Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Pengantar Studi Islam
Dosen : Lastri Hasanah, M.Pd

Disusun Oleh:
1. Ipah Latifah
2. Salma Mufianida

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUFYAN TSAURI (STAIS)


Jl. KH. Sufyan Tsauri Po. Box 16 Telp. (0280) 6235 Majenang, Cilacap
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Adapun makalah ini telah penulis
usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak,
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis tidak
lupa menyampaikan bayak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa
ada kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh
karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka penulis membuka selebar-
lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada penulis
sehingga penulis dapat memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga dari makalah ini dapat diambil
hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca

Majenang, Oktober 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................1
C. Tujuan ........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................3
A. Pengertian Pengelompokkan Keilmuan dalam Islam.................................3
B. Pengelompokkan Keilmuan dalam Islam Perspektif Bayani......................6

BAB III PENUTUP..................................................................................................12


A. Kesimpulan................................................................................................12
B. Saran...........................................................................................................12

Daftar Pustaka

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kunci yang paling
mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang
begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau pengembangan ilmiah. Proses
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itulah dikenal dengan istilah
epistemologis. Epistemologi menentukan corak pemikiran dan pernyataan
yang dihasilkan secara global.
Penggunaan metode yang digunakan ilmuwan muslim dan barat
memiliki perbendaan yang signifikan, yakni barat menggunakan metode
observasi, sedang muslim menggunakan tiga metode untuk menyesuaikan
tingkat hirearki yakni bayani (observasi), burhani (logis), dan irfani
(intuitif)dari ketiga ini masing-masing bersumber pada indra, akal dan hati.
Ilmuwan muslim mempunyai cara yang unik untuk membedah keilmuan
yang akan dikemas pada wadah yang menarik,sehingganya ilmu yang akan
didapat menjadi jelas dan terprogres hingga akar-akarnya. Beda halnya
dengan ilmuwan barat yang hanya menyimpulkan dari satu sisi yang
menjadikan pro-kontra diantara kalangan yang akan mempelajarinya.
Pembahasan kali ini, akan membahas tentang pengelompokan
keilmuan dalam islam perspektif Bayani yang muncul di masa modern ini
sebagai bentuk sebuah penalaran dan epistimologis yang akan membantu
mengembangkan keilmuan islam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka rumusan
masalah yang hendak penulis capai adalah:
1. Apa pengertian pengelompokkan keilmuan dalam islam ?
2. Apa yang dimaksud dengan pengelompokkan kelimuan dalam islam
perspektif Bayani?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian pengelompokkan keilmuan dalam
islam.
2. Untuk mengetahui pengelompokkan keilmuan dalam islam perspektif
Bayani.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pengelompokkan Keilmuan dalam Islam


Pada zaman dahulu belum ada pengelompokan keilmuan semua
berpatokan pada Al Quran. Semenjak pada zaman sahabat nabi di
kenalkanlah ilmu filsafat yaitu pengelompokkan keilmuan atau macam-
macam ilmu yang mendasar.
Karena ilmu bukan hanya sekedar satu makan di bagilah bagian-bagian
untuk mempermudah dalam mendalami atau mendasari kaedah tersebut baik
dalam dinamika atau pengembangan ilmiah. 
Dalam pengelompokkan keilmuan  manfaatnya untuk menentukan dari
berbagai corak pemikiran dan pertanyaan kebenaran yang dihasilkan. Secara
Epistimologi merupakan sebuah wadah yang mana dalam mendalami ilmu
pengetahuan tidak mengalami kesulitan. Dan sebagai sebuah cabang filsafat
yang mempelajari asal mula atau sumber struktur, metode dan pengetahuan. 
Fungsi dalam mempelajari dalam pengelompokkan keilmuan dalam
islam agar tidak ada pertentangan di antara keduanya juga mengetahui dasar-
dasar pada keilmuan terutama pada Al Qur'an. 
Menurut para ilmuan Muslim, manusia memiliki tiga macam sumber
“alat” untuk menengkap keseluruhan realitas : panca indra, akal, dan intuisi
(meliputi wahyu). Sementara di lain sisi, para ilmuan barat modern pada
dasarnya hanya mengakui indra. Dengan hanya mengakui indra, mereka
mengembangkan hanya satu metode penelitian saja, yaitu metode observasi,
atau eksperimen indrawi. Metode observasi ini memang terus dikembangkan
sampaitingkat yang canggih, tetapi semuanya tetap bermuara pada penerapan
indrawi.
Berbeda dengan ilmuwan-ilmuwan barat, ilmuwan-ilmuwan muslim
mengakui keabsahan bukan hanya metode observasi, tetapi juga metode
rasional (burhan) dan intuitif (irfani). Dengan kata lain, mereka mengakui
bukan hanya persepsi indrawi dalam proses pengetahuan, tetapi juga nalar
akal dan persepsi hati.

