Anda di halaman 1dari 7

Nama : Henny Sitanggang, S.

Th
NIM : 18.310
Mata Kuliah : Studium Generale
Dosen : Pdt.Dr.Sanggam M.L.Siahaan

Kaitan Habitus Pierre Bordeau

dalam perilaku korupsi (yang adalah jemaat/orang Kristen)

Penjelasan

Pierre Bordeau adalah seorang ahli Filsafat dan ahli sosiologi penting di Perancis.
Lahir pada tahun 1930 di Denguin, Pyrenia Antlantik. Pemikirannyanya banyak dipengaruhi
dari pendidikannya di Perancis. Bourdieu dikenal memakai metode-metode dari berbagai
disiplin ilmu: filsafat dan teori sastra ke sosiologi dan antropologi. Dikenal karena bukunya,
Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste yang berisi argumen bahwa
penilaian-penilaian selera itu berhubungan dengan posisi sosial.1

Secara sederhana pengertian Habitus adalah pengetahuan praktis dari agen mengenai
cara melakukan sesuatu, merespons situasi, dan memahami apa yang terjadi. Habitus adalah
semacam pengetahuan yang kita tidak sadari merujuk pada yang rutin kita lakukan. Bentuk
pemahaman ini meliputi sesuatu dengan rentang situasi yang beragam; mulai dari cara
berjalan, makan atau berbicara, hingga ketegoriasai politik seperti kelas, kelompok usia, dan
jenis kelamin.2

Bourdieu berusaha menghubungkan gagasan-gagasan teoretisnya dengan riset empiris


berdasarkan pada kehidupan sehari-hari. Karyanya disebut sebagai antropologi budaya atau –
sebagaimana ia menyebutnya— sebuah “Teori Praktik.” Sumbangannya pada sosiologi
bersifat pembuktian sekaligus teoretis (sehingga diperhitungkan melalui kedua sistem
tersebut).

1
http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2009/05/pierre-bourdieu-dan-pemikirannya.html, diakses 24 April
2019
2
Jones, Pip; Bradbury, Liz.; Le Boutillier, Shaun (2016). Pengantar Teori-teori sosial (edisi revisi).
Diterjemahkan oleh Saifuddin, Achmad Fedyani (edisi ke-Edisi Kedua). Indonesia: Pustaka Obor
Indonesia. ISBN 9794619981. Hal 215
Bourdieu melihat habitus sebagai kunci bagi reproduksi sosial karena ia bersifat
sentral dalam membangkitkan dan mengatur praktik-praktik yang membentuk kehidupan
sosial. Individu-individu belajar untuk mendambakan hal-hal yang dimungkinkan bagi
mereka, dan tidak mengaspirasi hal-hal yang tidak tersedia bagi mereka. Kondisi individu
hidup membangkitkan kecondongan yang cocok dengan kondisi-kondisi tersebut (termasuk
selera pada seni, sastra, makanan, dan musik), dan dalam arti tertentu mem-pra-adaptasi
terhadap tuntutan-tuntutan dari kondisi tersebut. Praktik-praktik yang paling tidak
dimungkinkan akan disisihkan.

Obyektif (Ranah) dan Subyektif (Habitus)

