Anda di halaman 1dari 21

BAB IV

MAKNA REKONSILIASI DALAM RITUS HEL KETA

Pada dua bab sebelumnya yakni bab II dan bab III penulis telah

mendeskripsikan tentang siapa itu masyarakat Desa Humusu Oekolo yang di

dalamnya penulis juga menguraikan tentang kebudayaan masyarakat Desa

Humusu Oekolo serta unsur-unsur kebudayaan yang tercakup di dalamnya. Selain

itu, penulis juga telah mendeskripsikan tentang apa itu ritus Hel Keta dan tahap-

tahap yang terdapat dalam proses praktik ritus Hel Keta. Sedangkan pada bab ini

penulis akan mendeskripsikan tentang makna rekonsiliasi dalam ritus Hel Keta

dan membuat refleksi budaya terhadap pokok persoalan yang dikaji dalam

penulisan karya ini.

Adapun sistem penulisan yang dibuat penulis adalah sebagai berikut:

Pertama, pengertian makna; Kedua, pengertian rekonsiliasi. Pada bagian ini

penulis akan mendeskripsikan pengertian rekonsiliasi secara umum, pengertian

rekonsiliasi menurut Gereja Katolik; Ketiga, makna rekonsiliasi dalam ritus Hel

Keta. Pada bagian ini penulis secara khusus dan mendalam menjelaskan tentang

makna rekonsiliasi yang terdapat di dalam praktik ritus Hel Keta; Keempat,

refleksi budaya. Pada bagian ini penulis akan memasukkan hasil refleksi penulis

berkaitan dengan pengkajian penulis tentang makna rekonsiliasi dalam ritus Hel

Keta.

46
4.1. Pengertian Makna

Secara leksikal, pengertian “makna” dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia adalah “arti, maksud pembicaraan, pengertian dari suatu bentuk

bahasa”. 58 Berbicara tentang “makna” sama artinya dengan menerangkan tentang

sesuatu. Makna menunjukkan arti atau maksud dari sesuatu yang ingin dijelaskan.

4.2. Pengertian Rekonsiliasi

Secara etimologis, istilah rekonsiliasi berasal dari akar kata bahasa Latin

yakni “concilium” yang berarti mengandaikan suatu proses yang dimaksudkan

dengan sengaja, di mana pihak-pihak yang saling berseteru bertemu satu dengan

yang lain “dalam dewan” guna membahas pandangan mereka yang berbeda dan

mencapai beberapa kesepakatan bersama. Jika dilihat dari akar katanya

menimbulkan kesan bahwa istilah tersebut mirip dengan istilah negosiasi. Lebih

daripada itu, rekosiliasi mengacu pada suatu perubahan yang mendasar di dalam

kesadaran.59 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah rekonsiliasi

didefinisikan sebagai perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada

keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan. 60

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa istilah rekonsiliasi

mengandung makna pemulihan dan perbaikan kembali suatu hubungan yang telah

58
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008), hlm. 619.
59
Geiko Muller-Fahrenholz, Op. Cit., hlm. 15.
60
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI V1.1) Online, Diunduh dari:
http://kbbi.web.id/rekonsiliasi.

47
rusak atau retak. Lebih dari itu, rekonsiliasi tidak hanya sebatas berbicara tentang

membangun kembali hubungan yang telah rusak atau retak akibat konflik, tetapi

berbicara juga tentang suatu konsep dan praksis yang mencoba untuk

mengkerangkakan kembali makna dari konflik secara positif. Karena itu, CRS

(Catholic Relief Services) mengartikan rekonsiliasi sebagai pengacuan kepada

pembangunan kembali hubungan antar manusia yang teralienasikan dan terpisah

antaranya selama konflik berlangsung dengan memvisikan masa depan yang

damai, adil, dan harmonis dalam jangka waktu yang panjang. 61

4.3. Pengertian Rekonsiliasi Menurut Gereja Katolik

Rekonsiliasi atau pengampunan dalam ajaran Agama Katolik didasarkan

pada ajaran dan teladan Yesus yakni Cinta Kasih. Hukum Cinta Kasih ini hadir

sebagai pencegahan atas tindakan kekerasan yang radikal dari tuntutan Perjanjian

Lama.

Kalau hukum balas dendam dibenarkan demi mencegah orang yang main

hakim sendiri dan pembalasan yang tidak setimpal, Yesus datang dan

mengajarkan pengampunan (Mat.6:12; 14-15) sampai tujuh puluh tujuh kali (Mat.

