Pada dua bab sebelumnya yakni bab II dan bab III penulis telah
itu, penulis juga telah mendeskripsikan tentang apa itu ritus Hel Keta dan tahap-
tahap yang terdapat dalam proses praktik ritus Hel Keta. Sedangkan pada bab ini
penulis akan mendeskripsikan tentang makna rekonsiliasi dalam ritus Hel Keta
dan membuat refleksi budaya terhadap pokok persoalan yang dikaji dalam
rekonsiliasi menurut Gereja Katolik; Ketiga, makna rekonsiliasi dalam ritus Hel
Keta. Pada bagian ini penulis secara khusus dan mendalam menjelaskan tentang
makna rekonsiliasi yang terdapat di dalam praktik ritus Hel Keta; Keempat,
refleksi budaya. Pada bagian ini penulis akan memasukkan hasil refleksi penulis
berkaitan dengan pengkajian penulis tentang makna rekonsiliasi dalam ritus Hel
Keta.
46
4.1. Pengertian Makna
sesuatu. Makna menunjukkan arti atau maksud dari sesuatu yang ingin dijelaskan.
Secara etimologis, istilah rekonsiliasi berasal dari akar kata bahasa Latin
dengan sengaja, di mana pihak-pihak yang saling berseteru bertemu satu dengan
yang lain “dalam dewan” guna membahas pandangan mereka yang berbeda dan
menimbulkan kesan bahwa istilah tersebut mirip dengan istilah negosiasi. Lebih
daripada itu, rekosiliasi mengacu pada suatu perubahan yang mendasar di dalam
mengandung makna pemulihan dan perbaikan kembali suatu hubungan yang telah
58
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008), hlm. 619.
59
Geiko Muller-Fahrenholz, Op. Cit., hlm. 15.
60
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI V1.1) Online, Diunduh dari:
http://kbbi.web.id/rekonsiliasi.
47
rusak atau retak. Lebih dari itu, rekonsiliasi tidak hanya sebatas berbicara tentang
membangun kembali hubungan yang telah rusak atau retak akibat konflik, tetapi
berbicara juga tentang suatu konsep dan praksis yang mencoba untuk
mengkerangkakan kembali makna dari konflik secara positif. Karena itu, CRS
pada ajaran dan teladan Yesus yakni Cinta Kasih. Hukum Cinta Kasih ini hadir
sebagai pencegahan atas tindakan kekerasan yang radikal dari tuntutan Perjanjian
Lama.
Kalau hukum balas dendam dibenarkan demi mencegah orang yang main
hakim sendiri dan pembalasan yang tidak setimpal, Yesus datang dan
mengajarkan pengampunan (Mat.6:12; 14-15) sampai tujuh puluh tujuh kali (Mat.
18:22). Untuk itu, Yesus bukan saja mengajar melainkan juga memberi teladan
(Mat. 16:22-23). Ia pun tidak menyetujui kekerasan pedang untuk membela diri-
61
etnobudaya.net/2010/01/15/konsep-rekonsiliasi/, Diakses pada hari Rabu, 02
September 2021, Pkl. 22.35 WITA
48
pernah mencucurkan darah sesama-Nya dan hanya mencucurkan darah-Nya
sendiri sebab satu-satunya cara untuk sampai pada rekonsiliasi di antara manusia
yang bertindak kekerasan adalah dengan menjadi kurban dari kekerasan itu. Maka
(Luk. 22:34) dan mengajar untuk memberikan juga pipi kiri apabila pipi kanan
ditampar (Mat. 5:39), Yesus tidak puas dengan penyerahan pasif ke tangan Allah,
rekonsiliasi.
melibatkan agama atau magis yang diperkuat melalui tradisi. Menurut Viktor
Turner, ritual berkaitan erat dengan masyarakat yang dilakukan untuk mendorong
orang-orang dalam melakukan dan menaati tatanan sosial tertentu.62 Karena itu,
prinsip yang berbeda-beda dan memberi motivasi serta kekuatan baru untuk hidup
hakikat tertinggi, yang Kudus, yang diyakini ada, penuh kekuatan, serta menjadi
sumber kehidupan dan dapat mempengaruhi nasib manusia secara baik atau
62
http://repository.uksw.edu. Ritual dan Identitas Sosial, PDF, Diakses pada Selasa, 07
Juni 2022, Pkl. 12.00 WITA.
