Anda di halaman 1dari 9

C. Pendekatan Antropologi Terhadap Studi Islam dan Komunitas Islam.

1. Pendekatan Antropologi Terhadap Studi Islam

Pendekatan adalah sebuah homonym karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan
yang sama tetapi maknanya berbeda. Sedangkan secara terminologi, Taufik Abdullah yang
dikutip oleh Dr. Abuddin Nata memberikan interpretasi tentang pendekatan adalah cara pandang
atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang yang digunakan untuk memahami agama 1.
Pendekatan juga merupakan hasil pemikiran seseorang yang digunakan oleh seorang pengkaji
dalam menganalisis serta memahami Islam secara mendalam dengan menggunakan ilmu-ilmu
atau teori-teori tertentu 2.Dari beberapa definisi diatas maka pendekatan juga dapat diartikan
sebagai suatu perspektif atau cara pandang seseorang dalam menyikapi sesuatu.

Pendekatan antropologi dalam agama berangkat dari preposisi bahwa agama tidak hanya
berdiri sendiri, melainkan agama akan selalu berhubungan erat dengan pemeluknya. Setiap
pemeluk agama memiliki sistem budaya dan kultur masing-masing. Antropologi, sebagai ilmu
yang mempelajari manusia, menjadikan antropologi memiliki peran sangat penting dalam
memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk
dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Melalui pendekatan antropologi sebagaimana
yang disebutkan Abuddin Nata, agama yang berada pada dataran empirik akan dapat dilihat
serat-seratnya dari latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan.
Antropologi berusaha mengkaji hubungan agama dengan pranata sosial yang terjadi dalam
masyarakat, mengkaji hubungan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Dengan
menggunakan pendekatan antropologi dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan fenomenaa-
fenomena keagamaan ternyata tidak berdiri sendiri dan tidak pernah terlepas dari jaringan
institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Inilah makna
pendekatan antropologi dalam memahami fenomenaa-fenomenaa keagamaan. Sebagaimana
disebut M. Dawan Rahardjo dalam Taufik Abdullah dan M.Rusli Karim, bahwa antropologi
dalam kaitan ini lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan yang sifatnya partisipatif.
Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan
deduktif yang biasanya digunakan dalam pengamatan sosiologi. Penelitian antropologi adalah

1
Sardiyanah, S., Pendekatan Dalam Pendidikan Islam. Jurnal Al-Qalam: Jurnal Kajian Islam &
Pendidikan. 2020 : hlm.7
2
Suparlan, S., Metode dan Pendekatan dalam Kajian Islam. Fondatia , 2019: hlm. 3
dengan turun ke lapangan tanpa berpijak pada dasarnya sangat abstrak, sebagaimana yang
dilakukan dalam bidang ekonomi dan sosiologi dengan mempergunakan model-model
matematis.3 Dengan menggunakan pendekatan antropologi dapat diketahui bahwa doktrin-
doktrin dan fenomenaa-fenomena keagamaan ternyata tidak berdiri sendiri dan tidak pernah
terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan social kemasyarakatan yang mendukung
keberadaannya. Inilah makna pendekatan antropologi dalam memahami fenomenaa-fenomenaa
keagamaan. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam antropologi dalam melihat
suatu masalah digunakan antara lain:

a. Bercorak Descriptive bukan Normatif.

Pendekatan antropologi bermula dan diawali dari kerja lapangan (field work),
berhubungan dengan orang, masyarakat, kelompok setempat yang diamati dan diobservasi dalam
jangka waktu yang lama dan mendalam. Inilah yang biasa disebut dengan thick description
(pengamatan dan observasi di lapangan yang dlakukan secara serius, terstuktur, mendalam dan
berkesinambungan). Thick description dapat dilakukan dengan cara Living in, yaitu hidup
bersama masyarakat yang diteliti, mengikuti ritme dan pola hidup sehari-hari mereka dalam
waktu yang cukup lama. Bisa berhari-hari, berbulan- bulan, bahkan bisa bertahun-tahun, jika
ingin memperoleh hasil yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan.4

