Anda di halaman 1dari 9

B. Pendekatan Antropologis-Etnografis Terhadap Studi Islam.

Pendekatan antropologis-etnografis dalam memahami agama dapat diartikan


sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.1 Antropologis-Etnografis akan
pemahaman manusia dan suku bangsa dibekali pendekatan yang holistik dan komitmen.
Sesungguhnya antroporologis-etnografis merupakan ilmu yang mempelajari agama dan
interaksi sosial dengan berbagai budaya. Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan
Antropologis-Etnografis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep
manusia sebagai kholifah (wakil Tuhan) dibumi, merupakan salah satu simbol akan
pentingnya posisi manusia dalam Islam.2

Kebudayaan dan agama merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,
sebab untuk melakuakan pengkajian tentang agama memerlukan konsep kebudayaan, dan
sebaliknya tidak luput dari peran agama, semua agama termasuk Islam dipahami sebagai
sistem budaya, ketika kebuduyaan menjadi objek sentral kajian antropologi, maka
antropologis untuk mengkaji agama, sebagai konsekuensinya memerlukan konsep
kebudayaan.3

Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindisikasikan bahwa sesungguhnya


persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia.
Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah persoalan agama. Pergumulan dalam
kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaan, para antropolog
menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang
mereka sebut sebagai common sense dan religious mystical event. Dalam satu common
sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan
rasional atau dengan bantuan teknologi sementara itu religius sense adalah kegiatan atau
kejadian yang terjadi diluar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi. Walaupun
harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama sering muncul
dan menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini usaha untuk memahami

1
Rosihon Anwar, dkk., Pengantar Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 79.
2
Dede Ahmad Ghazali & Heri Gunawan, Studi Islam: Suatu Pengantar dengan Pendekatan Interdisipliner,
(Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2015). Hlm. 67-68.
3
Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 228-229
agama dan menegasi eksistensi agama sesungguhnya menggambarkan betapa kajian
tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.4

Ada tiga model yang dapat dikembangkan dalam rangka studi Islam sevara lintas
budaya. Pertama, Model kajian penemuan budaya lokal dan Islam yang telah sekian lama
berproses. Model ini telah dilakukan oleh Anthoni Reid dan Kuntowijoyo yang telah
menjadikan Islam sebagai agama rakyat, Kedua: Model kajian Islam tentang corak suku
ethnis dan bahas masyarakat Muslim. Ketiga: model kajian Islam lintas wilayah dan
budaya. Dari tiga model kajian diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya dalam
memahami agama dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan cara melihat
wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Proses
pengkajian model tersebut kajian diatas ada empat metode pendekatan antropologi yang
perlu dicermati sebagai berikut :

1. Bercorak descriptive, bukannya normatif. Pendekatan ini bermula dari kerja


lapangan, berhubungan dengan orang masayarakat, kelompok setempat yang
diamati dan di observasi dalam jangka waktu lama dan mendalam. Pengamatan ini
dilakukan secara serius, terstruktur, mendalam dan berkesinambungan yang
biasanya dilakukan dengan cara hidup bersama masyarakat yang diteliti, mengikuti
ritme dan pola hidup sehari-hari meraka dalam waktu yang cukup lama.
2. Dengan local practices, yaitu praktik konkret dan nyata di lapangan. Praktik hidup
yang dilkukan sehari-hari, agenda mingguan, bulanan dan tahunan, lebih-lebih
ketika manusia melewati hari-hari atau peristiwa-peristiwa penting dalam menjalani
kehidupan. Ritus-ritus atau amalan-amalan apa saja yang dilakukan untuk melewati
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan tesebut.
3. Kemudian dengan mencari keterhubungan dan keterkaitan antar berbagai domain
kehidipan secara lebih utuh. Bagaimana hubungan antara wilayah ekonomi, sosial,
agama, budaya dan politik. Kehidupan tidak dapat dipisah-pisah. Keutuhan dan
keterkaitan anatar berbagai domain kehidupan manusia. Hampir-hampir tidak ada
satu domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri, terlepas tanpa terkait
dan terhubung dengan lainnya.

