Anda di halaman 1dari 7

AROMA MAUT

karya 
Hamid Jabbar

Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?


Barangkali satu denyut lepas, o satu denyut lepas
tepat di saat tak jelas batas-batas, sayangku:
Segalanya terhempas, o segalanya terhempas!
(Laut masih berombak, gelombangnya entah ke mana.
Angin masih berhembus, topannya entah ke mana.
Bumi masih beredar, getarnya sampai ke mana?
Semesta masih belantara, sunyi sendiri ke mana?)
Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?
Barangkali hilir-mudik di suatu titik
tumpang-tindih merintih dalam satu nadi, sayangku:
Sampai tetes-embun pun selesai, tak menitik!
(Gelombang lain datang begitu lain.
Topan lain datang begitu lain.
Gelap lain datang begitu lain.
Sunyi lain begitu datang sendiri tak bisa lain!)
Aroma Maut
Puisi : Hamid Jabbar
3 orang duduk bersila dan memejamkan mata. Seorang wanita datang memandangi ketiga
orang itu dan menghembus wajah orang  orang yang berada di paling kanan membuka mata
secara tiba-tiba setelah itu ia melihat kekanan dan orang dikanannya membuka mata
demikian seterusnya hingga ke tiga-tiganyanya membuka mata. Mereka seperti takjub
melihat kesekeliling sedangkan wanita itu berdiri tegak menghadap kosong kedepan.

Wanita :
Berapakah jarak antara hidup dan mati sayangku?
Ketiga orang yang mendapat pertanyaan itu seperti bingung dan tak mampu menjawabnya.
Wanita :
Barangkali suatu denyut lepas, oh satu denyut lepas
Ketiga orang itu saling memandang.
Wanita :
Tepat disaat jelas batas-batas, sayangku:
Segalanya terhempas, oh segalanya tehempas
Ketiga orang itu perlahan-lahan berdiri.
Orang pertama :
Laut masih berombak, gelombangnya entah kemana
Orang kedua :
Angin masih berhembus topan  entahnya kemana
Orang ketiga :
Bumi masih beredar, getarnya sampai kemana-mana
Wanita :
(setengah berteriak)
Semesta masih belantara, sunyi sendiri kemana?
Ketiga orang itu kembali terdiam.
Wanita :
Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?
Orang pertama :
Barangkali hilir-mudik disuatu titik
Wanita :
Tumpang tindih menindih dalam suatu titik, sayangku?
Ketiga orang itu kembali saling melihat.
Wanita :
Hahahahahahaha
Sampai tetes embun pun selesai, tak menitik!
Wanita maju meninggal kan ketiga orang itu sampai agak jauh kedepan. Ia terhenti saat orang
pertama buka suara.
Orang pertama :
(maju dua langkah)
Gelombang lain datang begitu lain
Orang kedua :
(maju dua langkah)
Topan lain datang begitu lain.
Orang ketiga :
(maju dua langkah)
Gelap lain datang begitu lain
Suasana senyap sebentar.
Wanita :
sunyi lain begitu datang sendiri tak bisa lain.
Wanita perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, sedangkan layar tertutup.
DRAMATISASI PUISI
“TANAH AIR MATA”
ADAPTASI PUISI TANAH AIR MATA KARYA SUTARDJI CALSUM BAHRI
 
