Anda di halaman 1dari 17

PENDEKATAN ARKEOLOGI DALAM STUDI ISLAM

MINI RISET

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Pendekatan dalam Pengkajian Islam
Dosen Pengampu: Prof. DR. H. Hamruni, M.Si

Disusun Oleh:

Moh Puad Syafi’i. S. Pd (17204010185)


Kls A1 (SMT 1)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt, Yang Maha Kuasa, karena

berkat inayah dan taufik-Nya penulis dapat menyelesaikan mini riset ini. Shalawat dan

salam semoga tetap dilimpahkan kepada Nabi akhir zaman, Muhammad saw., keluarga,

dan seluruh pengikutnya sampai akhir zaman.

Mini riset ini membahas tentang Pendekatan Arkeologi dalam Studi Islam. Yang

mana dalam mini riset ini dibahas mulai dari pendekatan arkeologi, ruang lingkup kajian

arkeologi, metode pendekatan arkeologi hingga penerapan pendekatan arkeologi dalam

studi Islam

Upaya yang dilakukan oleh penulis dalam melakukan penelitian ini rasanya sudah

maksimal, meskipun demikian pasti masih banyak kekurangan dan kelemahan. Dengan

segala kerendahan hati, penulis ajukan mini riset ini kepada Prof. Dr. H. Hamruni, M.Si

selaku dosen mata kuliah pendekatan dalam pengkajian Islam, untuk kiranya memperoleh

masukan dan saran untuk penyempurnaan dan penilaian.

Semoga hasil karya sederhana ini dengan segala keterbatasannya dapat bermanfaat

bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan. Amiin.

Yogyakarta, 6 Mei 2018

Penulis,

MOHAMAD PUAD SYAFI’I

ii 2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………......................................... i
KATA PENGANTAR…………………………….............................. ii
DAFTAR ISI.......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
A. Latar Belakang .................…………….................................. 1
B. Rumusan Masalah..................……………………................. 2
C. Tujuan Penelitian.................................................................... 2
D. Metodologi Penelitian............................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................... 4
A. Pengertian Pendekatan Arkeologi.……………….................. 4
B. Ruang Lingkup Kajian Arkelogi............................................. 7
C. Metode Pendekatan Arkeologi................................................ 12
D. Aplikasi Pendekatan Arkeologi Dalam Kajian Islam.............. 15
BAB III PENUTUP................................................................................. 19
A. Kesimpulan..……………………………………………….... 19
B. Saran................... …………………………………………… 20
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….. 21

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Menggali sisa-sisa peninggalan manusia di masa lampau. Itulah ciri utama sebuah
kajian arkeologi. Setidaknya, itulah yang segera terpikir saat seseorang berbicara
arkeologi. Sebagai ilmu bantu sejarah, arkeologi bekerja terkontrasi pada horizon waktu
dalam sejarah umat manusia, dimana bukti-bukti tertulis belum ditemukan; suatu horizon
waktu yang kemudian dikenal sebagai “pra-sejarah”, dimana perangkat analisa dan
metodologi sejarah tidak memungkinkan untuk bekerja. Arkeolog bertugas memberi
penjelasan terhadap benda-benda peninggalan umat manusia yang sudah terkubur,
sehingga kemudian benda-benda tersebut kemudian bisa bergungsi sebagai sumber
penulisan sejarah.1

Seiring dengan berkembangnya penulisan sejarah sosial yang multidimensosial dan


multidisiplin, pembedaan itu menjadi lebih menyempit. Sejarah dengan relatif bebas
mengambil temuan-temuan arkeologi untuk memperkuat argumen-argumen tertentu dalam
periwayatan sejarah pada masa-masa awal juga pada masa sesudahnya. Hal ini ini terihat
dari periwayatan sejarah awal Islam di Nusantara yang juga mengadalkan temuan-temuan
arkeologis berupa batu nisan, misalnya di Samudera Pasai, Leran Jawa Timur dan
sebagainya.