18:22). Untuk itu, Yesus bukan saja mengajar melainkan juga memberi teladan

dalam hidup-Nya. Ia menolak dijadikan pemimpin revolusi yang memakai tangan

kekerasan (Yoh. 6:15) atau mencapai kemuliaan-Nya tanpa penderitaan di salib

(Mat. 16:22-23). Ia pun tidak menyetujui kekerasan pedang untuk membela diri-

Nya, tetapi malah memulihkan telinga musuh-Nya (Luk. 22:49-51). Ia tidak

61
etnobudaya.net/2010/01/15/konsep-rekonsiliasi/, Diakses pada hari Rabu, 02
September 2021, Pkl. 22.35 WITA

48
pernah mencucurkan darah sesama-Nya dan hanya mencucurkan darah-Nya

sendiri sebab satu-satunya cara untuk sampai pada rekonsiliasi di antara manusia

yang bertindak kekerasan adalah dengan menjadi kurban dari kekerasan itu. Maka

itu dengan mengampuni orang-orang yang menyalibkan-Nya secara tidak adil

(Luk. 22:34) dan mengajar untuk memberikan juga pipi kiri apabila pipi kanan

ditampar (Mat. 5:39), Yesus tidak puas dengan penyerahan pasif ke tangan Allah,

tetapi mengembalikan kekerasan itu kepada pelakunya agar mencapai suatu

rekonsiliasi.

4.4. Makna Rekonsiliasi Dalam Ritus Hel Keta

Ritus atau ritual merupakan seperangkat tindakan yang mencoba

melibatkan agama atau magis yang diperkuat melalui tradisi. Menurut Viktor

Turner, ritual berkaitan erat dengan masyarakat yang dilakukan untuk mendorong

orang-orang dalam melakukan dan menaati tatanan sosial tertentu.62 Karena itu,

ritual mempunyai peran penting dalam masyarakat yakni menghilangkan konflik,

mengatasi perpecahan dan membangun solidaritas masyarakat, menyatukan

prinsip yang berbeda-beda dan memberi motivasi serta kekuatan baru untuk hidup

dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Sependapat dengan itu, Dhavamony juga menjelaskan bahwa ritual juga

merupakan suatu sarana bagi manusia religius untuk berkomunikasi dengan

hakikat tertinggi, yang Kudus, yang diyakini ada, penuh kekuatan, serta menjadi

sumber kehidupan dan dapat mempengaruhi nasib manusia secara baik atau

62
http://repository.uksw.edu. Ritual dan Identitas Sosial, PDF, Diakses pada Selasa, 07
Juni 2022, Pkl. 12.00 WITA.

49
buruk.63 Karena itu, ritual pada intinya dibagi dalam 4 macam yaitu: (1) Tindakan

magis yang dalam pelaksanaannya menggunakan bahan-bahan yang diyakini

memiliki kekuatan mistis; (2) Tindakan religius, kultus para leluhur; (3) Ritual

konstitutif yang menggunakan hubungan sosial dengan melaksanakan upacara-

upara yang berkaitan dengan siklus kehidupan; (4) Ritual faktitif yang bertujuan

untuk mendapatkan perlindungan dan kekuatan suatu kelompok seperti

kesejahteraan materi. Selain itu, simbol merupakan representasi dari esensi ritual,

di mana melalui simbol segala bentuk nilai yang terkandung dalam ritual tersebut

terungkap secara jelas. Sebab, suatu simbol tentunya memiliki instrumen nilai.

Karena itu ritual dan simbol merupakan satu-kesatuan yang melaluinya nilai-nilai

kehidupan yang tersembunyi menjadi tampak dan berfaedah bagi kehidupan

masyarakat sebagai makhluk religius dan sosial.

Hel Keta merupakan salah satu ritual yang dipraktikkan oleh masyarakat

Dawan pada umumnya dan masyarakat Humusu Oekolo pada khususnya. Dalam

prakteknya, terdapat simbol-simbol yang dilakukan oleh perserta upacara yakni

Amnasit, Mafefa atau Ahinet dan kedua pasangan suami istri seperti masuk ke

dalam air sungai yang sedang mengalir, berdiri berhadap-hadapan, membenamkan

lidi ke dalam air, menyembelih hewan kurban, dan makan bersama, yang mana

melalui simbol-simbol itu, nilai rekonsiliasi yang terkandung dalam ritus tersebut

terungkap dan menjadi nyata. Bagi masyarakat Dawan (Atoin Meto), ritus atau

ritual merupakan bagian dari refleksi diri mereka. Selain sebagai refleksi diri, ritus

atau ritual merupakan sarana untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam

63
http://repository.uksw.edu. Ritual dan Identitas Sosial, PDF, Diakses pada Selasa, 07
Juni 2022, Pkl. 12.00 WITA.

50
masyarakat dan nilai-nilai itu akan dilihat dalam konsep Hel Keta sebagai satu

ritus atau ritual yang mengandung dan melahirkan rekonsiliasi dan perdamaian.

Untuk itu, penulis akan mencoba menampilkan dan menguraikan beberapa hal

berkaitan dengan makna rekonsiliasi dalam ritus Hel Keta.

4.4.1. Rekonsiliasi Religius

Di dalam ritus Hel Keta, secara ekspilisit dapat ditemukan nilai spiritual

yang eviden memuat makna religius sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan

tubuh dan timbul dari spirit (semangat) atau roh (gaya elastisitas hidup) serta

sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh ratio (akal dan imajinasi daya akal).

