Jendela itu melihatmu seakan cemas ada siang tanpa cahaya di matamu,
aku dengar bunyi jangkrik, lalu sepi itu – Dunia yang meringis –
dan ketukan pintu itu seolah peti mati yang menunggu kau buka,
lalu maut kutukan ibumu, juga tuhan, membiarkanmu terus bertanya
tentang laut. spasi pada tiap sajak ini mesti kau isi
sebelum lariknya munculkan kabut yang serupa kafan
kau mendekat dan maut selalu dekat.
2016
Mohamad Fajar Ramadan, Juara I Lomba Cipta Puisi Festival Sastra 2016 Kategori Pelajar
MENILIK ORANG SAKIT
Kidung Panglipur, Juara II Lomba Cipta Puisi Festival Sastra 2016 Kategori Pelajar
MEMORABILIA PANASEA JIWA
(1)
Sesuatu yang terkurung dalam bundaran waktu
sampai hanya bumi yang berdesit karena memang sepantasnya berdesit
kusam yang selalu terpampang dalam kokohnya langit senja
menyisakan setetes kenangan
terngiang panorama kota solok
hamparan teh hijau temani angin bersetubuh dengan musimnya
bersama ratapi embun hantarkan kebahagiaan
terlintas wajah tua merangkul bakul tersandar letih
bersandar dalam letihnya dikubur mentari
dan disepanjang menuju hangatnya sebuah pemandian
tak ada wajah-wajah mulia yang berkerut
hanya deret kebahagiaan terdengar,sorakan atau seribu wajah tak berdosa menari indah bersama
hangatnya keluarga.
Canda gurau menghiasi seraya merangkul kebersamaan yang tercipta
Wajar,cemburu akan itu terasa
(2)
Pagi kita adalah pekik kereta yang terbangun dari lelap tidurnya
cerobong asap setia menelusuri daun hijau dihiasi embun asa
terlihat bangunan besi tua keropos dimakan usia
saksi bisu cerita purba empat lima
Benteng Fort de kock tersisa sebagai memori lama
disebelah taman kota dalam ruang pariwisata
lengkapi keindahan kota Bukit Tinggi
tersimpan rapi melawan revolusi
daratan yang ditegakan sebuah pertahanan
persilangan etnik,desahan anak minang hingga dentuman kelakar bom-bom belanda.
(3)
Sebuah hari baik terapung dilautan lepas
diatas laut gandoriah,menatap lepas eksotiknya angsoduo
terus berbenah lari dari masa suram
melawan buta kelamnya dunia
bersinar terang dipesisir sumatera
pernah dikunjungi penyair lama membawa senapan perasaan
menghujam hati seperih irisan pisau perang
disodorkan puisi indah dengan rampak
seraya mengikuti alunan bambu tertiup
yang hampir tenggelam dimakan tsunami teknologi
“Ini bukan emansipasi harap kartini”
lantunan merdu sastrawan kuno
mengalir menyambut indahnya senja pariaman
Ryanka Edila, Juara III Lomba Cipta Puisi Festival Sastra 2016 Kategori Pelajar
TRUNTUM
Ungu menunggu di kamar kalbu, jingga
singgah menelikung wajah, garis lengkung
mengalir tawa gadis kampung
Malam beku, canting mematri layu pendar
lintang di langit kuyu
Rinduku bergelut sepi dan kepulanganmu
pagi ini, di sebalik harem putih yang sunyi
Berulang, kuteduh pandang sebagai bakti
tak ingin kugores luka di wajahmu walau setitik
meski dari rahim kerontang
menunggu orok tak kunjung datang
Tegaplah kanda, ambil dia yang terpilih
untuk kau sanding tanpa ku menjadi tersisih
tak akan kuanggap ia lawan tanding
apalagi pesaing dari negeri asing
Kedatanganya adalah penawar dahaga
cinta kita sejak awal bersua, biarlah anak-anak
lahir dari rahimnya agar cerita negeri ini terus berjejak
Usah kau resah dengan mataku yang memerah
tetes air ini adalah laku pasrah usai tetirah
menjalani takdir Sang Maha Mirah
kiranya kita diberi berkah
Lihatlah kanda, lihatlah
telah kulabuh segala gundah
dalam kain hitam bertabur bintang, terang meski tanpa bulan
kusemat garuda di antaranya
tuk kepakkan sayap menerjang rintang
Pergilah kanda, pergilah
aku truntum, permaisuri agung, memangku titah raja
Bantul, Mei 2016
Siska Yuniati, Juara I Lomba Cipta Puisi Festival Sastra 2016 Kategori Umum
RAJAH KANDUNG IBU
/i/
tangis kering dari turah air matamu
lucur bagai pundur punggung ibu
di lorong rahimnya, ribuan mantera dan rajah terkandung, terkatung-katung
dalam tempayan dada. di situ sukmamu disimpan.
lalu jantungmu bersenandung begitu kepayahan,
tiada tangguh, menanggung segala keluh yang gemuruh
menampung nama ibu
/ii/
di semenanjung tanjung rahim itu, suatu petang
bayangmu amat memanjang; sungsang
kau berkitar berlarat-larat, terjajah pilu, hingga jemu tertelan
kau kehilangan perjalanan
“bunda, surgamu bersembunyi di telapak kaki yang mana?”