49
buruk.63 Karena itu, ritual pada intinya dibagi dalam 4 macam yaitu: (1) Tindakan
memiliki kekuatan mistis; (2) Tindakan religius, kultus para leluhur; (3) Ritual
upara yang berkaitan dengan siklus kehidupan; (4) Ritual faktitif yang bertujuan
kesejahteraan materi. Selain itu, simbol merupakan representasi dari esensi ritual,
di mana melalui simbol segala bentuk nilai yang terkandung dalam ritual tersebut
terungkap secara jelas. Sebab, suatu simbol tentunya memiliki instrumen nilai.
Karena itu ritual dan simbol merupakan satu-kesatuan yang melaluinya nilai-nilai
Hel Keta merupakan salah satu ritual yang dipraktikkan oleh masyarakat
Dawan pada umumnya dan masyarakat Humusu Oekolo pada khususnya. Dalam
Amnasit, Mafefa atau Ahinet dan kedua pasangan suami istri seperti masuk ke
lidi ke dalam air, menyembelih hewan kurban, dan makan bersama, yang mana
melalui simbol-simbol itu, nilai rekonsiliasi yang terkandung dalam ritus tersebut
terungkap dan menjadi nyata. Bagi masyarakat Dawan (Atoin Meto), ritus atau
ritual merupakan bagian dari refleksi diri mereka. Selain sebagai refleksi diri, ritus
atau ritual merupakan sarana untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam
63
http://repository.uksw.edu. Ritual dan Identitas Sosial, PDF, Diakses pada Selasa, 07
Juni 2022, Pkl. 12.00 WITA.
50
masyarakat dan nilai-nilai itu akan dilihat dalam konsep Hel Keta sebagai satu
ritus atau ritual yang mengandung dan melahirkan rekonsiliasi dan perdamaian.
Untuk itu, penulis akan mencoba menampilkan dan menguraikan beberapa hal
Di dalam ritus Hel Keta, secara ekspilisit dapat ditemukan nilai spiritual
yang eviden memuat makna religius sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan
tubuh dan timbul dari spirit (semangat) atau roh (gaya elastisitas hidup) serta
sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh ratio (akal dan imajinasi daya akal).
khususnya percaya dan mengakui adanya Yang Tertinggi yang mereka sebut Uis
Neno-Uis Pah yang tempat-Nya jauh dan tinggi di atas langit. Dalam perspektif
sebagai pusat matahari dan bulan yang sinarnya terpancar tiada henti dan memberi
pelaksanaan ritual Hel Keta oleh dan bagi masyarakat Dawan (Atoin Meto) secara
berkaitan dengan relasi antara manusia dengan Yang Ilahi (Tuhan) atau
51
spiritualitas hidup seseorang.64 Hal ini berkaitan dengan pengampunan,
yang telah terjadi di masa lalu yakni dosa dan kesalahan. Bahwa segala macam
bentuk tindakan amoral yang dilakukan oleh manusia baik secara individu
dosa yang berujung pada kebinasaan. Dan Allah sendiri tidak menghendaki itu.
Maka melalui ritual sebagai salah satu esensi hidup manusia yang mengacu pada
tindakan religius atau magic-spiritual yang bersifat mistical notion (perasaan dan
tindakan mistik) dan mengacu kepada hal yang sakral, manusia menemukan
kembali spiritualitas hidup yang sejati, di mana relasinya dengan Yang Tertinggi
yang dahulunya rusak akibat dosa dan kesalahan, kini menjadi pulih. 65
Ritual Hel Keta pada dasarnya dilakukan di sungai yang airnya mengalir.
sebuah sungai yang airnya mengalir lalu masuk ke dalamnya dengan saling
masing. Lalu salah satu Amnasit, Mafefa atau Ahinet yang dipercaya menuturkan
64
Hubertus Leteng, Pertumbuhan Spiritual Jalan Pencerahan Hidup, (Jakarta: Obor,
2012), hlm. 3.
65
http:/ejournal.iainkendari.ac.id. Al Izzah Sakral dan Profan dalam Ritual Life Cycle,
Diakses pada Selasa 07 Juni 2022, Pkl. 11.45 WITA.
52
Es on nanet maputu-malala ho mnoes mani ben ma mupasib mani ben.
