamat D II/sederajat, pria 1 orang,
wanita 2 orang. D III/sederajat, pria 1 orang, wanita 6 orang. Tamat S1/sederajat, pria 5 orang; wanita 4
orang.
Jumlah kepala keluarga di Desa Watu Manu sebanyak 193 unit, dengan jumlah penduduk menurut
keyakinan/agama adalah sebagai berikut. Yang beragama Katolik Roma sebanyak 815 orang dan Protestan 5
orang. Namun di tingkat Kampung Guru Sina, semuanya beragama Katolik Roma (100 %).
Pemerintahan Desa Watu Manu mempunyai visi, misi, dan program yang unik. Visinya adalah:
“Terwujudnya masyarakat Desa Watu Manu sebagai penghasil produksi unggulan di bidang perkebunan di
tahun 2020”. Misinya: Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan sumberdaya
manusia/kesehatan yang baik, meningkatkan mutu pendidikan, meningkatkan produktifitas tanaman
perkebunan, meningkatkan pola tanam tanaman perkebunan, meningkatkan pendapatan keluarga,
mengurangi jumlah pengangguran, dan meningkatkan sarana jalan transportasi.

6
Program yang dilakukan berdasarkan rencana strategis tersebut, terdiri dari beberapa dimensi
kehidupan. Pertama, bidang kesehatan, seperti peningkatan kesehatan ibu dan anak dengan jenis kegiatan
pemeriksaan kehamilan ibu dan penimbangan bayi/balita di Posyandu, peningkatan kesehatan lingkungan
dengan jenis kegiatan pembersihan lingkungan desa, dan peningkatan gizi keluarga. Kedua, bidang
pendidikan, seperti peningkatan pelayanan pendidikan dasar jenis kegiatan pelaksanaan kegiatan pendidikan
anak usia dini (POS PAUD). Ketiga, bidang ekonomi, seperti peningkatan usaha kecil jenis kegiatan
pelaksanaan kegiatan simpan pinjam dalam kelompok usaha kecil masyarakat, usaha mebeler, usaha kios dan
perbengkelan. Keempat, bidang pertanian dan perkebunan, seperti peningkatan produksi pertanian tanaman
pangan jenis kegiatan perluasan lahan tanaman kacang hijau, tanaman jagung, pisang dan umbi-umbian.
Perluasan lahan tanaman perkebunan adalah pada jenis kegiatan tanaman kakao, cengkeh dan kelapa.
Kelima, bidang lingkungan hidup, jenis kegiatannya adala perluasan lahan kayu, pembersihan lingkungan
pemukiman dan lingkungan desa. Keenam, bidang prasarana, seperti perluasan areal pemukiman masyarakat
dengan jenis kegiatan pembukaan denah baru, perawatan sarana pembangunan milik desa, pembukaan akses
jalan untuk memperlancar transportasi pengangkutan hasil komoditi (pembukaan jalan baru jurusan Ngedu
Godhi – Poso Rora.
Prioritas pembangunan yang diselenggarakan pada tahun 2010-2011 adalah peningkatan produksi
tanaman kakao, pelaksanaan kegiatan pelatihan usah kecil masyarakat, peningkatan mutu pendidikan
(beasiswa bagi murid yang kurang mampu), pengadaan sarana dan prasarana umum (pembangunan rabat
beton jalan dena desa), perluasan areal pemukiman, perluasan jaringan air bersih, dan pengadaan sarana olah
raga (lapangan bola kaki).
Pada setiap tanggal 1 dalam bulan, masyarakat Desa Watu Manu melaksanakan kegiatan rutin
pembersihan lingkungan desa. Masyarakat berperan aktif dalam pelaksanaan pembangunan, masyarakat
selalu siap menanggung biaya swadaya dalam mendukung bantuan pemerintah.

5.1.1.2 Dinamika Sejarah


Manusia yang berdiam di Kampung Guru Sina, dari sisi sejarah etnik, masuk dalam subetnik
Ngadha, yang sekaligus menjadi nama Kabupaten Daerah Tingkat II Ngada yang bercikal bakal dari
Swapraja Ngada dengan ibu kotanya Bajawa. Pada masa kolonial itu kota Bajawa didirikan oleh Belanda dan
dijadikan sebagai nama ibu kota dari Onderafdeeling Ngada, yang menjadi bagian dari Afdeeling Timor.
Pada era kemerdekaan (postkolonial) Bajawa tetap menjadi nama ibu kota Kabupaten Ngada hingga dewasa
ini.
Pada masa penjajahan Belanda, Guru Sina termasuk dalam hamente Jerebu’u. Pada masa
kemerdekaan RI, hamente Jerebu’u masuk dalam wilayah Kecamatan Aimere (1958-2002). Baru pada tahun
2003 Jerebu’u menjadi sebuah wilayah kecamatan sendiri, yang membawahi beberapa desa yang memiliki
beberapa kampung tradisional yang relatif masih bertahan keaslian arsitekturnya.
Kampung-kampung tradisional itu memperlihatkan beberapa jejak lapisan sejarah budaya yang
membentuknya. Dari bentuk fisik luar rumah tradisionalnya, yaitu berupa rumah panggung, maupun
beberapa jenis disolit yang menghiasi tata halaman perkampungan-perkampungan tersebut, memperlihatkan
adanya pengaruh budaya Austronesia dalam era megalitik (Vatter, 1931: 5). Hal mana juga diperkuat dari sisi
bahasa. Karena istilah “nua” sebagai nama perkampungan itu merupakan kata yang berasal usul dari bahasa
Austronesia, yang mengalami penyempitan (penajaman) makna, sebagai tempat tinggal manusia dalam

7
komunitas rumah-rumah. Karena kata “nua” berasal dari kata banu(v)aq (PAN) yang artinya lebih luas, yaitu
sebagai dataran, tanah, dan pulau (Mbete, 2002: 108).
Selain hadirnya lapisan budaya Austronesia, di wilayah Ngada pada umumnya dan Kampung Guru
Sina khususnya, juga terdapat lapisan budaya Hindu purba. Lapisan budaya Hindu purba tampak misalnya
dalam serapan bahasa Sansekerta yang ada pada beberapa kosa kata bahasa lokal. Misalnya kata “dewa” dan
”bhaga” dalam sistem religi lokal (Arndt, 1929: 823; Arndt, 1958:100; bdk. Astra, dkk:1986: 269; Rg Weda,
2005: 93: 4; Watu, 2009). Begitupun kata untuk penamaan sebuah lokasi, seperti lokasi halaman kampung
yang disebut ”loka nua”. ”Loka” adalah serapan kata Sansekerta yang artinya ’tempat’ (Astra, dkk., 2000:
365; Watu,2009).
Arndt (1958: 33) berspekulasi bahwa ada beberapa leluhur orang Ngadha yang langsung berasal dari
India Timur Laut, dari suku yang diduga bernama Magadha yang tinggal di daerah Kurukshetra, yang
dewasa ini terletak di daerah Punjab-Haryana (bdk. Smedal, 1996: 67). Van Staveren (1916:120) mengklaim
bahwa suku bangsa yang berasal dari luar pulau Flores yang datang dari arah barat (Jawa) ke wilayah ini
sekitar 200 tahun SM, yang kemudian didukung oleh Vatter (1931:348). Muda (1986:16) mengutip informasi
dari J. Glinka (1978) dan menegaskan tentang populasi orang Ngada (khususnya etnik Ngadha) yang terdiri
dari dari tiga tipe ras, yaitu ras Negroid (47%); ras Mongoloid – Proto Melayu (24,5%), dan ras Kaukasoid
(28,5%). Lapisan budaya ketiga, yang turut membentuk wilayah penelitian ini adalah lapisan budaya Katolik
Roma. Budaya Katolik Roma masuk ke wilayah ini bersamaan dengan penjajah Belanda (1918) dan
penyebaran agama Katolik Roma oleh para misionaris SVD sejak tahun 1920.
Dari sisi kajian etnologi, berita tentang orang Guru Sina yang tinggal di kampung Guru Sina ini
dapat ditemukan pada laporan etnologi P. Arndt (Arndt, 1929: 357; 1954: 219-212). Orang Guru Sina adalah
orang yang berdiam di kampung Guru Sina, Orang Guru Sina dalam tulisan Arndt dikategorikan sebagai
subetnik Ngadha. Menurut salah satu versi mitologi setempat Guru Sina pada mulanya bukan sebuah nama
kampung. Guru Sina adalah nama manusia dan nama riwu Dewa (’leluhur yang telah bersekutu dengan
Tuhan’). Sebagai nama manusia, ”Guru Sina” ini adalah nama yang diberikan oleh leluhur yang bernama
Gale Ga’e untuk seorang leluhur pria, yang pada mulanya dikenal dengan julukan ”me ze’e” (’si buruk’, ’si
jahat’). Dia diberikan julukan me ze’e karena perilakunya yang tidak sopan dan jahat.
Supaya bertobat dari perilaku yang tidak sopan dan jahat, Gale Ga’e memberi me ze’e itu nama
baru, yaitu ”guru sina”. Dengan demikian melalui proses pergantian nama ke ”guru sina”, me ze’e
bertransfigurasi menjadi manusia ”guru sina”, yaitu menjadi ”guru” dan ”sinar”, atau ”terang”, yang
menghalau berbagai jenis kejahatan dan keburukan, mulai dari dirinya sendiri melalui tindakan pertobatan
dari dosa-dosanya. Jadi ”guru sina” adalah figur manusia baru, yang menjadi seorang ’guru’ bagi dirinya
sendiri dan bagi yang lain, dengan menghalau berbagai jenis kejahatan dan keburukan, mulai dari dirinya
sendiri. Dengan demikian manusia baru ini memberi terang kemuliaan bagi dunia atau menjadi manusia
teladan. Sesudah ”guru sina” ini meninggal, orang-orang mengenang dia dengan menjadikan namanya
sebagai nama kampung, yang dewasa ini dikenal dengan nama Kampung Guru Sina.1

1
Arndt (1929: 370) dalam uraiannya tentang religi orang Ngadha, mengkategorikan Guru Sina sebagai salah
satu Riwu Dewa, yang ”hadir” dalam ”Ture Ngadhu”, yaitu disolit di tengah kampung yang berada pada
pangkal Ngadhu (Tiang Korban), bersama dua pribadi ilahi yang lain, yaitu Bawa Rani dan Ngebu Nua.
Kepada ketiga pribadi Riwu Dewa yang menyatu dalam disolit Ngadhu itu, dikorbankan ayam, anjing, dan
babi (tiga binatang korban yang berasal dari hasil peliharaan yang disayangi), yang harus berwarna dominan
”merah”. Ketiga binatang korban itu kemudian ditanam bersamaan dengan penanaman Tiang Korban dalam
ritus Mula Ngadhu. Ngadhu yang ”ditanam” itu, juga harus memiliki ”kabu telu” (tiga akar) yang ditanamkan
ke dalam tanah, dan batang tubuhnya diukir harus ”nai telu” (tiga susunan). Ketiga susunan ukiran itu dipahat
dalam jangka waktu harus ”leza telu” (tiga hari), yang semuanya menunjuk pada kehadiran ketiga Riwu

