bening sungai, pucuk-pucuk kesedihannya terpahat di gigi pisau, dimana mimpimu jadi padas seperti kerikil, ajal yang tak sempurna; kau bayangkan potret perempuan putih, dari tanah lapangamu: air mata, kilau cahayanya, sunyi membunuh lekukan jalan dan sisa hasrat; dunia ini seperti kaleng-kaleng kosong, ketika kenangan jadi sederhana, di jalan landai dalam tidurmu sosokmu kulihat tengah memanggul kayu, menyadari makna yang hanyut di sungai senyummu lebih menyala dan menjuntaikan lengan-lengannya; telusuri lagi ingatanmu, undakan jalan yang menukik; masa lalu adalah akhir dari sungai ketika senja; hanyutkan perasaanmu pada hening kelak kau menjelma ikan-ikan mati, tapi tak kutahu arah tatapanmu, seperti sifat dari kedalaman air, lidah percakapan kita tak hendak usai di dingin malam; di atas perahu kita menjadi tua oleh peradaban; tatapan kita tak menyadari apa yang tersirat dari penggalan sajak, dimana hening mulut hujan membentuk keajaibannya, seperti musim yang terkubur oleh pelapukannya.