Seperti disebutkan di atas, Bourdieu memanfaatkan konsep-konsep metodologis dan


teoretis tentang habitus dan ranah, tujuannya untuk menciptakan jeda epistemologis dari
antinomi obyektif-subyektif dalam ilmu-ilmu sosial yang terkenal itu. Ia secara efektif ingin
menyatukan fenomenologi sosial dan strukturalisme.
Bourdieu ingin menyatukan antara yang material dan simbolik, kesadaran dan
ketidaksadaran, kebebasan manusia dan keterikatan oleh struktur, serta ekonomi dan budaya.
Bourdieu mencoba mempertemukan antara konsep dan praktik kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat, dan dengan demikian mengatasi kesenjangan antara teori dan praktik, antara
pikiran dan tindakan, serta antara ide dan realitas konkret.
Habitus dan ranah diajukan untuk menghasilkan jeda tersebut, karena keduanya hanya
bisa eksis dalam relasi satu dengan yang lain. Walau sebuah ranah itu dibentuk oleh berbagai
agen sosial yang berpartisipasi di dalamnya (dan dengan demikian, di dalam habitus), sebuah
habitus –sebagai dampaknya— merepresentasikan transposisi struktur-struktur obyektif dari
ranah tersebut ke dalam struktur subyektif tindakan dan pikiran sang agen.
Hubungan antara habitus dan ranah adalah relasi dua-arah. Ranah hanya bisa eksis
sejauh agen-agen sosial memiliki kecondongan-kecondongan dan seperangkat skema
perseptual, yang dibutuhkan untuk membentuk ranah itu dan mengaruniainya dengan makna.
Seiring dengan itu, dengan berpartisipasi dalam ranah, agen-agen memasukkan pengetahuan
(know-how) yang memadai ke dalam habitus mereka, yang akan memungkinkan mereka
membentuk ranah. Habitus mewujudkan struktur-struktur ranah, sedangkan ranah
memperantarai antara habitus dan praktik.
Tindakan atau praktik adalah produk dari relasi antara habitus dan ranah yang sama-
sama merupakan produk sejarah. Pada saat yang sama, habitus dan ranah juga merupakan
produk dari ranah daya-daya yang ada di masyarakat. Bourdieu membayangkan masyarakat
sebagai semacam sistem ranah, arena atau lapangan yang memiliki berbagai daya yang saling
tarik-menarik; sebuah wilayah yang mengandung sistem dan relasi-relasi tempat terjadinya
adu dan kekuatan. Menurut (Takwin 2006) sistem ranah dapat dibayangkan seperti sebuah
sistem planet (terdapat gaya gravitasi, mengandung energi, memiliki semacam atmosfer yang
melindungi dari daya-daya yang merusak yang datang dari luar planet). Setiap ranah
memiliki struktur dan dayanya sendiri, serta ditempatkan dalam suatu ranah yang lebih besar
yang juga memiliki kekuatan, strukturnya sendiri dan seterusnya.3

Orang Kristen hidup dalam beribadah kepada Tuhan. Kata liturgi berasal dari bahasa
Yunani: leitourgia. Kata leitourgia berasal dari dua kata, yaitu ergon, artinya melayani atau
bekerja, dan laos, artinya bangsa, masyarakat, dan persekutuan umat. Menurut sejarah
pemakaian kata diambil dari kehidupan masyarakat Yunani sebagai kerja nyata rakyat kepada
bangsa dan negara. Kata laos dan ergon secara praktis hal itu berupa bayar pajak, membela
negara dari ancaman musuh atau wajib militer. Namun secara spesifik leitourgia digunakan
menunjuk pelayan rumah tangga dan pegawai pemerintah, misalnya penarik pajak.
Dalam Roma 13 :6 “Itulah juga sebabnya maka kamu membayar pajak. Karena
mereka yang mengurus hal itu adalah pelayan-pelayan Allah” Rasul Paulus menyebut dirinya
sebagai pelayan (leitourgoi) Allah. Dari nats ini dapat kita simpulkan Paulus yang
menyiratkan bahwa liturgi adalah juga sikap beriman sehari-hari. Liturgi tidak terbatas pada
perayaan gereja. Dewasa ini, kata liturgi adalah sebutan yang khas dan umum berterima
untuk perayaan ibadah Kristen.4
             Dalam kutipan buku Pengantar Ibadah Kristen oleh James F. White, liturgi adalah
pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang demi manfaat orang lain. Hal ini dimaknai bahwa
liturgi adalah contoh sejati dari imamat semua orang percaya yang didalamnya seluruh
komunitas imamat Kristen mengambil bagian. Ibadah dikatakan bermakna “liturgis” untuk
mengindikasikan bahwa kegiatan sedemikian rupa yang mengikutsertakan semua orang yang
beribadah mengambil bagian secara aktif dalam menyajikan ibadah mereka bersama-sama.

3
Takwin, Bagus. (2006), "Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya Hidup", dalam Adlin, Alfathri,
Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas, Yogyakarta: Jalasutra, ISBN 9793684577, hal 30