8
Kampung Guru Sina, dalam dinamika sejarahnya adalah nama yang berlaku baik untuk
perkampungan lama (nua olo) maupun untuk perkampungan baru (nua muzi). Sebagai nama untuk
perkampungan lama, Guru Sina pada masanya antara lain didiami oleh komunitas Woe Kabi, Woe Ago Ka’e,
Woe Ago Azi, Woe Sede, dan komunitas Woe Siga. Komunitas Woe Sede pindah ke kampung Suza dan
bergabung dengan Woe Bu’u di situ. Komunitas Woe Siga pindah ke Nua Tolo Lela dan bergabung dengan
Woe Raba, dan Woe Bogo Metu di tempat tersebut. Woe Ago Ka’e, Woe Ago Azi dan Woe Kabi tetap berdiam
di kampung Guru Sina.
Perpindahan dari tempat yang lama ke tempat yang baru adalah bagian dari dinamika rancang
bangun kehidupan warganya ke arah yang lebih baik. Pemicu perpindahannya adalah kecelakaan dari raja
Pea Mole yang datang berkunjung ke perkampungan ini pada awal tahun 1930. Raja Pea Mole jatuh terguling
di ruas jalan menurun di perkampungan tersebut. Hal mana pada saat itu turut disaksikan oleh pastor
Hubertus Hermens,SVD yang menyertai kunjungan sang raja dalam rangka mengajar agama Katolik di
perkampungan ini.
Pater Hubertus Hermens,SVD, lalu menganjurkan kepada komunitas Nua setempat untuk
memindahkan perkampungan tersebut ke lokasi yang lebih landai. Beliau mengusulkan agar
perkampungannya pindah ke wilayah ”Nobe Nawa”. Wilayah ini diapiti oleh dua dataran, yaitu dataran
”Jere” dan dataran ”Watu Maba”, yang berada di sebelah selatan perkampungan yang lama, yang terletak di
punggung bukit itu. Setelah dilakukan ”rembuk kampung” dan divinasi tradisional untuk mengetahui
kehendak leluhur dan Yang Ilahi, maka lokasi Nobe Nawa itu menjadi lokasi perkampungan Guru Sina yang
baru, yang diresmikan secara meriah dalam ritual Ka Nua pada tahun 1942. Dewasa ini Guru Sina, adalah
Dusun I dari Desa Watu Manu.
5.1.1.3 Gambaran Etnografi

(1) Dinamika Bahasa


Manusia Guru Sina mempunyai bahasa lokal. Bahasa lokal orang Guru Sina termasuk rumpun
bahasa Lio-Ngadha. Bahasa ini tergolong jenis bahasa Austronesia, yang juga menyerap kata-kata Sansekerta
dan kata-kata dari bahasa Belanda dan Latin. Dalam bahasa lokal, ”kata” disebut ”pata”. Pata dalam bahasa
Ngadha juga berarti lembaran kain tenun atau tekstil tradisional. Dengan demikian ”pata” juga bermakna
sebagai teks. Teks formal yang kaya dengan unsur kearifan lokal yang menjadi tuturan adat dalam bahasa
setempat disebut pata dela. Pata dela adalah sabda leluhur yang memuat kebijaksanaan, yang dapat
mengarahkan perilaku manusia, dalam hubungan dengan sesama dan dengan Yang Ilahi (Watu, 2010).
Bahasa lokal tampaknya berproses ke arah entropi (pembusukan dari dalam). Ancaman kepunahan
tersebut sudah menjadi keprihatinan Unesco sejak tahun 2001, melalui penerbitan ”Atlas of the World
Language in Denger of Desappearing”, karya Stephen A. Wurn (Kompas, 23 Juni dan 30 Juni 2007: 40 D)
yang antara lain menggambarkan kepunahan dan sisa-sisa kebertahanan bahasa-bahasa lokal (baik bahasa
lokal yang berasal dari bahasa Austronesia maupun yang bukan Austronesia) di wilayah Indonesia Timur.
Namun dalam perspektif teori proses, istilah ”punah” mungkin berlebihan, karena menurut peneliti,
tuturan bahasa melekat dengan manusianya. Jika manusianya punah, barulah bahasanya punah. Jadi mungkin
bahasa-bahasa itu hanya berada dalam level perubahan, karena manusia itu tidak terlepas dari hukum
perubahan. Gejala perubahan bahasa lokal di Guru Sina juga ada. Tampak dalam penggunaannya dalam
ragam sehari-hari, yang mengalami percampuran sewenang-wenang antara bahasa lokal dan bahasa
Indonesia sesuai dengan keinginan penutur. Salah satu alasan percampuran sewenang-wenang adalah

Dewa tersebut.

9
karena bahasa lokal di Guru Sina adalah bahasa lisan yang belum mengalami proses pembakuan secara
sengaja melalui pendidikan di sekolah. Bahasa lokal, belum menjadi muatan lokal yang diajarkan di sekolah-
sekolah dasar dan menengah. Selain itu, para pendukungnya, terutama generasi mudanya memang lebih suka
berbahasa campuran Ngada – Indonesia. Ini adalah sebuah gejala postmodern yang kondusif terhadap
misteri suka ”campur-campur” (bahasa gaul Flores: ”rumpu rampe”) sesuai dengan kehendak bebas manusia.
Dalam kehidupan sehari-hari dewasa ini orang Guru Sina berkomunikasi menggunakan kombinasi
bahasa daerah Ngadha dan bahasa Indonesia dengan dialek dan intonasi Guru Sina. Ritual-ritual adat yang
dirayakan, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya menjadi agen dan media satu-satunya yang realtif
menyimpan dan membaharaui otentisitas dari warisan bahasa lokal itu sendiri.
(2) Dinamika Organsisasi Tradisional
Sistem organisasi tradisional yang menonjol di kampung Guru Sina adalah komunitas yang disebut
woe dan sa’o ngaza. Komunitas woe oleh beberapa etnolog seperti P. Arndt (1954: 204), Molnar (2000: 33)
diterjemahkan dengan istilah ”klan”, yang mengandaikan woe adalah sebuah persekutuan kekerabatan
genealogis, yang berasal dari leluhur yang sama.
Smedal (2000:107) mengartikan woe bukan sebagai klan, tetapi sebagai koalisi unit sosial sa’o
ngaza. Komunitas sa’o ngaza adalah unit sosial berbasis rumah, berupa organisasi rumah tangga yang terdiri
dari beberapa keluarga inti, yang memiliki hubungan genealogis. Pria dan wanita dari sa’o ngaza yang sama,
dilarang untuk saling menikah, karena berasal dari ‘kandungan ibu’ yang sama (tuka mogo/tuka ghi). Karena
itu unit sosial sa’o ngaza ini, menurut peneliti lebih cocok diartikan sebagai klan.
Woe yang merupakan koalisi sa’o ngaza itu, dalam studi Watu (2009) terdiri dari koalisi unit sosial
sa’o pu’u (rumah awal), sa’o lobo (rumah akhir), dan sa’o dhoro (rumah turunan). Koalisi ini di wilayah
perkampungan dipersatukan oleh ’tiang korban’ (ngadhu), ’rumah korban’ (bhaga). Simbol ikatan
persekutuannya bersifat religius (Latin, religere ’ikatan perjanjian’), karena itu konsep woe relatif identik
dengan konsep religi atau agama, dalam artinya yang perenial (Turner, 1991: 246; Aslan, 2005: 75). Tanda
keberadaan jumlah komunitas woe tersebut dapat dilihat dari jumlah bangunan ngadhu dan bhaga yang ada
di pelataran kampung.
Selain keberadaaan organisasi sosial yang bersifat tradisional, di wilayah ini terdapat pula pilar
organisasi sosial yang modern. Komunitas sosial itu muncul dalam bentuk organisasi sosial yang dibentuk
oleh Gereja Katolik, yang disebut Kelompok Umat Basis (KUB), yang terdiri dari tiga KUB yang
disesuaikan dengan kelompok woe. Organisasi yang dibentuk Negara, terdiri dari Dusun dan RT/RW. Dalam
konteks ini, Kampung Guru Sina menjadi Dusun I dari Desa Watu Manu, dengan tiga RT/RW, yang terkait
dengan komunitas woe, yang adalah koalisi unit sosial sa’o ngaza.
Ketiga pilar organisasi sosial itu, yaitu woe, KUB, dan dusun, mempunyai struktur sosial, ritus-ritus,
dan nilai-nilai yang diunggulkan, sesuai dengan karekteristiknya masing-masing. Walaupun ketiga pilar
sistem komunitas dan organisasi sosial itu relatif bersifat otonom dan bisa dibedakan secara konseptual,
namun ketiganya dapat saling berinteraksi setiap hari, karena dihidupkan oleh ’tubuh diri’ dari orang-orang
yang sama, baik pria maupun wanita, yaitu masyarakat subetnik Guru Sina.
(3) Dinamika Sistem Pengetahuan
Dinamika sistem pengetahuan dalam konteks uraian ini ditempatkan dalam isu relasi kemanusiaan
yang ada tata kramanya, yang menghargai kesetaraan status persona manusia dan sekaligus menghargai
status sosial yang memuat hirarki sosial. Status sosial, dalam gagasan Weberian (Kottak, 1999: 156), pada
umumnya memuat tiga dimensi stratifikasi sosial, yaitu berdasarkan kepemilikan ekonomi, besarnya

10
kekuasaan politis, dan berdasarkan prestise-prestise lokal, yang dalam budaya Ngadha tradisional dihargai
berdasarkan faktor usia, jenis kelamin, ideologi keturunan darah, dan penguasaan pengetahuan adat istiadat.

Dalam relasi personal yang mengandaikan kesetaraan kemanusiaan dan relasi sosial yang
mengandaikan adanya stratifikasi tersebut, orang harus ’pandai menempatkan dirinya’ (term lokal: kika).
Untuk itu seseorang harus menyadari status persona dan status sosialnya secara seimbang, yang masing-
masingnya memuat norma-norma kehidupan yang wajib dilaksanakan.

Status persona manusia dalam tradisi ini, antara lain dihargai sebagai pribadi yang memuat
’kesiapaan’ (sei), yang dalam tingkah laku hidupnya diharapkan untuk tidak ’berteman seperti binatang-
bintang liar sabana’ (doa moe go boro buta), dan ’tidak bergaul seperti burung-burung buas angkasa’ (woe
moe go iki biza). Manusia yang ’liar’ dan ’buas’, adalah manusia yang hidupnya melanggar norma dan
karenanya merendahkan status personanya setara dengan binatang.

Status sosial manusia berdasarkan kepemilikan sa’o ngaza, melahirkan hirarki sosial dalam kategori
mori sa’o (’tuan rumah’) dan tuka sa’o (’kerabat rumah’). Dan dalam status sosial berdasarkan ideologi
’kesejatian darah’ (ra’a ga’e) melahirkan hirarki sosial dalam kategori ga’e (’kelompok kakak’); kisa,
(’kelompok menengah’), dan azi (’kelompok adik’).

Dalam interaksi personal maupun sosial, setiap orang diharapkan untuk tahu menempatkan dirinya
dalam tatanan kosmologis dan normatif yang ada, sehingga layak disebut sebagai: kitaatta da ne’e magha
(’manusia yang mempunyai pikiran’) dan ”kitatta da ne’e adha” (’manusia yang mempunyai adat’).