Masyarakat Dawan pada umumnya dan masyarakat Humusu Oekolo pada

khususnya percaya dan mengakui adanya Yang Tertinggi yang mereka sebut Uis

Neno-Uis Pah yang tempat-Nya jauh dan tinggi di atas langit. Dalam perspektif

masyarakat Humusu Oekolo, Yang Tertinggi (Uis Neno-Uis Pah) digambarkan

sebagai pusat matahari dan bulan yang sinarnya terpancar tiada henti dan memberi

kehidupan sehingga disebut Apinat-Aklahat. Tuhan-lah pencipta, penyelenggara,

dan pemelihara hidup disebut Amoet-Apakaet.

Rekonsiliasi religius yang dimaksud di sini tampak dalam tujuan

pelaksanaan ritual Hel Keta oleh dan bagi masyarakat Dawan (Atoin Meto) secara

khusus masyarakat Humusu Oekolo untuk mengangkat nilai religius yang

berkaitan dengan relasi antara manusia dengan Yang Ilahi (Tuhan) atau

51
spiritualitas hidup seseorang.64 Hal ini berkaitan dengan pengampunan,

pembaharuan, penyucian, dan pembersihan diri dari segala bentuk kekacauan

yang telah terjadi di masa lalu yakni dosa dan kesalahan. Bahwa segala macam

bentuk tindakan amoral yang dilakukan oleh manusia baik secara individu

maupun kelompok demi suatu kepentingan tertentu pada intinya membuahkan

dosa yang berujung pada kebinasaan. Dan Allah sendiri tidak menghendaki itu.

Maka melalui ritual sebagai salah satu esensi hidup manusia yang mengacu pada

tindakan religius atau magic-spiritual yang bersifat mistical notion (perasaan dan

tindakan mistik) dan mengacu kepada hal yang sakral, manusia menemukan

kembali spiritualitas hidup yang sejati, di mana relasinya dengan Yang Tertinggi

yang dahulunya rusak akibat dosa dan kesalahan, kini menjadi pulih. 65

Ritual Hel Keta pada dasarnya dilakukan di sungai yang airnya mengalir.

Air dalam peristiwa pembaptisan dalam Agama Katolik sifatnya membersihkan,

membasuh, dan menyucikan. Dalam praktiknya, para peserta upacara mendatangi

sebuah sungai yang airnya mengalir lalu masuk ke dalamnya dengan saling

berhadap-hadapan antara pihak suami dan istri berserta keluarganya masing-

masing. Lalu salah satu Amnasit, Mafefa atau Ahinet yang dipercaya menuturkan

tutur adat ini:

Afinit-Aneset, es nak natuin saifin i ma hoefin i,


Lasi bata ma hana bata loe nek ke ma nsai nek ke neo tais a lu`u ma niuf a lu`u
ben.

64
Hubertus Leteng, Pertumbuhan Spiritual Jalan Pencerahan Hidup, (Jakarta: Obor,
2012), hlm. 3.
65
http:/ejournal.iainkendari.ac.id. Al Izzah Sakral dan Profan dalam Ritual Life Cycle,
Diakses pada Selasa 07 Juni 2022, Pkl. 11.45 WITA.

52
Es on nanet maputu-malala ho mnoes mani ben ma mupasib mani ben.

Alaha manikin ma oetene, nekaf mese ma ansaof mese.66


Artinya:
`Yang melebihi-melampaui (Yang Tertinggi), lewat aliran ini (sungai),
Kata pembatas juga suara pembatas hilang dan hanyut bersama aliran sungai ke
lautan yang luas dan danau yang dalam.
Karena itu, panas-membara Engkau (telah) hapus dan singkirkan.
Hanyalah dingin juga sejuk, satu pikiran juga satu hati`.

Dari tuturan di atas, dapat menunjukkan bahwa para peserta upacara yakni

pasangan suami-istri dan segenap keluarganya yang dahulunya teridentifikasi

konflik nenek moyang mereka pada masa lalu yakni dosa dan kesalahan yang

ditanggung mereka telah mengalami pengampunan, pembaharuan, penyucian, dan

pembersihan dari Tuhan sendiri. Dengan demikian, mereka keluar dari suatu

dunia yang dahulunya membelunggu jiwa dan raga mereka, lalu masuk ke dunia

baru yang penuh kedamaian dan sukacita.

Ritual Hel Keta selain mengandung nilai religius yang berkaitan dengan

relasi antara mansuia dengan Yang Tertinggi (Tuhan), ritual tersebut juga

mengandung nilai religius yang berkaitan dengan keutuhan diri dan perasaan

seseorang akan kebaikan dan kebajikan yang melekat dalam diri setiap orang yang

dalam perjalanannya menjadi mungkin mengalami pergeseran akibat suatu

kesalahan atau pelanggaran sehingga mengakibatkan suatu konflik atau bencana

yang tidak terduga sehingga kebaikan dan kebajikan itu menjadi hilang. Ketika

66
Asterius Taku Banusu, (70 Tahun), Wawancara di Kampung Oekolo, 01 Agustus
2021.

53
masalah atau pelanggaran terjadi maka manusia pada dirinya akan melahirkan

kesadaran yang alami untuk memperbaiki keadaan kembali baik agar kebaikan

dan kebajikan itu diperoleh kembali.