3
Selain panca indra, sarjana-sarjana muslim juga mengakui akal sebagai
alat untuk menangkap realitas. Dari sini mereka mengembangkan apa yang
disebut sebagai metode rasionel-demonstratif (burhan). Seperti indra dapat
menangkap objek indrawi, maka akal dapat menangkap objek sepiritual atau
metafisik secara logistik, yakni menarik kesimpulan tentang hal-hal yang
tidak diketahui dari hal-hal yang telah diketahui.
Dengan cara inilah manusia dapat melakukan refleksi dan penelitian
terhadapfenomena alam untuk menetahui keberadaan Tuhan dan ke esaan-
Nya, serta hal-hal ghaib lainnya seperti malaikat, iblis, dan alam akhirat.
Perbedaan dalam metode-metode itu terjadi, seperti disinggung diatas,
sepadan dengan perbedaan sifat dasar dari objeknya. Untuk objek yang
berkaitan fisik atau indrawi, para filosof muslim yang pada ummumnya juga
adalah ilmuan, menggunakan metode observasi, seperti Al Kindi yang
menggunakan metode observasinya di laboratorium kimia dan fisikanya,
Nashir Al-Din Thusi mengadakan pengamatan astronomi di
observatoriumnya yang amat terkenal di Maraghah, Ibnu Sina mengadakan
observasinya dalam bidang kedokteran yang dia tulis dalam bukunya yang
terkenal Al Qonun fi Al Thiib.
Namun,sementara barat berhenti pada bidang-bidang fisik dalam
penelitian ilmiah mereka ilmuan-ilmuan muslim yang sekaligus juga filosof
meneruskan tujuan ilmiah mereka ke bidang-bidang non fisik,baik yang
bersifat matematis maupun metafisi. Sebagaimana observasi indra bisa keliru,
dan karena itu dibutuhkan verifikasi terhadap hasil-hasilnya. Meskipun
begitu, para filosof mengakui adanya beberapa tingkat atau jenis metode
tersebut dan memandang objek-objek yang ditelitinya dapat ditangkap dengan
tepat dengan metode yang terakhir yaitu demonstratif (burhani). Menurut
mereka metode demonstratif inilah yang mereka gunakan dalam penelitian
ilmiah dan filosofis mereka.
Tapi perlu diingat bahwa akal bukan satu-satunya alat yang bisa
digunakan untuk menangkap realitas-realitas nonfisik karena selain akal,
manusia juga dikaruniai oleh Tuhan dengan “hati” atau intuisi. Dengan

4
pendekatan inilah disebut presensial karena objek-objeknya hadir dalam jiwa
seorang, dan karena itu modus ilmu seperti itu disebut ilmu hudhuri.
1. Pengertian Bayani
Kata bayani berasal dari bahasa Arab yaitu “al-bayan” yang secara
harfiyah bermakna sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka. Namun
secara istilah ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-bayan,
ulama ilmu balagah misalnya, mendefinisikan sebagai sebuah ilmu yang
dapat mengetahui satu arti dengan melalui beberapa cara atau metode
seperti tasybi>h (penyerupaan). Ulama kalam mengatakan bahwa al-bayan
adalah dalil yang dapat menjelaskan hukum. Sebagian yang lain
mengatakan bahwa al-bayan adalah ilmu baru yang dapat menjelaskan
sesuatu atau ilmu yang dapat mengeluarkan sesuatu dari kondisi samar
kepada kondisi jelas.

