Anda di halaman 1dari 31

Jumat yang Merah

Antologi Buka Puisi Vol. IX

Katakerja
2023
Jumat yang Merah
Antologi Buka Puisi Vo. IX

Penulis
Abd. Wazib, Aditya Permana, Alif A. Putra, Andi Baso Sawerigading, Andika Pratama
(Dikablek), Asmarabahri, Bayu Putih Ariyanto Putra, Budiman, Daviatul Umam, Dwi
Balqis, Fadhil Adiyat, Mega S. Haruna, Risma Haris , Roydo Ari, Pratama, rumputsegar,
Sharah, Sriyatun, Théo, T. Samsyah

Pemeriksa Aksara
Mega S. Haruna & Risma Haris

Pengatak
Mega S. Haruna

Sampul
Erika Rachma Aprilia

Produksi
Katakerja
Daftar Isi

Bukan Najwa Shihab - 1


Jumat yang Merah ~ Para Syuhada di Christchurch, Selandia Baru - 2
Manusia dan Pertanyaannya - 3
Catatan Doa Sepertiga Puasa - 4
Quo vadis Cambang - 5
nyala matahari - 6
anak rimba - 7
Draf Pertanyaan I - 8
Percakapan yang Menanti Ranggas - 9
Selamat Ulang Tahun - 10
Bintaro - 11
Membunuh (diri) - 12
Jiwa Sepasang - 13
Mendengar Ruang Baca - 14
Kapan kau mengingat ibu? - 15
Kapan kau mengingat ayah? - 16
Keputusan - 17
Keputusan 2 - 18
Binatang Mamalia - 19
Menyisir Rambut Ibu -20
Sopi di Depan Gereja - 21
Dari Unggun Bibirmu - 22
Larangan Membuat Tiktok – 23
Kelahiran-kelahiran – 24
Mengheningkan Dosa – 25
Bukan Najwa Shihab
Abd. Wazib

Bukan sajak protes,


hanya saja lupa hendak keramas sore-sore
sampo lupa terbeli, hanya ingat dengan nasi.

Makan sendiri sambil nonton TV


kebetulan berita luar negeri
sekumpulan pengungsi,
cari selamat dari negara sendiri.

Dari Pyongyang dan juga Kemang


ada mobilisasi, modernisasi plus globalisasi
ada santri dekat dengan bekas petinggi TNI
oceh soal kemelut demokrasi,
mengidolakan Yuval Harari.

Sebelum tidur dan mendengkur, Aku coba-coba berdo’a:


oh tuhan, oh juru selamat.
jauhkan hamba dari si tetangga tukang rias wajah, si satpam tukang dengung, dan
keserakahan para selebiriti juga model majalah kosmopolit. Amiiin.

4 Januari 2023

1 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Jumat Yang Merah
~ Para Syuhada di Christchurch, Selandia Baru
Aditya Permana
di negeri putih
jumat ini, kulihat hanyalah
warna merah.
di rumah Tuhan
jumat ini, kusaksikan hanyalah
tangis, tragedi, tragis.
di kesucian
jumat ini, kutangisi hanyalah
empat puluh sembilan wajah-wajah surgawi.
di kesedihan
jumat ini, kupandangi hanyalah
tubuh yang memeluk bumi, memandang langit.
di Christchurch
jumat ini, kusesali hanyalah
dunia yang diam, buram tanpa kepedulian.
di sini, iblis mulai menyegerakan mereka
menuju Tuhan.

2 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Manusia dan Pertanyaannya
Aditya Permana