Dalam kacamata Hel Keta kesadaran itu diwujudkan dalam seni mengingat

masyarakat Humusu Oekolo akan situasi kehidupan nenek moyang mereka pada

masa lampau yang penuh dengan konflik dan peperangan. Seni mengingat ini

didukung dengan cerita-cerita yang bersifat imajiner dari para tua adat (Amnasit,

Mahine atau Mafefa) tentang konflik dan peperangan masa lalu yang berujung

pada pertumpahan darah sehingga adanya janji-janji dan sumpah-sumpah dari

pihak korban maupun pelaku untuk tidak membangun relasi hidup termasuk relasi

perkawinan sebab janji-janji dan sumpah-sumpah itu dianggap tabu maka menjadi

warisan secara turun-temurun bagi anak cucu (Sufa Ka`uf ) dari suku-suku yang

berkonflik dan berperang pada zaman dahulu kala yang tidak boleh dilanggar.

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa peluang perkawinan bagi anak-cucu

masyarakat Humusu Oekolo selalu terbuka sehingga secara tidak sengaja mereka

dapat menemukan pasangan hidup satu sama lain di antara suku-suku yang

teridentifikasi konflik dan peperangan masa lalu. Karena itu, agar perkawinan

mereka tidak terbelenggu oleh janji-janji dan sumpah-sumpah yang dianggap tabu

itu, maka mereka harus melakukan ritual Hel Keta sebagai pemulihan dan

rekonsiliasi atas janji-janji dan sumpah-sumpah tabu akibat konflik masa lalu.

Dalam pelaksanaan ritual Hel Keta kedua pihak pasangan suami-istri serta

sesama anggota suku yang teridentifikasi konflik dan peperangan masa lampau

54
menyadari dan menyesali kesalahan nenek moyang mereka bahwa konflik dan

peperangan yang dilakukan itu merupakan tindakan amoral yang bertentangan

dengan kodrat manusia sebagai gambar dan rupa Allah yang luhur. Oleh karena

konflik dan peperangan itu yang ditegaskan dengan janji-janji dan sumpah-

sumpah tabu, jiwa mereka terbelenggu oleh dosa dan kesalahan nenek moyang

mereka. Karena itu, masyarakat Humusu Oekolo harus melaksanakan Hel Keta

untuk pemulihan akan perdamaian demi suatu kebaikan bersama. Kesadaran dan

penyesalan yang amat mendalam yang termuat dalam ritual Hel Keta merupakan

bagian dari ekspresi perasaan atau emosi masyarakat Humusu Oekolo yang

dianggap sebagai spiritualitas mereka dalam upaya mencapai kembali kebaikan

dan kebajikan yang telah rusak akibat dosa dan kesalahan nenek moyang mereka

yang diwariskan kepada mereka sekaligus melahirkan sebuah rekonsiliasi di mana

kesadaran dan pemulihan melalui ritual Hel Keta dalam diri masyarakat Humusu

Oekolo menjadi upaya memperbaiki diri dan relasi mereka demi suatu

perdamaian, kesejahteraan, dan ketentraman untuk kehidupan sekarang dan yang

akan datang (hidup perkawinan). Karena itu, dalam dan melalui ritual Hel Keta

sebagai upaya rekonsiliasi, masyarakat Humusu Oekolo mengambil langkah baru

melalui jalan perdamaian dengan membentuk suatu kesepakatan bersama untuk

keluar dari jiwa mereka yang terbelenggu oleh dosa dan kesalahan nenek moyang

mereka serta memasuki suatu panggung kehidupan baru dengan membentuk suatu

kebaikan bersama demi kesejahteraan dan ketentraman hidup terutama hidup

perkawinan mereka. Selain itu, ada sebuah sikap transformatif untuk perubahan

perspektif dan perilaku supaya menjadi lebih baik.