Sepanjang menyangkut kajian Islam di Indonesia, Moquette barangkali bisa disebut


sebagai orang pertama yang melakukan kajian arkeologi secara komprehensif. Pada 1913,
misalnya, dia melakukan penelitian serta pembacaan terhadap batu nisan di Kampung
Samudra, Aceh. Dia dalam hal ini berhasil mengidentifikasi bahwa nama yang tercantum
dalam nisan tersebut adalah Malik al-Saleh dan putranya Malik al-Zahir, masing-masing
wafat pada 969/1297 dan 726/1326.2

Demikianlah untuk masa-masa awal perkembangan Islam di Indonesia, satu


periode sejarah yang kerap dinilai masih kabur, arkeologi jelas-jelas memberi kontribusi
sangat berarti. Kajian arkeologi dalam konteks ini sanagat mendukung berita-berita sejarah
1
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, (Jakarta:
PT. Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. ix
2
Ibid ., hlm. x

1
yang terdapat baik dalam sumber tulisan lokal maupun asing. Sehingga sumber-sumber
tertulis tentang proses Islamisasi, yang memang bersifat fragmentaris, memperoleh
dukungan faktual dari hasil-hasil kajian arkeologi. Kajian arkeologi telah memperkaya
kajian sejarah Islam di Indonesia oleh karena itu penulis dalam mini riset ini akan
membahas mengenai “Pendekatan Arkeologi Dalam Studi Islam”.

B. Rumusan Masalah.
1. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan arkeologi dalam studi islam?
2. Apa saja ruang lingkup kajian arkeologi dalam studi Islam?
3. Bagaimana metode pendekatan arkeologi dalam studi Islam?
4. Bagaimana aplikasi (penerapan) pendekatan arkeologi dalam studi Islam?

C. Tujuan Penelitian.
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan pendekatan arkeologi dalam studi
Islam.
2. Mengetahui apa saja ruang lingkup kajian arkeologi dalam studi Islam.
3. Memahami bagaimana metode pendekatan arkeologi dalam studi Islam.
4. Memahami bagaimana aplikasi (penerapan) pendekatan arkeologi dalam studi
Islam.

D. Metode Penelitian (Pengumpulan Data dan Analisis Data)

Pengumpulan data yang digunakan dalam mini riset ini adalah studi kepustakaan
dan analisis isi. untuk menggali konsep dan teori dasar yang ditentukan oleh para ahli.
Berkenaan dengan pendekatan arkeologi dalam studi Islam.
Karena dalam penelitian ini menggunakan data kualitatif, maka proses analisisnya
akan didasarkan pada penggunaan logika yang dibantu oleh teori pendekatan arkeologi
dalam studi Islam sebagai alat analisis pokoknya.

Adapun teknik analisis yang digunakan meliputi langkah-langkah proses satuan,


kategorisasi, dan penafsiran data, dengan uraian sebagai berikut:
1. Proses satuan

2
Pada dasarnya satuan adalah alat untuk menghaluskan data satuan. Satuan
merupakan kegiatan terkecil yang mengandung makna yang bulat dan dapat berdiri sendiri.
Dalam hal ini seorang analisis hendaknya membaca, mempelajari terlebih dahulu jenis data
yang sudah ada, setelah itu peneliti mengusahakan agar satuan-satuan tersebut
diidentifikasi serta memasukkannya dalam kartu indeks
2. Kategorisasi
Kategorisasi berarti penyusunan kategori. Kategori adalah salah satu tumpukan
yang disusun atas pemikiran, institusi, pendapat atau kriteria tertentu Dengan pemanfaatan
kategorisasi ini penulis dituntut untuk mengelompokkan data-data yang telah ada
berdasarkan pola dalam kerangka pemikiran yang ada dalam penelitian ini.
3. Penafsiran data
Penafsiran data maksudnya untuk menetapkan makna dari fakta-fakta yang
diperoleh secara utuh melalui penafsirana. Penafsiran ini dilakukan sejak pengumpulan
data atau selama penelitian, sehingga dalam tulisan ini dapat dipahami mengenai
pendekatan arkeologi dalam studi Islam.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendekatan Arkeologi