Dari tuturan di atas, dapat menunjukkan bahwa para peserta upacara yakni
konflik nenek moyang mereka pada masa lalu yakni dosa dan kesalahan yang
pembersihan dari Tuhan sendiri. Dengan demikian, mereka keluar dari suatu
dunia yang dahulunya membelunggu jiwa dan raga mereka, lalu masuk ke dunia
Ritual Hel Keta selain mengandung nilai religius yang berkaitan dengan
relasi antara mansuia dengan Yang Tertinggi (Tuhan), ritual tersebut juga
mengandung nilai religius yang berkaitan dengan keutuhan diri dan perasaan
seseorang akan kebaikan dan kebajikan yang melekat dalam diri setiap orang yang
yang tidak terduga sehingga kebaikan dan kebajikan itu menjadi hilang. Ketika
66
Asterius Taku Banusu, (70 Tahun), Wawancara di Kampung Oekolo, 01 Agustus
2021.
53
masalah atau pelanggaran terjadi maka manusia pada dirinya akan melahirkan
kesadaran yang alami untuk memperbaiki keadaan kembali baik agar kebaikan
Dalam kacamata Hel Keta kesadaran itu diwujudkan dalam seni mengingat
masyarakat Humusu Oekolo akan situasi kehidupan nenek moyang mereka pada
masa lampau yang penuh dengan konflik dan peperangan. Seni mengingat ini
didukung dengan cerita-cerita yang bersifat imajiner dari para tua adat (Amnasit,
Mahine atau Mafefa) tentang konflik dan peperangan masa lalu yang berujung
pihak korban maupun pelaku untuk tidak membangun relasi hidup termasuk relasi
perkawinan sebab janji-janji dan sumpah-sumpah itu dianggap tabu maka menjadi
warisan secara turun-temurun bagi anak cucu (Sufa Ka`uf ) dari suku-suku yang
berkonflik dan berperang pada zaman dahulu kala yang tidak boleh dilanggar.
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa peluang perkawinan bagi anak-cucu
masyarakat Humusu Oekolo selalu terbuka sehingga secara tidak sengaja mereka
dapat menemukan pasangan hidup satu sama lain di antara suku-suku yang
teridentifikasi konflik dan peperangan masa lalu. Karena itu, agar perkawinan
mereka tidak terbelenggu oleh janji-janji dan sumpah-sumpah yang dianggap tabu
itu, maka mereka harus melakukan ritual Hel Keta sebagai pemulihan dan
rekonsiliasi atas janji-janji dan sumpah-sumpah tabu akibat konflik masa lalu.
Dalam pelaksanaan ritual Hel Keta kedua pihak pasangan suami-istri serta
sesama anggota suku yang teridentifikasi konflik dan peperangan masa lampau
54
menyadari dan menyesali kesalahan nenek moyang mereka bahwa konflik dan
dengan kodrat manusia sebagai gambar dan rupa Allah yang luhur. Oleh karena
konflik dan peperangan itu yang ditegaskan dengan janji-janji dan sumpah-
sumpah tabu, jiwa mereka terbelenggu oleh dosa dan kesalahan nenek moyang
mereka. Karena itu, masyarakat Humusu Oekolo harus melaksanakan Hel Keta
untuk pemulihan akan perdamaian demi suatu kebaikan bersama. Kesadaran dan
penyesalan yang amat mendalam yang termuat dalam ritual Hel Keta merupakan
bagian dari ekspresi perasaan atau emosi masyarakat Humusu Oekolo yang
dan kebajikan yang telah rusak akibat dosa dan kesalahan nenek moyang mereka
kesadaran dan pemulihan melalui ritual Hel Keta dalam diri masyarakat Humusu
Oekolo menjadi upaya memperbaiki diri dan relasi mereka demi suatu
akan datang (hidup perkawinan). Karena itu, dalam dan melalui ritual Hel Keta
keluar dari jiwa mereka yang terbelenggu oleh dosa dan kesalahan nenek moyang
mereka serta memasuki suatu panggung kehidupan baru dengan membentuk suatu
perkawinan mereka. Selain itu, ada sebuah sikap transformatif untuk perubahan
55
4.1.2. Rekonsiliasi Ekologis
dengan Yang Ilahi (Tuhan) dan keutuhan spiritualitas individu, ritual Hel Keta
juga memuat rekonsliasi religius yang berkaitan dengan relasi serta interaksi
manusia dengan alam tempat di mana ia tinggal. Dalam bingkai spiritual yang
berbicara soal kebaikan yang ada dalam setiap manusia yang jika terjadi suatu
pergeseran atau pelanggaran akibat tindakan amoral, maka akan mendapat suatu
sanksi dari berbagai macam pihak termasuk hukuman dari alam yang disebut
masyarakat Humusu Oekolo sejak dahulu kala bahwa tindakan amoral baik
perkawinan. Bencana yang timbul akibat konflik dan peperangan masa lalu bagi
Hel Keta dengan tujuan memulihkan Pah-Nifu sebagai alam dan tempat berpijak
tiga kekuatan yang menjadi berkat utama bagi masyarakat Humusu Oekolo yakni
67
Sitompul A. A., Manusia Dan Budaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), hlm. 46
68
Agustinus Atin Alen, (80 Tahun), Wawancara di Kampung Oekolo, 05 Agustus
2021. Sebutan untuk air pemali, batu pemali, dan pohon pemali Atoin Meto yang dalam perspektif
dan keyakinan masyarakat Humusu Oekolo menunjukkan identitas suku.