b. Local Practices

Local practice yaitu praktik konkrit dan nyata di lapangan. Praktik hidup yang dilakukan
sehari-hari, agenda mingguan, bulanan dan tahunan, lebih – lebih ketika manusia melewati hari-
hari atau peristiwa-peristiwa penting dalam menjalani kehidupan. Ritus-ritus atau amalan-amalan
apa saja yang dilakukan untuk melewati peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan tersebut
(rites de pessages) contohnya seperti persitiwa kelahiran, perkawinan, kematian, penguburan. Di
lapangan ketika berjumpa dengan tradisi dan adat setempat-lokal, maka disinilah masalah
terbesar, untuk tidak menyebutnya dengan ketegangan, dalam studi Islam muncul. Dalam studi
Islam, dikenal istilah “bid‟ah”- baik yang hasanah maupun sayyiah. Dengan sedikit
menyederhanakan, praktik lokal dianggap keluar dari ajaran Islam yang otentik, sedangkan

3
Abdullah, Taufik dan Karim, M.Rusli ,Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
hlm. 19.
4
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Ed. Revisi, (Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 27-28.
menurut antropolog justru praktik lokal inilah yang harus diteliti dan dicermati dengan sungguh-
sungguh untuk dapat mememahami tindakan dan kosmologi keagamaan manusia secara lebih
utuh.

c. Connections Across Social Domains

Pedekatan antropologi mencari hubungan dan keterkaitan antar berbagai domain


kehidupan seperti wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik. Sehingga ketika mengkaji
suatu fenomena keagamaan yang ada dalam suatu masyarakat, peneliti dengan pendekatan
antropologi tidak boleh melepaskan diri dari pengkajian dalam sisi yang lain seperti ekonomi,
politik, budaya dan sosial.

d. Comparative

Studi dan pendekatan antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai tradisi, sosial,
budaya dan agama-agama. Hal ini pernah dilakukan oleh Cliffort Geertz yang membandingkan
kehidupan Islam di Indonesia dan Marokko. Bukan sekedar untuk mencari kesamaan dan
perbedaan, tetapi yang terpokok adalah untuk memperkaya perspektif dan memperdalam bobot
kajian. Dalam dunia global seperti saat sekarang ini, studi komparatif sangat membantu memberi
perspektif baru baik dari kalangan outsider maupun insider.

Melalui beberapa cara diatas pendekatan antropologi dapat diketahui bahwa terdapat aspek
berupa doktrin-doktrin dan fenomenaa-fenomena keagamaan yang tidak terlepas dari jaringan
institusi atau kelembagaan social kemasyarakatan yang mendukung keberadaan sebuah praktik
kebudayaan maupun budaya keagamaan.

2. Pendekatan Antropologi Terhadap Komunitas Islam.

Komunitas muslim dalam antropologi adalah sebuah konsep yang mengacu pada kelompok-
kelompok sosial yang terbentuk berdasarkan kesamaan agama Islam, baik secara formal maupun
informal, yang diteliti dengan pendekatan antropologi. Pendekatan antropologi adalah salah satu
cara untuk memahami dan mengkaji fenomena kebudayaan dan agama yang berkembang di
berbagai komunitas manusia. Pendekatan ini menekankan pada pengamatan langsung,
keterlibatan, dan empati terhadap subjek penelitian. Dalam konteks komunitas muslim,
pendekatan antropologi dapat membantu untuk mengungkap dan memahami berbagai aspek
kehidupan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam, seperti sistem sosial, politik, ekonomi,
hukum, seni, dan lain-lain. Pendekatan antropologi juga dapat menunjukkan keragaman dan
dinamika yang terjadi di dalam komunitas muslim, baik di tingkat lokal, nasional, maupun
global.