55
4.1.2. Rekonsiliasi Ekologis

Selain memuat rekonsiliasi religius yang berkaitan dengan relasi manusia

dengan Yang Ilahi (Tuhan) dan keutuhan spiritualitas individu, ritual Hel Keta

juga memuat rekonsliasi religius yang berkaitan dengan relasi serta interaksi

manusia dengan alam tempat di mana ia tinggal. Dalam bingkai spiritual yang

berbicara soal kebaikan yang ada dalam setiap manusia yang jika terjadi suatu

pergeseran atau pelanggaran akibat tindakan amoral, maka akan mendapat suatu

sanksi dari berbagai macam pihak termasuk hukuman dari alam yang disebut

animism-spiritualisme. 67 Dalam kacamata Hel Keta yang berkaitan dengan siklus

hidup perkawinan, hal tersebut tampak dalam perspektif dan keyakinan

masyarakat Humusu Oekolo sejak dahulu kala bahwa tindakan amoral baik

individu maupun kelompok dapat meresahkan alam dan bahkan membuatnya

marah sehingga mendatangkan bencana dalam perjalanan hidup termasuk hidup

perkawinan. Bencana yang timbul akibat konflik dan peperangan masa lalu bagi

masayarakat Humusu Oekolo disebut Maputu-Malala. Supaya terhindar dari

Maputu-Malala, jalan satu-satunya yang harus ditempuh ialah melakukan ritual

Hel Keta dengan tujuan memulihkan Pah-Nifu sebagai alam dan tempat berpijak

tiga kekuatan yang menjadi berkat utama bagi masyarakat Humusu Oekolo yakni

Oe Kanaf, Faut Kanaf, dan Hau Kanaf.68

67
Sitompul A. A., Manusia Dan Budaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), hlm. 46
68
Agustinus Atin Alen, (80 Tahun), Wawancara di Kampung Oekolo, 05 Agustus
2021. Sebutan untuk air pemali, batu pemali, dan pohon pemali Atoin Meto yang dalam perspektif
dan keyakinan masyarakat Humusu Oekolo menunjukkan identitas suku.

56
Pemulihan dan rekonsiliasi dengan alam ini menjadi salah satu tujuan dari

ritual Hel Keta, karena dengan adanya ritual Hel Keta dipercaya dapat

menenangkan dan memulihkan alam terutama kakuatan Oe Kanaf, Faut Kanaf,

dan Hau Kanaf yang memberikan suatu kemenangan bagi pihak pelaku dalam

konflik dan peperangan masa lalu menjadi tenang dan pulih. Karena itu, ketika

alam telah pulih dan kekuatan Oe Kanaf, Faut Kanaf, dan Hau Kanaf menjadi

tenang, maka relasi perkawinan pasangan suami-istri dan sesama anggota suku

dapat terjalin dengan baik seperti sediakala. Kekuatan Oe Kanaf, Faut Kanaf, dan

Hau Kanaf69 sebagai sumber berkat utama akan memberikan perdamaian dan

kesejahteraan bagi kehidupan keluarga pasangan suami-istri serta kehidupan

sesama anggota suku kedua bela pihak yang sebelumnya teridentifikasi konflik

dan peperangan masa lalu (Hana Bata-Fefa Bata).

4.4.3. Rekonsiliasi Sosial

Di dalam ritus Hel Keta secara eksplisit terkandung makna rekonsiliasi

sosial yang tampak dalam pengakuan akan kesetaraan hak asasi manusia.

Pengakuan yang berkaitan dengan kesetaraan hak asasi manusia dapat ditemukan

dalam kehidupan sosial masyarakat Humusu Oekolo yang sangat menghargai nilai

hidup setiap individu masyarakat. Hal tersebut tampak dalam penerimaan akan

yang lain sebagai manusia, termasuk memberi perhatian dan juga menerima

pengampunan. Unsur pengakuan akan hak asasi manusia inilah yang menjadi

patokan atau tolok ukur untuk memacu pihak-pihak yang teridentifikasi konflik

dan peperangan masa lalu agar dapat membuka diri mengakui kesalahan nenek
69
Agustinus Atin Alen, (80 Tahun), Wawancara di Kampung Oekolo, 05 Agustus 2021

57
moyang mereka di masa lalu supaya memberikan pengampunan dengan cara

saling menerima dan memaafkan satu sama lain melalui jalan perdamaian demi

suatu kebaikan bersama di masa sekarang dan masa yang akan datang (hidup

perkawinan).

Masyarakat Dawan (Atoin Meto) secara khusus masyarakat Humusu

Oekolo pada zaman dahulu hidup dalam kelompok-kelompok yang eksklusif

dengan latar belakang penghayatan sosial budaya dan ideologi yang mengikat

setiap kelompok secara utuh sehingga dapat membawa konsekuensi ketika

heterogenitas menimbulkan konflik kepentingan antar kelompok.Hal ini tampak

dalam pemahaman tradisional masyarakat Humusu Oekolo pada zaman dahulu

bahwa “Nbi neno unu es esat nobaha in monen. Onle tak Insana lo Insana, Biboki

lo Biboki, Miomafo lo Miomafo, Naibenu lo Naibenu”70 (`Di hari dulu masing-

masing dengan hidupnya.Seperti katakanlah Insana adalah Insana, Biboki adalah

Biboki, Miomafo adalah Miomafo, Naibenu adalah Naibenu`. Atau `Pada zaman

dahulu setiap suku mempertahankan identitasnya masing-masing. Bahwa Insana

adalah Insana, Biboki adalah Biboki, Miomafo adalah Miomafo, dan Naibenu

adalah Naibenu`). Berkaitan dengan hal itu, para tua adat (Amnasit, Ahinet, atau

Mafefa) melalui seni mengingat mereka, selalu menceritakan (terkadang imajiner)

bahwa pada zaman dahulu kehidupan masyarakat Dawan (Atoin Meto) pada

umumnya dan masyarakat Humusu Oekolo pada khususnya selalu diwarnai aneka

macam konflik, permusuhan, bahkan perang antarsuku. Karena itu, pengakuan

akan kesetaraan hak asasi manusia menjadi sesuatu yang dianggap rendah bahkan
70
Asterius Taku Banusu, (70 Tahun), Wawancara di Kampung Oekolo, 01 Agustus
2021.