Sebagaimana dimensi kebahasaan dan organisasi sosial, dinamika kehidupan sistem pengetahuan
dalam relasi personal dan relasi sosialnya, juga mengalami gejala campur-campur, akibat adanya perjumpaan
dengan sistem nilai moral dan pengetahuan yang berasal dari luar. Teristimewa perjumpaan dengan nilai-nilai
moral dan pengetahuan dari tradisi pendidikan agama Katolik yang telah hadir di wilayah ini sejak tahun
1920-an, yang ’bertumpuk’ dengan sistem pengetahuan dan pendidikan yang difasilitasi oleh Belanda pada
masa penjajahan dan sistem pengetahuan dan pendidikan dari negara Republik Indonesia pada masa
kemerdekaan hingga dewasa ini.

Di wilayah ini dalam dinamika pengembangan dimensi kearifan lokalnya, dilakukan melalui sistem
pendidikan pewarisan yang dalam istilah lokal disebut ”tuku toko nunga lema” (‘menyambung tulang dan
lidah’) yang berbasis budaya lisan. Dalam perjalanan waktu, pengembangan akal sehatnya itu, juga ditunjang
dengan budaya tulis melalui lembaga pendidikan formal.

(4) Dinamika Mata Pencaharian


Mata pencaharian orang Guru Sina hidup dari hasil pengolahan terhadap alam dan kehidupan
sosial. Pengolahan terhadap alam terlihat melalui kegiatan pertanian, peternakan, pertukangan, kerajinan
tenun ikat tradisional, dan industri kecil pembuatan minyak kelapa biasa dan minyak kelapa murni.
Dari sisi budaya bertani, berternak, dan pertukangan, untuk menjamin kesejahteraan hidup ekonomi
dan mendukung pola kehidupan menetap, diduga dibawa oleh kelompok etnik Guru Sina yang datang ke
wilayah ini dari arah utara (China-Austronesia). Mereka diperkirakan tiba di wilayah Flores pada umumnya
pada rentang tahun 1500-100 SM (Bellwood, 1995: 97). Bellwood (1995: 97-107) menginformasikan tentang
peradaban awal China – Austronesia, yang sudah memiliki sistem kultivasi (bertani, berternak, menenun,
pertukangan) sejak tahun 7000-5000 SM yang berpusat di Hemudu, Selatan Teluk Hangzou - Zhejiang,
Propinsi Fujian, China Selatan. Suku bangsa ini melakukan ekspansi dan migrasi ke arah selatan, dalam
durasi hitungan milenium hingga ke wilayah Nusantara. Diperkirakan pada tahun 2500 SM mereka baru

11
sampai di Kalimatan, Sulawesi, Jawa, Sumatera, dan kepulauan Maluku, lalu ke Flores sekitar tahun 1500-
1000 SM.
Dewasa ini kebanyakan para petani mengolah tanah dalam bentuk perkebunan skala kecil. Pola
perladangan ”tebas bakar” dan berpindah-pindah, pelan-pelan ditinggalkan, dan tampaknya sebagian besar
penduduknya hidup dari sektor perkebunan skala kecil tersebut, yang ditanami bukan hanya tanaman-
tanaman hortikultura, tetapi juga dengan tanaman perdagangan seperti kelapa, pinang, lontar, kemiri, vanili,
cengkeh, kakao, jambu mete, dan merica.
Pada masa lalu, para petani lokal, juga mengembangan ternak besar seperti kerbau (kaba) dan kuda
(jara). Namun dewasa ini tidak ada kandang-kandang kerbau dan kuda. Kerbau dan kuda sudah menjadi
binatang yang langka di wilayah ini. Ternak yang masih relatif banyak adalah babi (wawi), anjing (lako),
ayam (manu) dan kambing (rongo). Semua hewan tersebut berhubungan erat dengan kebutuhan-kebutuhan
pemenuhan gizi dan beberapa darinya menjadi bahan persembahan ritual, atau menjadi hewan korban utama,
yaitu manu (ayam) wawi (babi) dan kaba (kerbau).
Gambar 4 : Foto kerbau-kerbau yang siap dikurbankan di Kampung Guru Sina. Dokumen Watu,
2011

Sejauh pengamatan peneliti, tanaman padi (pare), jagung (sae), ubi (uwi), pisang (muku, riga), talas
(tale), dan berbagai tanaman hortikultura lainnya sesungguhnya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan
penduduk setempat. Bahkan ketahanan pangannya akan lebih terjamin jika mereka menghidupkan kembali
budaya lumbung, baik lumbung ubi-ubian (dhoka), lumbung padi (bo), maupun lumbung jagung (weo).
Negara ini perlu untuk serius mewujudkan kebijakan diversifikasi pangan demi peningkatan derajat
kesehatan penduduk lokal, dan terjaminya ketahanan pangan (UU No 7/1996, tentang Pangan), yang kiranya
terarah ke kedaulatan pangan (Kompas, 5 Juli 2007: 22).
Kemajuan transportasi di Guru Sina, dengan adanya jalan raya beraspal (sejak tahun 2004), rutin
dilayani oleh empat angkutan pedesaan setiap hari, yang hilir mudik dari Guru Sina ke pusat ibu kota
Bajawa, memperlancar dinamika kehidupan ekonomi masyarakat. Dinamika ini tampaknya mempengaruhi
nilai-nilai lokal yang pada mulanya lebih menekankan aspek sosialitas dengan ideologi ekonomi penopang
kehidupan, mulai bergeser dan bahkan diganti dengan nilai-nilai yang lebih menekankan aspek individualitas
dengan ideologi ekonomi pasar, yang dipengaruhi oleh kapitalisme global (Duchrow, 1999: 72).
(5) Dinamika Teknologi Lokal
Produk dan produksi teknologi lokal di Guru Sina itu sederhana dan selaras alam. Hal itu nampak
dari warisan teknologi pembuatan rumah tradisional dan pembuatan berbagai peralatan rumah tangga, seperti
periuk (bhogi), piring (wati), mangkok (se’a tua), senduk (fego), ember (bhaku), pengukur kelapa (regu), dan
bakul (bere) yang bahan baku pembuatan kerajinannya tersebut berasal dari lingkungan alam sekitar. Namun
dewasa ini bahan baku kerajinan anyaman bakul tersebut juga menggunakan bahan plastik seperti terlihat
pada foto berikut.
Gambar 5 : Seorang ’wanita tua’ (fine ga’e) yaitu Ine Uta yang mengisi waktunya dengan menganyam
bakul (bere) yang dianyam dari bahan plastik. Dokumen Watu, 2011
Pengerjaan rumah tradisionalnya juga menggunakan alat-alat pertukangan yang dominan dapat
dibuat sendiri. Bahan-bahan bangunannya dari unsur tiang, lantai, dinding, kuda-kuda, dan atapnya dibuat
dari bahan-bahan lokal. Pengerjaannya dibimbing oleh norma-norma moral dan norma-norma keilahian yang
terungkap dalam ritus-ritus proses pembuatannya, mulai dari penentuan waktu pengerjaan, sampai selesainya
proses pendirian rumah tersebut.

12
Pengolahan pertanian dikerjakan dalam kerangka siklus musim yang masih diwarnai pula oleh ritus-
ritus dengan peralatan-peralatan tradisional. Mereka juga memiliki teknologi pengolahan bahan makanan,
seperti teknologi pengawetan daging babi (su’i wu’u), daging kerbau dan daging kuda (rapa) yang tanpa
bahan kimia, dan berbagai resep masakan lokal, seperti resep masakan ”ra’a réte”, yang disesuaikan jenis-
jenis bahan makanan yang melayani selera mereka.
Para wanita Guru Sina masih memiliki teknologi pembuatan pakian adat. Semua peralatan tenun,
pembuatan benang, proses pewarnaan, dominan dibuat dari bahan-bahan alamiah. Proses pembutannya juga
ada norma-normanya, termasuk dalam dekorasi motif-motifnya yang disesuaikan dengan status sosial para
pemakainya baik berdasarkan seks maupun berdasarkan strata sosial. Produk kain tenun adat pria disebut
”sapu” (’kain untuk menutup tubuh bagian pinggang ke bawah’), ”lu’e” (selempang untuk menutup tubuh
dari pinggang ke bahu) dan ”boku” (destar). Pakian wanita, disebut ”lawo”. Warna dominan dari kain
tradisionalnya berwarna hitam tarum (nila), dengan warna dekorasi motif yang biru, putih, dan kuning.
Warna destarnya hanya berwarna merah tua.
Dewasa ini produk kain tenunnya mengalami proses komodifikasi, sehingga demi kecepatan
pembuatannya, maka benang-benangnya adalah benang industri yang dibeli di pasar, bahan pewarnanya juga
menggunakan bahan pewarna kimia. Warna kain dan motif-motif dekorasinya mengalami variasi,
disesuaikan dengan selera pasar, tanpa mempertimbangkan lagi status sosial dari para pemakainya. Jika para
pembeli menghendaki produk yang berbasis bahan alamiah dengan motif dekorasi tradisional, maka para
penenun akan melayaninya dengan harga yang lebih mahal. Dengan proses komodifikasi, pertimbangan nilai
ekonomi mengalahkan nilai-nilai yang lain, seperti nilai sosial dan religius dalam proses produksi kain
tenun lokal.
(6) Dinamika Kesenian Lokal
Dalam relasinya dengan alam, manusia juga mengalami sentuhan estetika dan ditugaskan untuk
memperindah alam raya melalui produk budaya yang memuat unsur kesenian. Karena itu, dalam tradisi lokal,
para pembuat rumah tradisional bukan sekedar tukang, tetapi adalah juga seorang seniman. Mereka disebut
kaum lima pade (’tangan pandai’).
Dalam keseluruhan proses pembangunan bangunan ritual seperti bangunan sa’o ngaza, ngadhu dan
bhaga misalnya, semua jenis keseniannya akan diproduksi dan dipentaskan, baik itu seni ukir, seni tari, seni
suara/musik, maupun seni sastra. Dari gejala seperti ini, memperlihatkan model berkesenian orang Guru Sina
yang tidak otonom (seni untuk seni), tetapi seni untuk manusia dan Tuhan, dengan pola ekpresi seni yang
bersifat holistik (serba terkait, saling bergantung, dan sebagai sebuah kesatuan dalam keragaman).
Seni sastra tradisional terungkap dalam produk ceritera rakyat (numu nange) dan puisi-puisi
tradisional (pata dela dan pata teke). Seni ukir terungkap dalam ukiran-ukiran yang terpahat pada bangunan-
bangunan tradisi yang disebut weti, atau ukiran-ukiran pada benda-benda kerajinan yang dibuat dari bahan
logam maupun non logam yang disebut rika, dan ukiran pada kain tenun adat yang disebut ”pojo”.
Dari sisi dekorasi ukiran rumah adat dan benda-benda perhiasan dari logam, memperlihatkan adanya
pengaruh dekorasi budaya Lapita (Smedal, 2000: 123). Jika teori ini benar, berarti imigran yang berasal dari
timur (Oceania) yang berdiam di wilayah ini, datang dalam rentang waktu yang bersamaan (kurang lebih
tahun 1500 - 500 SM), dengan imigran yang datang dari utara (Bellwood, 1995: 97).
Tarian ’ja’i’ adalah tarian masal yang paling sering dipentaskan, baik dalam acara-acara adat
maupun acara-acara kegerejaan dan kenegaraan. Berikut adalah foto tarian ja’i yang dipentaskan pada saat
acara adat di Kampung Guru Sina.