Komunitas muslim Indonesia adalah istilah yang dapat merujuk kepada berbagai
kelompok, organisasi, atau jaringan yang terdiri dari orang-orang yang beragama Islam atau
mengikuti ajaran Islam di Indonesia. Komunitas muslim Indonesia dapat memiliki berbagai
tujuan, misi, visi, aktivitas, dan peran dalam masyarakat, baik di tingkat lokal, nasional, maupun
global. Komunitas muslim Indonesia juga dapat memiliki berbagai latar belakang, karakteristik,
dan kekhasan yang membedakannya dari komunitas muslim lainnya di dunia.

Pendekatan ini memungkinkan antropologi untuk merespons kompleksitas dan


keragaman komunitas Muslim, menggali makna budaya dan agama dalam konteks kehidupan
sehari-hari mereka. Dalam memahami komunitas Muslim, pendekatan antropologi melibatkan
beberapa aspek:

1. Etnografi: Penelitian lapangan untuk mengamati, mencatat, dan menganalisis praktik sehari-
hari, tradisi, dan interaksi sosial dalam konteks komunitas Muslim.

2. Partisipasi Aktif: Antropolog berusaha terlibat secara langsung dalam kehidupan komunitas,
membangun hubungan dan memahami perspektif lokal untuk mendapatkan wawasan yang
lebih mendalam.

3. Analisis Simbol dan Ritual: Menelaah simbol-simbol keagamaan dan ritual dalam konteks
kebudayaan setempat untuk menggali makna mendalam di balik praktik-praktik tersebut.

4. Studi Gender: Fokus pada peran gender dan dinamika keagamaan yang mempengaruhi
pengalaman pria dan wanita dalam komunitas Muslim.

5. Historisasi: Memahami sejarah komunitas Muslim dan bagaimana peristiwa masa lampau
membentuk identitas dan nilai-nilai yang dipegang oleh komunitas tersebut.

6. Konteks Politik: Menganalisis hubungan antara komunitas Muslim dengan faktor politik dan
bagaimana dinamika politik dapat memengaruhi pengalaman keagamaan mereka.

7.Interdisiplineritas: Pendekatan antropologi sering kali melibatkan elemen-elemen dari berbagai


disiplin ilmu, termasuk sosiologi, sejarah, dan studi agama, untuk mendapatkan pemahaman
yang holistik.

Pendekatan ini membantu antropolog memahami kompleksitas dan keragaman komunitas


Muslim, menghindari generalisasi, dan memahami konteks budaya secara lebih mendalam.
Pendekatan antropologi terhadap komunitas muslim melibatkan pemahaman mendalam terhadap
nilai, norma, dan praktik keagamaan yang membentuk identitas dan kehidupan sehari-hari
mereka. Antropolog dapat mempelajari ritual keagamaan, struktur sosial, dan peran gender
dalam konteks komunitas muslim untuk memahami dinamika internal dan interaksi dengan
lingkungan sekitarnya. Selain itu, fokus pada cerita hidup individu dan narasi keberagamaan juga
dapat memberikan wawasan tentang bagaimana keyakinan Islam dihayati dan diartikan oleh
anggota komunitas tersebut.