/iii/
kau mencatat rumus musim di setiap terubuk singgahan,
pada bentang jembatan yang tak tenggelam, tak hilang-hilang.
kau berpesta dusta, mandi siasat, menerakan bongkol janji yang liar bagai ular,
membalur khianat-muslihat ke batas yang terbiar ingkar dan mengakar.
tersalib bagai harum jasadmu dipaksa menjauhi ibu
di situ kau menolak patuh, mengutuk rindu.
lalu sembilan jemari lenganmu tergeletar mengumpul rusuk ibu yang hilang
hanya angan-angan yang terkenang.
nama ibu pupus, gaib bagai jamuan ingatanmu dipecundang lekang.
rakaat-rakaat pengingat terkelupas. tercerai-berai. terempas.
kau durhakai doa-doa bundamu sendiri.
/iv/
tiba saat iblis-iblis menyusu di rahim ibu,
memerah payudara yang bergetah, mencakar-cakar jantungnya
belingsatan kau tak kuat menerima.
berguguranlah serpih-kenang muasalmu yang tak patuh bagai bokor sembilur
dipancur angin, lalu melipir dan melebur. menapak tilas bagai pelacur
seperti nyawamu akan hancur, punah-musnah. tergusur
kau cengang mengenali istirah titian lembah
yang kedap cahaya dan terjajah.
kau mengkerdir di suaka, mengkerdil sekerdil-kerdilnya jiwa.
/v/
kembali ke muara, kau dan bunda menjelma penduduk asing;
kau masih tertahan dalam rahimnya dan lekang
dipasung binasa; tertuduh, hitam, legam dan membangkang
mengawang-awang kau kehilangan pegangan
memiuh, lumpuh, lalu tergelung kepanasan;
terkulai-kulai layu. terlantar kesiaan. kesakitan.
/vi/
akhirnya, bunda membajak ladang baru
di pusaran selat yang kelat-kesumat
dadanya yang telanjang tak lagi ditumbuhi gunung
dibalut kau menyuling biru surga yang berputar bagai mata air di sepenggal kakinya,
di tapal batas. semakin susut dan menyusut. hilang. ia tiada.
“oh, ibu,” kau embus namanya bagai berpasrah.
milyaran pengabdianmu tersamak bagai batu; dikekalkan ke lembah kepunahan.
di sana, berserikat angin kau menculik surga.
berabad dahaga ibu yang endap pada batang tabah
rimbun pada semula: tualangmu usai.
pondok bulan, maret 2016
Ahmad Ijazi, Juara II Lomba Cipta Puisi Festival Sastra 2016 Kategori Umum
ANNUQAYAH
Annuqayah tegap berkibar
Tetaplah sinar menebar
Menepuk-nepuk dada Madura
Di ubun-ubun kota
Ki Syarqawi di keabadian
Terpatri dalam senyuman
Mahkota Guluk-guluk
Kekal dalam peluk
Annuqayah, Annuqayah!
Seabad lebih telah
Berdiri merangkum mimpi
Belai batin para santri
Langitmu menyiram tulus
Jiwa-jiwa nan tandus
Doamu bintang-bintang
Di sanalah kami berenang
Annuqayah, Annuqayah!
Cahaya surga merekah
Kami petik cahaya itu
Kami tanam di gelap kalbu
Dengan cara tunduk-patuh
Di bawah tangan-tangan pengasuh
Annuqayah hamparan laut
Kami berlayar menantang maut
Mana ikan mesti dipilih
Mana mutiara harus diraih
Nyanyian Tuhan teduh mengalun
Bibit puisi tumbuh santun
Kitab kuning berdenting-denting
Organisasi saling membising
Nazaman mengguyur siang-malam
Debat mengkoyak-koyak alam
Kaligrafi membatik cakrawala
Esai berpetasan di udara
Annuqayah, Annuqayah!
Deraslah barokah, deraslah!
Namamu adalah zimat
Genggam erat agar selamat
Daviatul Umam, Juara III Lomba Cipta Puisi Festival Sastra 2016 Kategori Umum