(1)
anak-anak kehilangan kanak-kanaknya yang berharga dan hanya berkutat oleh dua hal: cerita
menggembirakan yang ia rindukan dan derita yang memaksanya untuk mati segera. bising bom
dan desing peluru menjadi tontonan yang menuntunnya lari menuju pusara ibu-bapaknya di
rimbun rumah yang rubuh dan luruh. yang tersisa hanyalah air mata yang membatu, foto
keluarganya yang telah abu oleh api, dan kenangan yang berdebu ditempa badai kecamuk
peperangan. ia pun berteriak, melantang, memanggil siapa saja yang peduli: “kemanakah
kemanusiaan itu?”
(2)
senjata, sengketa, dan seluruh ambisi menjadi makanan yang tak memuaskan hasrat dan nafsu.
di kepala mereka hanyalah dua cita-cita: bebas atas nama perjuangan atau ditebas atas nama
kehormatan. di mata yang nyalang, beringas, buas, menerkam kaum-kaum penindas. Mereka
anjing-anjing yang tak tahu berterima kasih. Daging yang kita beri, mereka balas dengan
mengoyak daging anak cucu kami. Suatu saat, akan kubakar daging-daging mereka dan
kuhinakan di depan anjing-anjing kelaparan, serapah mereka begitu ganas. mereka pun
berteriak, melantang, memanggil siapa saja yang abai: “apa gunanya kemanusiaan sekarang
ini?”
(3)
di seberang bumi sana, ramai-ramai seruan perdamaian dan kecaman atas peperangan. suara
itu menyerukan dua ingin: hentikan pertumpahan darah atau hempaskan mereka yang dinamai
“penjajah”. Seluruh dunia tersentak, terhenyak akan suara ramai yang menggelegar itu; bantuan
demi bantuan mengalir tiada surut, doa-doa merapal sampai langit tak mampu menampung,
dukungan menghujam, kecaman menghujat mereka yang dengan kalapnya meluluhlantakkan
alur separuh bumi dan kehidupannya. mereka pun berteriak, melantang, memanggil siapa saja
yang iba: “masih adakah kemanusiaan di muka bumi ini?”
(4)
pemimpin-pemimpin dunia hanya duduk termangu, tertunduk, mematung atas krisis yang kian
kritis: peperangan berkepanjangan hingga nyawa tak lebih dari seonggok daging yang
dihinakan. namun tangannya kaku, kakinya beku, mulutnya dipaku oleh ketakutan. mereka –
ingin—berteriak, melantang, memanggil siapa saja yang ingin mendengarkannya: “pantaskah
aku menjadi manusia?”

3 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Catatan Doa Sepertiga Puasa
Alif A. Putra

pada akhir sepetiga puasa


imam masjid memilih dan
memilah
puisi yang pas
dalam
salat sebelum tidur
—puasa, adalah
kata dan luka
di ujung lidah
imam gereja yang diam dalam damai
dari mulut orang yang selalu menutup diri

tuhan: ada berapa kata amin yang lahir

dari malaikat pencabut nyawa?


saat hujan kunang-kunang
berkeliaran di kepalamu
lalu hinggap

cahaya yang kaulihat


adalah cacat dari doa yang
jatuh dari air liurmu yang
liar seperti ketika kau
menciumku sebelum
tidur panjang di dalam peti

maukah tuhan mencatat


doaku? jika memang benar
maka ia punya berapa
tangan untuk
mengabulkan?

Bumi Paguntaka, 2023

4 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Quo vadis Cambang
Andi Baso Sawerigading

Kisah tentang kelana mengakrabi kenangan


Usai pujaan mewujud genangan
Fajar hari merekah perjalanan menuju pujaan
Harap angan peluk kenyataan

5 Antologi Buka Puisi Vol. IX


nyala matahari
Andika Pratama (Dikablek)

sebelum kami beranjak dewasa,


nenek moyang kami menceritakan banyak hal
tentang hutan, pohon-pohon, rerumputan, dan
tanaman hijau seolah dahulu kala di
hamparan matanya hanya ada keteduhan belaka

lalu kami tumbuh, seperti cerita tentang


pohon yang pernah kami dengarkan sebelum
memejamkan mata malam yang tenang,
dan orang-orang dari sebrang datang memadati
ruang-ruang kota dengan suara bising, di sini bisik jangkrik
mereka tukar dengan pekik klakson dari mesin-mesin beroda

yang meneduhi kami setelahnya bukan


pohon tinggi menjulang seperti dongeng nenek moyang,
tapi cerobong asap dari pabrik-pabrik raksasa
yang tegak mendongak ke angkasa

kini, setiap pagi, di hari-hari tanpa pelangi ini,


kami mesti meraba-raba kembali koordinat
nyala matahari

6 Antologi Buka Puisi Vol. IX


anak rimba
Andika Pratama (Dikablek)

yang terlahir di tanah ini mestinya tak perlu sangsi


mengakui diri sebagai anak rimba,
sebab begitulah adanya

kita, orang-orang di dalam hutan menengadah tangan


pada setiap pohon yang memberi napas
kehidupan, dan air sungai adalah air yang sama
yang melapisi kita ketika rahim ibu robek dan menganga

sayangnya, kita enggan menerima yang ditakdirkan sebagai karunia


itu sebab setelah usai sebuah zaman, kita memburu segala
yang disebut pembangunan: caci maki liar,
gedung-gedung tinggi, mimpi-mimpi, dan
ilusi tentang warna-warni yang mekar

tetapi bagaimana menolak risalah darah?