Arkeologi merupakan salah satu ilmu yang sangat dekat, bahkan lengket dengan
sejarah, karena keduanya bertujuan sama, mengungkap kehidupan manusia pada masa lalu.
Di masa lalu, pembedaan antara keduanya lebih banyak bersandar pada sumber data;
sejarah lebih banyak bersandar pada sumber tertulis, sedangkan arkeologi pada sumber
yang berupa benda atau artefak yang diperoleh antara lain melalui ekskavasi. 3 Arkeologi
lebih banyak memberikan perhatiannya pada benda-benda budaya material (material
culture), baik pada tingkat observasi, deskripsi maupun eksplanasi. Dalam pandangan
paling mutakhir arkeologi, sebagaimana ilmu-ilmu lain, memiliki bidang sasaran untuk
membangun hukum umum (general laws) tentang prilaku manusia atau hal-hal lain yang
menjadi pusat perhatian para arkeolog.4 Dengan demikian arkeologi merupakan satu
disiplin ilmu yang mengarahkan kajian untuk mengungkap kehidupan umat manusia,
bukan semata-mata benda-benda peninggalan mereka. Sejalan dengan itu, Stuart Piggot
berpendapat bahwa apa yang digali oleh seorang arkeolog bukan benda tapi manusia.
Dengan ungkapan lain, benda-benda material yang bisa digali oleh para arkeolog hanya
semata-mata sarana untuk mengungkap lebih jauh aspek-aspek yang berhubungan dengan
kehidupan manusia.

Dalam Approach to Archaeology, Stuart Piggot mengatakan “Arkeologi merupakan


suatu disiplin ilmu yang mempelajari peristiwa yang tidak disadari dan dibuktikan oleh
peninggalan-peninggalan benda-benda yang masih ada, apakah hasil-hasil kekunoan itu
produk dari sebuah masyarakat dengan menggunakan catatan tertulis atau tanpa tulisan.”
Di Amerika, arkeologi dianggap bagaian dari antropologi sebagaimana didefinisikan oleh
James Deetz dalam Invitation to Arcaelogy. Deetz menyatakan bahwa “Arkeologi
merupakan disiplin ilmu yang memusatkan perhatiannya tipe tertentu dari ahli antropologi.
Kita tidak dapat mendefinisikan arkeologi kecuali dalam hubungannya dengan antroplogi,
suatu disiplin dimana arkeologi menjadi bagiannya.5

3
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hlm. ix
4
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis ..., hlm. 5
5
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara .., hlm. 2

4
Berangkat dari pemikiran arkeologi demikian para arkeolog di tuntut tidak hanya
memiliki pengetahuan teoritik tentang disiplin ilmu yang dipelajari, tapi sekaligus juga
keterampilan lain yang sekaligus juga menjadi trade mark sebuah kajian arkeologi. Hal ini
tertentu saja sangat berkaitan dengan upaya mengungkap masa lampau umat manusia
dengan bertumpu pada analisa berupa peninggalan benda. Belakangan ini nampak muncul
kesadaran akan perlunya kerjasama yang intensif antara arkeolog dengan sejarawan dalam
mengembangkan penelitian. Penggabungan antara data sejarah dengan data arkeologi akan
memperkaya gambaran tenatang aktivitas kehidupan umat manusia di masa lampau.6

Dari beragam definisi di atas, sebenarnya tujuan utama dari arkeologi yaitu untuk
merekontruksi kehidupan masyarakat dalam berbagai di masa lampau dalam berbagai
aspek, seperti sosisal, ekonomi kebudayaan dan keagamaan yang mengacu kepada sumber
atau data artefak termasuk fitur.

Hal tersebut tentu saja tidak akan berbeda jika dikembangkan pertemalian antara
studi Islam, arkeologi dan ilmu-ilmu bantu arkeologi menjadi tema kajian baru yang secara
tentatif bisa disebut “arkeo-Islamologi” atau arkeologi Islam.7 Pendekatan melalui kajian-
kajian tematis ini tidak berarti disingkirkannya pengkotakan sejarah kebudayaan Islam
dalam dimensi temporal. Bagaimanapun juga, pengkotakan sejarah juga menyebabkan
timbulnya kajian-kajian khusus yang tak kalah pentingnya. Sebagian besar peristiwa-
peristiwa dalam proses sosialisasi Islam di pusat-pusat Islam meninggalkan bekas-bekas
yang masih terpelihara, dan sebagian diantaranya dijadikan objek-obejek penziarahan
dalam prosesi perjalanan haji. Arkeologi dalam hal ini, dengan keterbatasan dan
subyektivitas yang dimilikinya dapat menganalogikan peristiwa di dunia Islam.