13
Gambar 6 : Tarian masal ja’i dengan pakian adat lengkap. Dokumen Watu, 2011.
Selain kesesenian tradisional, di Guru Sina juga berkembang kesenian modern yang dipengaruhi
oleh lapisan budaya modern yang disosialisasikan lewat media pendidikan maupun media-media informasi
lainnya. Di rumah-rumah tinggal masyarakat setempat digantung dan ditempatkan dengan penuh hormat
lukisan dan patung Bunda Maria dan Yesus Kristus. Tarian pada saat pesta pernikahan, tidak hanya tarian-
tarian tradisional, tetapi juga berbagai tarian yang berasal dari budaya luar, seperti ” dance” dan ”joged ”,
lengkap dengan iringan peralatan-peralatan musik modern.
(7) Dinamika Sistem Religi
Orang Guru Sina memiliki religi lokal. Religi ini tetap bertahan selama dipertahankan oleh
komunitas pendukungnya, yang terorganisir dalam persekutuan woe dan diwujudkan terus menerus dalam
ritus-ritus. Religi lokal ini menyembah Yang Ilahi dalam nama umum: Ine Ema (’Ibu Bapa’), dan Dewa
(’TUHAN’, ’Allah’) dengan beberapa varian rumusannya.
Kedatangan imigran berbudaya Austronesia ke Flores, termasuk ke wilayah Ngada menandai pula
dinamika kepercayaan kepada Yang Ilahi tersebut. Citraan Ilahi dalam kawasan pengaruh budaya
Austronesia pada umumnya menunjuk pada citraan “Ibu - Bapa”. Di Kabupaten Manggarai Yang Ilahi
disapa dengan nama “Ema Eta, Ine Wa” - Bapa di Atas Ibu di Bawah. Di Ngadha disapa dengan nama ”Ine
Ema” - Ibu Bapa. Di Ende-Lio disapa dengan nama Ndua Lulu Wula, Nggae Wena Tana” - Pencipta yang
melampaui bulan, Penguasa yang melampaui kedalaman tanah. Di Sikka disapa ” Ama Lero Wulan Reta, Ina
Nian Tana Wawa” -Bapa Matahari Bulan di Atas, dan Ibu di sini Tanah. Di Flores Timur disapa ”Lero
Wulan Tana Ekan” – Matahari Bulan, Tanah Bumi (Barnes, 1972: 86; Le Bar, 1972: 90-94).
Selanjutnya, kontak dengan Hindu purba turut pula mewarnai serapan pencitraan terhadap Yang
Ilahi, dan uniknya hal ini hanya tersimpan jejaknya di wilayah Kabupaten Ngada. Karena hanya orang Flores
yang berdiam di wilayah ini menyebut nama Yang Ilahi dengan serapan dari tradisi bahasa Sansekerta yaitu
”Dewa” (Arndt, 1958: 100).
Dalam konteks inkulturasi dengan lapisan bahasa Austronesia dan Sansekerta, orang Ngadha
menyapa Yang Ilahi dengan sebutan ”Dewa Zeta Nitu Zale” atau versi ringkas ”Nitu Dewa. Nitu adalah
nama inkulturatif yang berasal dari tradisi Austronesia di wilayah Indonesia Timur (Molnar, 2000: 73),
khususnya di wilayah yang dipengaruhi bahasa Central Malayo Polynesian (CMP) dan Central East Malayo-
Polynesian (CEMP). ”Dewa” adalah nama Yang Ilahi dari serapan tradisi bahasa Sansekerta (Hindu purba).
Nama Dewa masih bergema dalam ritus orang Guru Sina, dan tampaknya masih dihayati dengan
cukup baik, minimal dalam diri generasi tua, yang setia merayakan ritus-ritus di rumah-rumah tradisional dan
pada aneka disolit (watu lanu) yang berada di dalam lingkup perkampungan, maupun di kebun-kebun (uma
moni/mata nia).
Sebagai para penganut agama Katolik Roma yang menyembah Tritunggal Maha Kudus, nama Yang
Ilahi tersebut diinkulturasikan dalam bahasa lokal dengan panggilan Dewa Ema, Dewa Ana, dan Dewa
Ngaru Santo (Ghono, dkk, 2000: 1). Dalam bahasa Indonesia, nama ”Dewa” dialih bahasakan dengan nama
”Tuhan” dan ”Allah”. Tuhan diambil dari serapan tradisi Melayu-Austronesia. Allah diambil dari serapan
bahasa Arab, tapi bukan dalam arti seperti yang diajarkan oleh Al Quran, tetapi dalam arti seperti yang
diwartakan Al Kitab.
Orang Guru Sina dewasa ini 100 % menganut agama Katolik atau menjadi anggota Gereja Katolik.
Konversi menjadi anggota Gereja Katolik berlangsung secara hegemonik dan bergelombang, melalui media
katekese atau pendidikan agama ini, yang dilakukan oleh para misionaris dan murid-muridnya (guru agama)

14
mulai tahun 1920-an. Konversi besar-besaran, terjadi pada tahun 1969, seiring dengan desakan negara yang
mewajibkan warganya untuk memilih salah satu agama yang diakui di Indonesia.
Walaupun semua orang Guru Sina adalah penganut agama Katolik Roma bukan berarti mereka telah
melepaskan agama aslinya. Alex Jebadu (2007: 119) menunjukkan fenomena yang relatif sama, yang juga
terjadi di benua Afrika, di Indonesia pada umumnya dan di Melanesia di kalangan para penganut Katolik
Roma. Di Flores, khususnya di kabupaten Ngada, hal itu merupakan gejala ”cultural-ethical dual citizenship
(’dwi kewargaaan kultural–etis’) dan karenanya mereka sah memiliki ”dual citizenship in faith” (’dwi
kewargaan dalam iman’), sebagaimana diteorikan pula oleh teolog Hans Küng (Küng dan Ching, 1988:
272).

Dalam pengalaman dan pengamatan peneliti, ada tiga gejala hidup beragama yang hadir di wilayah
Guru Sina. Pertama, ada orang Guru Sina yang merasa terasing dan tercabut dari akar kulturalnya, karena
mengabaikan sistem makna dari kearifan lokal religi leluhurnya. Kedua, ada warga kampung yang
mengalami kegamangan dalam ekspresi dan perwujudan kagamaannya. Perilaku beragamanya cenderung
bersifat ambivalen antara kesetiaan kepada religi lokal (puju-vedhi ) dan religi katolik. Kebanyakan generasi
tua, yang berumur di atas lima puluh tahun mengalami hal ini. Kalau terjadi suatu bencana dalam keluarga,
biasanya kelompok ini akan mudah mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena mereka lalai dalam
memberikan puja puji kepada Yang Ilahi dan Leluhur. Mereka akan segera melaksanakan puju vedhi di
tempat-tempat pemujaannya.

Ketiga, ada pula orang Guru Sina yang sudah merasa nyaman dalam pengungkapan dan perwujudan
imannya karena mereka telah mengalami semacam proses inkulturasi dengan agama Katolik. Mereka ini
pada umumnya menjadi aktifis Gereja. Bapa Godefridus Neno, dela dari Woe Ago Azi, yang juga seorang
aktifis Gereja (dalam Watu, 2009), malah menempatkan arca Salib Kristus di atas Mata Raga rumah
tradisionalnya. Dia bahkan mengatakan bahwa setiap tindakan puju vedhi yang dipimpin olehnya selama ini,
didahului oleh ”Tanda Salib” sebagai pernyataan kepercayaan kepada Tritunggal Maha Kudus. Baginya
ajaran dari leluhur tentang Dewa Saga Telu (’Satu Tuhan Tiga Jalan’) sama dengan ajaran dari Gereja tentang
Tritunggal Maha Kudus.

Dari penjelasan terdahulu, secara singkat dapat dikatakan bahwa dinamika praksis hidup beragama
di wilayah penelitian Guru Sina, secara kultural berada dalam suasana ekspresi religi yang eklektis. Mereka
hidup dalam tenunan ekspresi religi dari warisan tradisi lokal (Austronesia dan Hindu purba) dan tradisi
Katolik Roma. Agama Katolik Roma menjadi agama resmi dan dominan di wilayah budaya ini.

BAB III
Rancang Bangun Kepribadian Bangsa
dan Kepribadian Nasional Yang Multikultural

Tujuan dari pokok bahasan ini adalah agar mahasiswa secara dinamis memahami manusia dan
kebudayaan Indonesia dari sisi rancang bangun yang beradab terhadap makna kepribadian bangsa dan
kepribadian nasional yang multikultural.
Kepribadian bangsa berkaitan dengan Kehidupan masyarakat yg sumber nilainya berasal
dari etniknya masing-masing. Sumber nilaninya juga berasal dari agamanya masing-masing; sumber
internalnya berasal dari institusi suara hati.

15
Kepribadian nacional= Berkaitan dengan sumber nilai dari konstitusi negara dari level tertinggi
hingga yg paling rendah yaitu RT/RW,, sumber nilainya adalah UUD yg sudah diamandemen sampai
tahap ke-4.
2 sumber nilai ekonomi= Sumber nilai solidaritas dan subsidiaritas.
3.1 Pengantar
Istilah ‘kepribadian bangsa’ dan ‘kepribadian nasional’ seringkali dipergunakan dalam pidato-pidato
resmi dan pernyataan-pernyataan politis kenegaraan di NKRI. Terutama dalam rangka ajakan untuk
mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa atau dalam rangka menegaskan identitas negara.
Kedua istilah itu akan dikupas di sini dalam konteks wacana akademis tentang manusia dan
kebudayaan Indonesia. Kupasannya akan mempergunakan pendekatan filosofis (epistemilogi realis) tentang
gejala tumbuhnya kesadaran yang disebut kepribadian bangsa dan kepribadian nasional menurut hakekatnya
yang terdalam.
Ada empat hal yang diuraikan. 1) Pribadi dan kepribadian dalam perspektif psikologi, filsafat dan
kebudayaan; 2) Masyarakat (society) dan negara (state); 3) Sekilas tentang sejarah bangsa dan negara
Indonesia; 4) Rancang bangun makna kepribadian bangsa dan kepribadian nasional.
3.2 Pribadi dan kepribadian dalam perspektif psikologi dan tenunan filsafat agama katolik dan
kebudayaan lokal PRIBADI- PROSOPON (YUNANI)
Istilah ’kepribadian bangsa’ dan ’kepribadian nasional’ merupakan istilah yang khas untuk Indonesia
dan pertama kali dikupas oleh N. Drijarkara, SJ. (Sudiarja, 2000). Mendengar kata ’kepribadian’ asosiasi
insani diarahkan pada perspektif psikologi. Dalam psikologi, arti ’kepribadian’ dirumuskan sebagai
kumpulan sifat-sifat atau karakter yang dimiliki oleh seorang individu, dan menjadi ciri dari individu
tersebut. Namun dalam perspektif psikologi budaya, kepribadian tidak hanya diterapkan pada individu
manusia tetapi juga untuk suatu kelompok manusia, yang disebut bangsa. Dalam koteks ini, kepribadian
tersebut dinamakan kepribadian kolektif.
Dalam fenomena kehidupan berbangsa dan bernegara, istilah kepribadian bangsa dan kepribadian
nasional itu, tidak jarang diasosiasikan pula dengan ’budi bahasa yang halus’, ’adat ketimuran’, ’keramah
tamahan’, pemakaian kebaya oleh kaum wanita dan pemakaian peci oleh kaum pria, dsbnya. Asosiasi inilah
yang sering dikenal dalam level akal sehat oleh kebanyakan orang. Sudah saatnya kita ’mendayung ke
tempat yang lebih dalam’ , yaitu mencoba menggali maknanya dalam level ilmiah.
Dalam level ilmiah ini akan diterangkan dalam pengertian berbasis ilmu psikologi, selanjutnya dalam
pengertian bebasis filsafat yaitu dalam tenunan perspektif filsafat agama dan filsafat kebudayaan lokal.
Dalam terminologi psikologis, kepribadian dibedakan dari pribadi. Pribadi adalah manusia individual
dengan segala sifat perwatakannya. Kepribadian adalah organisasi utuh dan dinamis dari sifat-sifat individu
yang meliputi dimensi fisik, mental, moral dan spiritual.` Sifat-sifat itu menampakan diri di hadapan orang
lain dalam rangka pergaulan sosial.1 Seringkali penjelasan tentang dimensi kepribadian itu menyebutkan pula
unsur instink, kebiasaan, minat dan hobi; perasaan dan cita-cita, pandangan hidup dan kepercayaan. Jikalau
demikian, maka yang dimaksudkan dalam uraian tersebut adalah semacam keperibadian sekunder. Sebab
sifat-sifat dalam taraf instink misalnya, bersifat labil dan karenanya mudah berubah-ubah oleh pengaruh dari
luar (situasi dan kondisi).
Pembedaan di atas memberi kesan bahwa ’pribadi’ hanyalah sebutan umum untuk individu manusia
(untuk membedakannya dari makhluk lain), sedangkan ’kepribadian’ sebagai konsep yang lebih penting
melukiskan seluruh dinamika kehidupan individu yang terhubung dengan sesamanya. Apabila individu

