0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
49 tayangan3 halaman
Tiga puisi berbeda dibahas. Puisi pertama menceritakan seorang kekasih yang merindukan cinta kekasihnya. Puisi kedua menggambarkan kota tua yang rusak termakan usia. Puisi ketiga menggambarkan seorang gadis yang mencari jejak masa lalunya di tepi sungai Kapuas sambil bermimpi pergi ke laut.
Tiga puisi berbeda dibahas. Puisi pertama menceritakan seorang kekasih yang merindukan cinta kekasihnya. Puisi kedua menggambarkan kota tua yang rusak termakan usia. Puisi ketiga menggambarkan seorang gadis yang mencari jejak masa lalunya di tepi sungai Kapuas sambil bermimpi pergi ke laut.
Tiga puisi berbeda dibahas. Puisi pertama menceritakan seorang kekasih yang merindukan cinta kekasihnya. Puisi kedua menggambarkan kota tua yang rusak termakan usia. Puisi ketiga menggambarkan seorang gadis yang mencari jejak masa lalunya di tepi sungai Kapuas sambil bermimpi pergi ke laut.
kepada langit jingga yang merelakan matahari senja
kepada segala perindu yang lelah mengeja dunia
bukankah telah kauembuskan api cintamu, kekasih
yang melepas burung-burung pada liar
kepaknya
membiarkan dingin sungai mengekalkan
arusnya
menciumi aroma bunga di jelang layu
kelopaknya
mendahagakan kapal mimpi di lepas
jangkarnya
melarutkan berjuta kata bagi para penyair gila
ya, kekasih, akulah musyafir yang haus
belai cintamu
akulah penyair yang gila pada keindahan
bahasamu
ya, kekasih, kalau kau memang sedekat
urat leherku
mengapa gelora rindu ini tak pernah terlunaskan?
Pelaihari, 12 Februari 2010
Micky Hidayat LANSKAP KOTA
Kota adalah arca Inilah kota
Ukiran tangan-tangan manusia Kota tua, penuh jelaga Semakin renta ditelan usia Seorang penyair yang hidupnya terpenjara Tinggal kerangka dirayapi jelaga Senantiasa meratapi nasib kota Kota adalah bangkai Dalam cemas dan duka Mengambang diseret arus sungai 1984 Terkapar sia-sia di jalan-jalan sangsai ___________ Digilas roda kehidupan tak pernah damai *haram manyarah – ”haram manyarah, waja Kota adalah tonggak yang patah sampai ka puting” adalah Terpancang angkuh di tanah haram manyarah* semboyan perjuangan Pangeran Antasari Berulangkali berubah wajah – Pahlawan Nasional, seorang pejuang Tapi gurat-gurat luka semakin parah kemerdekaan Kaliman
Kota pun berdarah
Kota bagaikan diserang wabah Malu dipandang tapi mau dijamah Sibuk berbenah, latah bermegah-megah Inilah kota Kota yang tertikam beribu anak panah Kota yang terbakar api amarah Kota terkutuk! yang ingkar atas sumpah Lupa peradaban, lupa sejarah Inilah kota Bagaikan asap, kabut, dan sampah Mengundang gairah orang-orang saling meludah Kota pun basah Hanna Fransisca KAPUAS Air Kapuas menyapa dedaunan kering di lidah hitam berkerak menjulur panjang. Aku mencari jejak perawanku yang diterbangkan gagak menuju hulu. Riuh sepanjang tepian tempat leluhurku mengajari mandi sebelum tiba umur berahi. Air mengalir. Mengalir. Kotoran ngambang, cerlang cahaya siang, peri dan mambang yang mencuci pipiku pagi dan petang. Kini di genap umurku, kucari kembali bulu dan rambut yang ngalir bersama gurauan lelaki di seberang kali. Dadaku tumbuh setiap hari. Para gadis yang malu-malu, melumuri kulit agar terang purnama. Bunga bakung daun kecubung. Bunga yang nyangkut di bunga kastuba. Ibu bilang jika gadis tiba matang. Pergilah ke laut mencari pandang. Bebek-bebek. Kayu dan ranting. Tepian air. Air mengalir. Air mengalir. Kubangun jembatan dari perih napasku, asin ludah pahit daki moyangku mengalir lurus menuju laut, mencari tanah baru tempat kekasih melabuhkan cinta. Menemu daratan rindu tempat membuang segala sendu. Aku berdenyar dalam sedih dermaga kayu. Aku bersijingkat pada pilu bayang perahu. Aku mengadu di atas sahdu rindang perdu. Dalam gelap bulan sinting aku bilang: besok aku pergi dan kembali menjelma bidadari. Sungai yang beku, ataukah waktu kejam melaju menuju hulu? Bau lumpur lantaran jejak ibuku ataukah gelap bajuku karena rindu? Air mengalir. Mengalir. Kapuas menjelma hantu seperti dulu Hitam nasibku, hitam nasibku, menderas angina Menuju samudera biru