kita tetap anak rimba, dikasihi pohon, dicintai hutan
tidur di atas rerumputan bila suatu hari di dunia
tak tersisa lagi petak hunian

sekarang, kita hendaknya menanam bibit kembali


di tanah gersang ini, meruntuhkan paksa apa yang dulu kita terka
suatu masa dimana semua akan terbebas dari sengsara

7 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Draf Pertanyaan I
Asmarabahri

Seperti apa tahun


setelah kesunyian tidak lagi penting?

Tidakkah orang-orang bahagia


sewaktu-waktu kepayahan,
mengurai satu ingatan
paling lara

Ning,
Mengapa ada seseorang
mau renta bersama rahasia?
Mati dalam kesetiaan
Selain dari itu,

bukankah ini cara hidup


menghadapi sebuah ketetapan?

pada seseorang
yang membangun jurang dingin
untuk hari-hari berteriak

Lalu,
seperti apa tahun
setelah kesunyian tidak lagi penting?

2023

8 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Percakapan yang Menanti Ranggas
Bayu Putih Ariyanto Putra

kupungut angan-angan langit


membentang berbalut
di dalam jatuh cinta
antara namamu
dan puisi.

sedia kala
aku bergumam
menyaksikan
vokal-konsonan
melancong
di sekujur
arsip merawat kasihmu
yang disimpan
udara musim hujan
: lembap dan sembap

berulang kali
nasib kata-kata
terluntur
di antara
percakapan kita
sebelum menjatuhkan nasib
– mari berdoa menurut
ketidakyakinan masing-masing.

9 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Selamat Ulang Tahun
Budiman

dengan tawa-tawa kecil,


kenanglah apa-apa
yang liar dalam dirimu
meludahi segala yang sia-sia
imbas gaduh keinginan

ratapan dan doa


dua hal yang tetap
kau butuh untuk menyimpan
kenangan dalam bentuk bunga
penyangga kesadaran
sebagai usaha-usaha
penemuan diri

selamat ulang tahun


beri ucapan selamat
kepada usia yang mengelupas
menuju tunggal

Mare, 30 Desember 2021

10 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Bintaro
Daviatul Umam

sore itu aku memastikan kabarmu. sifat


pasir belum berubah. serpih-serpih kasih
masih seputih buih. para pelancong tetap
berlabuh di batas gelombang yang sama:
warna, asin dan amis yang luput terjarah.

segara tengah memulihkan diri, berupaya


memulangkan kepercayaan para nelayan
yang sempat terseret limbubu ke nun jauh.
jauh ke riuh ego, bentang ilusi tak bertepi.

seperti ada yang bergelantungan di ujung


rumbai daun-daun nyiur, antara bertahan
dan lepas tersungkur. tapi angin tak hirau.

kulempar batu-batu kecil ke gigir ombak.


agar perahu-perahu yang tertambat pada
dadamu dapat memahami kertak dadaku.

kulempar bimbang ke kedung air pasang.


agar seluruh binatang laut memakannya
dan apa yang kucemaskan tak jadi nyata.

Sumenep, 2023

11 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Membunuh (diri)
Dwi Balqis

Dirimu yang kerap kau pandangi di cermin


adalah sosok lain yang tak kau kenal
kemarin kau jatuh cinta padanya
kau sebut dia manusia suka cita
menabur kelindan bunga-bunga di hatimu

hari ini kau membencinya


kau melihat ia buruk rupa
adab dan perilakunya
kau ingin cintai ia lebih
kau ingin jatuh cinta berkali-kali

tapi dirimu lebih asing

ketika mengerjapkan mata kau pun sadari


lekas-lekas kau berpaling
tak boleh jatuh cinta kepada diri sendiri

esok bisa jadi


bisa saja
diri sendiri yang membunuhmu
terlebih dahulu!

