Anda di halaman 1dari 18

LAMPIRAN PUISI LOMBA PADA DIES NATALIS KE-7 FIB UHO

A. KATEGORI MAHASISWA

SAJAK SIDIN LA HOGA

KABANTI KAMBA-KAMBA WOLIO

Pagi ini bila murhum terrapati,

Dan sudut-sudut kota kutelusuri.

Asing, seperti kota mati.

Ada selaksa merindu

Satu cerita kamba-kamba wolio

Menyemarak-serikan tana butuni

Ada selaksa hasrat

Latunkan kidung kabanti wolio

Menggema-gaungnya kepenjuru negeri

Hanya jerit anak-anak dipesisir baruta

Seperti mengiba budaya:

Lempar om, buang om, koin recehnya bos!

Meredam jerit leluhur

Yang gentayangan dari alam kubur

Karena sejarah kian mengabur

Dimana: " tapoangka-angkataka, taposau-sauaka,

tapomae-maeaka, tapo pia-piaraaka"

Ikrar yang terpancang kokoh

Di empat tonggak Istana Malige


Atau "kabarkatina tana wolio"

Sumber keajaiban tetua-tetua kita dulu

Kuurai-urai di silsilah raja-raja buton

kurangkai-rangkai di kemegahan tembok keraton

Kugali-gali di kedalaman pusar bumi

Kucari-cari di kibaran bendera mesjid

Badia Kukaji-kaji dalam huruf arab gundul

Namun tak kupahami lagi maknanya

Pagi ini, bila murhum terlewati

Akan terus kulantunkan kidung itu

Agar bolimo karo somanamo lipu

Bukan sekadar prasasti bisu

Buton, Maret 1995


SAJAK LA ODE GUSMAN NASIRU

MENANTI WA ODE DI PANTAI KAMALI

/1/

bilakah kelak kita bertemu?

angin menerbangkan kemari arah layarku,

gerimis berwarna mendung menimangku menjadi rupa-rupa

ikan terbang, sauh, dan jala

para nelayan mendayung perahu

melahirkanku menjadi anak tiri dalam halaman catatan riwayat

/2/

bilakah kelak kita bertemu?

setiap jengkal mimpi menggarami asin perjalanan

setiap perjalanan acap kali bermuara pada konstelasi labirin dalam hitungan

rumit kuldesak dan dinding-dinding beku menujah matahari hangat

senantiasa tandus bahu Wolio, tanahmu

sengaja aku menunggu di sini, serupa jompo mengingat kalkulasi usia

dengan peta sederhana dan agenda bertanggal sekian

cuaca menerbangkan salam kangenku hingga ke puncak Palagimata

tapi kau tersesat di ceruk entah yang mana

/3/

di sini kau kutunggu,

landai Pantai Kamali

ini proyek digagas bertahun lalu

manakala aku ingat kau sebagai kabua-bua

saban sore mencari kerang, ikan-ikan kecil, keong, menari seiring napas gelombang

sewaktu para buruh selesai menanam peradaban di kedalaman kotamu


kita beranjak dewasa dan mulai mengerti betapa

rindu tidak mudah diterjemahkan

menjadi sepucuk surat atau puisi dalam diary

padahal cinta adalah bunga, tumbuh mekar di jantung

tiada seseorang mampu memetik kecuali kekasih yang dikirimkan langit

atau terbuang dari serapah masa lalu

/4/

jalan-jalan ramai. kotamu dipenuhi tumbuhan tungkai dan telapak

jejak-jejak nyaris melelehkan kutukan masa lalu

melemparku menjadi seorang penyendiri

mengunyah resah ciptaan mimpi-mimpi

di sini, di sepanjang gigir pantai

menunggu dalam sekian penantian yang berulang-ulang

dalam sekian rembulan

kandas tertancap puncak patung La Falihi

hingga kau cukup usia keluar dari rahim suo

menjelma kalambe

siap dipersunting lelaki pilihan ayah

ditasbihkan parika, para bisa, serta tetua

sedang aku sebatas anak tiri diingkari sejarah

besar dalam lingkar kelam bertumpuk-tumpuk ingatan para tetangga

tentang kedua orang tuanya

/5/

asap dupa dan serpihan adat melaknat pertemuan kita

aku tahu kau tahu itu

sebab bayang-bayangmu mengangguk lesu

di tepian pandanganku

wangi laut dihirup kekar patung naga


bilakah kita bertemu, tentu aku masih bertanya

jangkar telah kulabuhkan di tepian pelabuhan

Murhum dan lelaki pantang urung, pantang menyesali

untung

hidup terlampau singkat untuk sekadar menjadi seorang pecundang pun pemurung

/6/

orang-orang ramai menyumpahiku sebagai dia yang tak diakui silsilah

kenangan merambah dada lelaki dewasa dan menumpulkan kelelakiannya

di tengah taman kota kau berjalan dengan kekasih

ia elus buncit di penampang perutmu

matahari sore menghujani ini tanah dengan kemahaan sunyi berwarna tembaga

kunang-kunang seribu roman hinggap di pepohonan menyerbu masuk ke

rongga mata

liang telinga

saluran penciuman

menyumbat segala lubang

berubah belatung dan lalat hijau

baunya bangkai mencabik seluruh ruh

/7/

bilakah aku akhirnya memutuskan tak ingin bertemu?

bulan juli bergelinding merasuki mata putrimu

dalam gendongan

cantik persis ibunya

kalau pengembaraan berakhir bukan di ranjang

pengantin kuanggap ini sebagai penghabisan

jangan kenangkan

aih, Wa Ode
cinta yang menggebu

jiwa yang mabuk kepayang sinar matamu

rambut lurus santan kelapa, kulit mulus baluran kunyit dan tepung beras

biarlah membusuk di saku kiri

tepat di pusara jantung

kupetik setiap ranum purnama tumpah di Pantai Kamali

setiap kupijak puncak-puncak bukit serupa Palagimata

atau tandus tanah lain yang mungkin disuburi falsafah

dan doa-doa kelak,

jika kita bertemu, aku tak ingin kau berkata apa-apa

Kendari, 20 Maret 2012

SAJAK SYAIFUDDIN GANI


KONAWE, PINTU YANG TERBUKA

:Untuk Firman Venayaksa

Di Konawe, pintu-pintu selalu terbuka

Menganga dan mengulum yang terluka

Siapa yang bertandang, disongsong aduhan gong

Oleh tangan tak nampak, oleh hati tak berjarak

Di Konawe, jendela-jendela selalu terjaga

Sebab di sini, masih terdengar suara tetangga

Darah dan gembira masih satu rumah

Sesiapa bernafsu ganjil, di leher kerbau, syahwatnya terjagal

Jika luka leleh, dicuci di arus Sungai Konaweeha

Menjelma pohon-pohon abadi di hutan Lambuya

Jika pisau hunus, menjelma air doa-doa

Menjadi ketabahan Yunus di lingkar Kalosara

Dingin api di mulut Pabitara

Tetapi jika aib terburai, kampung ditangisi sembilan sungai

Semua diam, luka jadi mendiang, berdarah dalam

penyembelihan dalam penyaliban Mosehe Wonua

Kawan, engkau tertawan di sungai Nun

Engkau bidik hilir, di lensamu sungai diseberangi Hidir

Kita terpana purnama segi empat, sebuah alamat

Lensamu takluk di isyarat yang tak tampak

Di langit Konawe, negeri serupa alam hikayat

Wahai jika ada yang bertandang

Orang Tolaki molulo, mengekalkan kedatangan


Bergenggaman jari-jari, bersahutan mata kaki

Mata dan tubuh beradu dalam rakaat gerak

Kelenjar syahwat memuih bersama dengusan keringat

Lenguhan gulita memekat, merajam malam yang sekarat

Seumpama bumi andaikan matahari

Merayakan hari Penciptaan

Wahai jika ada yang pergi

Pongasih amsal kepahitan sang kekasih, kebeningannya yang tandas, mengair jadi rasa belati

Direguk, mengabadikan kehilangan

Tapi di tiap pertemuan dan perjamuan

Namamu disebut sebagai Oheo sebagai

Anaway

Menjelma Oanggo, lagu abadi dalam darah dalam sejarah Konawe

Di hari penciptaan Konawe, bumi leleh

Oheo kekalkan silsilah cintanya menjadi syair pedih Pabitara

Anaway awetkan perawan dan rajah tubuhnya menjadi bandul Kalosara

Meski tubuh dan darah, memutih memerah, di anyir silsilah, di kesumat sejarah

Agar di Bumi Konawe, sirna burai barah, doa darah, selamanya

Konawe, 24 Juni 2013


SAJAK SARTIAN NURIAMIN

MBUE

Kubayangkan
Ada dalam pelukmu sekali lagi
Mengulang dongeng hutan dan sungai tempat asalmu
Ketika tanganmu menyiasati perkara di rambutku
Begitu juga kau lincah menjalin kisah kusut
Ikhwal rinduku nantinya

Oh Tie, menjadi perempuan adalah menjadi Wekoila


Tegar menyambut keputusan langit yang membawanya turun ke bumi
Pernahkah engkau berpikir darimana kalo bermula?
Ketika emas darah dileburkan dan air mata perak menjelma hujan
Menjadi perisai bagi saudara yang berat ia tinggalkan
Menjadi perempuan tidak hanya cantik sebagaimana Anawai
Yang tetap mengharap langit meski ia begitu dicintai
Janji yang terluka membuka keangkuhan
Namun memupus segala kenangan
Mengapa ia masih saja tetap pergi?