2. Pengertian Burhani
Burhani merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti
mensucikan atau menjernihkan. Menurut ulama ushul, al-burhan adalah
sesuatu yang memisahkan kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang
benar dari yang salah melalui penjelasan.
Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan
bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi
ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan,
bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya,
seperti masalah baik dan buruk.
3. Pengertian Irfani
Secara harfiyah al-‘irfan adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir
dan mengkaji secara dalam. Dengan demikian al-‘irfan lebih khusus dari
pada al-‘ilm. Secara istilah irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan
yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya
(al-kasyf) setelah melalui riyadah.

5
B. Pengelompokkan Keilmuan dalam Islam : Perspektif Bayani
Menurut Abid al-Jabiri, pemikir Islam asal Maroko, Bayani merupakan
salah satu perkembangan pemikiran Islam secara epistemologis. Tradisi
bayani berkembang paling awal sebelum dunia Islam mengalami kontak
budaya secara massif dengan dunia luar. Dari sinilah cara berfikir para
pemeluk agama islam mulai terbuka bahkan ditengarai tradisi ini mulai
tumbuh dan berkembang sejak masa Nabi atau paling tidak pada era
pembesar sahabat. Hal ini dapat ditandai dengan munculnya tradisi
interpretasi terhadap teks wahyu dan sistematisasi sastra arab dalam bentuk
antologi yang diprakarsai oleh Ibnu ‘Abbas, pembangunan ini sangatlah
membawa kemajuan dalam islam yang membawa para umat islam menjadi
lebih berfikir secara kritis dan aktif.1
Dalam bahasa arab Bayani berarti penjelasan, menyingkap dan
menjelaskan sesuatu yakni maksud suatu pembicaraan dengan menggunakan
lafzh yang paling baik dan komunikatif dengan kata lain upaya menyikapi
makna dari suatu pembicaraan serta menjelaskan secara terinci hal-hal yang
tersembunyi dari pembicaraan tersebut kepada para mukallaf. Suatu paham
yang digunakan disini sangatlah berperan penting untuk para penganutnya,
sebab tanpa adanya Bayani dalam paham ini tiada jendela lain untuk
dijadikan sarana pembuka pengetahuan barunya.2
Tradisi bayani ini sendiri dipersyaratkan / bisa di katakana wajib untuk
dipelajari karena bermakna sifat yang mendekatkan pada hukum. Dan pada
setiap pendekatan atau suatu paham tentunya memiliki pondasi atau
tumpuhan terkuatnya untuk dijadikan sebagai dasar pengokoh dan sebagai
pondasi yang kuat pada paham tersebut, landasan dasar tradisi ini adalah pada
hukum karena hukumlah yang di anggap lebih kuat dari landasan-landasan
lainnya salah satu sebab yaitu lebih mudahnya untuk dijadikan sebagai
landasan karena telah memiliki ketentuan yang jelas juga lebih mudah
dipahami dan pastinya lebih diterima oleh banyak kalangan umum.

1
A. Yasid, “Epistemologi ushuml figh: antara pembaruan dan pemberdayaan mekanisme istihand
al-ahkam”, Jurnal Asy-Syir’an, vol. 45, no. 1.
2
afifi Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayânî, Burhânî, Dan ‘Irfânî Dalam Ijtihad
Muhammadiyah”, Ahkam, vol. 12, no. 1.