58
tidak diakui sama sekali. Bahwa dengan intensi kepentingan antar kelompok

masyarakat Humusu Oekolo dengan suku-suku tertentu saling bermusuhan hingga

berperang yang berujung pada kematian dan lain sebagainya demi tercapainya

kepentingan kelompok.

Berkaca pada konsep ritus Hel Keta, secara khusus rekonsiliasi sosial

tampak dalam kegiatan relasi perkawinan yang terjadi secara tidak sengaja

maupun sengaja di antara suku-suku tertentu yang teridentifikasi konflik dan

peperangan masa lalu termasuk masyarakat Humusu Oekolo. Dalam perspektif

dan pemahaman masyarakat Humusu Oekolo, perkawinan dianggap suci dan

sakral yang dalam Bahasa Dawan disebut demikian: “Lais matsaose nane le`u”.71

Karena itu, mereka akan menempuh berbagai macam cara untuk menyingkirkan

atau menghilangkan segala seuatu yang menghambat dan menghalangi relasi

perkawinan mereka. Salah satunya dengan melakukan ritual Hel Keta.

Pelaksanaan ritual Hel Keta pada intinya merupakan upaya rekonsiliasi

bagi masyarakat Humusu Oekolo atas konflik, permusuhan, dan peperangan masa

lampau demi suatu perdamaian dan kesejahteraan hidup perkawinan mereka.

Dalam pelaksanaan ritual Hel Keta anggota suku-suku (pasangan suami-istri,

keluarga, dan sesama anggota suku) yang teridentifikasi konflik, permusuhan, dan

peperangan masa lalu saling bertemu lalu mengakui dosa dan kesalahan nenek

moyang mereka sebagai hal yang meresahkan, memecahkan, bahkan memutuskan

relasi mereka terutama relasi perkawinan mereka yang melahirkan sebuah

rekonsiliasi dan pemulihan melalui jalan perdamaian demi suatu kebaikan


71
Yoseph Neno, (57 Tahun), Wawancara di Kampung Oekolo, 08 Agustus 2021.

59
bersama yakni kedamaian, kesejahteraan, dan ketenteraman hidup perkawinan

mereka. Rekonsiliasi dan pemulihan atas konflik, permusuhan, dan peperangan

masa lalu dalam pelaksanaan ritual Hel Keta tampak dalam syair-syair adat yang

dituturkan dalam proses pelaksanaan ritual tersebut. Syair-syair yang dituturkan

itu kira-kira berbunyi demikian: “Taeok amaf ma ainaf kit tok an mone ma an feto

teo saikina ma hoekina het noes tain maputu ma malala natuin hana bata ma fefa

bata in na`i be`e nbi neno unu ma fai unu”72 (`Bertemu bapa dan mama bersama

anak laki-laki dan anak perempuan di aliran (sungai) untuk menghapus panas dan

bara menurut janji-janji dan sumpah-sumpah tabu nenek moyang di hari lampau

dan malam lampau`). Dalam dan melalui pelaksanaan ritual Hel Keta yang

mengandung makna rekonsiliasi, terjadi pemulihan atas hubungan sosial yang

pernah rusak akibat konflik, permusuhan, dan peperangan masa lalu dengan

tercipta dan terpeliharanya perdamaian dalam hidup perkawinan mereka. Dengan

demikian pengakuan akan kesetaraan hak asasi manusia yakni nilai hidup individu

yang ditemukan dalam kehidupan sosial masyarakat Humusu Oekolo tampak

terangkat kembali dan dijunjung tinggi dengan terciptanya suatu perdamaian dan

kesejahteraan dalam hidup perkawinan mereka.

4.4.4. Rekonsiliasi Budaya

Rekonsiliasi budaya yang dimaksudkan di sini berkaitan dengan ritual Hel

Keta sebagai salah satu ritual orang Dawan (masyarakat Humusu Oekolo) yang

72
Asterius Taku Banusu, (70 Tahun), Wawancara di Kampung Oekolo, 02 Agustus
2021.

60
mengandung nilai budaya. 73 Berkaca pada konsep Hel Keta, nilai budaya

diperlihatkan dengan posisinya sebagai warisan budaya dari Na`i-Be`e (Nenek

Moyang) yang mengambil tempat khusus dan masih dilakukan sampai saat ini

oleh masyarakat Humusu Oekolo (Atoin Meto). Pada intinya ritual Hel Keta hadir

untuk memperbaiki dan memulihkan relasi dengan beberapa tatanan yakni Yang

Tertinggi (Tuhan), alam, dan sesama. Pada bagian ritual dan rekonsiliasi

dikemukakan bahwa budaya atau tradisi bisa menjadi sumber atau media

rekonsiliasi atau perdamaian seperti yang dikemukakan oleh Paul Lederac bahwa

budaya lokal juga mengambil bagian dalam proses perdamaian. Ia berakar dan

tumbuh bersama perkembangan masyarakatnya dan menjadi bagian terpenting

bagi masyakarat yang memiliki, memelihara, dan melaksanakannya. Jika dilihat

dalam konsep Hel Keta, ritual Hel Keta hadir sebagai satu budaya bagi kehidupan

masyarakat Humusu Oekolo yang dilakukan secara berulang-ulang dan turun-

temurun serta tidak sekedar budaya atau ritual biasa, melainkan memeiliki sesuatu