1
Drever, James, A Dictionary of Psycholgy, (revised by Harvey Walerstein), Middelsex, Penguin 1976, hlm.
207-208.

16
tertentu memperlihatkan sifat yang relatif ’stabil’, maka kita memperoleh gambaran mengenai ’kepribadian
primer’ dan jika ia memperlihatkan watak yang relatif labil, maka hal itu memperlihatkan misteri kepribadian
sekunder-nya.
Penjelasan psikologis di atas mempunyai kaitan erat dengan pandangan filosofis tentang misteri
kepribadian pada umumnya. Rumusan filsafat tentang manusia sebagai pribadi (persona) baru secara ekplisit
dinyatakan pada abad ke 6 M. Filsuf Boethius(salah satu guru dari Thomas Aquinas) mengatakan: ’persona
est rationalis naturae individua substantia” (’pribadi adalah substansi individual yang secara kodrati besifat
rasional’). Rumusan tersebut memuat tiga unsur penting dalam pokok pembicaraan filosofis, yakni
’substansi’ (substantia), ’individu’ (individuus), dan ’rasio’ (rationale). Rumusan tersebut menyatakan bahwa
dari kodratnya manusia adalah orang atau pribadi, sebab semua manusia adalah substansi individual yang
rasional.
Dari perspektif filsafat agama katolik, pernyataan Boethius itu dianut dan diperkaya oleh Thomas
Aquinas dan kaum Neo- Thomisme berikutnya. Hal itu ditempatkan dalam kerangka pemaknaan diri sejati
insani, yang rasionalitasnya tertenun indah dengan dimensi perasaan dan kehendak, yang harus diolah
sedemikian rupa untuk selaras dengan kehendak Bapa (Mat 6: 9-13). Itulah rahasia kepenuhan aspek psuke
(kejiwaan) insani dan pneuma (spiritual) atau dimensi hatinuraninya. Hal itu menegaskan kebenaran wahyu
Ilahi tentang beradaan individual manusia sebagai makhluk pribadi yang memiliki elemen tubuh – jiwa - roh
(1 Tes 5: 23).
Dalam penjelasan filsafat kebudayaan lokal (kasus filsafat Pata Dela dari etnik Ngada), individu
manusia itu terdiri dari elemen tebo-weki-mae. Tebo adalah tubuh fisik insani, dan weki (diri) yang terdiri
elemen jiwa yang positif yang disebut waka dan jiwa yang negatif yang disebut wera, dan elemen roh atau
sukmanya disebut mae. Sebagai persona atau orang (atta), manusia itu niscaya memiliki nama dan dapat
dipanggil dengan kata ganti persona, yaitu aku (ja’o), engkau (kau), dia (gazi), kita (kitta), kamu (miu);
mereka (siza).
Pada era filsafat modern Cartesian, dimensi rasionalitas insani menjadi topik wacana yang hangat.
Jargon dari Descartes ”Cogito ergo sum” menjadi panji pemikirannya. Masa ini juga disebut masa
”Aufklälrung’ (’pencerahan’) dan berkembang ke arah rasionalisme yang angkuh sampai pada era posmo
dewasa ini.
Pemahaman pribadi yang memberi tekanan kuat pada dimensi rasio mulai dianggap berat sebelah,
karena menimbulkan banyak kesulitan dalam memandang kenyataan manusia sebagai manusia yang utuh.
Keberat sebelahan ini mungkin dilatar belakangi pandangan dualime Platonian yang hanya menganggap ada
dua unsur konstitutif insani yakni jiwa dan badan, yang digunakan oleh Descartes dalam pahamnya tentang
manusia dalam terang misteri res cogitans (kesadaran) dan res extensa (materi). Dalam pemisahan yang
tegas ini, rasionalitas seolah-olah bagian dari kemampuan kejiwaan semata-mata yang berdiri sendiri dan
lebih agung dari kemampuan lain yang inheren ada dalam diri insani. Peta mental seperti ini
melatarbelakangi juga sikap-sikap simplisitas dan oposisi biner manusia Timur pada umumnya, yang
menganggap – misalnya kebudayaan Timur-nya bersifat rohani dan karenanya lebih ’luhur’ dibandingkan
kebudayaan Barat yang bersiat materialistis dan karenanya ’tidak luhur’.
Dalam kancah pengaruh teori Evolusi Darwinian, konsep kepribadian manusia mulai juga dilihat dalam
konteks historisnya. Pemahaman tentang substansi dalam ontologi Aristotelenian yang diteruskan oleh
Boethius dan Thomas Aquinas mulai diperdebatkan dan bahkan ada yang ditinggalkan. Para filsuf lebih
tertarik pada ontologi proses dan ontologi relasi yang dalam konteks diskusi tentang persona, melahirkan

17
semacam semangat ’personalisme’ yang cenderung berlebihan pula. Berbeda dari ontologi lama yang
memandang manusia lebih secara metafisik, aliran baru ini lebih berciri historis dan evolutif. Berbeda dari
evolusi Darwinian yang determinstis, bagi kaum personalis seluruh misteri perkembangan, termasuk
perkembangan manusia, bukanlah perkembangan yang mekanistis yang digerakkan oleh kekuatan-kekuatan
dari luar saja, melainkan juga perkembangan yang berasal dari dalam elemen makhluk yang memuat unsur
self-organizing dan self- creative-nya masing-masing. Hal mana sesungguhnya juga tidak bertentangan
dengan pandangan filsafat agama katolik, yang melihat misteri pertumbuhan dan perkembangan (evolusi –
revolusi –involusi), sebagai perwujudan dari keterlibatan segenap makhluk dalam panggilannya sebagai
rekan Pencipta (co-Creator) dari Trtunggal Maha Kudus (Kej 1: 26-28). Dalam gagasan Louis Lavelle,
Georgias Le Senne, Emanuel Mounier, dan Nedoncelle, manusia dipandang sebagai ’persona’ (pribadi)
karena relasi keterbukaannya pada masa depan, yang memperlihatkan figurnya sebagai pencipta hidup dan
sejarahnya sendiri (Sudiarja, 2000). Atau dalam padangan Mikhael Polanyi, pribadi bukanlah sekedar ’aku
yang sadar/berpikir’ (cogito ergo sum), tetapi juga ’aku yang bertanggung jawab’ (respondeo ergo sum).
Maka bertindak secara kreatif dan konstruktif adalah bertindak yang sadar dan bertanggung jawab.
Pokok pikiran lain yang mendapatkan perhatian dari kaum personalis adalah pembedaan konsep
”pribadi” dari ”individu”. Hal ini tampak secara implisit dari sasaran kritik mereka terhadap ajaran
’individualisme borjuis’ maupun ’kolektivitas totaliterian. Paham individualisme borjuis sangat
mengagungkan kebebasan individual yang mengejar kepentingan-kepentingannya sendiri dan dengan risiko
mengabaikan kepentingan sesamanya. Individu dianggap paling penting dari ekesistensi masyarakat. Di sisi
lain, kolektivitas dan totaliterianisme mengabaikan kepentingan individu sama sekali.
Dari sisi epistemologi realis, masing-masing ajaran ini keliru dalam dua hal. Pertama, mereka
memperlawankan individu dengan masyarakat secara antagonistis; dan memihak salah satu dengan
mengabaikan yang lain. Kedua, karena menempatkan manusia dalam perspektif individual, bukan personal.
Baik individualisme maupun totalitarianisme keduanya tidak memandang manusia sebagai pribadi yang
hidup, berkembang dan utuh (Copleston, 1963: 110-111).
Tentu saja cara pandang seperti ini mempunyai implikasi yang sangat menentukan dalam melihat
hubungan antarmanusia. Personalisme sendiri tidak menyangkal adanya individu, tetapi membedakannya
dengan tegas dari pribadi (persona). Individu adalah manusia sejauh dipandang sebagai pusat dalam dirinya
sendiri. Individu adalah ego. Individu adalah manusia egois. Individu juga adalah starata paling rendah dari
manusia; yakni manusia sejauh dipandang seperti ‘pasir’ di pantai, sebagai unsur pasif dari kenyataan diri
manusia. Dalam perspektif ini sebenarnya tak ada bedanya antara sistem individualisme dan
kolektivisme/totaliterianisme, karena dalam prapaham keduanya manusia tidak dihargai sebagai makhluk
yang aktif sebagaimana layaknya. Personalisme sebaliknya menempatkan manusia sebagai pribadi, yakni
sebagai manusia yang aktif menanggapi panggilan intelektual dan moral untuk berbuat sesuatu yang baik dan
rasional, sekaligus sebagai insan yang aktif menanggapi panggilan spritual yang memiliki semangat dan
sikap hidup yang terhubung dengan realitas ketuhanan yang inheren hadir sebagai ‘api’ kehidupannya.
Dengan demikian ia sanggup menampakkan kemandirian moral yang tulen dalam bingkai perwujudan hirarki
nilai secara bertanggung jawab, dan melaluinya dapat bersikap merdeka atau terbuka untuk merencanakan
dan menentukan kehidupannya sendiri tanpa mengabaikan kepentingan sesamanya, yang lain.
Dari penjelasan terdahulu dapat disimpulkan bahwa dari perspektif filsafat pembedaan antara istilah
‘pribadi’ dan ‘kepribadian’ tidak terlalu relevan untuk dipertajam. Istilah pribadi menunjuk pada subjeknya,
sedangkan kepribadian pada karakter-karakter dasar sebagaimana diterangkan oleh kaum personalis.