Manusia  selalu di hadapkan pada rahasia-rahasia. Kerahasiaan itu membuatnya menunggu.
Menunggu? Apalah arti menunggu? Menunggu hanya pekerjaan konyol sekaligus
membosankan, dan kita terjebak  pada pilihan, menunggu hingga bosan atau mati sia-sia
tanpa hakikat?
Opening
(iringan musik)
Empat pemain masuk kedalam panggung (properti sudah standbay di atas panggung, meja
dan payung).
Pemain I              : (memegang payung) lakon apa yang akan kita mainkan hari ini?
Semua pemain ( berputar satu sama lain)
Pemain II             : (memegang payung) tentang korupsi saja!
Semua pemain (berputar satu sama lain)
Pemain III            : (memegang payung) bagaimana tentang banjir saja!
Semua pemain (berputarsatu sama lain)
Pemain IV           : ( memegang payung) ya. Banyak sandiwara di bumi ini. pada hakikatnya
Hidup hanyalah sandiwara, dan kita terjebak dalam sebuah sandiwara. Pura-pura baik, pura-
pura bijak, pura-pura mendidik, pura-pura… pura-ura… semua pura-pura!
Pemain I              : (memegang payung) lalu lakon apa yang akan kita main kan hari ini?
Pemain IV           : (menyanyikan lagu indonesia raya)
Pemain II             : (membaca text lagu indonesia raya)
Pemain III            : kami persembahkan dramatisasi puisi TANAH AIR MATA dari SMAN
Anyer, selamat menyaksikan.
(berputar menghitari panggung dan keluar satu persatu)
Babak I
Narator   : kini bumi semakin tua, udara semakin panas. Bangunan raksasa dimana-mana?
Banyak petani yang kehilangan tanahnya. Akan menjadi apa tanah air kita. Selayaknya kita
para pemuda harus menjaga dan merawat Tanah air kita, yang sudah di perjuangkan oleh
nenek moyang kita terdahulu.
Panggung masih dalam keadaan kosong dari para pemain. Hanya beberapa properti. seprti
bak berisi air, sampah pelastik, kardus-kardus bekas, koran bekas dan satu meja panjang
tertutup kain warna hitam.
Enam orang pemain masuk dengan iringan musik, dengan jalan gontai berirama, dengan
gerakan yang sama, persis seperti iringan pekuburan orang mati. Setelah posisi pada tengah
panggung, salah satu dari pemain jatuh tak sadarkan diri. Sedangkan yang lain terus
mengikuti nada yang sama dengan gerakan yang sama pula. Hingga akhirnya kelima pemain
tersebut meniggalkannya seorang diri.
Pemain I              : (ekspresi kehausan)
                Tanah airmata tanah tumpah darahku
                mata air airmata kami 
                airmata tanah air kami 
                di sinilah kami berdiri 
                menyanyikan airmata kami 
                di balik gembur subur tanahmu 
                kami simpan perih kami 
                di balik etalase megah gedung-gedungmu 
                kami coba sembunyikan derita kami
Babak III
Tujuh orang pemain masuk kedalam panggung (mengenakan payung)  diiringi musik dengan
menggerakan tubuh berirama, di lakukan serempak bersamaan (menaburkan bunga). (1
menit) salah satu dari kelima pemain melihat pemain I dalam keadaan terkulai (ekspresi
heran, penasaran) menghampiri pemain I.
pemain I              : (sadar, ekspresi sedih) 
                Tanah airmata tanah tumpah darahku
                mata air airmata kami 
                airmata tanah air kami 
                di sinilah kami berdiri 
                menyanyikan airmata kami 
                di balik gembur subur tanahmu 
                kami simpan perih kami 
                di balik etalase megah gedung-gedungmu 
                kami coba sembunyikan derita kami
 Pemain III sd VII  : (membacakan puisi bersamaaan)
                Tanah airmata tanah tumpah darahku
                mata air airmata kami 
                airmata tanah air kami 
               pemain VIII         : (ekspresi menggebu)
                di sinilah kami berdiri 
                menyanyikan airmata kami
pemain II sd VIII  : (menyanyikan lagu  tanah air ku tidak kulupakan)
Pemain I              :
                di balik gembur subur tanahmu 
                kami simpan perih kami 
                di balik etalase megah gedung-gedungmu 
                kami coba sembunyikan derita kami
 pemain II             :
tapi perih tak bisa sembunyi
pemain III            :
                ia merebak kemana-mana
pemain IV           :
                bumi memang tak sebatas pandang
pemain V             :
                dan udara luas menunggu
pemain VI           :
                namun kalian takkan bisa menyingkir
pemain VI           :
               ke manapun melangkah
pemain VII          :
                kalian pijak airmata kami
 
berlarian sambil mengepakan tangan.
pemain VII          : (ekspresi menggebu)
                ke manapun terbang
                kalian kan hinggap di air mata kami 
                ke manapun berlayar 
                kalian arungi airmata kami
Pemain II sd VIII mengepung pemain I
pemain I              : (marah)
                kalian sudah terkepung
                takkan bisa mengelak 
                takkan bisa ke mana pergi 
                menyerahlah pada kedalaman air mata kami.
 
semua pemain terjatuh. ( 5 detik )
pemain I sd VIII melambaikan tangan satu persatu. (10 detik) bangun satu persatu,  menari,
mengikuti irama lagu dengan serempak bersamaan. ( 30 detik) kemudian mengambil tongkat
dan menghentak-hentakan bersamaan. Sambil bernyanyi  (Indonesia Tanah air beta)bersama-
sama.

Anda mungkin juga menyukai