12 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Jiwa Sepasang
Daviatul Umam

seisi semesta, kata ayah,


dicipta berpasang-pasangan.
dan pasangan setiap sesuatu
adalah bentuk perlawanan.

ada pelukan, ada jurang. ada


hutan, ada api. ada miskin,
ada tikus. ada agama, ada
kebodohan-kebodohan.

tetapi, lanjutnya, tidak ada


pertentangan dalam diri kita
yang tercipta dari satu kata
menjelma dua nama.

cinta kita rimba raya yang


menyediakan ribuan petunjuk
jalan pulang, sekaligus api
unggun bagi setiap petualang
yang bermalam.

aku negara miskin yang suka


murung. kau Jerry yang selalu
menghiburku dengan beragam
gaya komedi yang beruntun.

aku memelukmu sebagai


agama kasih-sayang. kau
memelukku sebagai pelindung
kesalahpahaman paling sial.

kedalaman pelukan kita


tak tergapai dasar jurang
mana pun.

Yogyakarta, 2022

13 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Mendengar Ruang Baca
Fadhil Adiyat

di balik jendela kamarmu


sering kita putar lagu-lagu Ruang Baca
kita tersesat di belantara kata:
kecuali candu dan hal-hal yang tak kau tahu, kita diam-diam disleksia di minggu pagi
setelah mendengar dongeng terbangnya burung yang falling in books. sebelum seseorang
yang kelak kita beri nama juga ikut tersesat di sini

pucuk hidungmu yang sering sekali kuhinggapi kecupan


di seberang batas igau dan nyenyakku
mengembara dan mengubah sekeliling tempat tidurmu
jadi hutan bambu.
dengan begitu aku pasti bangun lebih awal
menyiapkanmu roti selai berisi ‘selamat pagi, sayang’

sering aku ulur lengan sebagai bantalmu agar kau pulas


aku senang sekali melihat kau bangun terburu-buru
tempias air sabunmu, bekas licin sampo, atau
ketiakmu yang belum kering sempurna
selalu menjadi alasanku mencintai pagi hari

di dalam aku:
hidup seorang lelaki yang mencintaimu ribuan tahun lalu
hatimu:
ibu kota yang menampung para perantau
lenganmu:
jalanan yang mengantarku pada cinta yang selalu baru

Makassar, 2023

14 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Kapan kau mengingat ibu?
Mega S. Haruna

pada sebutir obat


pahitnya mampir di tenggorokan
aku mengaduh ke ibu
ia menuangkan segelas air
melorotkan perih tak tertahan

ibu tak pernah mengajari cara bertahan dari sakit


tanpa memanggilnya berulang kali
menggigil
terperosok
kelaparan
nyeri ulu hati
gagal ujian
terlilit hutang
tertiban sial

pada uluran rintihan


aku menjumpainya
ingin kubedah saja perut ibu
lalu berdekam di rahimnya

15 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Kapan kau mengingat ayah?
Mega S. Haruna

ayah menjahit pakaian seragam


ia sedang memasang mimpinya di setiap kancing
dan memintaku mengenakan baju dan rok
juga sehelai kerudung
aku menggendong seperangkat ambisiku
berangkat ke sekolah

ayah merakit meja belajar untukku


ia menyusun mimpinya di selembar papan
dan menyanggah dengan hati-hati
aku meletakkan buku dan laptop
lalu membaca dan mengetik gelarku

jelang makan malam, ayah menanak nasi


ia sedang menghangatkan lauk dan mimpinya
aku mengunyah dengan sangat pelan
mengurai bumbu sebab asam, manis, dan pedas

dari jauh aku mengingat cermat tentang ayah


ia terjaga—tidak pernah bermimpi apa-apa
hanya tak membiarkan aku merengkuh diri sendiri

aku yang lemah menjumpainya


ingin kuputuskan saja lengan ayah
membawanya kemana-mana denganku

16 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Keputusan
Risma Haris

Kuletakkan beberapa luka di atas meja ketiga kami.


Masih di dunia yang sama dan waktu yang berbeda.
Dia ada di seberang meja, dengan sedikit raut lelah setelah aktivitas sehari-hari.

Dia mengambil dan mengamati setiap luka dalam diam.


Memberi ruang seluas-luasnya untuk pikiran berlebih di kepalaku.
Aku tidak mahir memahami hening, sedangkan ia asik dengan kerutan di kening.

apapun itu, aku harus siap, pikirku.