18
Karakter-karakter dasar ini oleh Bakker disejajarkan dengan unsur kerohanian insani. Kerohanian insani itu
bukanlah konstitusi oposisi biner yang terpisah dari kejasmanian, sebagaimana dipahami umum.
Selanjutnya dalam perspektif kajian budaya, kerohanian itu terungkap dalam kebudayaan, yakni
kegiatan manusia yang meliputi seluruh strata elemen manusia (fisik, psikis, dan spirit) secara utuh dan
terkait (Bakker, 1992:113-116). Di atas dasar konsep kepribadian seperti inilah faham kepribadian bangsa
dan kepribadian nasional perlu dikupas.
Karena konsep kepribadian bangsa dan kepribadian nasional itu menyentuh persoalan hidup
bermasyarakat dan bernegara, maka perlulah disoroti konsep tentang masyarakat dan negara. F. Tőnnies
(1957: 216-218) menawarkan teori tentang masyarakat (society) dalam konteks penjelasan tentang misteri
komunitas (community).
Dalam kerangka pemikiran tersebut, komunitas merupakan kelompok manusia yang hidup bersama dan
disatukan oleh kehendak alamiah (natural will). Sedangkan masyarakat merupakan kelompok manusia yang
hidup bersama menurut struktur-struktur yang digerakkan oleh kehendak bersama yang rasional (rational
will). Komunitas seperti organisme digerakkan dari dalam oleh anggota-anggotanya yang merupakan unsur-
unsur pembentuk kesatuannya. Sementara kesatuan sebuah masyarakat lebih digerakkan oleh kebutuhan dari
luar berupa tujuan yang dirumuskan bersama. Namun, masyarakat dengan elemen kehendak bebas yang
bertujuan rasional itu tak terpisahkan dari kesatuan komunitas yang merupakan sisi dalamnya.
Selanjutnya, dalam konteks komunitas dan kemasyarakatan itu muncul negara sebagai bentuk
perwujudan masyarakat kewargaan, yang mengandung ciri-ciri rasional bertujuan itu. Dengan demikian,
bernegara atau menegara hanyalah bagian dari perwujudan masyarakat, yang dalam perspektif Hobbes,
Rousseau, dan Locke dilahirkan oleh adanya perjanjian sosial.
Dari penjelasan di atas muncul sebuah pertanyaan dasar: ”Apakah negara bisa disamakan begitu saja
dengan masyarakat?” Jawaban terhadap pertanyaan ini ada implikasi politis, karena menyangkut sistem
pemerintahan negara. Sistem-sistem pemerintahan di banyak negara bergerak di antara ideologi liberalisme,
yang memisahkan dan membedakan dengan tegas ’negara’ dari ’masyarakat’; dan totalitarianisme yang
sebaliknya, yaitu justru mengidentikkan secara total kedua entitas itu.
Dalam analisis terdahulu tentang konsep kepribadian, kedua ideologi itu telah ditolak karena
memandang manusia bukan sebagai pribadi melainkan sekedar sebagai individu. Kedua sistem tersebut pun
cacat karena bersifat ektrim kiri dan kanan yang tidak mencerminkan realitas politik insani. Sebab dalam
kenyataan, negara dan masyarakat tak bisa dipisahkan atau pun disamakan secara total. Para warga negara itu
sekaligus warga masyarakat. Walaupun di sisi berbeda harus diakui bahwa negara tidak mencermikan seluruh
kenyataan masyarakat. Bernegara atau menegara hanyalah sebagian dari wujud kegiatan masyarakat – betapa
pun pentingnya kegiatan itu – sebab di samping itu semua masih ada kegiatan-kegiatan kemasyarakatan
lainya yang relatif otonom. Seperti berkeluarga, beragama, dan berkoperasi. Kegiatan-kegiatan itu menurut
kodratnya tidak sepenuhnya dimasukkan dalam kerangka dan dicampur tangani terlampau jauh oleh negara.
Dengan kata lain, negara tak selalu dapat disamakan begitu saja dengan masyarakat, yang dalam hal ini
memiliki karakter yang sangat erat dengan makna komunitas. Namun dalam perspektif yang agak berbeda,
masyarakat yang merupakan basis tempat berdirinya negara itu dapat direfleksikan sebagai suatu entitas yang
bersifat komuniter. Sementara negara yang muncul dari elemen masyarakat berciri rasional bertujuan.
Dalam filsafat politik, ’negara’ adalah konsep yang berkaitan dengan landasan hukum dan birokrasi.
Negara merupakan kegiatan masyarakat dalam dimensi praktis-politis. Artinya eksistensi masyarakat itu
diwujud nyatakan dalam pelaksanaan hukum dan birokrasi negara, baik dalam hubungan internal maupun

19
hubungan eksternal. Kedudukan yuridis suatu negara biasanya diterima melalui pengakuan resmi dari
masyarakat ’antar bangsa’ (international community), yaitu dari kelompok negara-negara sahabat yang sudah
resmi diakui karena memenuhi syarat-syarat yuridis tertentu. Menurut Anderson (1990:102), secara de yure
sebuah negara itu bereksistensi apabila memenuhi keempat unsur berikut. 1) Rakyat; 2) wilayah; 3)
pemerintahan; dan 4) kedaulatan. Pengakuan resmi terhadap sebuah ’negara baru’ menjadi dasar yuridis
ekesistensi negara itu dalam kancah pergaulan antarbangsa. Sosok kehadirannya itu direpresentasikan secara
resmi oleh pemerintahan negara tertentu itu.
Berbeda dari negara, masyarakat tidak membutuhkan pengakuan yuridis dari mana pun. Konsep
masyarakat menunjuk pada kenyataan yang berciri etnik – kultural, yakni kelompok orang yang memiliki
karakter-karakter dasar yang relatif sama, kendati wilayah ataupun kedaulatannya tidak atau belum diakui
oleh masyarakat internasional. Dengan kata lain, sejauh sebuah masyarakat memperlihatkan ikatan
kebersamaan etnik-kultural secara nyata, eksistensi mereka tidak perlu diragukan. Namun catatan yang perlu
dicermati adalah bahwa suatu masyarakat yang tidak mempunyai negara itu, sulit sekali untuk masuk dalam
pergaulan antarbangsa dan leluasa berperan di dalamnya.
Berbeda dari konsep ’negara’, masyarakat adalah fenomen yang tidak memerlukan pengakuan yuridis.
Konsep ’masyarakat’ menunjuk pada kenyataan yang bersifat etnis-kultural, yakni kelompok orang yang
memiliki karakter-karakter dasar kolektif yang relatif sama. Kendati wilayah ataupun kedaulatannya tidak
atau belum diakui masyarakat internasional, namun sejauh mereka memperlihatkan ikatan kebersamaan
etnis-kultural secara nyata, eksistensi mereka sebenarnya tak dapat diragukan. Akan tetapi secara politis, pada
jaman kontemporer ini pergaulan resmi masyarakat internasional amat mendasarkan diri pada pengakutan
eksistensi negara yang diwakili oleh pemerintah masing-masing. Suatu masyarkat yang tidak mempunyai
negara sulit sekali masuk dalam pergaulan antarbangsa (international community) untuk dapat berperanserta
di dalamnya.
Pembedaan antara negara dan masyarakat juga mempunyai implikasi dalam dinamika internal dari
masyarakat atau negara, terutama menyangkut moral pergaulan yang termuat dalam kedua kedudukan
masing-masing. Dalam kerangka masyarakat, hubungan sosial bersifat spontan, cenderung luwes dan norma
pergaulan menata kegiatan yang relatif sangat luas, seluas keberadaan komunitas-komunitas pembentuknya
yang multikultural, baik bebasis adat istiadat maupun agama. Sementara dalam kerangka negara, hubungan
sosial bersifat resmi dan birokratis, dan norma-nora pergaulannya membimbing tindakan-tindakan yang
khusus (terbatas) dalam koridor ideologi negara dan dinyatakan secara pasti dalam sistem dan hirarki hukum
nasional (UUD, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Kode Etik Profesi) dalam penyelenggaraan negara
demi kepentingan warga negara.
Pembedaan di atas nampak misalnya kalau terjadi persengketaan anrtara dua pihak. Lembaga peradilan
negara biasanya menganjurkan lebih dahulu menempuh jalan dami sesuai dengan norma adat dan agama
(kemasyarakatan), bila hal itu dimungkinkan. Jalan damai adalah penyelesaian dalam kerangka masyarakat,
sedang jalan hukum merupakan penyelesaian dalam kerangka negara.
Perbedaan di antara dua kerangka itu mempengaruhi wacana tentang etika, yaitu etika sosial dan etika
politik. Pertama, etika sosial. Etika sosial membicarakan moralitas manusia menurut kodrat sosialnya yang
hidup dalam sebuah masyarakat, yang menata serba relasi manusia untuk bagaimana menjadi masyarakat
yang baik. Dalam konteks ini manusia dinyatakan bersifat sosial dan mempunyai kesamaan martabat
(equility) dan harus mempunyai tujuan dalam dirinya sendiri. Manusia tidak dapat dijadikan sarana atau
dikorbankan untuk tujuan-tujuan di luar kemanusiaannya. Gagasan ini memunculkan kesadaran akan HAM -

20
seperti hak untuk hidup dan hak mendapat pendidikan dan kesehatan, yang dengannya menjadi dasar
’kesamaan martabat manusia’ di hadapan Tuhan, alam raya, dan sesama. HAM wajib diperhatikan dalam
kerangka kehidupan bermasyarakat yang beradab.
Kedua, etika politik. Etika politik adalah etika khusus menyangkut kehidupan sosial dalam kerangka
bernegara yang baik. Seperti yang ditegaskan terdahulu, manusia adalah makhluk sosial. Dalam konteks
bernegara, sosialitas manusia itu berciri politis, karena secara personal pun ia adalah makhluk politik
(personal is political). Kesamaan manusia dalam konteks politik itu adalah kesamaan ’peluang’ (equity) yang
mendasai hak-hak sosial politik seperti hak untuk berserikat, dan hak untuk menyampaikan pendapat.
Kesamaan dalam konteks ini tidak muncul dari kodrat insani, melainkan dari kesadarannya sebagai makhluk
yang bernegara (politis). Jelas hah-hak tersebut lahir dari refleksi manusia atas kehidupan bersama sebagai
warga negara. Kesamaan ini memang bersumber pada kesamaan kodrati – personal dan tak terpisahkan
darinya, tetapi mempunyai corak sosial yang praktis, yang keluhurannya terletak pada mutu pengabdian
untuk kepentingan bersama (bonum commune).
Pada umumnya beleh dikatakan bahwa kesamaan kodrati (equlity) yang menyangkut kemuliaan
martabat saja belum memadai sebagai pedoman hidup bersama dalam bernegara. Sebab pemahaman tentang
kesamaan kodratti sering masih abstrak karena terlepas dari problematika praktis. Dalam kerangka hidup
bernegara kita mengenal konsep kesmaan peluang (equity) yang muncul dari kesadaran masyarakat dan harus
diselenggarakan oleh negara, dan biasanya tidak selalu terjadi dengan sendirinya. Hal disebabkan karena
kehidupan politik praktis mempunyai potensi untuk membuat manusia tidak sama; sebab lembaga yang satu
bisa menjadi lebih berkuasa dan lebih kaya dari lembaga yang lain; lembaga yang satu lebih berpengaruh
atau mendominasi yang lain; dan ketidaksamaan atau ketidakseimbangan ini bisa dilegitimasikan oleh
hukum. Dengan kata lain, perbedaan-perbedaan itu tidak alamiah, tetapi dari rekayasa sosial, dari kerja keras
dan asepak terjang manusia atau hasil karya manusia dari hasil keringat dan persaingan mereka dalam
lembah kehidupan ini. Maka dalam dimensi politis, manusia etis adalah manusia yang mampu bernegara,
artinya hidup dalam suatu negara dengan tata cara yang benar. Dalam perspektif platonian (Sudiarja, 1998:
12) politik bukanlah salah satu sektor pergaulan manusia, melainkan keseluruhan konteks pergaulan, yang
menyentuh sektor-sektor sosiologis lainnya, seperti agama, ekonomi, teknologi, permainan, dan kesenian.
Memang negara tidak dapat seluruhnya memasuki sektor-sektor tersebut karena adanya otonomi dari masing-
masingnya; akan tetapi negara perlu berhubungan dan menyentuh semuanya itu. Semua sektor itu
mengkondisikan pergaulan manusia yang tertata. Supaya manusia dalam batas-batas kemanusiaannya
berkembang secara harmonis, maka negara yang baik harus memulainya dengan dengan penyamaan peluang
bagi semua warga negara. Penyamaan peluang ini (equity) tidak cukup hanya dinyatakan dalam pernyataan
(declaration) yang verbalistis dan hanya sekedar prinsip-prinsip yang abstrak; melainkan harus diwujudkan
dalam kenyataan (realization) praksis negara. Dengan demikian suatu negara baru disebut adil atau
memberikan peluang yang sama, bukan hanya karena mempunyai hukum dan aturan-aturan yang adil.
Dengan demikian meski dalam kehidupan nyata masyarakat dan negara tidak terpisahkan, namun dalam
rangka pembicaraan etis keduanya perlu dibedakan dengan tegas. Pembedaan semacam ini penting untuk
menghindari bahaya laten dalam masyarakat yang cenderung membiarkan anggota-anggotanya bergerak
sendiri-sendiri secara spontan, sehingga bisa terjadi mereka hanya mencari kepentingan diri sendiri atau
kelompoknya dan mengabaikan kepentingan bersama. Dalam arti tersebut, warga masyarakat cenderung
berpolitik secara minimalis atau bersikap oportunis, yakni mau melibatkan diri dalam bernegara sejauh