4
Dede Ahmad Ghazali & Heri Gunawan, Studi Islam, hlm. 67-68.
4. Comparative, studi dan pendekatan antropologi memerlukan perbandingan dari
berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama. Cliffort Geertz pernah memberi
contoh bagaimana di membandingkan kehidupan Islam di Indonesia dan Maroko.

Melalui metode-metode pendekatan ini agama tanpa akrab dan dekat dengan
masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya,
dengan kata lain, cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis-
etnografisdalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.5

Pendekatan antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan


yaitu turun kelapangan tanpa berpijak atau setidak-tidaknya dengan upaya mebebaskan diri
dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang
dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model
matematis, banayak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.6

Autho Mudzhar menyebutkan secara lebih spesifik, bahwa ada lima kategori yang
dapat dikaji dalam studi agama dengan pendekatan antropologi, yakni meliputi:7

1. Scripture, yakni naskah atau sumber ajaran dan atau simbol agama.
2. Penganut-penganut atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan
mereka terhadap ajaran agama yang mereka anut.
3. Ritus, lembaga dan peribadatan; misalnya shalat, haji, pernikahan dan waris.
4. Alat-alat dan sarana, seperti masjid, mushola, bedug, peci, sorban dan semacamnya.
5. Organisasi keagamaanwadah para penganut agama berkumpul dan berperan;
misalnya seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Washiliyah dan lain
sebagainya.

Dalam dunia penelitian, etnografi merupakan istilah yang begitu populer dalam
penelitian yang menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Dalam konteks ini,
etnografi meminjam istilah Earl Babbie merupakan salah satu terminological jungle untuk
menyebutkan penilitian kualitatif disamping istialah lain seperti phenomenologi,
interpretivism, case study, dan grounded theory, paradigma naturalistik dan heuristik.
Meskipun bisa saja dicari perbedaan pengertian dan penerapan pada masing-masing istilah

5
Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif , hlm. 228-229
6
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Gravindo, 2007), hlm. 35
7
Dede Ahmad Ghazali & Heri Gunawan, Studi Islam, hlm. 230
tersebut, tapi sebagaimana penelitian kualitatif, semua istilah tersebut menurut Robet C.
Bogdan dan Sari knopp Biklen memiliki karakteristik sebagai berikut8: Pertama,
naturalistic. Peneilitian kualitatif mengutamakan setting alami (natural setting) sebagai
sumber langsung pengambilan data oleh peneliti dan sekaligus sebagai instrunen kunci
(key instrumen). Olehkarena itu penelitian kualitatif meniscayakan kehadiran peneiliti,
karena seorang penelitiharus betul-betul memahami konteks peristiwa secara utuh. Sebab
jika suatu konteks perisiwa dilepaskan, seorang peneliti menurut Bogdan Biklen akan
kehilangan makna penting (sight of significance)

Kedua descriptive data. Data yang dikumpulkan dalam penelitian kualitatif


berbentuk kata atau gambar daripada angka. Laoran hasil peneliatian berisi kutipan data
sebagai hasil ilustrasi, sebagai dukungan terhadap apa yang disajikan.

Ketiga, concren with process. Penelitian kualitatiflebih menaruh perhatian kepada


proses daripada produk. Prienatsi pada proses ini dicontohkan Bogdan dan Biklen melalui
beberapa pertanyaan yang harus dicari jawabannya oleh peneliti.

Keempat, inductuve. Peneliti kualitatif cenderung menggunakan data secara


induktif. Mereka tidak mencari data atau bukti-bukti untuk mebuktikan atau menolak
hipotesa yang dibuatnya sebelum memulai studi; alih- alih membuat abtraksi ketika hal-hal
khusus yang telah terkumpul dikelompokkan bersama-sama.

Kelima, meaning. Meaning (makna) meruoakan hal esensial dalam pendekatan


kualitaif. Peneliti kualitatif memiliki keingin tahuan yang kuat untuk memahami cara
orang-orang memberi makna pada kehidupannya.