B. Penulis-penulis Terkenal dan Karya-karyanya Dalam Studi Antropologi Islam


1. Koentjaraningrat
Koentjaraningrat lahir di Yogyakarta tahun 1923. Beliau lulus Sarjana Sastra Bahasa
Indonesia Universitas Indonesia pada tahun 1952. mendapat gelar MA dalam antropologi dari
Yale University (Amerika Serikat) tahun 1956, dan gelar Doktor Antropologi dari Universitas
Indonesia pada tahun 1958. Sebelum menjalani pensiun tahun 1988, ia menjadi gurubesar
Antropologi pada Universitas Indonesia. Beliau pernah pula menjadi gurubesar luar biasa pada
Universitas Gajah Mada, Akademi Hukum Militer, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, dan
pernah diundang sebagai gurubesar tamu di Universitas Utrecht (Belanda), Universitas
Columbia, Universitas Illinors, Universitas Ohio, Universitas Wisconsin, Universitas Malaya,
Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales di Paris, dan Center for South East Asian Studies,
Universitas Kyoto. Penghargaan ilmiah yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa
dari Universitas Utrecht (1976) dan Fukuoka Asian Cultural Price (1995). Menurut beliau, dalam
menentukan dasar-dasar dari antropologi Indonesia, kita belum terikat oleh suatu tradisi sehingga
kita masih dapat memilih serta mengkombinasikan berbagai unsur dari aliran yang paling sesuai
yang telah berkembang di negara-negara lain, dan diselaraskan dengan masalah kemasyarakatan
di Indonesia.5 Karya-karyanya yang telah diterbitkan antara lain Atlas Etnografi Sedunia,
Pengantar Antropologi, dan Keseragaman dan Aneka Warna Masyarakat Irian Barat.
2. Parsudi Suparlan
Prof. Parsudi Suparlan adalah seorang antropolog nasional, ilmuan sejati, yang berjasa
menjadikan antropologi di Indonesia memiliki sosok dan corak yang tegas sebagai disiplin
ilmiah, yang tak lain adalah karena pentingnya penguasaan teori. Beliau lulus Sarjana
Antropologi dari Universitas Indonesia tahun 1964. Kemudian menempuh jenjang MA lulus
pada tahun 1972 dan PhD lulus tahun 1976 di Amerika Serikat. Beliau mencapai gelar Guru
Besar Antropologi Universitas Indonesia tahun 1998. Menurut beliau, antropologi merupakan

5
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I. cet. III. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2005, hlm. 6-7
disiplin ilmu yang kuat, karena pentingnya teori, ketajaman analisis, ketepatan metodologi, dan
tidak hanya sekedar mengurai-uraikan data. Selain itu, juga pentingnya pemahaman yang kuat
mangenai konsep kebudayaan dan struktur sosial.
3. Clifford Geertz (1926 ± 2006)
Profesor Clifford Geertz adalah seorang tokoh antropologi asal Amerika Serikat. Beliau
dijuluki sebagi Tokoh Antropologi Segala Musim. Hal ini dikarenakan pemikirannya yang selalu
mengikuti zaman. Karyanya yang berjudul The Religion of Java adalah suatu karya yang berciri
kuat structural-fungsionalisme klasik. Geertz juga diakui sebagai salah satu pembuka
jalan bagi pemikiran postmodernisme dalam ilmu-ilmu sosial. Hampir dalam setiap karya dan
perbincangan teori antropologi di dunia mengutip karya-karyanya, sekalipun perbincangan
tersebut mengkritik/kontra dengan pemikirannya\. Salah satu pemikirannya yang mengandung
relevasi dan merefleksikan kondisi masyarakat dan kebudayaan kota masa kini adalah tesis
tentang involusi pertanian yang dapat dilacak dalam buku Agricultural Involution, The Process
of Ecological Change in Indonesia (1963).
4. James Danandjaja (1934)
James Danandjaja dilahirkan di Jakarta 13 April 1934. Beliau adalah tokoh Folklor
Nusantara yang pertama. Bagian budaya yang bernama folklor itu berupa bahasa rakyat,
ungkapan tradisional, teka-teki, legenda, dongeng, lelucon, nyanyian rakyat, seni rupa, dan lain
sebagainya. Ilmu tentang folklor ia perkenalkan kepada Mahasiswa Jurusan Antropologi FISIP
Universitas Indonesia sejak tahun 1972. Pada mata kuliah tersebut, para mahasiswa antara lain
ditugasinya mengumpulkan berbagai folklor di tanah air. Hasil pengumpulan itulah, antara lain
yang ia gunakan untuk bukunya. Ia mendapatkan Master dari Universitas Berkeley tahun 1971
dengan karya tulis yang kemudian diterbitkan sebagai buku, Annotated Bibliography of Javanese
Folklore. Gelar Doktor dalam bidang Antropologi Psikologi ia peroleh dari Universitas Indonesia
tahun 1977, dengan disertasi Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali. Buku lain karya Jimmi
adalah Pantomim Suci Betara Beratak dari Trunyan, Bali dan Upacara Lingkaran Hidup di
Trunyan, Bali, serta Folklor Indonesia.