Arkeo-Islamologi, jika sekiranya istilah ini dapat diterapkan, dapat menjelaskan


bagaimana keanekaragaman kultural di suatu kawasan dapat menghasilkan budaya tinggi
atau peradaban, hadlarah, yang dapat menjelaskan bagaimana tumbuhnya spirit
ikonoklasme untuk menghindari kehadiran ikon-ikon antropomorpik dalam seni rupa Islam
yang semakin mencemaskan, terutama jika dilihat dari ajaran Islam. Dalam melaksanakan
kegiatan keagamaan ini, manusia kemudian mendirikan bangunan untuk ibadah,

6
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis ..., hlm.12
7
Ibid ., hlm. 7

5
melaksanakan penguburan kecuali dalam beberapa agama tertentu seperti Hindu, memilki
alat-alat upacara keagamaan dan memiliki tempat khusus untuk lingkungan keagamaan.8

Dalam hal ini arkeologi melakukan kajiannya melalui pendekatan terhadap artefak,
semua jenis benda buatan tangan manusia yang dipergunakan untuk keperluan hidup
mereka, termasuk kegiatan keagamaan. Arkeologi membuat deskripsi dan analisi terhadap
artefak-artefak yang berhubungan dengan agama, seperti bangunan peribadatan, alat-alat
upacara keagamaan dan bangunan untuk kuburan. Sehingga dari sana sistem kepercayaan
masyarakat selanjutnya bisa diketahui, disamping pola-pola kegiatan-kegiatan keagamaan
mereka.

Dalam kaitan ini, hal pokok yan dilakukan arkeologi dalam hubungannya dengan
penelitian agama adalah membuat deskripsi terhadap benda-benda yang berupa artefak dan
non artefak dalam tiga dimensi, yakni ruang (space), waktu (time) dan bentuk (form).
Setelah itu, arkeologi menempatkan artefak dan non artefak tersebut ke dalam analisa
konteks, yaitu aspek fungsi (functional), pola atau susunan (structural) dan tingkah laku
(behavioral). Aspek fungsi akan memberikan interpretasi terhadap suatu benda berdasar
nilai guna benda tersebut, sementara aspek struktural lebih menjelaskan proses terjadinya
benda sebagai hasil karya manusia. Aspek itu menunjukan tentang ciri-ciri aturan
masyarakat yang membuat tersebut, kendati suatu waktu ada generasi yang tidak mengikuti
aturan tersebut, tetapi membentuk pola atau atau aturan baru. Dalam hal ini aspek tingkah
laku manusia atau adat kebiasaan (behavioral) dapat memberi ciri spesifik terhadap hasil
karya.9

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa pendekatan arkeologi dalam penelitian


agama terletak pada analisa terhadap benda-benda material, khususnya yang berhubungan
dengan sistem kepercayaan masyarakat dan praktik-praktik keagamaan mereka. Benda-
benda tersebut selanjutnya menjadi dasar dilakukannya upaya rekontruksi kehidupan
keagamaan suatu masyarakat. Sampai disini bisa dikatakan bahwa cara kerja arkeologi
dalam penelitian agama seperti ditunjukan di atas, memang sangat berkaitan erat dengan
disiplin ilmu-ilmu lain, khususnya antropologi dan sejarah. Dua disiplin ilmu ini bekerja
terutama pada tingkat interpretasi terhadap data-data keagamaan yang disuguhkan setelah
melalui kajian arkeologi.

8
Ibid ., hlm. 13
9
Ibid ., hlm. 14

6
Pendekatan arkeologi seperti demikian, dalam konteks Indonesia, nampak menjadi
sangat penting. Kajian arkeologi Indonesia, dalam beberapa segi masih dilakukan terbats
dalam kaitan dengan filologi.10 Arkeologi Indonesia adalah pengetahuan arkeologi tentang
Indonesia. Indonesia dapat dipahamkan sebagai pembatas wilayah maupun sebagai pokok
bahasan. Pembatas wilayah ini mengikuti cakupan dari apa yang telah atau pernah menjadi
wilayah negara yang bernama Indonesia. Dalam hal ini tentulah tak dapat dielakkan bahwa
pada masa-masa sejarah tertentu cakupan wilayah jelajah sub-bangsa Indonesia tertentu di
satu sisi hanya meliputi sebagian, atau bahkan sebagian kecil saja.11