21
menghasilkan keuntungan bagi diri atau kelompoknya. Hal demikian akan membawa pada anarki dan proses
keruntuhan negara.
Dari lain pihak, tanpa pemisahan tersebut, dikhawatirkan pemerintahan negara cenderung bersifat
totaliter dan mempersempit lingkup kegiatan sosial kemasyarakatan yang prakteknya semata-mata politis.
Kegiatan masyarakat yang multikultural dan multidimensional dibonsai dan dilirik dalam kacamata politis
yang sempit, sehingga seolah-olah hanya ada dua pilihan, yaitu pro dan anti pemerintah penyelenggara
negara. Setiap inisiatif yang tidak sesuai dengan pandangan resmi pemerintah, meskipun tidak berlawanan
dengannya, tidak diakui, dicurigai dan bahkan dianggap membahayakan. Kencederungan semacam ini
berlanjut dengan nafsu negara untuk menelan inisiatif-inisiatif masyarakat yang bebas dan mewajibkan
mereka untuk memberi label resmi bagi setiap kegiatannya, yang kadang lewat proses perijinan yang ruwet.
Dengan demikian kegaitan masyarakat itu dapat dimasukkan dalam rangka kegiatan negara dan melaluinya
aparat negara dengan mudah mengontrolnya.
3.3. Genealogi Bangsa dan Negara Indonesia
Genealogi atau asal usul munculnya negara sering kali dikaitkan dengan munculnya suatu ‘bangsa’.
Sehingga dalam peta makna politik nasional, dikenal istilah bangsa dan negara (nation-state). Dalam konteks
itu muncul dua teori mengenai munculnya suatu bangsa dan selanjutnya mempunyai implikasi terhadap
penjelasan tentang problematik kepribadian bangsa dan kepribadian nasional.
Teori pertama mengajarkan bahwa bangsa muncul dari kesadaran kolektif yang berkembang dari
’dalam’, yakni bila sekelompok manusia dalam masyarakat mulai menyadari kesatuan dan kebersamaannya
dalam hal ras, bahasa, ikatan sejarah yang telah lama dihayati, dsbnya. Kesadaran ini membawa pada
kesadaran akan adanya ’identitas’ bersama. Kebangasaan dalam arti ini bertumbuh secara alamiah (natural).
Selanjutnya, teori kedua mengajarkan kemunculan suatu bangsa yang dibentuk dari ’luar’ dengan suatu
ikatan ideologi. Ideologi ini menggerakkan dan mengangkat kelompok manusia, entah mereka berasal dari
suatu ras yang sama ataupun berbeda, untuk bersama-sama membentuk negara dengan tuntutan kesetiaan dari
orang-orang itu.2
Dua teori di atas berpaduan dengan dua pengertian etimologisnya. ”Bangsa” bisa berarti kesatuan orang-
orang yang bersamaan asal usulnya, keturunan, adat, bahasa dan sejarahnya. Selain itu, bangsa juga berarti
golongan yang mempunyai asal asul dan sifat khas yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:76).
Pengertian tersebut bisa dirunut dari asal usul katanya yang bersumber dari bahasa Sansekerta ”vamsah”
(Jawa/Bali: ’wangsa’) yang berarti hubungan persaudaraan, ras atau suku, atau juga hubungan darah dan
dinasti. Pengertian ini relatif berbeda dari konsep bangsa yang dimengerti dalam ilmu politik. Bangsa dalam
ilmu ini merupakan terjemahan dari konsep Inggris ”nation” yang berasal dari bahasa Latin ”natio” yang
berarti ’kelahiran baru’; ”nascor” yang berarti ’lahir’ dan ’terjadi’. Dalam agama Romawi ”Natio” adalah
dewi pelindung kelahiran (Kamus Latin, 1969: 558). Pengertian etimologis dari bahasa Latin ini menyiratkan
kenyataan bahwa ’bangsa’ (nation) merupakan orang-orang baru (homini novi) yang dilahirkan oleh suatu
kelompok masyarakat. Kelahiran ini bukanlah kelahiran fisik, melainkan kelahiran jiwa kelompok masyrakat
baru tersebut, sehingga bangsa tertentu itu menyadari (berpikir, merasa, dan berkehendak) kesatuannya dan
kebersamaannya dalam asal dan tujuan kehidupan.
Dengan demikian ada dua nuansa yang berbeda yang menjelaskan pengertian ’bangsa’. Pertama,
menunjuk pada ikatannya dengan tradisi dan adat masa lalu, dan yang kedua menunjuk pada kenyataan

2
Allan Bullock and Oliver Stallybrass (ed), The Fontana Dictionary of Modern Thought, London:
Fontana/Collins, 1977, hlm.409.

22
sebaliknya, yaitu pada lahirnya kebaruan. Nuansa manakah yang dapat ditemukan dalam sejarah
pembentukan bangsa Indonesia?
Dari perpektif historis, jaman pergerakan kemerdekaan antara tahun 1900 sampai 1928 berlangsung
proses penyadaran identitas keindonesiaan sebagai suatu bangsa. Kesadaran ini muncul pada kalangan
cendekiawan yang merupakan golongan elite dan erudite hasil dari politik etis kolonialis Belanda yang
mendirikan lembaga pendidikan. Pendidikan sendiri tidak menawarkan identitas, melainkan sebagai pembuka
kesadaran tentang identitas itu. Kesadaran bersama sebagai makhluk terjajah itulah yang memicu energi
untuk berjuang melawan berbagai bentuk penjajahan di muka bumi. Kesadaran ini mau tidak mau
menggugah perasaan nasionalisme dari kaum intelektual pribumi terjajah, yang kemudian secara representatif
menyatakan identitas kebangsaan-nya, yang secara meriah diucapkan pada peristiwa Sumpah Pemuda.
”Kami berbangsa satu, bangsa Indonesia; Kami berbahasa satu, bahasa Indonesia; dan kami bertanah air satu,
yaitu tanah air Indonesia.”
Kesadaran berbangsa itu jelas tertenun dengan kesadaran berbahasa satu dan bertanah air satu. Triple
kesadaran ini terbukti menggelorakan para pejuang kemerdekaan dan memuncak pada proklamasi
kemerdekaan NKRI yang diucapkan dan ditandatangani oleh oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Kedua tokoh
ini memproklamsikan kemerdekaan NKRI pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia, pada
bekas wilayah Hindia Belanda, yang terbentang dari Merauke – Sabang; Rote Termanu – Sangir Talaud.
Dengan berdirinya NKRI berkembanglah corak pergaulan baru yang diselenggarakan oleh pemerintah
yang baru. Akan tetapi dilihat dari sudut praktek penyelenggaraan negara, pemerintah yang baru ini hanya
mengisi fungsi-fungsi birokrasi lama yang sudah berlangsung di bawah pemerintahan kolonial. Konon, yang
baru hanyalah masyarakatnya. Masyarakat baru (homini novi) ini menurut Anderson (1990: 103) hidup dalam
sebuah negara yang masih melanjutkan birokrasi lama dengan serba kegiatan sosial – ekonomi – pendidikan
– pertahanan dan keamanan, yang lebih mendukung kekuasaan ’negara’ yang direpresentasikan oleh
kedudukan para aparatnya (para pejabat negara, politisi, TNI, Polri, PNS dan pegawai BUMN). Gaya hidup
aparat ini memperlemah kekuasaan rakyat atau masyarakat sipil. Dengan demikian tercipta kondisi bagi para
aparat NKRI ini untuk ada dan menjadi agen neokolonialis bagi rakyatnya sendiri. Walaupun telah
dirumuskan indah pada UUD 1945 bahwa NKRI ini adalah negara yang berdasarkan hukum, tetapi dalam
praksis penyelenggaraan negara ia masih memperlihatkan fenomena pemerintahan yang masih berdasarkan
kekuasaan gaya para penjajah. Motto menjadi ’abdi negara dan abdi masyarakat’ masih sebatas wacana dan
kata-kata sumpah dan janji manis. Dengan demikian, secara kultural dipertanyakan derajat kepribadian
bangsa dan kepribadian nasional yang dihayati oleh kelompok ini.

Bagaimana entitas kepribadian manusia Indonesia itu?

