Kebudayaan dan agama merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,
sebab untuk melakuakan pengkajian tentang agama memerlukan konsep kebudayaan, dan
sebaliknya tidak luput dari peran agama, semua agama termasuk Islam dipahami sebagai
sistem budaya, ketika kebuduyaan menjadi objek sentral kajian antropologi, maka
antropologis untuk mengkaji agama, sebagai konsekuensinya memerlukan konsep
kebudayaan.3
1
Rosihon Anwar, dkk., Pengantar Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 79.
2
Dede Ahmad Ghazali & Heri Gunawan, Studi Islam: Suatu Pengantar dengan Pendekatan Interdisipliner,
(Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2015). Hlm. 67-68.
3
Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 228-229
agama dan menegasi eksistensi agama sesungguhnya menggambarkan betapa kajian
tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.4
Ada tiga model yang dapat dikembangkan dalam rangka studi Islam sevara lintas
budaya. Pertama, Model kajian penemuan budaya lokal dan Islam yang telah sekian lama
berproses. Model ini telah dilakukan oleh Anthoni Reid dan Kuntowijoyo yang telah
menjadikan Islam sebagai agama rakyat, Kedua: Model kajian Islam tentang corak suku
ethnis dan bahas masyarakat Muslim. Ketiga: model kajian Islam lintas wilayah dan
budaya. Dari tiga model kajian diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya dalam
memahami agama dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan cara melihat
wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Proses
pengkajian model tersebut kajian diatas ada empat metode pendekatan antropologi yang
perlu dicermati sebagai berikut :
4
Dede Ahmad Ghazali & Heri Gunawan, Studi Islam, hlm. 67-68.
4. Comparative, studi dan pendekatan antropologi memerlukan perbandingan dari
berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama. Cliffort Geertz pernah memberi
contoh bagaimana di membandingkan kehidupan Islam di Indonesia dan Maroko.
Melalui metode-metode pendekatan ini agama tanpa akrab dan dekat dengan
masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya,
dengan kata lain, cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis-
etnografisdalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.5
Autho Mudzhar menyebutkan secara lebih spesifik, bahwa ada lima kategori yang
dapat dikaji dalam studi agama dengan pendekatan antropologi, yakni meliputi:7
1. Scripture, yakni naskah atau sumber ajaran dan atau simbol agama.
2. Penganut-penganut atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan
mereka terhadap ajaran agama yang mereka anut.
3. Ritus, lembaga dan peribadatan; misalnya shalat, haji, pernikahan dan waris.
4. Alat-alat dan sarana, seperti masjid, mushola, bedug, peci, sorban dan semacamnya.
5. Organisasi keagamaanwadah para penganut agama berkumpul dan berperan;
misalnya seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Washiliyah dan lain
sebagainya.
Dalam dunia penelitian, etnografi merupakan istilah yang begitu populer dalam
penelitian yang menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Dalam konteks ini,
etnografi meminjam istilah Earl Babbie merupakan salah satu terminological jungle untuk
menyebutkan penilitian kualitatif disamping istialah lain seperti phenomenologi,
interpretivism, case study, dan grounded theory, paradigma naturalistik dan heuristik.
Meskipun bisa saja dicari perbedaan pengertian dan penerapan pada masing-masing istilah
5
Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif , hlm. 228-229
6
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Gravindo, 2007), hlm. 35
7
Dede Ahmad Ghazali & Heri Gunawan, Studi Islam, hlm. 230
tersebut, tapi sebagaimana penelitian kualitatif, semua istilah tersebut menurut Robet C.
Bogdan dan Sari knopp Biklen memiliki karakteristik sebagai berikut8: Pertama,
naturalistic. Peneilitian kualitatif mengutamakan setting alami (natural setting) sebagai
sumber langsung pengambilan data oleh peneliti dan sekaligus sebagai instrunen kunci
(key instrumen). Olehkarena itu penelitian kualitatif meniscayakan kehadiran peneiliti,
karena seorang penelitiharus betul-betul memahami konteks peristiwa secara utuh. Sebab
jika suatu konteks perisiwa dilepaskan, seorang peneliti menurut Bogdan Biklen akan
kehilangan makna penting (sight of significance)
Karena titik tekan etnografi pada deskripsi budaya yang bercorak partikular, agar
bisa dipahami dan sekaligus belajar makna dari sudut pandang masyarakat sendiri, maka
metode yang ditekankan etnografi adalah pengamatan terlibat.
Peristiwa ritual yang dapat kita jumpai dimasyarakat pada seluruh tradisi agama-
agama seperti juga yang terjadi dalam Islam. Dalam masyarakat Islam, salah satu ritual
yang dapat dijadikan contoh adalah haji, dalam pengamatan William R. Roff, haji
merupakan salah satu fenomena ritual dan simbolik yang seringkali gagal dipahami makna
hakiki religiusitasnya terutama oleh sarjan Barat atau non Islam, dalam kasus fenomena
8
Syamsul Arifin, Studi Agama, hlm. 108-109
ritual haji, kesadaran makna sebagai komunitas terobjekvasikan dalam rangkaian simbolik
haji seperti thawaf, sai, wuquf dan jumrah. Dengan demikian melalui pengamatan yang
mendalam, haji sebagai fenomena ritual simbolik dikalangan masyarakat Islam memiliki
makna relegius yang mendalam.9
Untuk mencapai tujuan ada dua pendekatan antropologi yang digunakan terutama
ketika pada zaman Walisongo, sesuai dengan kondisi masyarakat Jawa pada masa itu.