Karena titik tekan etnografi pada deskripsi budaya yang bercorak partikular, agar
bisa dipahami dan sekaligus belajar makna dari sudut pandang masyarakat sendiri, maka
metode yang ditekankan etnografi adalah pengamatan terlibat.

Peristiwa ritual yang dapat kita jumpai dimasyarakat pada seluruh tradisi agama-
agama seperti juga yang terjadi dalam Islam. Dalam masyarakat Islam, salah satu ritual
yang dapat dijadikan contoh adalah haji, dalam pengamatan William R. Roff, haji
merupakan salah satu fenomena ritual dan simbolik yang seringkali gagal dipahami makna
hakiki religiusitasnya terutama oleh sarjan Barat atau non Islam, dalam kasus fenomena

8
Syamsul Arifin, Studi Agama, hlm. 108-109
ritual haji, kesadaran makna sebagai komunitas terobjekvasikan dalam rangkaian simbolik
haji seperti thawaf, sai, wuquf dan jumrah. Dengan demikian melalui pengamatan yang
mendalam, haji sebagai fenomena ritual simbolik dikalangan masyarakat Islam memiliki
makna relegius yang mendalam.9

Untuk mencapai tujuan ada dua pendekatan antropologi yang digunakan terutama
ketika pada zaman Walisongo, sesuai dengan kondisi masyarakat Jawa pada masa itu.
Pertama, pendekatan teologis, yaknin dengan menanamkan dasar-dasar keyakinan dan
pandangan hidup Islam dengan lainnya, seperti yang dilakukan oleh Maulana Malik
Ibrahim dan Sunan Ampel. Disini yang digarap pertama kali adalah masyarakat bawah
(kasta Waisa dan Syudra), mereka yang mudah diubah keyakinanya, karena tidak
dihalangin oleh macam-macam kepentingan, dan mereka merupakan mayoritas penduduk.

Kedua, pendekatan kultural, seperti yang dilkukan Sunan Kalijogo, Sunan


Bonang, yakni dengan kemampuannya mereka melakukan Islamisasi budaya masyarakat,
disamping mereka juga mengembangkan wawasan budaya mereka yang baru secara
Islami. Hal yang mudah dikenal dan berada disekitar kehidupan adalah adanya, gapura
masjid, dari asal kata ‘ghafura’ gamelan sekaten, diambil dari kata ‘syahadatain’ baju
takwa, dari asal kata ‘taqwa’ dan lain karya budaya para Walisongo utamanya Suan
Kalijaga.10

C. Hubungan Anatara Kebudayaan Dan Islam Dari Sudut Pandang Antropologi-


Etnografi.

Berangkat dari pehaman bahwasanya Islam adalah sebuah agama tentunya


otomatis pengertian ini telah memasuki area salah satu cabang ilmu antropologi, di mana
cabang itu membahas seluk beluknya tentang asal-muasal suatu keyakinan (agama). Sebab
ketika melakukan kajian mengenai agama (Islam), ototmatis kita telah menyinggung suatu
keyakinan, di mana istilah religi berkaitan dengan suatu sistem keyakinan masyarakat
bersahaja sebagai produk budayanya.oleh karena itu , sering kali antropologi agama sring
disebut antropologi religi, yaitu, suati ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang manusia
yang menyangkut agama dengan pendekatan budaya.11

9
Ibid., 111
10
Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif , hlm. 231
11
Ibid., 222
Dalam perkembangan selanjutnya, fenomena lahiriyah manusia ini coba dicari
keterkaitannya dengan kreatifitas manusia dalam berbudaya. Kedua aspek tersebut yakni
manusia sebagai fenomena lahiriah, dan aktifitas manusia dalam budaya, memiliki
perbedaan. Jika yang pertama lebih banyak berhubungan denagn faktor genetis dalam
perkembangan fisik manusia. Sedangkan yang kedua, sanagat tergantung pada proses
belajar manusia sebagai anggota masayarakat.

Tentu saja, perbedaan pada fokus analisis, atau perbedaan pada objek formalnya
ini, akan membedakan pula pada metode yang digunakanya, nah dalam mengkaji aspek
budaya manusia, etnografi digunakan, di samping sebagai metode dalam studi budaya,
etnografi juga sebagai cabang dari antropologi budaya.