3.4 Kepribadian Bangsa dan Kepribadian Nasional


Marilah kembali pada paham dasar mengenai kepribadian yang sudah diterangkan di atas. Kepribadian
yang kita maksudkan memuat pengertian kebebasan dan keterbukaan; yakni tanggung jawab moral dalam
tindakan solidaritas dan subsidiaritas dengan sesama untuk masa depan bersama. Kepribadian dalam konteks
ini, seperti dinyatakan Dirjarkara dapat dikenakan pada kesatuan bangsa. Pertama-tama harus dipertanyakan
kapankah munculnya kesadaran akan kepribadian bangsa itu?
Kesadaran ini muncul bersamaan munculnya kesadaran akan kesatuan bangsa, sebab kesatuan itu
mengikat kehendak untuk bertanggung jawab demi kebersamaan untuk bangsa dan tanah air, demi kemajuan

23
dan masa depan bersama yang baik. Kesadaran akan kesatuan bangsa ini muncul tatkala orang-orang dari
berbagai wilayah yang sekarang disebut Indonesia ini mengikrarkan ’Sumpah Pemuda’. Dengan ikrar itu
dinyatakan otonomi ’bangsa’ Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Kesadaran ini pelan-pelan juga
membuka kenyataan bahwa otonominya selalu diletakkan dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain dalam
konteks pergaulan antarbangsa yang berdaulat.
Akan tetapi ikrar Sumpah Pemuda 1928 itu masih menyembunyikan persoalan, apakah kemunculannya
didorong oleh inspirasi dan motivasi kultural atau patrimonia yang sama yang berasal dari ’dalam’ ataukah
oleh mendesaknya kebutuhan bersama untuk lepas dari kekuasaan kolonial Belanda yang berasal dari’luar’?
Jawaban terhadap pertanyaan refleksif ini akan menentukan apakah makna kepribadian bangsa dan
kepribadian nasional itu.
Sejumlah polemik telah digelar pada awal Jaman Pergerakan, antara 1900-1928. Sejak munculnya Boedi
Oetomo, persoalan identitas bangsa menjadi topik yang sangat banyak dibicarakan. Identitas yang
dipersoalkan itu menyentuh soal ada tidaknya kesamaan elemen kultural (patrimonia) yang menjadi sarana
permersatu, sehingga mereka menyebut diri sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Dalam
tautan ini, patut diakui bahwa memang muncul keinginan untuk mencari warisan tradisi budaya atau
patrimonia yang bisa digunakan sebagai dasar pembentukan kepribadian bangsa. Akan tetapi kemungkinan
untuk memilih dasar dengan cara seperti ini ternyata memberi peluang bagi orang Jawa untuk menghegemoni
suku lain. Sebab mereka merupakan suku yang terbesar (mayoritas) dalam komponen bangsa baru itu. Oleh
karena itu, meski pun dari satu pihak dianggap wajar bahwa beberapa priayi Jawa cenderung melihat
kejawen sebagai dasar bagi kepribadian bangsa Indonesia, namun dari pihak lain pemikiran seperti itu tidak
bisa diterima karena mengecilkan arti tradisi kultural suku-suku lain. Prapaham itu nampak dalam wacana
sejarah Pergerakan Nasional dari kalangan para ’priayi Jawa baru’ seperti silang pendapat antara Tjipto
Mangoenkoesumo dan Soetatmo Soerjokoesumo (Shiraishi, 1986:158-187; Anderson, 241-270). Dalam
silang pendapat itu, nilai-nilai budaya Jawa ditimbang dan diperbandingkan dengan nilai-nilai budaya non
Jawa untuk mencari pijakan yang kuat dalam mencari identitas bersama. Kiprah dan keprihatinan mereka
dalam konflik-konflik itu terutama berkisar dalam dimensi ideal dan pemikiran kultural.
Namun dari sisi politik praktis, tatkala mereka bergerak mendirikan organisasi dan partai-partai politik
konflik kultural itu menjadi cair dan menimbulkan tekad untuk menghargai kebhinekaan budaya. Hal mana
relatif terpecahkan dalam moment Sumpah Pemuda. Walaupun hingga sekarang, konflik kultural Jawa dan
non Jawa itu sering diberi stigma sebagai bahaya laten yang mesti diwaspadai dan ditempatkan dalam
bingkai SARA. Dengan demikian ikrar Sumpah Pemuda nampaknya hanya menjangkau kepentingan pada
dimensi politis praktis, untuk melangkah ke depan bersama-sama. Problem perbedaan dan keragaman
kultural sesungguhnya belum terselesaikan pada saat itu. Ironisnya, prapaham kebhinekaan budaya ini justru
dikemukakan sebagai motto yang menjadi kebanggaan negara.
Menanggapi hal ini, Sutan Takdir Alisyahbana berpendirian bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
yang baru, yang diciptakan generasi masyarakat baru, yang tidak mempunyai kaitan historis dengan kultur
suku-suku pembentuknya. Ketiadaan hubungan dengan tradisi kultural dari suku-suku yang pernah hidup di
Indonesia sebelumnya dalam rangka pembentukan bangsa ini, menurut Takdir tidak perlu disesalkan, sebab
menurutnya ’kemauan baja’ merupakan dasar yang lebih kokoh dari segala rassentheori, yang mengalaskan
kesatuan bangsa pada kesamaan ras. Maka pandu-pandu kebudayaan Indonesia harus bebas benar berdiri dari
pengaruh kebudayaan pre-Indonesia; bukan dalam arti tidak tahu seluk beluknya, melainkan dalam arti
’tidak terikat’ padanya (Mihardja, 1950:15-17). Maka cara untuk menggalang dan mempererat kesatuan

24
negara ini, bukanlah dengan menghidupkan mitos-mitos masa lalu, membesar-besarkan Sriwijaya dan
Majapahit, melainkan dengan membicarakan persoalan-persoalan bersama untuk masa depan.
Jikalau anggapan ini bisa dibenarkan dan penjelasan mengenai perbedaan etimologis dari arti dan makna
’bangsa’ yang dijelaskan di atas diterima, maka istilah kepribadian nasional yang maknanya lebih asosiatif
dengan kelahiran bangsa baru (nation) kiranya lebih tepat untuk dikenakan dalam wacana akademis ini.
Kepribadian nasional di sini diartikan sebagai kepribadian masyarakat yang mengarah pada pembentukan
bangsa baru yang bebas dan terbuka ke masa depan. Konsep kepribadian nasional seperti ini sangat penting
untuk mendukung berdirinya negara (state). Inilah misteri kepribadian yang dibentuk oleh kepentingan-
kepentingan bersama dalam rangka membangun negara dan bangsa (nation building). Kepribadian nasional
ini menunjuk pula pada proses politis ke depan untuk merekayasa sebuah kedaulatan negara yang otonom
dan bertanggung jawab, bebas dari berbagai bentuk belenggu penjajahan, termasuk merdeka dari penindasan
kesadaran akan peristiwa-peristiwa sejarah masa lampau atau kesamaan-kesamaan tradisi kultural.
Kecenderungan ke arah pembentukan kepribadian nasional dari bangsa baru ini, juga diteguhkan oleh
inisiatif-inisiatif dan praksis politis sesudah Sumpah Pemuda. Seperti maraknya pembentukan partai-partai,
protes-protes dan agitasi, perang gerilya, dan slogan ”revolusi belum selesai”, dsbnya. Peristiwa-peristiwa
politis ini pada intinya terarah untuk memperkuat jatidiri ’bangsa baru’ agar lebih mantap untuk mendirikan
suatu negara dan mewujudkan tujuan negara kebangsaannya.
Jikalau diterima bahwa kebangsaan Indonesia lebih terbentuk oleh kebutuhan untuk bersama-sama
membebaskan diri dari penjajahan Belanda, maka kesatuan bangsa Inonesia nampaknya diawali oleh upaya
menghadapi tatangan dari ’luar’. Wilayah geopolotis menjadi amat penting sebagaimana dikatakan Bung
Karno pada pidato lahirnya Pancasila. Tetapi sulit ditentukan batas-batasnya, sebab tidak ada kesatuan
elemen kultural lain yang lebih layak menjadi patokan untuk menenutkan keseluruhan wilayah bangsa.
Karena ada banyak kelompok etnis dengan kebudayaan yang berbeda-beda, maka wilayah kultural bangsa
Indonesia yang baru, yaitu dari Merauke sampai Merauke, tak lain adalah jumlah semua wilayah etnis yang
menjadi komponen dari kesatuan bangsa Indonesia. Wilayah-wilayah in inpractico sama luasnya dengan
wilayah-wilayah sebelumnya dikuasai pemerintahan kolonial yang mau diusir oleh kelompok-kelompok
etnik yang bersatu ini.
Tekanan pada nuasa politik dalam pembentukan kebangsaan sejak 1828 hingga dewasa ini, menyiratkan
logika bahwa kepribadian nasional semestinya dipakai dalam pembicaraan-pembicaraan umum, karena
istilah ini lebih mencerminkan kenyataan. Sedang penggunaan istilah ’kepribadian bangsa’, lebih menunjuk
pada kesamaan tradisi etnik dalam wilayah kultural masa silam. Hal mana lebih berasosiasi pada kesatuan
etnik dibawa hegemoni budaya ’Jawa Majapahitan’ atau budaya ’Melayu Sriwijayaan’.
Apakah dengan demikian istilah kepribadian bangsa tidak cocok lagi digunakan dalam wacana
kenegaraan dan akademik, yang memperkuat ideologi persatuan dan kesatuan bangsa yang baru, yaitu bangsa
Indonesia? Pertanyaan ini kiranya harus ditanggapai dengan mengajukan beberapa pertanyaan alternatif
berikut. Apakah sesudah terciptanya negara Indonesia memang terbentuk budaya baru yang disebut budaya
Indonesia? Apakah negara memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat mengembangkan budaya
baru yang disebut budaya Indonesia? Apakah situasi negara bersifat kondusif dan tidak represif terhadap
pembentukan dan pengembangan budaya baru oleh masyarakat yang tinggal di wilayah NKRI?
Memang pada saat pembentukan negara baru belum ada budaya yang satu dan sama. Yang ada hanyalah
budaya Jawa, budaya Melayu, budaya Aceh dsbnya. Secara ilmiah, jikalau antopologi dan sosiologi dapat
memastikan kemungkinan adanya budaya yang disebut budaya Indonesia, maka budaya inipun diangkat

25
sebagai budaya bangsa dan menjadi dasar yang sangat penting untuk membentuk karakter bangsa. Dalam
proses pembentukan budaya baru ini, bisa terjadi adanya perombakan-perombakan budaya lama atau budaya
tradisional daerah. Masing-masing suku harus mempertimbangkan kembali tradisinya di hadapan budaya
baru yang diciptakan, yang disebut Indonesia. Hal ini masih menjadi wacana dan praktek yang perlu
direnungkan dan dirumuskan keberadaan dan maknanya dalam perjalanan negara ini.

3.5 Menuju Kepribadian Bangsa Yang Multikultural

Era milenium baru ini ditandai dengan penguatan kesadaran global akan realitas multikultural. Realitas
multikultural ini menurut Bikhu Parekh (Shahab, 2006: 210), sekurang-kurangnya memiliki tiga komponen
arti berikut. (1) Sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan (kultur); (2) Menunjuk pada pluralitas kultur; dan
(3) Terarah pada bagaimana komunitas manusia di berbagai belahan dunia, merespons pluralitas kulturalnya
secara unik dan bertanggung jawab.
Dalam konteks NKRI, dalam terang ideologi ’bhineka tunggal ika’ kepribadian nasional itu dapat
dirancang bangun sebagai kepribadian bangsa yang multikultur. Hal itu mengandaikan adanya kesamaan
derajat dan perlakukan yang adil dari penyelenggara negara dan berbagai komponen bangsa lainnya terhadap
berbagai realitas ontologis dari berbagai kultur suku-suku di wilayah NKRI
Skema sederhana tentang misteri tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Suku-Suku dari: Kepribadian


Merauke –Sabang Kepribadian Bangsa yang
Sangir – Rote Nasional multikultural
Dalam wilayah
NKRI

Contoh Soal Ujian Semester


Manusia dan Kebudayaan Indonesia

26
1. Definiskan dan jelaskan elemen persona manusia menurut tradisi filsafat Thomisme .
2. Uraikan geneaologi NKRI dengan bertolak dari peristiwa Sumpah Pemuda dan buatlah penilaian
terhadap kepribadian bangsa dan kepribadian nasional Indonesia berbasis fenomena sosial budaya
kontemporer.
3. Jelaskan dua dari representasi budaya Indonesia berikut: a Budaya Minangkabau; b. Budaya Jawa;
c. Budaya Timor; d. Budaya Flores.

27

Anda mungkin juga menyukai