Kini senja turun menyentuh wajah kota


Gilang kemilau terang memberkas lorong masa
Ilusi berbisik ke sebelah pada kenyataan
Dimana tepi rindu gagap tubuh musnah kegagahan
Kanak-kanak menyatu
Aku memilih dewasa yang tiba
Sunyi menengok halaman kosong waktu
Dan perempuan-perempuan itu masih saja tersenyum padaku

Mbue, Mbue
Sabilambo, 05062015
Mbue: dalam bahasa tolaki berarti kakek, atau penggilan kepada laki-laki yang sudah sangat
tua

SAJAK WA ODE NUR IMAN

NABHALAMO NAMANDEMO

:Kepada gusman dan Cucum Cantini

Nabhalamo, namandemo natikambo-kambowamo.

Nabhalamo, namandemo natikambo-kambowamo.

Besarlah nak, pintarlah anakku

Kelak kau jadi buah bibir di mana-mana

Dipanggil kemana-mana

Dikenang sepanjang jalanmu

Adalah doa-doa dalam senandung setiap ibu

Dalam ayunan dan gendongan

Perempuan yang tumbuh di pulau karang

Tempat kandas kapal saweri gading

Di Selatan Pulau Muna

Adalah doa orang tua bagi anak-anak

Terus senandung siang dan malam

Jangan lekas dewasa

Berlarilah di atas cadas batu-batu

Di hamparan embun yang dingin dan menusuk

Padang rumput yang sesekali menyala

Akar pohon-pohon yang sebentar lagi jadi beton


Menarilah ikuti kepak sayap kupu-kupu

Beriringan siul burung-burung di balik gunung batu karang

Geliat di antara pohon ubi kayu yang dititip di bawah kolong dan atas loteng

Jangan cepat besar anakku

Basuh tubuhmu dengan bara panas matahari

Debu lapangan perkelahian kuda

Biarkan air hujan menghantam tubuhmu

Dan kau menggigil lalu memanggil-manggil ibu dan ayahmu ke dalam mimpimu yang gelap

juga purba

Paculah kuda warisan nenek

Di bawah bayang-bayang kaghati kolope

Lalu biarkanlah matamu mengunyah silsilah di Liang Kabhori

Seperti hidup yang menggaramimu dengan asin falsafah yang ditiupkan Lakilaponto kepada

tujuh turunannya

[Hansuru-hansuru bhada sumano kono hansuru liwu

Hansuru-hansuru liwu sumano kono hansuru sara

Hansuru-hansuru sara sumano kono hansuru adhati

Hansuru-hansuru adhati sumano kono hansuru

agama] Hingga Buton dan Tolaki berpeluk di bawah

titahnya

Tetapi kemudian tambang-tambang tanpa izin mencuri tanah kita di

Konawe Hantu-hantu meludahkan sampah di laut wakatobi

Ikan-ikan tak mengapung dan penguasa lautan mmenangis

Batang-batang sawit menggantikan hijau tanahmu

Siul burung pagi berganti deru mesin pabrik hingga berganti pagi

Nabhalamo, namandemo natikambo-kambowamo


Nabhalamo, namandemo natikambo-kambowamo

Doa-doa yang lebih luhur dari sekadar puja-puji dan penuh pura-pura

Seperti karnaval yang kosong dan paling ompong

Kendari,

September 2019
B. KATEGORI PELAJAR

SAJAK SENDRI YAKTI ABDULLAH

IDUL ADHA ODEKU

Hari raya ini

Aku ingin mencium punggung tanganmu lebih dalam dan lama

Mengecup kedua pipimu yang tirus dan mulai kehilangan sinar

Mencari bulat mata juga lentik hidungku di wajahmu

Sesuatu yang membuat kita begitu tak terelakan

Duhai odeku

Akulah kalambemu

Yang kerap kau basuh ubun-ubunnya dengan wudhu tahajudmu

Sebelum kau genangi sajadah dengan airmatamu

Akulah kalambemu

Yang tak pernah lunas membayar doamu

Hanya bisa membelikan kopiah dan sajadah baru untuk hari raya.