4
Rasid Rachman., Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi. (Jakarta : bpk Gunung mulia), hal 2
Lebih jauh lagi ibadah akan dipraktekkan bukan hanya pada rangkaian “liturgis kebaktian”
tetapi dalam liturgi hidup seperti yang dikatakan Rasid Racham dalam bukunya Pembimbing
ke dalam Sejarah Liturgi Dengan demikian, liturgi sekadar tontonan, melainkan ibadah yang
hidup yang dirayakan oleh segenap umat dengan aktif dan memiliki pengertian.
            Menurut pengertian teologis, kita biasa memahami liturgi sebagai perayaan misteri
karya penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus. Karya penyelamatan Allah itulah yang kita
rayakan dalam liturgi. Makna “karya penyelamatan Allah dalam Kristus” bisa kita pahami
secara lebih sederhana. Karya penyelamatan Allah dalam Kristus itu sebenarnya menunjuk
karya atau tindakan Allah yang mengasihi dan mencintai kita, yang memelihara dan
melindungi kita, yang melengkapi dan mencukupi segala sesuatu yang kita perlukan.5

Untuk menjawab pertanyaan kaitan habitus dengan perilaku korupsi yang dilakukan
oleh jemaat Kristen, dapat kita jelaskan bahwa

Closing statement : perbuatan korupsi adalah penyangkalan terhadap hakekat manusia


sebagai gambar Allah, Imago Dei (Kej 1:27). Alkitab sebagai sumber habitus orang Kristen
mengajarkan kita untuk mengecam segala usaha yang mencari keuntungan bagi diri sendiri
dan kelompok, melalui penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan (Mat 23:25). Gereja
seharusnya menyaksikan pola hidup sederhana sebagaimana diajarkan Yesus, yang harus
mengutamakan harta sorgawi daripada harta duniawi (Mat 6:19, bnd Mat 19:21).

Sikap gereja terhadap perilaku korupsi agar sesuai dengan habitus Kristiani menurut
saya adalah :
1. Gereja konsisten menunjukkan pola hidup sederhana, kerja keras, saling berbagi, dan
menjadi contoh yang baik dalam pengelolaan anggaran dan aset-aset gereja yang transparan
dan akuntabel. Gereja harus bersih dari perilaku koruptif.
2.  Memastikan bahwa gereja berada di garda terdepan melawan segala bentuk korupsi.
3.  Mendorong gereja-gereja untuk melakukan pendidikan anti korupsi melalui kurikulum
pengajaran sekolah minggu dan katekisasi, sehingga pemahaman korupsi sebagai kejahatan
luar biasa ditanamkan sejak usia dini. Pendidikan anti korupsi juga dilakukan melalui bahan
khotbah dan pembinaan warga jemaat.
4.  Gereja menempatkan diri sebagai partner kritis pemerintah yang saling memberdayakan.
Gereja juga harus berani menyatakan penolakan terhadap sumbangan/bantuan yang

5
E, Martasdjita, Pr., Spiritualitas Liturgi. (Semarang : bpk Gunung Mulia), hal 23
terindikasi korupsi agar terhindar dari praktek pencucian uang (money laundry) yang
berkedok bantuan sosial.
5.  Gereja-gereja menjauhkan diri dari godaan untuk mendukung pasangan tertentu dalam
perhelatan Pemilu dan Pemilukada dan memberi apresiasi kepada pemimpin yang takut akan
Allah dan benci kepada pengejaran suap (Kel 18:21).
REFERENSI

1.
Takwin, Bagus. (2006), "Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya Hidup", dalam Adlin,
Alfathri, Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas, Yogyakarta: Jalasutra,
ISBN 9793684577

2.
Rasid Rachman., Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi. (Jakarta : bpk Gunung mulia)

3. Jones, Pip; Bradbury, Liz.; Le Boutillier, Shaun (2016). Pengantar Teori-teori sosial (edisi
revisi). Diterjemahkan oleh Saifuddin, Achmad Fedyani (edisi ke-Edisi Kedua). Indonesia:
Pustaka Obor Indonesia. ISBN 9794619981

4. E, Martasdjita, Pr., Spiritualitas Liturgi. (Semarang : bpk Gunung Mulia)

5. http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2009/05/pierre-bourdieu-dan-pemikirannya.html,
diakses 24 April 2019
DAFTAR PUSTAKA

Rachman, Rasid 2014  Hari Raya Liturgi : Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja..( BPK
Gunung Mulia: Jakarta )

Olst, E. H. Van 2015 Alkitab dan Liturgi. : ( BPK Gunung Mulia: Jakarta )

White, James F. 2015 Pengantar Ibadah Kristen. ( BPK Gunung Mulia: Jakarta )

Rachman, Rasid 2012 Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi. : ( BPK  Gunung Mulia:


Jakarta )

Martasdjita, E 2002 Spiritualitas Liturgi. : ( Kanisius: Semarang )

Anda mungkin juga menyukai