6
Dibayani ini dipahami oleh para mufasir dalam arti yang berbeda-beda dan
beraneka ragam, salah satu penafsiran mengatakan bahwa dalam kata bayan ini
mengandung arti berbicara fashih dalam mengungkapkan isi hatinya. Sejak
munculnya Paham Bayani para mufasir menjadikan sebagai suatu kebiasaan di
dalam kehidupan nya sehari-hari untuk berkomukasi dengan lingkungan
sekitarya, meskipun demikian tidak semua mufasi menjalankam faham ini dengan
baik, sebab tidak mudah untuk memahami dan membutuhkan waktu yang tidak
sebentar untuk dapat istiqomah berjalan dengan menganut paham ini. Masa
dimana paham ini berjalan dapat dikatakan juga sebagai pembeda, dalam arti para
mufasir satu dengan mufasir lain yang menjalankan dan tidak menjalankan sangat
lah terdapat perbedaan yang sangat menonjol, dapat dilihat dari cara bicara, sikap,
dan dalam mengungkapkan isi hatinya.
Istilah Bayani dalam bahasa arab; berarti penjelasan , menyingkap, dan
menjelaskan sesuatu yakni menjelaskan maksud suatu pembicaran dengan
menggunakan lafash yang paling baik (komunikatif). Ahli usul al-Fiqih
memberikan pengertian bahwa Bayan adalah penyikap makna dalam suatu
pembicaraan (kalam) serta menjelaskan secara terinci hal-hal yang tersembunyi
dari pembicaraan tersebut kepada para mukallaf.
Makna al-bayan disini mengandung empat pengertian, yakni al-fashl wa al-
infishal dan al- zhuhur wa al-izhhar, atau bila harus disusun secara hierarki atas
dasar permilihan antara metode (manhaj) dan visi (ru’yah) dalam epistemologi
bayani, dapat disebutkan bahwa al-bayan sebagai Metode, berarti al-fashl wa al-
infishal. Sementara al-bayan sebagai visi berarti al-zhuhur wa al-izhhar, bahkan
al-syafi’I meletakan al-uzhul al-bayaniyyah sebagai factor penting dalam factor
penting penafsiran wacana.
Al-Syafi’I kemudian menjelaskan hierarki bayan, khususnya berkaitan
dengan bayan terhadap al-Qur’an dalam lima tingkatan Pertama, bayan yang
tidak memerlukan penjelasan; kedua bayan yang beberapa bagiannya
membutuhkan penjelasan sunah; ketiga, bayan yang keseluruhannya bersifat
umum dan membutuhkan penjelasan sunah; Keempat, bayan yang tidak terdapat

7
dalam Al-Qur’an maupun sunah, yang dari sini kemudian memunculkan qiyas
sebagai metode ijtihad.3
Menurut Al-jabiri, corak Epistemologi bayani didukung oleh pola piker
fikih dan kalam. Dalam tradisi keilmuan islam, corak pemikiran islam model
bayani sangatlah mendominasi dan bersifat hegemonic sehingga sulit berdialog
dengan tradisi epistemologis “Irfani maupun burhani. Corak pemikiran “
Memahami islam secara menyeluruh adalah penting meskipun tidak secara
mendalam. Inilah cara paling minimal yang harus dilakukan untuk memahami
islam secara baik. Banyak metode yang dapat digunakan untuk memahami islam,
setidaknya ada dua aliran yang menonjol. Satu aliran menekankan bahwa cara
untuk mendekati islam itu dan tidak bisa dihubungkan dengan metode-metode
dalam ilmu pengetahuan lain. Aliran lain menyatakan bahwa bagaimana pun juga
metode yang sah untuk digunakan adalah metode ilmiah. Istilah ilmiah disini
digunakan dalam arti ganda. Pertama, dalam arti sempit, yakni menunjukan
metode yang digunakan pada ilmu pengetahuan alam. Kedua, dalam arti luas,
yakni menunjukan pada suatu prosedur yang bekerja dengan disiplin yang logis
dan untuk premis-premis yang jelas. Akan tetapi pada kedua pendekatan ini
terdapat kekukurangan, yang menurut Mukti Ali, antara keduanya dapat
dimunculkan motode baru, yakni “metode sintesis”. Banyak penulis teologi dan
filsafat dari abad ini yang telah membuktikan tidak cukupnya pendekatan ilmiah
terhadap studi agama Islam. Banyak pula sarjana terkemuka memepertanyakan
keabsahan penerapan metode-metode dan tekhnik eksperimental kuantitatif dan
penelitian kausal terhadap dunia rohani (agama). Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah mencoba merumuskan metode sintesis seperti
yang dimaksud oleh Mukti Ali tersebut, yakni dengan mengintegrasikan
pendekatan bayani, burhani, dan irfani dalam ijtihadnya.
Adapun metode penetapan hukum merurut Majelis Tarjih adalah bayani,
ta’lili dan istishlahi.Yang dimaksud dengan bayani adalah metode penerapan
hukum yang menggunakan pendekatan kebahasaan. Penggunaan metode bayani
ini terkait erat dengan sumber utama Al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah oleh
karena kedua sumber ini berbentuk nash atau teks yang berbahasa arab. Metode
3
Fauzi Abbas, “Integrasi Pendekatan Bayânî, Burhânî, Dan ‘Irfânî Dalam Ijtihad
Muhammadiyah”.