Duhai odeku

Nyanyikan aku kabhanti

Lafazkan aku zikir

Lalu biarkan aku tenggelam

Dalam rintik-rintik matamu

Kendari, 2009
SAJAK IWAN KONAWE

RITUS KONAWE

Kubiarkan engkau larungkan tubuh di iring-iringan tarian

Terbenam di dalam palung jantung Lulo

Kubiarkan engkau menjamah tradisi Haluoleo

Yang hampir ranggas

Menghentak-hentakkan bumi, seperti bercakap

Kepada rahasia ritus Konawe

Rahasia gelombang sukma orang Tolaki yang mengubur waktu

Kawanan penabuh genderang yang bergerombol

Melarikan gelegar karandu yang saling

berperang Tiba-tiba kau roboh sambil menyeka

derai luka Membakar dupa dan menyebar doa

Serupa Tonomotuo upacara Mosehe

Bersila dengan guratan wajah misterius, dengan Kalosara

Meletakkan upacara sederhana

Mereka menyeka gelisahnya sendiri

Pada sisi doa, kerbau putih, dan juga kumandang

Tangis tikaian

Adakah ritus Mosehe itu

Telah meluruhkan pikiranmu

Hingga sebelum fajar menyeruak ke bumi anoa

Kau sudah lebih dahulu bergetir

Meronta-ronta berhasrat di tanah leluhur

Kendari, 2013
SAJAK DEASY TIRAYOH

KAGHATI KOLOPE

Angin terhuyung menarikan kaghati kolope

Kaki-kaki menapak setumbuh lapang serta raut sedu sedan

Ada wangi serat nanas hutan ditarik ulur genggaman

Bilah bamboo menisik kelindan dedaun gadung

Berlembar-lembar serupa Tuhan menitip kisah

Riwayat yang bersekutu dengan kelana waktu

Sementara sendu angin mondar-mandir di dinding gua Liang Kobori

Salinlah dengan mata

Sebentuk lukisan layang-layang purbakala sedang mencatat kitabnya sendiri

Maka, biarkalang jatuh tersungkur

Oleh angin yang lunglai atau temali yang lalai

Ia telah melanglang menantang umur

Sedemikian panggung alam bijak membumi

Sebab sejarah dan musim angin di desa

Sama bersahaja

Sultra, 2014

Kaghati Kolope: layang-layang berbahan daun kolope (gadung) dari pulau Muna yang

disinyalir sebagai layang-layang tertua di dunia.


SAJAK NURDAHLIA SIMBA MANNA

SISA CERITA DI PUASANA

Di Puasana ada sisa cerita nelayan

Yang tertimbun batu-batu di pekarangan

Tentang mantra cuaca yang tak lagi dibaca

Bisik angin laut

Juga kerang di saat surut

Dulu, di sana

Orang-orang setia menebar jala

Kala ombak datang dan pergi

Buih-buih kecil datang menghampiri

Ia membawa pesan serta harapan

Menghapus rindu serta rasa lapar

Karena ikan menjelma beras dan garam

Karena ikan mata jadi cekung dan menghitam

Kala ombak datang dan pergi

Terdengar pula langkah kaki di atas pasir

Sedangkan angin terus saja mendesah

Pada wajah yang bersemu gelap

Terbakar matahari tersiram air garam

Laut adalah rumah bagi Puasana

Pemberi rezeki serta harapan di sana

Kendari, 2016-2017
HALUOLEO

OLEH : OKTARISMAN BALLAGI 2011

Langkah tetap nan wibawah

Genggaman Badil di Jermari Kekar

Menyatukan Jiwa dalam Sembilu Tajam

Tebas silam di Bumi Wonua Sorume

Hadapi Rongrongan Bela Negeriku

Sosok sang Panglima Kerajaan

Benak Pikiran, Wawasan Cakrawala.

Mempertahankan Tanah Tolaki, Tanah Mekongga, Tanag Muna,

Sampai ke ujung Tanah Wolio.

Emban Tugas yang berbudi sakti

Jiwa Patriot melekat di dada

Siapa…!!! Dan Siapa Engkau…?!

Benak bertanya Sang Panglima

Aku dalam Sejarah Negeri ini

Mereka Mengenal… Aku…!!

Murhum di Buton, Laki Laponto di Muna, dan Haluoleo di Bumi ini

Rangkaian Sejarah Telusururi Jejakku

Hingga menorah Tinta Emas Negeriku

Haluoleo sang prajurit benteng Negeri

{ Tamakali Pobendena Wonua }

Jadilah kau Figur Batinku

Warisan Kepemimpinanmu terpatri dalam semangatku

Hai… Pewaris Tahta yang bijak, Sabar, Rendah, Tabah, juga Halus.

Namun kau tetap tegar berani, kuat, dan pantang menyerah.


Haluoleo… Namamu terawang rongga batin insane

Membuka tabir peristiwa, tradisi hidupku,

Nama besarmu generasi memujamu

Jadilah kau pejuang negeriku

Jadilah panutan di negerimu

Jadilah pahlawan yang kekal abadi

Anda mungkin juga menyukai