Pada dasarnya kebudayaan yang ada pada suatu masyarakat merupakan gambaran
dari pola pikir, tingkah laku, dan nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.
Dari sudut pandang ini, agama memberikan kontribusi terhadap nilai-nilai budaya yang
ada, sehingga agama pun bisa berjalan atau bahkan akomodatif denagn nilai-nilai yang
sedang dianutnya. Disisi lain karena agama sebagai wahyu dan memiliki kebenaran yanag
mutlak, maka agama tidak bisa disejajrkan dengan nilai=nilai budaya setempat, bahka
agama harus menjadi sumber nilai bagi kelangsungan nilai-nilai budaya itu. Agama bukan
merupakan produk budaya, tetapi ia datang dan bersumberkan wahyu Tuhan, sementara
disisi lain kajian antropologis-etnografis menyatakan bahwa agama bisa berkembang dan
dikembangkan oleh manusia yang berbudaya.

Seiring dengan berkembang zaman, antropologi-etnografi sebagai sebuah ilmu


yang memepelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Denagn
dibekali pendekatan yang holistik dan komitmennya tentang manusia, sesungguhnya
merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan
berbagai budaya. Sebab posisi penting manusia dalam Islam mengindikasikanbahwa
sesuangguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana
memahami agama dana persoalan-persoalan yang dialami manusia sesungguhnya adalah
persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada
dasaranya adalah pergumulan keagamaannya.12

12
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1990), hlm. 181
Kajian Antropologi tidak mutlak berasal dari karya ilmuan barat, justru
sebelumnya Islam pernah membangun dan merintis kontruksi ilmu antropologi. Ada
beberapa nama yang telah tercatat dari tinta sejarah seperti Ibnu Khaldun, al-Baruni, Ibnu
Batutah, al-Mas’udi. Seperti karya Ibnu Khaldun yang didalamnya terdapat teori-teori dan
materi ilmiahnya, telah mendahului karya-karya ilmuan barat, tetapi sayangnya usaha ibnu
khaldun tidak dilanjutkan oleh ilmuan Islam, justru para ilmuan Baratlah yang lebih
berminat untuk melanjutkan usaha tersebut untuk memodifikasi teori-teori dan pemikiran
yang digagas oleh Ibnu Khaldun, al-baruni sebernarnya juga, pernah melahirkan suatu
karya yang mengagumkan tentang kajiannya terhadap india, yang bernama al-Hind, dan
itu menjadi itu menjadi referensi yang sanagat penting tentang Asia Selatan. Itu adalah
bukti bahwasanya ilmuan Islam jauh-jauh pada masa telah mampu menghasilkan
sumbangasih besarnya sebagai benih-benih ilmu antropologi.13

Dalam studi-dtudi keagamaann kontemporer, sebagaimana juga berkembang


dalam studi-studi keislaman, dimensi kebudayaan yang berdialektika dengan agama
menjadi salah satu aspek kajian yang menarik. Dalam hal ini, penjelasan Komaruddin
Hidayat mengenai tiga dimensi utama kehidupan beragama patut diperhatikan karena
memiliki implikasi epistimologis dan metodologis dalam studi-studi keagamaan. Ketiga
dimensi utama yang dimaksud adalah, 1. Pesonal dimension. Dalam dimensi ini agama
menjadi acuan pemberi orientasi makna dalam kehidupan seseorang. 2. Dimensi kultural,
dimensi kedua ini berhubungan denagn gerak dinamis atau perkembangan agama yang bisa
dipastikan membutuhkan wadah kultural, sehingga pada ururtannya muncul budaya yang
berciri keagamaan. 3. Ultimate dimension, adalah dimensi yang mengacu pada yang
Absolut, yang kesadaran ini akan membedakan adalah sebuah ekspresi kultural atau
tindakan seseorang bersifat religius atau tidak. Ketiga dimensi ini, seperti dikatakan diatas
memeiliki imolikasi pada studi keagamaan.14

