Anda di halaman 1dari 8

PUISI KATEGORI REMAJA

Raja Kampung
Karya Sabrot D Malioboro

Di sebuah pesta
Langkah gontai bau arak
Dilindung ladang jagung
Menyongsong nyanyi dan tari

-Jangan kembali, sang tamu!


Reguk segelas air sutera

+Raja, meramal tak kenal orang tua


Yang mati luput kecewa

Cahaya redup rembulan jadi


Menempel badan tanpa baju

Hutan pina menuding kita berpaling


Terasa denyut dada sinar mata

Getar nadi sang pengembara.

2009
Naga
Karya Arif B Prasetyo

Terbang. Terkam aku dalam igaumu!

Naga: seringan taklimat perang, bergulung sepanjang petang, denting logam


hari-hari yang bertarung di angkasa. Kusaksikan tameng-tameng cakrawala
tergelimpang. Sayap-sayap. Sepasang dayung terayun kencang

meluncurkan lesung perak yang memecah ke arahmu, gugup


menyinggung mendung, batas langit yang tenggelam, mengerang
bagai layar-layar hujan, terentang penuh, menampar buih yang

kadang gaduh. Kadang bimbang. Dan menghilang


atau curah memerahi matahari pelupukku yang mengambang
sepenggalah, pada punggung lembut laut.

Matahari-matahari:
Desir cermin kata-hati.
Ludah pasir disemburkan
paruh burung-burung buta
yang terlepas dari
lengas. Dari cemas
cahaya silam
dan sisik tasik
mata kakimu.

Di jantungku kau menyelam. Menyeringai dan meraung


dalam tidur seseorang yang terbaring pada pasang. Bugil badan
berkilauan, menggelepar mandi garam dan disambar

kelenjarnya dengan taring-taring lumut di mulutmu.


Hingga sesat mata kail jadi ngeri membayangkan
gigil rahang: bagaimana gusi pecah

bibir hancur menjilati girang hidup yang mencekam. Lezat lidah


yang menari, terbang tinggi, mencengkeram bahang nadi
kata-hati yang terhunjam lembing lanun di jantungmu.

1998
Air_Mata_Semar

Karya Rusdi Zaki

Semar tidak lagi menangis


Air matanya diperas habis
Diekspor ke kahyangan
Untuk memandikan ksatria
yang gugur di Kurusetra

Ini bukan Kurusetra, Yayi


Lakon carangan Kanjuruhan
Tak ada Baratayuda
Tapi mayat bergelimpangan
Terperangkap mata gelap

Burung kedasih melayat


Cicitnya menyayat di tribun
Kaki-kaki meniti tangga naik
Meregang nyawa
Di pintu-pintu tertutup

Anak-anak tanpa dosa


Membayang wajah kesakitan
Matanya merah memandang kita
Mulutnya terkunci ingin bicara
Ada kutukan terbersit di bibirnya

Beginilah tragedi diturunkan


Air mata Semar menjadi gas
Bukan berupa kentut
yang memancarkan cinta
Justru melahirkan pengecut

Mata Semar kian rembes


Wajahnya murka
Melihat manusia bumi
Berkhianat merampok sunyi
Dari dalam laci meja

#12Maulud1444
Sepucuk Surat
Karya Arthur John Horoni

Selamat malam Surabaya


Tugas kita ialah
Memberi muka pada remaja yang kehilangan muka
Tugas kita ialah
memberi isi pada puisi yang hilang isi
memberi warna pada lukisan yang hilang warna
memberi irama pada musik yang hilang irama
memberi arti pada pidato yang hilang arti
memberi getar pada teater yang hilang getar
Tugas kita ialah
memberi jiwa pada hidup
yang hilang jiwa

Desember 1972
Al-Hayu
Karya Tadjuddin Nur

Yaa Hayu, Yang Maha Hidup


yang kekal tak berawal
dan pasti tak berakhir
yang kekal tidak mengantuk
dan tidak tidur
berdiri sendiri tanpa ada yang mendirikan
tak memerlukan kehidupan
setelah kematian
tak memerlukan kematian
setelah kehidupan

Yaa Hayu
Semesta alam akan hancur lebur
Engkau tidak
seluruh makhluk hidup akan mati
Engkau tidak
segenap yang bergerak akan diam
Engkau tidak
segenap yang bunyi akan sunyi
Engkau tidak

Yaa Hayu
Maha Hidup-Mu
tak sanggup kami pikirkan
alangkah gaibnya.
Surabaya 700 Tahun
Karya Akhudiat

Surabaya yang kau angankan


Surabaya yang kau harapkan
Surabaya yang kau cita-citakan
Bukan yang kau dengar & lihat
Mungkin Surabayamu sudah hilang
Mungkin Surabayamu belum lahir
Surabayamu antara & tiada
& kau pun mencarinya

Di kalimir butek kayak adonan petis diubek


Di sekujur rel yang acapkali berdarah, berjoget, berjudi,
bermani, digusur, dikubur, dijual-beli
Di bekas kampung, dukuh, bulak, tegal, sawah, kedung, tambak
balong, rawa, pasar, kubur, kebun, pegupon, lumbung, gudang,
kandang, benteng, alun-alun, bukit gundul
Di gedung menghantu, halte & setasiun mengkarat, album menua
legenda, dongeng, sejarah, adapt, parikan ludruk,
puji-pujian di surau
Di wajah-wajah kuyu atau semringah berderet sepanjang jalan
menanti bis, bemo & taksi

Wajah kota tidak lagi klasik


Karena kehilangan bangunan antic, kloneng loncang, trem listrik,
trem uap, kereta kuda, perahu Kalimas
Mereka dicampakkan ke jaman & anggapan tak-efesien-tak-ekonomis-
anak-jadah-penjajah
Wajahnya dipermak & diedit a la metropolit
oleh segelintir selera & kepentingan bernama: komersialisasi
Surabayamu jadi bergairah tapi gerah

Aku ketemu Surabayamu di sudut waktu, ia bicara:


“Sebuah kota tak tercipta semalam
Remus & Romulus si kembar susuan srigala tidak membangun
Roma semalam
Kaisar Nero teler pun tidak membakarnya habis
dalam semalam.”

Surabayamu butuh ruang-waktu & waktu-ruang


Sebagaimana proton, electron, atom, molekul, DNA, proteina,
sel, mineral, tumbuhan, hewan, manusia: suatu proses
Kota juga memroses, mengalir, menggejala,
kemungkinan, keniscayaan
Kamu, Surabaya, dengan ruang & waktu,
mengalirlah!

Anda mungkin juga menyukai