Dia lalu mengumpulkan semua luka di atas meja dan memasukkannya ke dalam saku dada
kiri.
masih ada lagi? katanya.

17 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Keputusan 2
Risma Haris

Dia meletakkan semua sulit di atas meja.


Masih meja ketiga.
Dia meletakkannya seperti kartu tertutup.
Yang kubuka satu persatu.

Entah sejak kapan kerut berpindah ke keningku.


Tapi hening tidak membuka ruang di pikirannya.
Mungkin hatinya jauh lebih lapang.
Atau harapan yang masih setengah tiang.

Kukumpulkan semua sulit dalam satu tumpukan.


Lalu ku kembalikan padanya.
Seraya berkata, ada yang lebih rumit?

18 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Binatang Mamalia
Roydo Ari Pratama

Langkahmu lancang!
Menjelajah atau Menjajah?
Tanganmu lancang!
Meyelamatkan atau Membinasakan?

Bumi memelukmu erat dan hangat


Tapi kau menikam dengan lusinan alasan dan pembenaran
Sankana Dunkana, Sankana Dunkana
Celaka, Celaka, kau Celaka.

Daun rontok, lalu busuk jadi humus


Jadi pupuk, jadi subur.
Apa andilmu?
Memetik buah lalu menjadikannya kotoran?
Ah, tidak!

Kau apa? Kau Kenapa?


Kau Manusia?
Celakalah kau BInatang Mamalia
Membubuhkan racun pada waktu
Tunggu tiba tanggal mainnya

Laut memuntahkan ombak sampah


Gunung memuntahkah lahar sampah
Kau menelannya mentah mentah
Organ tubuhmu kau paksa mencernanya, sampah!

Padang, 07 April 2023

19 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Menyisir Rambut Ibu
rumputsegar

kuajak kau pergi ke tengah lautan lepas


perairan tenang dengan ombak yang tak sekalipun
mengundang cemas; cermin favorit bagi kemilau langit malam hari
—meski tanpa bulan dan bintang atau kembang api tahun baru atau mimpi-mimpi lugu masa
lalu

kau tak butuhkan peta sebagai pandu


biarkan aroma santan dan wangi kemiri
mendorong tumbuh kembang layarmu
—gelap adalah jalan cahaya memanjang
yang akan menuntunmu pada
kelembutan

dari atas perahu dongeng ini entah apa tersembunyi


jauh di bawahnya—
pada kedalaman tak tersentuh
barangkali tersimpan rapat sebuah kehendak rahasia
seorang anak manusia

20 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Sopi di Depan Gereja
Sharah

Pendeta muda itu membawanya


Sebotol sopi setengah ada
Duduk di depan gereja
Diajaknya aku bersulang
Jemaat yang Ia tinggal, meliriknya

Dua anak tuhan mabuk di depan rumahnya


Seperti para pengikutnya
Di zaman raja-raja berkuasa
Ia lelah jadi pendeta muda
Para jemaat tak menghormatinya
Ia lebih senang menenggak sopi
Bersamaku di Taman melati
Lalu kami pulang
Saat jemaat tak lagi lalu lalang
Kami pergi ke belakang
Ruang Efesus 1, Mazmur 15
Di sana kami bercinta
Sambil bertanya,
Apa Tuhan memandangnya?

2019

21 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Dari Unggun Bibirmu
Sriyatun

jika masih kau yakini


puisi sebagai pengikat
janji paling sakral
ada yang lebih membunuhku
daripada pisau tajam
ialah percakapan kita
yang semakin runcing

di room chat
kau dan aku kini gemar
melontarkan asu
hingga jari-jari, tak lagi
mengekalkan rindu
lalu, apakah perdebatan ini
melenyapkan seluruh
kenangan kita?

aku masih membayangkan


suara-suara hangat
dari unggun bibirmu
kembali terdengar dari
seberang kota
: kota yang berhasil
menukar doa-doaku
dengan sebilah
bibir lain, yang melucuti
janji-janjimu

2023

22 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Larangan Membuat Tiktok
Théo

Tiktok adalah anak roh*ni para penyair.


Yang harus mengubur ekspresi b*tinnya.
Karena sas*ra wangi diatur
undang-undang ketakutan klitoris.
Di bawah label pornodiksi,
vagina dijerat pasar berkaret seperti kondom.