Dalam diskursus penelitian kehidupan keagamaan masyarakat Islam kontemporer,


pemikiran chotomous (binary opposition) mudah dibaca pada tesis yang mungkin telah
menjadi narasi besar tenatang adanya santrinisasi sebagai anti tesis dari abangan. Kalau
tesis ini mau dibenarkan tetap bisa dipertanyakan kadar kualiatas kesantrian terhadap
komunitas yang sekarang disebut santri itu. Bagaimana bisa dijelaskan carut-marut situasi
sekajrang ini dari perspektif kehidupan keagamaan itu? Bukankah konsep santri lebih dari
13
Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif , hlm. 225
14
Syamsul Arifin, Studi Agama, hlm, 105-106
sedeadr penampakan-penampakan yang hanya bersifat simbolik? Pertanyaan-pertanyaan
inilah agaknya penting diteliti secara mendalam. Apalagi gerak pendulum kehidupan
sosial, terutama yang terlihat dalam ranah politik, oleh sementara kalangan dillihat
bergerak ke arah yang bertolak belakang dengan varian santri, seturut denagn terjadinya
perubahan politik yang menempatkan parpol kaum santri kurang begitu dominan. Sebagai
tambahan permasalahan teoritik, agaknya perlu juga ditelusuri secara empirik, melalui
penelitian etnogarafis, keberadaan komunitas yangb dalam posisi ambang, atau konvergen,
misalnya antara santri dan abangan. Dibeberapa temapat di Jawa, dalam pandangn yang
bersifat common sense, dijumpai prilaku keagamaan yang meskipun menampilkan
sebagaimana layaknya santri, tapi dalam beberapa ritual tertentu, tetap abangan.15

Kemudian dalam bentuk fisik, dualisme kebudayaan sering kali disajikan dalam
bentuk bangunan juga, seperti bangunann masjid-masjid misalnya. Masjid pada umumnya
menempati daerah lingkungan istana raha atau pembesar tertinggi setempat, tepatnya disisi
barat dari lapangan (alun-alaun). Disamping itu, masjid kadang dibangun di tempat-tempat
seperti makam tokoh-tokoh terkemuka dalam masyarakat, seperti yang kita temukan di
beberapa daerah di Jawa seperti Demak dan Kudus, dan bangunan yang masih
meninggalkan tradisi seni bangunan Hindu beserta menara yang terpisah dari masjid, dan
biasa digunakan untuk adzan, sebi banguna tersebut bersumber pada tradisi kebudayaan
setempat pada waktu itu, anatara lain dari tradisi Hindu dan tradisi Barat, bentuk menara
masjid kudis misalnya, mengingatkan pada bentuk candi pada zaman Majapahit, sementara
menara masjid Demak lebih menyerupai bentuk mercusuar.16

Bentuk-bentuk bangunan yang masih menunjukan tradisi Hindu dan tradisi-t


radisi pra Islamdi Indonesia, bisa saja dibangun dengan tujuan pendekatan dalam
berdakwahuntuk menarik simapti masyarakat agar mau menrima agama yang ditawarkan,
yakni Islam. Ada juga ekspresi-ekspresi ritual dalam popular indosnesia juga sering sring
menunjukan pengaruh Islam yang kuat. Sebagai contoh, upacara “pangiwahan” di Jawa
dapat menunjukan hal itu. Upacara itu dimaksudkan agarv manusia menjadi “wihoho”,
menjadi mulai. Jadi, misalnya kita harus memuliakan kelahiran, perkawinan, kematian, dn
sebagainya. Seperti di Jawa ada upacara-upacara soaial seperti “sekaten” yang
dimaksudkan untk memperinagti maulid (kelahiran) Nabi. Semua itu dilakukan untuk
menujukan bahwa kehiduoan manusia itu bersifat mulai. Konsep mengenai kemuliaan
15
Ibid., hlm. 125
16
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Penerbit Mizan, 1991), hlm. 235
hidup manusia ini jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai
mahkluk yang mulia.17

17
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hlm. 235

Anda mungkin juga menyukai