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pendekatan arkeologi dalam studi Islam
tidak bisa dilihat semata-mata dari bentuk dan arsitekturnya. Melainkan, ia juga harus
melibatkan kajian aspek fungsional, struktural dan behavioral pada konteks masyarakat
yang membuatnya. Dengan tiga pendekatan terakhir ini, maka kita bisa menangkap
persepsi masyarakat termasuk persepsi keagamaan pada wujud ekspresi karya seni yang
dihasilkannya. Dalam hal ini ada kecenderungan kuat dikalangan masyarakat Indonesia,
khususnya pada tahap-tahap awal Islamisasi, untuk menerima konversi agama dengan tetap
melnjutkan tradisi-tradisi budaya yang berlaku sebelumnya.

B. Ruang Lingkup Kajian Arkeologi.

Belakangan ini makin disadari bahwa arkeologi, sebagai salah satu cabang ilmu-
ilmu kemanusiaan berdasar pada langkah-langkah observasional dalam penelitian dan
percoabaan empiris. Arkeologi juga telah mengembangkan hipotesa, hukum dan teori
ilmiah yang menempatkan manusia dan kemanusiaan sebagai tempat utama dalam objek
kajiannya. Dalam praktiknya, sejak tingkat observasional-analisis, pengujian dan
eksplanasi, arkeologi lebih banyak bergerak pada horizon kultural material. Sementara
relavansi dan kedekatannya dengan disiplin lain ialah bahwa arkeologi juga bergerak pada
dataran nilai (value).

10
Ibid ., hlm. 15
11
Edi Sedyawati, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010),
hlm. 4

7
Adapun ruang lingkup kajian arkeologi diantaranya, yaitu:12

1. Efigrafi

Adalah suatu cabang arkeologi yang berusaha meneliti benda-benda tertulis yang
berasal dari masa lampau, salah satu contohnya adalah prasasti. Karena itu dalam kajian
sejarah klasik Indonesia Islam, Misalnya, bantuan data tekstual bernilai sangat strategis
mengingat data tertulis membantu memberikan justifikasi terhadap keberagaman serta
sebaran data arkeologis.

Prasasti adalah salah satu sumber para arkeolog untuk menyusun sejarah kerajaan-
kerajaan zaman Indonesia Hindu-Buddha dari zaman kerajaan-kerajaan tertua, seperti
kerajaan Kutai (abad ke-4 M), Kerajaan Taruma (pertengahan abad ke-5 M), dan zaman-
zaman berikutnya misalnya, Kerajaan Majapahit (awal abad ke-16 M). Dalam prasasti
yang dipahat pada batu atau logam, terdapat tulisan-tulisan sebagai media komunikasi
penting yang dilkukan oleh seorang kerajaan untuk masyarakat sesuai zamannya.13

2. Filologi

Adalah ilmu yang mempelajari bahasa dalam sumber-sumber sejarah yang ditulis,
yang merupakan kombinasi dari kritik, sastra, sejarah dan linguistik, filologi juga
merupakan ilmu yang mempelajari naskah-naskah klasik, dari zaman kuno. Penaskahan
klasik yang dimaksud disini adalah naskah-naskah yang ditulis tangan atau manuskrip
yang berasal dari periode klasik.

Berdasarkan pendapat V.I Braginsky dalam The System of Classical Malay


Literature, sejarah kesusastraan pertengahan terbagi atas tiga periode: Pertama, periode
kesusastraan Melayu Kuno (masa indianisasi kerajaan-kerajaan di Sumatera dan
Semenanjung Melayu) yang meliputi waktu dari abad ke 7 sampai awal pertengahan abad
ke 14 M. Kedua, periode kesusastraan Islam awal dari awal pertengahan abad ke 14 sampai
awal pertengahan abad ke 16 M. Ketiga, periode kesusastraan klasik yang meliputi waktu
dari awal pertengahan abad ke 16 sampai pertengahan awal abad ke 19 M. Dengan
demikian yang menjadi objek adalah khasanah pernaskahan klasik yang umumnya berasal
dari awal pertengahan abad ke 16 sampai pertengahan awal abad ke 19.14

12
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis ..., hlm. 7
13
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara .., hlm. 189
14
Ibid .., hlm. 183

8
Berbagai naskah klasik mengandung berbagai informasi yang berlimpah. Karena isi
naskah tidak terbatas pada kesusastraan, tetapi mencakup berbagai bidang lain, seperti
agama, sejarah, hukum, adat, obat-obatan teknik dan lain-lain yang menjadi ruang lingkup
kajian arkeologi.