Jika aku menulis kening orang-orang


membayangkan kecupan r*ma*tis.
Jika aku memahat penis orang-orang
gelisah kulupan erotis.
Keinginan yang mereka penjara
dengan candaan vulgar dan
kemarahan pada bahasa.

Perasaan ila*i digali dalam cint*.


S*ci mengapung di kehampaan kulit.
Sedangkan kenikmatan tubuh
bersenggama lumpur.
Ditempel dalam lembar-lembar
kitab setan.

Tiktok bukanlah tujuan seperti


penyair kuno bela mati-matian.
Meskipun, mereka memang mati direnggut
dogma-dogma renungan makna hidup.
Dari bangkai-bangkai mereka,
akan ereksi para gembala dongeng berlendir.
Berjoget dalam gairah api unggun.
Batu pertapaan ditinggalkan berlumut.

Kemana rasa malu generasi ini?


Peradaban kita akan hancur.
Teriak mulut yang menjilati
payudara dan selangkangan.

Peradaban sensor ini mulai digerogoti rayap


orang-orang yang khawatir hasrat
seksualnya sebebas angin.

Depok, 9 Februari 2023

23 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Kelahiran-kelahiran
Théo

ibu mengirimiku doa pagi ini


agar aku menjadi anak yang soleh

aku tidak bisa melihat apa warna doa itu


birukah seperti taplak meja warkop tempatku menonton semalam
podium berarak seperti gemuruh ombak saat Persib memenangi pertandingan
hitamkah seperti kaos berlogo Captain America yang kukenakan
atau hijau seperti warna surga di lukisan masa Abbasiyah
aku tak bisa mencium aromanya
amiskah seperti pasar lelong yang terbit sebelum langit bercahaya
maniskah seperti jambu merah yang tumbuh di belakang rumah
harumkah seperti koridor kosan
yang dilewati para mahasiswa berangkat kuliah

ibu dan aku melihat kebahagiaan


dengan skema yang berbeda
karena kami tumbuh di masa yang tak sama
mungkin kami tak akan pernah sampai sepakat
tak masalah

yang jelas kutahu, di kamar mandi


aku menginjak-injak gelembung busa
seember air dan deterjen berisi sepatu kotor
dengan riang-gembira

ibu memikirkanku

nanti malam, ibuku akan bangun lagi


mengobrol lepas dengan tuhan
tentang anaknya
semoga dia juga menitikkan air mata kesyukuran
karena melahirkanku

Depok, 5 April 2023

24 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Mengheningkan Dosa
T. Samsyah

Di antara doa-doa
Juga sederet kenangan
Sedari dalam kandung
Membuncah tubuhmu

Tiba lahir meneroka puisi


Aku terlalu sering menjamak dosa
Begitu pekat dalam ingatan
Kepadamu yang menjadi tadah luka

Maka, seraya kuhaturkan


Biar kutandasi segala buruk
Dengan segala kerendahan hati
Juga tuk memupus segala dosa besar

—“Bu, izinkan aku mengheningkan dosa barang sejenak di seantero kesunyian”

Burangrang, 2023

25 Antologi Buka Puisi Vol. IX


Tentang Penerbit

KATAKERJA adalah komunitas berbadan hukum yang berdiri sejak 30 Maret 2014
sebagai program dari Active Society Institute (AcSI) dan pada tanggal 19 April 2018
resmi berdiri sebagai organisasi yang merupakan anggota dari Komunitas Ininnawa.
Katakerja memiliki badan organisasi yang terdiri dari direktur, manajer yang mengatur
beberapa divisi dan saling terkoordinir dalam mengelola komunitas.
Bentuk awal Katakerja adalah perpustakaan umum dan dapat diakses secara gratis.
Dalam perkembangannya, Katakerja juga memfasilitasi kegiatan seni budaya secara kolektif
untuk menyikapi pemaknaan literasi secara luas. Tidak sekadar bergelut di persoalan buku dan
bacaan, Katakerja juga melakukan kegiatan-kegiatan literasi di bidang lain seperti musik, film,
seni, maupun kajian-kajian kebudayaan lainnya. Katakerja percaya bahwa yang paling penting
dari segala kegiatan adalah manusia dan kemanusiaan di berbagai kegiatan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai