Anda di halaman 1dari 7

PUSI EMHA AINUN ANDJIB

Tahun Baru
Ada kalanya rindang hati ini
alangkah teduhnya, Papa
Tapi mercu kini tak lagi bisa berjanji
Seribu badai meranah duka
Lantaran hati-hati kelabu
yang nanar mengelabu
Lantaran hari-hari kemarin
ialah hari-hari yang kepalang
Kejamnya masa menebar lintasan busa bisa
Tapi sejuta genggam tangan
telah melonjak, Papa
Pada keharuan tanah subur ini hati
Airmata sedunia menjelma jadi baru
Ayo, Papa! Ilalang ganas kita babat
ganti yang bernas
Hati yang putih bakal meluluh
segala kegersangan.
*Puisi pertama dimuat di Pelopor Yogya PSK
akhir tahun 1969

PUSI EMHA AINUN ANDJIB


Dengan Berat
Dengan berat, akhirnya kau pun
tiba. Di garis waktu
Proses-proses ungu
Dengan berat kaulepaskan nurani
Buat merebut usirnya kembali
Di nisbi Perburuan ini
Bahwasanya di pintu terungkap arti tapi sia-sia
Dalam sepi kau menatap langit bagai kertas-kertas ujian
Berulangkali terjerembab: kau tak bisa undur diri
1972

PUSI EMHA AINUN ANDJIB


Puisi Jalanan
Hendaklah puisiku lahir dari jalanan
Dari desah napas para gelandangan
Jangan dari gedung-gedung besar
Dan lampu gemerlapan
Para pengemis yang lapar
Langsung menjadi milik Tuhan
Sebab rintihan mereka
Tak lagi bisa mengharukan
Para pengemis menyeret langkahnya
Para pengemis batuk-batuk
Darah dan hatinya menggumpal
Luka jiwanya amat dalam mengental
Hendaklah puisiku anyir
Seperti bau mulut mereka
Yang terdampar di trotoar
Yang terusir dan terkapar
Para pengemis tak ikut memiliki kehidupan
Mereka mengintai nasib orang yang dijumpainya
Tetapi zaman telah kebal
Terhadap derita mereka yang kekal
Hendaklah puisi-puisiku
Bisa menjadi persembahan yang menolongku
Agar mereka menerimaku menjadi sahabat
Dan memaafkan segala kelalaianku

Yang banyak dilupakan orang ialah Tuhan


Para gelandangan dan korban-korban kehidupan
Aku ingin jadi karib mereka
Agar bisa belajar tentang segala yang fana
Yogya, 1977

PUSI EMHA AINUN ANDJIB


Sesobek Buku Harian Indonesia
Melihat pentas-pentas drama di negeriku
berjudul Pesta Darah di Jember
Menyerbu Negeri Hantu Putih di Solo,
Klaten, Semarang, Surabaya, dan Medan
Teror atas Gardu Pengaman Rakyat di Bandung
Woyla.
Ah, ingat ke hari kemarin
pentas sandiwara rakyat
yang berjudul Komando Jihad.
Ingat Malari.
Ingat beratus pentas drama
yang naskahnya tak ketahuan
dan mata kita yang telanjang
dengan gampang dikelabui dan dijerumuskan.
Ah, drama-drama total
yang tanpa panggung
melainkan berlangsung di atas hamparan
kepala-kepala penonton.
Darah mengucur, kembang kematian.
Bau busuk air liur para sutradara licik
yang bersembunyi di hati mulia para rakyat
Drama peradaban yang bermain nyawa
mencumbu kemanusiaan
berkelakar secara rendahan kepada Tuhan.
Kita orang-orang yang amat lugu dan tak tahu
Pikiran disetir
Hidung dicocok dan disemprot parfum
Pantat disodok dan kita meringkik-ringkik
tanpa ada maknanya.

Kita yang terlalu polos dan pemaaf


beriuh rendah di antara kita sendiri
bagai anak-anak kecil yang sibuk dikasih petasan
kemudian tertidur lelap
sesudah disuapi sepotong kue bolu dan permen karet.
Ah, milik siapa tanah ini.
Milik siapa hutan-hutan yang ditebang.
Pasir timah dan kayu yang secara resmi diselundupkan
Milik siapa tambang-tambang
keputusan buat masa depan
Milik siapa tabungan alam
yang kini diboroskan habis-habisan
Milik siapa perubahan-perubahan
kepentingan dari surat-surat keputusan
Kita ini sendiri
milik siapakah gerangan.
Pernahkah kita sedikit saja memiliki
Lebih dari sekadar dimiliki, dan dimiliki.
Pernahkah kita sedikit saja menentukan
lebih dari sekadar ditentukan, dan ditentukan.
Yogya, 13 Maret 1982

PUSI EMHA AINUN ANDJIB


Satu-satunya Negeri
Ya Mursyid, betapa mungkin para wanita yang
memamerkan auratnya memperoleh kemerdekaan di
mana-mana, bioskop-bioskop menomorsatukan
alat vital dan buah dada, film-film persenggamaan
menelusup ke rumah-rumah, sementara kami
pemakai jilbab justru harus dikeluarkan dari
sekolah, harus susah payah ditolak kerja di
perusahaan-perusahaan, bahkan diseret ke
pengadilan?
Kenyataan seperti itu tak memerlukan
penjelasan. Kenyataan seperti itu lebih dari
penjelasan.
Bukankah kami warga dari
satu-satunya negeri di dunia yang memberi
ruang kepada setiap penduduk yang tak
mengakui tuhan dan tak beragama?
Itu penjelasan yang lebih jelas lagi
Terangkanlah kepada kami soal kemunafikan,
Ya Mursyid!
Kenalilah pemimpin dan kepemimpinan
Negerimu, hayatilah cara hidup lingkungan
bangsamu

Anda mungkin juga menyukai