3. Arsitektur

Arsitektur yang dimaksud dalam ruang lingkup kajian arkeologi disini ialah
bengunan yang sakral atau bersejarah semisal candi-candi atau masjid-masjid yang
diabangun oleh para penyebar ajaran Islam di Indonesia di masa lampau. Oleh karena
itulah di Nusantara tampak masjid-masjid dengan rancangan bangunan yang berisfat lokal
tradisional, seperti berdiri diatas batu tebal dan berdenah bujur sangkar, berundak-undak,
memiliki pagar keliling, berarsitektur rumah joglo dan bahkan banyak diantaranya yang
beratap tumpang dua tingkat (Masjid Agung Cirebon), lima tingkat (Masjid Agung
Banten), dan tujuh tingkat (Masjid Agung Lama Ternate).

Bentuk tiang utama pada dasarnya merupakan penyangga atap utama dengan 4
tiang pokok, yang kemudian dapat pula ditambah dengan tiag-tiang penyangga lain,
termasuk jika dilkukan perluasan bangunan masjid. Dalam Islam, masjid dianggap lebih
baik jika dibuat sesederhana mungkin, terutama dibagian dalamnya, supaya setiap orang
dapat beribadat dengan khusyu. Tentang hal ini boleh jadi memang terdapat perbedaan,
khususnya masjid-masjid Islam awal di Nusantara. Masjid Giri, Gresik dan Sendang
Duwur di Lamongan, misalnya sangat kaya dengan ragam hias floralistik, dan bahkan
hadir sejumlah anasir seni hias yang bercorak Hindu-Budhis, seperti makara, ragam hias
ikal-mursal, gerbang bersayap dan sebagainya.15

4. Settlement

Adalah pola pemukiman yang di bangun di masyarakat yang diteliti oleh para ahli
arkeolog. Indonesia merupakan negara dengan banyak suku maupun etnis dengan masing-
masing pola hidup di sekitarnya. Walaupun beragam pada umumnya suku atau etnis yang
tersebar di wilayah Nusantara itu dapat dikatakan memiliki tata nilai religius, demokratis,
kreatif, mandiri, kerja keras, memiliki kearifan terhadap lingkungan, dan lain-lain.16

15
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis ..., hlm. 39-40
16
Nenggih Susilowati, Arkeologi dan Karakter Bangsa, (Yogyakarta: Ombak, 2013), hlm. 178

9
Pengetahuan tentang nilai nilai dalam masyarakat memang tidak semuanya
diungkapkan secara tertulis oleh nenek moyang kita. Tetapi beberapa diantaranya dapat
diketahui melalui lambang-lambang maupun budaya material yang ditinggalkan.

5. Ikonografi

Adalah bagian dari arkeologi yang berhubungan dengan seni yang mempelajari
identifikasi, deskripsi dan isi gambar di masa lampau. Perkembangan seni Islam Indonesia
nampak memperlihatkan kecendrungan kuat tampilnya secara dominan ciri seni non
ikonoklastik, atau jika berkembang sanagat terbatas, kehadiran anasir antromorfis dalam
konteks seni Islam tidak dapat tidak dapat dianggap sebagai pembangkangan terhadap
kaidah normatif, karena penggambarannya tetap tersamar, menghormati kaidah pelarangan
pelukisan makhluk hidup, dan makhluk yang digambarkan tetap tidak jelas benar
identifikasinya. Seni Islam yang berkembang, baik di dunia Islam lain maupun di
Nusantara, memiliki ciri dan ruang lingkup sebagai seni istana; seni Islam, baik di dunia
Islam mapun di Nusantara, tetap merupakan seni Ilahiyah yang mengacu pada Keesaan
tuhan yang transenden, absolut dan tak dapat dipersonifikasikan secara figuratif, dan seni
Islam berkembang dari tahapan Syari’at kepada tahapan yang lebih tingi17

6. Antropologi

Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh James Deetz dalam Invitation to


Arcaelogy. Deetz menyatakan bahwa “Arkeologi merupakan disiplin ilmu yang
memusatkan perhatiannya tipe tertentu dari ahli antropologi” ilmu antropologi ini berkaitan
dengan kebudayaan manusia. E.B. Taylor dalam buku yang berjudul “Primitive Culture”
mengatakan bahawa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang didalamnya
terkandung ilmu pengetahuan lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota
masyarakat. Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan manusia
dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya
dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. 18 Dari beberapa
pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kebudayaan atau ilmu antropologi ini
merupakan salah satu ruang lingkup kajian arkeologi yang berkaitan dengan manusia dan
budaya didalamnya.