yang lebih yakni menjadi media atau pintu rekonsiliasi atau pemulihan bagi

masyarakat Humusu Oekolo.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keberadaan ritual Hel Keta

menjadi penting dan berguna bagi masyarakat Dawan termasuk masyarakat

Humusu Oekolo sebagai satu kearifan lokal atau budaya yang dalam dan melalui

praktiknya dapat tercipta pembaharuan dan pemulihan diri dari segala bentuk

73
Nilai budaya adalah suatu nilai yang memperlihatkan cirri khas suatu kelompok
masyarakat yang membedakannya dengan masyarakat yang lain kemudian nilai itu ditampilkan
dalam kebiasaan yang diwarisi secara turun-temurun. Lihat Alo Liliweri, Pengantar Studi
Kebudayaan, (Bandung: Nusa Media, 2014), hlm. 65

61
kekacauan dan belenggu masa lalu dengan masuk ke dalam suatu kehidupan baru

yang penuh damai, tenteram, sejahtera, dan harmonis.

4.5. Refleksi Kebudayaan

Manusia sebagai eksistensi yang sadar akan lingkungan sekitar dan sadar

akan dirinya sendiri tidak pernah puas dengan sekedar ada tanpa bertanya dan

berpikir tentang mengapa ia ada dan bagaimana mempertahankan keberadaannya

itu. Untuk mempertahankan eksistensinya, manusia mau tidak mau harus

mencintai dan mengasihi. Pada intinya kebudayaan merupakan sebuah totalitas

aktivitas manusia. Sebagai totalitas aktivitas manusia, kebudayaan tidak hanya

merujuk pada daya cipta atau karya aktif manusia, melainkan juga pada pola

hidup, pandangan, dan gagasan serta nilai yang melandasi kebudayaan itu.

Kebudayaan merupakan suatu perjalanan panjang manusia untuk

memahami diri dan dunianya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada intinya dunia

dan diri manusia memang memiliki suatu hubungan yang tidak dapat

dilepaspisahkan antara satu dengan yang lainnya. Memahami dunia berarti juga

memahami manusia sebagai subjek yang berada di dalam dunia. Begitupun ketika

memahami manusia berarti memahami pula dunia sebagai tempat di mana

manusia dapat mewujudnyatakan segala potensi-potensi diri yang dimilikinya.

Usaha manusia untuk memahami untuk memahami diri dan dunianya ini

merupakan bagian dari upaya manusia untuk memanusiakan dirinya menjadi

pribadi yang lebih manusiawi.

62
Manusia dalam refleksi berkaitan dengan kebudayaan merupakan makhluk

yang senantiasa berada di dalam suatu “proses menjadi”. Setiap hasil cipta, karya,

dan karsa manusia yang terkandung di dalam kebudayaan secara eksplisit

ditemukan bagaimana manusia itu berproses untuk menjadi lebih baik, lebih

sempurna, dan menjadi lebih manusiawi. Proses menjadi sempurna inilah

merupakan keistimewaan milik manusia yang membedakannya dengan makhluk

hidup lainnya.

Di dalam proses menjadi sempurna, manusia mau tidak mau harus

berperan sebagai subyek sekaligus obyek. Sebagai subyek, manusia harus menjadi

pribadi yang sadar dalam berproses. Sedangkan menjadi obyek, manusia harus

mengenal dan memahami dirinya sekurang-kurangnya mengenai pemahaman

akan alasan dan tujuan keberadaan dirinya sebagai pribadi yang sedang dalam

proses menjadi lebih baik.

Di dalam ritus Hel Keta yang merupakan suatu ritus rekonsiliasi adat

masyarakat Desa Humusu Oekolo terkandung pandangan tentang manusia sebagai

makhluk yang bertanggungjawab.Tanggungjawab manusia yang tampak dalam

ritus Hel Keta pada intinya merupakan konsekuensi etis manusia sebagai makhluk

yang istimewa (Atoni Honis). Sebagai makhluk yang istimewa, maka manusia

perlu bertanggungjawab sekurang-kurangnya menjaga keharmonisan di dalam

kehidupan bersama dengan yang lain. Maka dari itu, dalam menghadapi setiap

persoalan hidup termasuk putusnya relasi manusia sebagaimana masyarakat

Humusu Oekolo yang mengalami putusnya relasi perkawinan dengan suku-suku

tertentu akibat konflik, permusuhan, dan peperangan nenek moyang mereka pada

63
masa lalu, manusia senantiasa mencari jalan keluar untuk membuat suatu

pemulihan atau rekonsiliasi demi suatu kebaikan bersama di masa sekarang dan

masa depan yang mana dalam kebudayaan masyarakat Humusu Oekolo menyata

di dalam ritus Hel Keta.