Pertama, pendekatan teologis, yaknin dengan menanamkan dasar-dasar keyakinan dan
pandangan hidup Islam dengan lainnya, seperti yang dilakukan oleh Maulana Malik
Ibrahim dan Sunan Ampel. Disini yang digarap pertama kali adalah masyarakat bawah
(kasta Waisa dan Syudra), mereka yang mudah diubah keyakinanya, karena tidak
dihalangin oleh macam-macam kepentingan, dan mereka merupakan mayoritas penduduk.
9
Ibid., 111
10
Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif , hlm. 231
11
Ibid., 222
Dalam perkembangan selanjutnya, fenomena lahiriyah manusia ini coba dicari
keterkaitannya dengan kreatifitas manusia dalam berbudaya. Kedua aspek tersebut yakni
manusia sebagai fenomena lahiriah, dan aktifitas manusia dalam budaya, memiliki
perbedaan. Jika yang pertama lebih banyak berhubungan denagn faktor genetis dalam
perkembangan fisik manusia. Sedangkan yang kedua, sanagat tergantung pada proses
belajar manusia sebagai anggota masayarakat.
Tentu saja, perbedaan pada fokus analisis, atau perbedaan pada objek formalnya
ini, akan membedakan pula pada metode yang digunakanya, nah dalam mengkaji aspek
budaya manusia, etnografi digunakan, di samping sebagai metode dalam studi budaya,
etnografi juga sebagai cabang dari antropologi budaya.
Pada dasarnya kebudayaan yang ada pada suatu masyarakat merupakan gambaran
dari pola pikir, tingkah laku, dan nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.
Dari sudut pandang ini, agama memberikan kontribusi terhadap nilai-nilai budaya yang
ada, sehingga agama pun bisa berjalan atau bahkan akomodatif denagn nilai-nilai yang
sedang dianutnya. Disisi lain karena agama sebagai wahyu dan memiliki kebenaran yanag
mutlak, maka agama tidak bisa disejajrkan dengan nilai=nilai budaya setempat, bahka
agama harus menjadi sumber nilai bagi kelangsungan nilai-nilai budaya itu. Agama bukan
merupakan produk budaya, tetapi ia datang dan bersumberkan wahyu Tuhan, sementara
disisi lain kajian antropologis-etnografis menyatakan bahwa agama bisa berkembang dan
dikembangkan oleh manusia yang berbudaya.
12
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1990), hlm. 181
Kajian Antropologi tidak mutlak berasal dari karya ilmuan barat, justru
sebelumnya Islam pernah membangun dan merintis kontruksi ilmu antropologi. Ada
beberapa nama yang telah tercatat dari tinta sejarah seperti Ibnu Khaldun, al-Baruni, Ibnu
Batutah, al-Mas’udi. Seperti karya Ibnu Khaldun yang didalamnya terdapat teori-teori dan
materi ilmiahnya, telah mendahului karya-karya ilmuan barat, tetapi sayangnya usaha ibnu
khaldun tidak dilanjutkan oleh ilmuan Islam, justru para ilmuan Baratlah yang lebih
berminat untuk melanjutkan usaha tersebut untuk memodifikasi teori-teori dan pemikiran
yang digagas oleh Ibnu Khaldun, al-baruni sebernarnya juga, pernah melahirkan suatu
karya yang mengagumkan tentang kajiannya terhadap india, yang bernama al-Hind, dan
itu menjadi itu menjadi referensi yang sanagat penting tentang Asia Selatan. Itu adalah
bukti bahwasanya ilmuan Islam jauh-jauh pada masa telah mampu menghasilkan
sumbangasih besarnya sebagai benih-benih ilmu antropologi.13
Kemudian dalam bentuk fisik, dualisme kebudayaan sering kali disajikan dalam
bentuk bangunan juga, seperti bangunann masjid-masjid misalnya. Masjid pada umumnya
menempati daerah lingkungan istana raha atau pembesar tertinggi setempat, tepatnya disisi
barat dari lapangan (alun-alaun). Disamping itu, masjid kadang dibangun di tempat-tempat
seperti makam tokoh-tokoh terkemuka dalam masyarakat, seperti yang kita temukan di
beberapa daerah di Jawa seperti Demak dan Kudus, dan bangunan yang masih
meninggalkan tradisi seni bangunan Hindu beserta menara yang terpisah dari masjid, dan
biasa digunakan untuk adzan, sebi banguna tersebut bersumber pada tradisi kebudayaan
setempat pada waktu itu, anatara lain dari tradisi Hindu dan tradisi Barat, bentuk menara
masjid kudis misalnya, mengingatkan pada bentuk candi pada zaman Majapahit, sementara
menara masjid Demak lebih menyerupai bentuk mercusuar.16
17
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hlm. 235