Anda di halaman 1dari 2

Pendekatan Antropologi dan Etnografi

Antropologi adalah suatu cabang keilmuan yang peduli dengan upaya mendokumentasikan
organisasi hubungan-hubungan sosial dan pola-pola praktik kebudayaan di tempat-tempat
tertentu, dan mengembangkan lebih kurang teori-teori berkenaan dengan keserupaan-
keserupaan dan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan manusia. Dalam konteks Studi Islam
dan masyarakat Muslim, karya-karya etnografi yang merupakan tipikal dari karya para
antropologis bertujuan untuk menunjukkan bagaimana Islam telah dipribumikan (Eickelman,
1981: 201), bagaimana tradisi-tradisi dominan dan lebih menonjol dipraktikkan,
diinstitusionalisasikan, ditransmisikan, tumbuh bersama dan dikontestasikan dalam berbagai
kawasan sekaligus, baik di lokasi-lokasi pedesaan maupun perkotaan.

Agama dan ritual distuasikan dalam kaitannya dengan kategori-kategori lain seperti
kekerabatan dan etnisitas, ekonomi dan teknologi, politik dan ideologi. Dalam pengertian
yang lebih teoretis, para antropolog berusaha menilai seberapa besar kemungkinan untuk
menggeneralisasi tentang masyarakat-masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan Muslim
dalam rentangan tempat (dan dalam beberapa hal dalam rentangan waktu). Bagaimana
hubungan antara yang satu dan yang jamak, yang universal dan yang partikular, Islam dan
keragaman empirik dari Islam yang majemuk (El-Zein, 1977). Tentu saja, semua metode
ilmiah memiliki keterbatasan-keterbatasan dan ambiguitas-ambiguitas sekaligus
kemungkinan, sementara kebanyakan antropolog kini membutuhkan disiplin-disiplin dan
sumber-sumber lain, pengamatan partisipan di bidang ini selama berbulan-bulan, dan kadang-
kadang bertahun-tahun, tetap menjadi jantung kepedulian disiplin antropologi. Pada tingkat
terbaiknya, etnografi dapat diandalkan untuk mengurangi reduksi, lebih melihat dari bawah,
mempertimbangkan bagaimana Islam dan Muslim disituasikan dan dinegosiasikan secara
kreatif dalam suatu kompleksitas dan seringkali kontradiksi dengan kehidupan orang-orang
lain yang sangat berbeda. Sementara identitas Muslim dalam modernitas global dibentuk oleh
wacana negara-bangsa yang menghegemoni dan menyeragamkan, lembaga-lembaga
pendidikan mereka sekaligus media elektronik transnasional, proses migrasi internasional dan
gerakan-gerakan kebangkitan agama yang tidak mengenal batas teritorial, metode “thick
description” (deskripsi mendalam) yang dikontekstualisasikan dapat membuka kemungkinan
bagi akses pada kemanusiaan pihak lain (Fisher & Abedi, 1990: xix). Sementara para kritikus
poskolonal tetap khawatir dengan patologi esensi kebudayaan yang terbatas yang
diasosiasikan dengan antropologi pada periode kolonial, sejak 1980-an khususnya, seorang
posmodernis yang akhirnya terjun ke dalam disiplin ini telah mempromoskan agendaagenda
yang lebih kosmopolitan bagi kebudayaan menulis. Upaya melahirkan “fiksi-fiksi sejati”
yang lebih bersifat temporal dan dialogis daripada pendekatan-pendekatan ilmiah dan
positivistik lama, kini telah terbuka lebar (Clifford & Marcus, 1986: 6). Etnografi baru juga
mendorong antropologi sebagakritik refleksif atas penyajian-penyajian yang simplistik
mengenai orang lain yang dipandang eksotik dalam kacamata wacana Barat yang hegemonik
(Marcus & Fsher, 1986: X). Dalam konflik dan krisis lokal-global saat ini, di mana
Islamofobia dan kontestasi klaim-klaim Muslim atas nama Islam seringkali muncul, maka
agenda-agenda antropologi dan etnografi memiliki kontribusi penting untuk membuat Studi
Islam diterima lebih luas. Dalam suatu laporan akhir tentang Islam di Universitas-universitas
di Inggris, definisi Studi Islam, tempat dan peran studi etnografi dan sosiologi tentang
Muslim terdaftar sebagai tema penting yang dibahas dengan para ahli (Siddiqui, 2007: 4).
Beberapa pakar menghendaki agar muncul suatu bidang baru Studi Islam dan Muslim yang
dikaji melalui pendekatan etnografi dan sosiologi sebagaimana kajian Studi Islam yang
berbasis pada teks. (Siddiqui 2007: 7) menyatakan bahwa kelayakan teknik-teknik ilmiah
sosial untuk Studi Islam perlu lebih dipersoalkan secara energetik daripada sebelumnya.
Implikasinya studi semacam ini perlu meletakkan seorang peneliti sebagai “orang dalam”.
Selama ini Studi Islam di sebagian universitas di Barat yang mengajarkan semua aspek
keislaman disampaikan di bawah sosiologi atau antropologi, sejarah atau politik, namun para
pengajarnya gagal menggambarkan dimensi-dimensi keimanan yang utama dan menyatu.

Anda mungkin juga menyukai