Anda di halaman 1dari 3

Jamal T.

Suryanata

SEMESTA RINDUKU

bukankah telah kautebarkan ayat-ayatmu, kekasih

dari negeri bersulam kabut bertatah intan rahasia

kepada pekat malam yang menanti purnama tiba

kepada laut biru yang menekuri amuk gelombang

kepada langit jingga yang merelakan matahari senja

kepada segala perindu yang lelah mengeja dunia

bukankah telah kauembuskan api cintamu, kekasih

yang melepas burung-burung pada liar

kepaknya

membiarkan dingin sungai mengekalkan

arusnya

menciumi aroma bunga di jelang layu

kelopaknya

mendahagakan kapal mimpi di lepas

jangkarnya

melarutkan berjuta kata bagi para penyair gila

ya, kekasih, akulah musyafir yang haus

belai cintamu

akulah penyair yang gila pada keindahan

bahasamu

ya, kekasih, kalau kau memang sedekat

urat leherku

mengapa gelora rindu ini tak pernah terlunaskan?

Pelaihari, 12 Februari 2010


Micky Hidayat
LANSKAP KOTA

Kota adalah arca Inilah kota


Ukiran tangan-tangan manusia Kota tua, penuh jelaga
Semakin renta ditelan usia Seorang penyair yang hidupnya terpenjara
Tinggal kerangka dirayapi jelaga Senantiasa meratapi nasib kota
Kota adalah bangkai
Dalam cemas dan duka
Mengambang diseret arus sungai
1984
Terkapar sia-sia di jalan-jalan sangsai
___________
Digilas roda kehidupan tak pernah damai
*haram manyarah – ”haram manyarah, waja
Kota adalah tonggak yang patah sampai ka puting” adalah
Terpancang angkuh di tanah haram manyarah* semboyan perjuangan Pangeran Antasari
Berulangkali berubah wajah – Pahlawan Nasional, seorang pejuang
Tapi gurat-gurat luka semakin parah kemerdekaan Kaliman

Kota pun berdarah


Kota bagaikan diserang wabah
Malu dipandang tapi mau dijamah
Sibuk berbenah, latah bermegah-megah
Inilah kota
Kota yang tertikam beribu anak panah
Kota yang terbakar api amarah
Kota terkutuk! yang ingkar atas sumpah
Lupa peradaban, lupa sejarah
Inilah kota
Bagaikan asap, kabut, dan sampah
Mengundang gairah orang-orang saling
meludah
Kota pun basah
Hanna Fransisca
KAPUAS
Air Kapuas menyapa dedaunan kering di lidah hitam berkerak menjulur panjang.
Aku mencari jejak perawanku yang diterbangkan gagak menuju hulu.
Riuh sepanjang tepian tempat leluhurku mengajari mandi sebelum tiba umur berahi.
Air mengalir. Mengalir.
Kotoran ngambang, cerlang cahaya siang, peri dan mambang yang mencuci pipiku pagi dan petang.
Kini di genap umurku, kucari kembali
bulu dan rambut yang ngalir bersama gurauan lelaki di seberang kali.
Dadaku tumbuh setiap hari.
Para gadis yang malu-malu, melumuri kulit agar terang purnama.
Bunga bakung daun kecubung. Bunga yang nyangkut di bunga kastuba.
Ibu bilang jika gadis tiba matang. Pergilah ke laut mencari pandang.
Bebek-bebek. Kayu dan ranting. Tepian air.
Air mengalir. Air mengalir. Kubangun jembatan
dari perih napasku, asin ludah pahit daki moyangku
mengalir lurus menuju laut, mencari tanah baru
tempat kekasih melabuhkan cinta. Menemu daratan rindu
tempat membuang segala sendu.
Aku berdenyar dalam sedih dermaga kayu.
Aku bersijingkat pada pilu bayang perahu.
Aku mengadu di atas sahdu rindang perdu.
Dalam gelap bulan sinting aku bilang:
besok aku pergi dan kembali menjelma bidadari.
Sungai yang beku, ataukah waktu kejam melaju
menuju hulu? Bau lumpur lantaran jejak ibuku ataukah
gelap bajuku karena rindu?
Air mengalir. Mengalir.
Kapuas menjelma hantu seperti dulu Hitam nasibku, hitam nasibku, menderas angina
Menuju samudera biru

Anda mungkin juga menyukai