17
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis ..., hlm. 189
18
Sudikin, dkk, Pengantar Ilmu Budaya, (Surabaya: Insan Cendikia, 2003), hlm. 4

10
7. Sosiologi

Dalam ruang lingkup kajian antropologi, ilmu sosiologi sangat membantu untuk
mengungkap data-data sejarah yang diperlukan oleh para ahli arkeolog. Dari beragam
definisi sebenarnya tujuan utama dari arkeologi dan sejarah tidaklah berbeda, yaitu
merekontruksi kehidupan masyarakat masa lampau dalam berbagai aspek, sosial, ekonomi
kebudayaan dan keagamaan, namun berbeda dengan sejarah, bagi arkeologi, rekontruksi
masyarakat dimasa lampau tidaklah mudah. Hal itu dikarenakan perbedaan dalam sumber
atau datanya. Bila dalam menyusun atau merekontruksi kehidupan masyarakat masa
lampau, arkeologi lebih mengacu kepada sumber atau data artefak termasuk fitur, maka
sejarah lebih banyak menggunakan seperti dokumen, arsip-arsip dan lainnya.

Di Indonesia, penfekatan ilmu-ilmu sosial dalam sejarah dipelopori oleh sartono


Kartodirjo, sejak tahun 1957 melaui disertasinya The Peasant revolt of Banten in 1888; Its
Condition, Course and Sequel: A Case Study of Social Movement in Indonesia.19

8. Numanistik

Adalah sebuah studi untuk meneliti mata uang dan benda-benda terkait lainnya,
dalam ruang lingkup kajian arkeologi ilmu numanistik ini diperlukan untuk meneliti mata
uang di masa lampau. Mata uang yang juga merupakan benda cagar budaya seperti mata
uang emas yang ditemukan yang ditemukan di Samudera Pasai, Aceh. Hasil penelitian
H.K.J Cowan menegenai mata uang emas tersebut dapat menambah keterangan sejarah
Kerajaan Samudera Pasai yang pernah dikemukakan oleh Muquette dan ahli lainnya. Mata
uang yang ditemukan itu memuat nama Sultan Alauddin, Sultan Mansur Malik al-Zahir,
Sultan Abu Zaid dan Sultan Abdullah.

Selanjutnya pada awal 1973, Uka Tjandrasasmita menemukan 11 mata uang


dirham, diantara mata uang tersebut ada yang memuat nama Muhammad Malik az-Zahir,
Sultan Ahmad, Sultan Abdullah yang kesemuanya adalah sultan-sultan Pasai yang dikenal
pada abad ke-15 dan ke-16 M. Terdapat dua mata uang yang terbuat dari timah dan
tulisannya sudah tidak bisa dibaca. Ibrahim Alfian juga mengkaji sejumlah mata uang
emas dari kerajaan-kerajaan di Aceh dengan nama-nama sultan pembuatnya, ukuran-

19
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara .., hlm. 4

11
ukuran serta gambarnya, hasil penelitian Ibrahim diterbitkan pada tahun 1979 dengan judul
Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan di Aceh.20

Kendati demikian, kini menjadi semakin nyata bahwa persentuhan arkeologi


dengan disiplin ilmu-ilmu lain telah menghasilkan tema-tema kajian yang semakin khusus,
dan pada saat yang sama menumbuhkan keluasan cabang-cabang kajian, sehingga menjadi
ruang lingkup bagi kajian arkeologi.