56
Pemulihan dan rekonsiliasi dengan alam ini menjadi salah satu tujuan dari
ritual Hel Keta, karena dengan adanya ritual Hel Keta dipercaya dapat
dan Hau Kanaf yang memberikan suatu kemenangan bagi pihak pelaku dalam
konflik dan peperangan masa lalu menjadi tenang dan pulih. Karena itu, ketika
alam telah pulih dan kekuatan Oe Kanaf, Faut Kanaf, dan Hau Kanaf menjadi
tenang, maka relasi perkawinan pasangan suami-istri dan sesama anggota suku
dapat terjalin dengan baik seperti sediakala. Kekuatan Oe Kanaf, Faut Kanaf, dan
Hau Kanaf69 sebagai sumber berkat utama akan memberikan perdamaian dan
sesama anggota suku kedua bela pihak yang sebelumnya teridentifikasi konflik
sosial yang tampak dalam pengakuan akan kesetaraan hak asasi manusia.
Pengakuan yang berkaitan dengan kesetaraan hak asasi manusia dapat ditemukan
dalam kehidupan sosial masyarakat Humusu Oekolo yang sangat menghargai nilai
hidup setiap individu masyarakat. Hal tersebut tampak dalam penerimaan akan
yang lain sebagai manusia, termasuk memberi perhatian dan juga menerima
pengampunan. Unsur pengakuan akan hak asasi manusia inilah yang menjadi
patokan atau tolok ukur untuk memacu pihak-pihak yang teridentifikasi konflik
dan peperangan masa lalu agar dapat membuka diri mengakui kesalahan nenek
69
Agustinus Atin Alen, (80 Tahun), Wawancara di Kampung Oekolo, 05 Agustus 2021
57
moyang mereka di masa lalu supaya memberikan pengampunan dengan cara
saling menerima dan memaafkan satu sama lain melalui jalan perdamaian demi
suatu kebaikan bersama di masa sekarang dan masa yang akan datang (hidup
perkawinan).
dengan latar belakang penghayatan sosial budaya dan ideologi yang mengikat
bahwa “Nbi neno unu es esat nobaha in monen. Onle tak Insana lo Insana, Biboki
Biboki, Miomafo adalah Miomafo, Naibenu adalah Naibenu`. Atau `Pada zaman
adalah Insana, Biboki adalah Biboki, Miomafo adalah Miomafo, dan Naibenu
adalah Naibenu`). Berkaitan dengan hal itu, para tua adat (Amnasit, Ahinet, atau
bahwa pada zaman dahulu kehidupan masyarakat Dawan (Atoin Meto) pada
umumnya dan masyarakat Humusu Oekolo pada khususnya selalu diwarnai aneka
akan kesetaraan hak asasi manusia menjadi sesuatu yang dianggap rendah bahkan
70
Asterius Taku Banusu, (70 Tahun), Wawancara di Kampung Oekolo, 01 Agustus
2021.
58
tidak diakui sama sekali. Bahwa dengan intensi kepentingan antar kelompok
berperang yang berujung pada kematian dan lain sebagainya demi tercapainya
kepentingan kelompok.
Berkaca pada konsep ritus Hel Keta, secara khusus rekonsiliasi sosial
tampak dalam kegiatan relasi perkawinan yang terjadi secara tidak sengaja
sakral yang dalam Bahasa Dawan disebut demikian: “Lais matsaose nane le`u”.71
Karena itu, mereka akan menempuh berbagai macam cara untuk menyingkirkan
bagi masyarakat Humusu Oekolo atas konflik, permusuhan, dan peperangan masa
keluarga, dan sesama anggota suku) yang teridentifikasi konflik, permusuhan, dan
peperangan masa lalu saling bertemu lalu mengakui dosa dan kesalahan nenek
59
bersama yakni kedamaian, kesejahteraan, dan ketenteraman hidup perkawinan
masa lalu dalam pelaksanaan ritual Hel Keta tampak dalam syair-syair adat yang
itu kira-kira berbunyi demikian: “Taeok amaf ma ainaf kit tok an mone ma an feto
teo saikina ma hoekina het noes tain maputu ma malala natuin hana bata ma fefa
bata in na`i be`e nbi neno unu ma fai unu”72 (`Bertemu bapa dan mama bersama
anak laki-laki dan anak perempuan di aliran (sungai) untuk menghapus panas dan
bara menurut janji-janji dan sumpah-sumpah tabu nenek moyang di hari lampau
dan malam lampau`). Dalam dan melalui pelaksanaan ritual Hel Keta yang
pernah rusak akibat konflik, permusuhan, dan peperangan masa lalu dengan
demikian pengakuan akan kesetaraan hak asasi manusia yakni nilai hidup individu
terangkat kembali dan dijunjung tinggi dengan terciptanya suatu perdamaian dan
Keta sebagai salah satu ritual orang Dawan (masyarakat Humusu Oekolo) yang
72
Asterius Taku Banusu, (70 Tahun), Wawancara di Kampung Oekolo, 02 Agustus
2021.
60
mengandung nilai budaya. 73 Berkaca pada konsep Hel Keta, nilai budaya
Moyang) yang mengambil tempat khusus dan masih dilakukan sampai saat ini
oleh masyarakat Humusu Oekolo (Atoin Meto). Pada intinya ritual Hel Keta hadir
untuk memperbaiki dan memulihkan relasi dengan beberapa tatanan yakni Yang
Tertinggi (Tuhan), alam, dan sesama. Pada bagian ritual dan rekonsiliasi
dikemukakan bahwa budaya atau tradisi bisa menjadi sumber atau media
rekonsiliasi atau perdamaian seperti yang dikemukakan oleh Paul Lederac bahwa
budaya lokal juga mengambil bagian dalam proses perdamaian. Ia berakar dan
dalam konsep Hel Keta, ritual Hel Keta hadir sebagai satu budaya bagi kehidupan
temurun serta tidak sekedar budaya atau ritual biasa, melainkan memeiliki sesuatu
yang lebih yakni menjadi media atau pintu rekonsiliasi atau pemulihan bagi
Humusu Oekolo sebagai satu kearifan lokal atau budaya yang dalam dan melalui
praktiknya dapat tercipta pembaharuan dan pemulihan diri dari segala bentuk
73
Nilai budaya adalah suatu nilai yang memperlihatkan cirri khas suatu kelompok
masyarakat yang membedakannya dengan masyarakat yang lain kemudian nilai itu ditampilkan
dalam kebiasaan yang diwarisi secara turun-temurun. Lihat Alo Liliweri, Pengantar Studi
Kebudayaan, (Bandung: Nusa Media, 2014), hlm. 65
61
kekacauan dan belenggu masa lalu dengan masuk ke dalam suatu kehidupan baru
Manusia sebagai eksistensi yang sadar akan lingkungan sekitar dan sadar
akan dirinya sendiri tidak pernah puas dengan sekedar ada tanpa bertanya dan
merujuk pada daya cipta atau karya aktif manusia, melainkan juga pada pola
hidup, pandangan, dan gagasan serta nilai yang melandasi kebudayaan itu.
memahami diri dan dunianya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada intinya dunia
dan diri manusia memang memiliki suatu hubungan yang tidak dapat
dilepaspisahkan antara satu dengan yang lainnya. Memahami dunia berarti juga
memahami manusia sebagai subjek yang berada di dalam dunia. Begitupun ketika
Usaha manusia untuk memahami untuk memahami diri dan dunianya ini
62
Manusia dalam refleksi berkaitan dengan kebudayaan merupakan makhluk
yang senantiasa berada di dalam suatu “proses menjadi”. Setiap hasil cipta, karya,
ditemukan bagaimana manusia itu berproses untuk menjadi lebih baik, lebih
hidup lainnya.
berperan sebagai subyek sekaligus obyek. Sebagai subyek, manusia harus menjadi
pribadi yang sadar dalam berproses. Sedangkan menjadi obyek, manusia harus
akan alasan dan tujuan keberadaan dirinya sebagai pribadi yang sedang dalam
Di dalam ritus Hel Keta yang merupakan suatu ritus rekonsiliasi adat
ritus Hel Keta pada intinya merupakan konsekuensi etis manusia sebagai makhluk
yang istimewa (Atoni Honis). Sebagai makhluk yang istimewa, maka manusia
kehidupan bersama dengan yang lain. Maka dari itu, dalam menghadapi setiap
tertentu akibat konflik, permusuhan, dan peperangan nenek moyang mereka pada
63
masa lalu, manusia senantiasa mencari jalan keluar untuk membuat suatu
pemulihan atau rekonsiliasi demi suatu kebaikan bersama di masa sekarang dan
masa depan yang mana dalam kebudayaan masyarakat Humusu Oekolo menyata
Di dalam praktik ritus Hel Keta yang merupakan ritual rekonsiliasi atau
banyak makna. Makna rekonsiliasi yang terkandung dalam ritus Hel Keta ialah
Oekolo) yang menyadari Hel Keta sebagai anugerah Tuhan yang istimewa. Tuhan
gambar dan rupa Allah sendiri yang memiliki kebaikan dan kabajikan dalam
sebagai makhluk ciptaan Allah yang setara. Di sisi lain, Tuhan menganugerahkan
pertobatan dan pengampunan, pembaharuan dan penyucian diri, serta cinta kasih
dan bermartabat.
Oekolo mengakui dan meyakini makhluk-makhluk yang berkekuatan itu ada dan
64
mendatangi benda-benda alam itu dan mempersembahkan kurban sebagai tanda
benda-benda itu dijadikan identitas nama dan suku-suku mereka berkat makhluk-
makhluk gaib yang berdiam di situ. Sebagai identitas dan pemberi berkat, mereka
menyebut benda-benda itu dengan sebutan Faut Kanaf, Oe Kanaf, dan Hau
Kanaf. Akan tetapi, oleh karena tindakan amoral manusia (Masyarakat Humusu
Oekolo) itu sendiri yang menyebabkan kerusakan, maka benda-benda alam itu
menjadi marah dan bahkan mendatangkan bencana. Dalam konsep Hel Keta,
rusak dan marahnya Faut Kanaf, Oe Kanaf, dan Hau Kanaf yang dapat
Hel Keta hadir untuk memulihkan dan mengembalikan relasi masyarakat Humusu
Oekolo dengan Faut Kanaf, Oe Kanaf, dan Hau Kanaf yang dahulunya rusak.
Karena itu, dalam dan melalui praktik Hel Keta, relasi masyarakat Humusu
Oekolo dengan alam menjadi pulih dan identitas nama dan suku mereka menjadi
kuat berkat kekuatan yang mereka peroleh kembali dari Faut Kanaf, Oe Kanaf,
kesetaraan hak asasi manusia yang menjadi bagian penting dan integral dalam
lain” dipandang sebagai saudara bahkan sahabat. Karena itu, dengan berdasar
pada hukum tersebut, maka rekonsiliasi dalam ritus Hel Keta tidak hanya dibuat
sebagai usaha mengembalikan nama baik seseorang dan kelompok tertentu, tetapi
65
lebih daripada itu merupakan usaha memulihkan kembali relasi yang pernah rusak
dan menciptakan suatu kebaikan bersama yang harmonis sebagai jaminan hidup
masa sekarang dan masa depan dengan berpegang pada rasa memiliki yang lain
budaya yang terkandung dalam ritus Hel Keta sebagai uapaya dalam memulihkan
relasi khususya relasi perkawinan yang putus akibat konflik, permusuhan, dan
sini ialah bahwa manusia tidak sebatas melihat ritus Hel Keta sebagai salah satu
ritus yang hanya sebatas dipraktikkan begitu saja, tetapi lebih dari itu, Hel
Ketadilihat sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat Humusu Oekolo yang
alam, dan sesama yang pernah rusak akibat dosa dan kesalahan yang dilakukan
66