B. Perspektif Pendekatan Antrologi

Perspektif pendekatan antropologi mencerminkan cara para antropolog memandang dan


memahami manusia serta keberagaman budaya. Setiap perspektif ini memberikan lapisan
pemahaman yang berbeda terhadap manusia dan budaya, menjadikan antropologi sebagai
disiplin yang holistik dan interdisipliner.Islamisasi ilmu antropologi menjadi isu yang kompleks
dan kontroversial. Perspektif pendekatan antropologi melibatkan beberapa dimensi dalam
memahami manusia dan budaya:

1. Sosial-Budaya:

- Memahami norma, nilai, dan praktik budaya dalam masyarakat.

- Menganalisis interaksi sosial dan struktur kekuasaan.

2. Biologis:

- Meneliti aspek fisik dan biologis manusia, termasuk evolusi dan adaptasi.

- Mengkaji variasi biologis antar kelompok manusia.

3. Arkeologi:

- Menggali dan menganalisis artefak serta sisa-sisa budaya untuk mengungkap sejarah
manusia.

- Menyelidiki perubahan budaya melalui peninggalan materi.

4. Linguistik:

- Memahami peran bahasa dalam membentuk identitas dan komunikasi antar kelompok.

- Menganalisis variasi bahasa dan simbolisme.

5. Terapan:

- Menerapkan konsep-konsep antropologi dalam situasi praktis, seperti pengembangan


kebijakan atau intervensi pembangunan.

6. Etnografi:

- Melibatkan penelitian lapangan mendalam dengan berinteraksi langsung di komunitas


tertentu.
- Menghasilkan deskripsi rinci tentang kehidupan dan budaya masyarakat yang diteliti.

Isu Islamisasi Ilmu Antropologi

Islamisasi ilmu antropologi menciptakan ruang untuk refleksi dan dialog di antara akademisi
tentang cara terbaik untuk menggabungkan dua tradisi berpikir yang berbeda ini. Isu Islamisasi
Ilmu Antropologi mencakup perdebatan tentang sejauh mana nilai-nilai, metode, dan pandangan
dunia Islam dapat diintegrasikan ke dalam ilmu antropologi yang umumnya bersifat sekuler dan
berakar pada tradisi Barat. Beberapa aspek yang terkait dengan isu ini melibatkan:

1. Perspektif Budaya dan Keberpihakan:

- Bagaimana nilai-nilai Islam dapat diintegrasikan ke dalam analisis budaya tanpa


mengorbankan objektivitas ilmiah?

2. Metode Penelitian:

- Sejauh mana metode antropologi yang umumnya bersifat empiris dapat disesuaikan dengan
pandangan epistemologi Islam yang mungkin lebih berbasis pada wahyu.

3. Etika Penelitian:

- Bagaimana memadukan etika penelitian antropologi dengan prinsip-prinsip Islam, terutama


dalam konteks studi masyarakat Muslim

4. Representasi Kultural:

- Bagaimana memastikan representasi yang akurat dan adil tentang masyarakat Islam dalam
penelitian antropologi

5. Konsep-Konsep Barat vs. Nilai-Nilai Islam:


- Bagaimana mencapai keseimbangan antara konsep-konsep antropologi Barat dengan nilai-
nilai Islam yang mungkin memiliki perspektif berbeda terkait individu, masyarakat, dan
kehidupan sosial

Isu-isu ini memunculkan pertanyaan penting tentang pluralitas epistemologi dan keberagaman
metodologi dalam ilmu antropologi ketika berhadapan dengan konteks budaya dan agama yang
beragam.

Anda mungkin juga menyukai