C. Metode Pendekatan Arkeologi

Pendekatan arkeologi pada dasarnya memiliki sasaran kajian manusia di masa lalu,
namun lebih jauh menembus batas-batas kehadiran rekaman-rekaman tertulis seperti
dokumen, piagam, arsip, traktat, tambo, naskah, prasasti dan sebagainya. Sehingga
arkeologi pada tahap berikutnya mengembangkan satu pendekatan dalam kajian terhadap
teks, bersifat textual aided, yang dikenal arkeologi-sejarah (historical-archaeoloutgy).
Hanya saja berbeda dengan ilmu sejarah yang bertitik tolak pada metode heuristik dan
kritik (ekstren dan intren), arkeologi menerapkan tingkat dasar metode-metode observasi,
deskripsi dan eksplanasi, disamping metode tersebut dalam mencapai sasaran kajian,
arkeologi khususnya dalam observasinya menerapkan teknik, ekskavasi dan penggalian
arkeologis.

Demikian pada tahap berikutnya setelah observasi dan deskripsi tahap analisa kritik
pada ilmu sejarah dan eksplanasi pada arkeologi, perbedaan serta sekaligus persamaan
antara dua disipilin ilmu tersebut juga bisa diidentifikasi, bahwa tahap ini merupakan tahap
pengujian terhadap hasil pengumpulan dan pengolahan data. Dalam arkeologi, pada tahap
observasi, perhatian diarahkan pada populasi: jenis-jenis benda arkeologi (archaelojgical
items), lingkungan (ecofact), jenis aktivitas manusia di situs (depositional historical fact),
dan sebagainya.21

Selanjutnya pada tahap deskripsi, perhatian diarahkan pada aspek-aspek waktu


(temporal), keruangan (spatial) serta budaya (formal). Sedangkan pada level eksplanasi,
rekontruksi dan pengujian diarahkan pada aspek-aspek strukur, konteks, fungsi dan tata

20
Ibid ., hlm. 316
21
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis ..., hlm. 164

12
laku. Dengan demikian arkeologi lebih mendasarkan pada pra anggapan, bahwa peristiwa
merupakan sesuatu produk final dari serangkaian proses, faktor pengaruh dan dampak.

Sesuai spesifikasi bidang kajiannya, arkeologi mengembangkan sasaran kajian


yang kemudian dimapankan sebagai paradigma yang mencakup:22

1. Rekontruksi cara-cara hidup manusia masa lalu


2. Rekontruksi sejarah kebudayaan
3. Memahami proses dinamis dalam pembentukan budaya

Semetara arkeologi pada tingkat tersebut berusaha menafsirkan data dengan


metode-metode sintetis seperti:

a. Analogi-Historis
b. Analagi-Etnografi
c. Analogi-Eksperimental

Dengan kata lain, tugas arkeologi menjadikan rekaman-rekaman budaya arkeologis


menjadi dinamis sebagaimana halnya ketika rekaman-rekaman tersebut menjadi bagian
aktualisasi prilaku pendukung budaya pada masanya. Sehinga rekontruksi budaya manusia
pada masa lalu itu dapat dijelakan mendekati kondisi objektifnya. Mengingat subject-
matter arkeologi adalah artefak, maka salah satu teknik yang dikembangkan adalah
menggali rekaman arkeologi dengan sistem dan tanggung jawab terhadap kenyataan
bahkan tidak seluruh prilaku manusia masa lalu terekam dalam artefak, arkeologi
mengembangkan berbagai jenis dan tingkat analogi secara terkendali. Lebih dari itu
arkeologi juga memanfaatkan data-data tekstual, khusunya ketika diterapkan pada masa-
masa atau periode sejarah tertentu.23

Dalam perjalanannya, data arkeologi mengalami berbagai perubahan, baik akibat


pengaruh bersifat alami maupun kultural, karena itu “bias” yang dapat menimbulkan
berbagai subjektivitas dalam arkeologi, seperti halnya data tektual sesuatu yang tak dapat
dihindarkan. Dengan demikian evaluasi kritis juga berlaku dalam arkeologi, agar data
penelitian bisa mewakili, dapat dipercayai dan memadai. Sifat data arkeologi dalam hal ini
bukan merupakan cerminan seluruh tata laku, kelakuan dan hasil kelakuan manusia masa
lalu seperti halnya data sejarah. Data arkeologi senantiasa mendapat pengaruh sejak
22
Ibid ., hlm. 165
23
Ibid ., hlm. 166

13
digunakan sampai terkubur hingga menyebabkan berbagai perubahan kuantitas, kualitas,
hubungan dan sebagainya,

14

Anda mungkin juga menyukai