8
bayani juga b erhubungan dengan pola penerapan sesuatu masalah yang dirukukan
kepada dua sumber ajaran islam (ar-ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah al-
Maqbulah). Sedangkan ta’lili adalah metode penerapan hukum yang
menggunakan pendektan penalaran. Penggunaan metode penalaran ini dipakai
untuk menetapakan fatwa karena melalui pendekatan kebahasaan tidak ditemukan
pokok masalah yang dibahas.
Terdapat perbedaan dalam islam dan barat dalam bidang pengetahuan.
Dalam epistemologi islam dapat dicapai melalui tiga elemen yaitu indra, akal dan
hati. Ketiga elemen ini dalam praktiknya diterapkan dengan metode berbeda-beda.
Secara indra atau observasi dalam elemen buyani, untuk metode logis atau
demonstratif pada burhani dan pada hati yaitu ifrani
Al-nazhr yang berarti melihat atau memperhatikan dalam meneliti sesuatu
yang menggunakan indera yang sekarang ini di kenal dengan istilah metode
observasi

1. Epistemologi Bayani
Secara etimologis bayani mengandung beragam arti yaitu: kesinambungan,
keterpilihan, jelas dan terang sebuah kemampuan membuat terang dan generic.
Sebagai sebuah episteme, dengan kata lain bayan berubah menjadi sebuah
terminology yang disamping mecakup arti segala sesuatu yang melengkapi
tindakan memahami dalam proses belajar
Epistemologi bayani muncul bukan sebagai hal yang sui generis, akan
tetapi ia memiliki akar historisnya dalam sejarah budaya dan tradisi pemikiran
Arab. Sebagaimana dimaklumi, bahasa Arab di yakini sebagai bahasa wahyu
Tuhan. Oleh karena itu, cukup bersandar bila dikatakan bahwa determinan history
awal-mula peradaban islam adalah sinergi bahasa dan agama. Awal mula aktivitas
ilmiah berupa penghimpunan bahasa Arab dan peletakan dasar-dasar tata
kebahasaan seiring dengan upaya memahami ajara dan peletakan dasar-dasar tata
kebahasaan seiring dengan upaya memahami ajaran agama dan produksi wacana
keagamaan yang membangun “Rasionalitas – keagamaan Arab” dengan produk
intelektualnya, yaitu ilmu kebahasaan dan ilmu agama dalam nalar bayani.

9
Dapat dilihat dalam paham ini melahirkan komunikasi agamawan-
intelektual yang menempati posisi otoritatif dalam ranah keagamaan dan
keilmuan. Mereka adalah kalangan ulama bayani, meminjam istilah al-jabiri yang
secara koloegial berperan dalam menetapkan ilmu-ilmu Arab yaitu nahu, balagh,
fikih dan kalam. Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan
otoritas teks, secara langsung dan tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal
kebahsaan yang digali melalui inferensi. Secara langsung artinya memahami tes
sebagai pengetahuan jadi dan langsnung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran.
Sedangkan secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan
mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian hal ini bukan berarti
akal atau rasio bisa bebas menetukan makna dan maksudnya, tetapi harus
bersandar pada teks yang dianggap tidak dapat memberikan pengetahuan kecuali
patokan dalam teks tersebut.
2. Pendekatan Bayani
Bayani bahasa Arab berarti penjelas, menyingkap, dan menjelaskan sesuatu,
disini menjelaskan maksud suatu pembicaraan dengan menggunakan lafsh yang
paling baik dan komunikatif, ada seorang ahli mengatakan tentang pengertian
bayan adalah upaya menyingkap makna dari suatu pembicaraan yang
menjelaskan secara terperici tentang hal-hal yang tersembunyi. Tujuan dari ini
agar untuk mudah dipahami bagi bagi semua umat
Bayani ini sangat penting dalam menyampaikan suatu penjelasan ke
masyarakat umum dapat dikatakan penting karena bayani ini adalah salah satu
metode yang sangat bagus untuk di gunakan dalam menyampaikan penjelasan
dibayani ini banyak sekali cara-cara tentang bagaimana cara agar kita dapat
menyampaikan informasi dengan baik mengenai pembaruan dan pemberdayaan
mekanisme.
Jika sesorang menggunakan metode bayani ini kemungkinan besar orang
yang mendengar penjelasan nya akan lebih mudah memahami nya semua cara-
cara yang ada di dalam bayani ini tidak hanya di pahami dengan bacaannya saja
tetapi harus di pahami satu persatu setiap cara-caranya agar kita sebagai pengguna
metode bayani ini dapat memahami lebih dekat dan jelas lagi tentang apa itu