Di dalam praktik ritus Hel Keta yang merupakan ritual rekonsiliasi atau

pemulihan adat masyarakat Humusu Oekolo pada intinya mengandung begitu

banyak makna. Makna rekonsiliasi yang terkandung dalam ritus Hel Keta ialah

rekonsiliasi religius, rekonsiliasi ekologis, rekonsiliasi sosial, dan rekonsiliasi

budaya. Rekonsiliasi religius berkaitan dengan manusia (masyarakat Humusu

Oekolo) yang menyadari Hel Keta sebagai anugerah Tuhan yang istimewa. Tuhan

menganugerahkan kepada manusia suatu kesadaran akan kodratnya sebagai

gambar dan rupa Allah sendiri yang memiliki kebaikan dan kabajikan dalam

dirinya untuk mewujudkan suatu kebaikan bersama melalui jalan perdamaian

sebagai makhluk ciptaan Allah yang setara. Di sisi lain, Tuhan menganugerahkan

pertobatan dan pengampunan, pembaharuan dan penyucian diri, serta cinta kasih

yang daripadanya manusia ditransformasikan kepada kehidupan yang lebih baik

dan bermartabat.

Rekonsiliasi ekologis berkaitan dengan relasi manusia (Masyarakat

Humusu Oekolo) dengan alam sekitarnya yang rusak sehingga menimbulkan

kemarahan dari makhluk-makhluk gaib yang memiliki daya kekuatan melebihi

daya kekuatan manusia yang berdiam di benda-benda alam. Masyarakat Humusu

Oekolo mengakui dan meyakini makhluk-makhluk yang berkekuatan itu ada dan

berdiam di batu-batu, pohon-pohon, dan mata air-mata air. Mereka sering

64
mendatangi benda-benda alam itu dan mempersembahkan kurban sebagai tanda

penghormatan sekaligus memohonkan kekuatan dalam hidup mereka. Di sisi lain,

benda-benda itu dijadikan identitas nama dan suku-suku mereka berkat makhluk-

makhluk gaib yang berdiam di situ. Sebagai identitas dan pemberi berkat, mereka

menyebut benda-benda itu dengan sebutan Faut Kanaf, Oe Kanaf, dan Hau

Kanaf. Akan tetapi, oleh karena tindakan amoral manusia (Masyarakat Humusu

Oekolo) itu sendiri yang menyebabkan kerusakan, maka benda-benda alam itu

menjadi marah dan bahkan mendatangkan bencana. Dalam konsep Hel Keta,

segala bentuk konflik, peperangan, dan permusuhan masa lalu mengakibatkan

rusak dan marahnya Faut Kanaf, Oe Kanaf, dan Hau Kanaf yang dapat

mendatangkan bencana bagi kehidupan perkawinan masyarakat Humusu Oekolo.

Hel Keta hadir untuk memulihkan dan mengembalikan relasi masyarakat Humusu

Oekolo dengan Faut Kanaf, Oe Kanaf, dan Hau Kanaf yang dahulunya rusak.

Karena itu, dalam dan melalui praktik Hel Keta, relasi masyarakat Humusu

Oekolo dengan alam menjadi pulih dan identitas nama dan suku mereka menjadi

kuat berkat kekuatan yang mereka peroleh kembali dari Faut Kanaf, Oe Kanaf,

dan Hau Kanaf yang mereka akui dan yakini.

Sedangkan, rekonsiliasi sosial berkaitan dengan pengakuan akan

kesetaraan hak asasi manusia yang menjadi bagian penting dan integral dalam

menciptakan suatu kebaikan bersama dalam kehidupan sosial masyarakat. “Yang

lain” dipandang sebagai saudara bahkan sahabat. Karena itu, dengan berdasar

pada hukum tersebut, maka rekonsiliasi dalam ritus Hel Keta tidak hanya dibuat

sebagai usaha mengembalikan nama baik seseorang dan kelompok tertentu, tetapi

65
lebih daripada itu merupakan usaha memulihkan kembali relasi yang pernah rusak

dan menciptakan suatu kebaikan bersama yang harmonis sebagai jaminan hidup

masa sekarang dan masa depan dengan berpegang pada rasa memiliki yang lain

sebagai saudara dan bahkan sahabat.

Selain rekonsiliasi religius dan rekonsiliasi sosial, ada juga rekonsiliasi

budaya yang terkandung dalam ritus Hel Keta sebagai uapaya dalam memulihkan

relasi khususya relasi perkawinan yang putus akibat konflik, permusuhan, dan

peperangan masa lalu. Berkaitan dengan rekonsiliasi budaya yang dimaksud di

sini ialah bahwa manusia tidak sebatas melihat ritus Hel Keta sebagai salah satu

ritus yang hanya sebatas dipraktikkan begitu saja, tetapi lebih dari itu, Hel

Ketadilihat sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat Humusu Oekolo yang

diwariskan secara turun-temurun sebagai media yang melaluinya manusia

memperbaiki dan memulihkan kembali relasi dengan Yang Tertinggi (Tuhan),

alam, dan sesama yang pernah rusak akibat dosa dan kesalahan yang dilakukan

serta menciptakan kembali perdamaian demi suatu kebaikan bersama di masa

sekarang maupun masa depan.

66

Anda mungkin juga menyukai