10
bayani dan bagaimana cara mengaplikasikannya dalam penyampaiannya pada hal
paradigma epistimologi.
Apabila kita sudah mengetahui setiap cara/metode yang ada di bayani ini
kita harus sering mencoba dari setiap caranya agar kita lebih biasa lagi dalam
melakukannya dan lebih menguasai lagi. Bayani tidak hanya sebagai metode
dalam penyampaian penjelasan tapi bagi orang yang memahami apa itu arti dalam
bayani maka mereka akan sangat beruntung jika sudah mengenal bayani itu
karena mereka beranggapan bahwa bayani dapat membantu dalam
mengefektifkan penyampaian penjelasan agar mudah dipahami oleh pendengar
dan kalimat yang di gunakan dalam penyampaian tidak membingungkan
pendengarnya dalam hal integrasi interkoneksi.
Oleh karena itu penting bagi kita untuk mempelajari apa itu bayani agar
kita dapat menggunakan dalam penyampaian penjelasan supaya kita termasuk
orang yang tidak mudah turun tingkat kebingungan untuk penyampaian
penjelasan saat melakukan proses belajar. Mempelajari bayani harus dari awal
kemunculan atau dari pengertian awal agar kita dapat memahami isi atau
kandungan dari bayani itu sendiri.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan dan penjelasan yang telah diuraikan diatas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa Bayani adalah sumber ilmu pengetahuan adalah
Wahyu (teks) atau penalaran dari teks, seperti ilmu hadis, fikih, ushul fikih,
dan lainnya. Atau dapat diartikan sebagai cara untuk mendapatkan
pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara langsung dan tidak
langsung. Secara langsung dalam arti langsung mengganggap teks sebagai
pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan
penalaran yang berpijak pada teks ini. Keilmuan apapun termasuk ilmu-ilmu
agama islam yang terlalu kaku tidak lagi menarik bagi generasi ilmuwan
Islamic studies kontemporer. Diperlukan transdisiplin untuk mengembangkan
dan memperkaya wawasan keilmuan ilmu-ilmu agama islam serta
membongkar eksklusvisme, ketertutupan dan kekakuan disiplin keilmuan
agama yang hidup dalam bilik-bilik sempit epistemology.

B. Saran
Semoga dengan disusunnya makalah ini bisa menambah pengetahuan
kita khususnya dalam hal Pengelompokkan keilmuan dalam Islam perspektif
Bayani. Makalah ini disusun secara rinci dengn harapan agar mudah
dipahami, namun makalah ini masih jauh dari sempurna karena masih banyak
hal yang perlu ditambahkan dalam makalah ini karena terbatasnya waktu
yang diberikan. Semoga dalam kesempatan yang lain peneliti diberi waktu
dan kesempatan yang lebih agar penyusunan laporannya lebih baik lagi.

12
Daftar Pustaka

https://www.kompasiana.com/arifahsriutami2812/5df075a5d541df559e5a4e92/
pengelompokkan-keilmuan-dalam-islam
http://mengsleheuheu3.blogspot.com/2017/09/pengelompokan-keilmuan-islam-
dalam.html
https://www.academia.edu/30488420/Pengelompokan_Keilmuan_Perspektif_
Bayani_Dalam_Islamic_Study?ssrv=c
https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/50927020/
PGMI_B_1601050047_DESTY_WIDI_AFRENA.
http://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/pustakaloka/article/viewFile/977/711

13

Anda mungkin juga menyukai