Anda di halaman 1dari 7

Sajak Ranjang Tua Perjalanan Dalam Tahajud

Karya: Nurlaili Karya : Emong Soewandi


Kalau tidur memang telah jadi tepian maut
Naiklah keatas ranjang tua Sebelum tikungan maka turunkanlah
Tempat penyair mencari kalam kecepatan
Merenda malam membungkus ratap cahaya hentikan malam sejenak
Pada waktu yang hampir lusuh ke sisian.Tempat petualang sering
menjumpa
Kini boneka kaca telah pecah kekasihnya
Berserak di lantai menyatu tanah biar sebentar singgah untuk ziarahi suka-
Tertoleh sajak abadi duka
Tentang galau dan air mata abadi
dan sekedar bertanya kita pada siapa pun di
Masuklah ke kamar tua ada ranjang tua sana
Tempat penyair merenda kata atau melihat peta kota di persimpangan
Di balik pelupuh pada kebisuannya seperti apa keinginan harus diujungkan

Apakah artinya sementara engkau pun tahu


Mengejar bayang patah bahwa kehidupan adalah jalan raya
Terseok menuju ruang kosong dalam kota yang sibuk ini untuk perjalanan
Dalam mimpi penyesalan panjang
di mana kita selalu perlu kendaraan yang
baik
untuk membataskannya
mari
hentikan malam sejenak
ke sisian. Tempat petualang sering
menjumpa kekasihnya.
Pesan Guru Pada Muridnya
Karya: Amril Canrhas Hanya kau yang pantas memarahi dirimu
Anak-anak, hari ini kalian pergi Agar wibawamu tak berkurang di mata
meninggalkan rakyatmu
kami Kami tak tahan menanggung resiko
Pergilah! Kemarahanmu
Kami telah camkan kalian sebagai anak
sendiri, Nak, kala apa saja
sebagai darah dagimg sel Jadilah Jusuf, kala ia digoda manisnya
otak kami permen
Kepergianmu ini tak mungkin kami halangi Aduhai
Pergilah! Tak pernah lupa diri
Pergilah Nak! Jadilah Jusuf, kala apa saja ia tetap Jusuf
Anak-anak kami tercinta,
Kalau kalian jadi orang nanti, kami ikhlas
Kalian lupakan kami
Tapi kami gelisah kala kalian lupa dirimu
Kalau kalian jadi camat nanti, kami ikhlas
Kalian pungli kami dalam urusan
KTP Dalam urusan bermacam surat
keterangan
Atau izin yang disulit-sulitkan,
Tapi kami gelisah nak, kala kalian lupa diri
Kalau kalian jadi bupati nanti, kami ikhlas
Kalian pungli kami dalam urusan
Naik pangkat, urusan jabatan
Tapi kami gelisah nak, kala kalian lupa diri
Kalau kalian jadi polisi, kami ikhlas kalian
Pungli kami dalam urusan SIM
Dan bermacam surat keterangan, tapi kami
Gelisah kala kalian lupa diri
Kalau kalian jadi gubernur kami ikhlas
Kendaraan kami harus minggir atau
Stop sampai masuk siring saat kau lewat
Bersama rombongan terhormat mu
Kmi ikhlas kalian tak menghargai kami, tapi
Kami gelisah nak, kala kau lupa dirimu
Kalau kalian jadi presiden atau wakil, kami
Ikhlas kalian marahi kami di depan kamera
Televisi yang disaksikan oleh beruta
rakyatmu,
Agar wibawamu bertambah di mata
rakyatmu,
Tapi kami gelisah nak, kalau kau lupa diri
Kala kau lupa diri
Selamat Pagi Bengkulu
(Herman Suryadi)
Tiba-tiba sehabis rinai hujan
Aku ingin menyapamu
Bukan karena rinduku menggebu
Aku sayangku selalu padamu
Tak ada pemandu
Membuka bisuku berpadu

Terimalah salam sapaku


Lewat jemari sepuluh bersembah
Rapat menghormat
Menengadahkan kepala
Menjulang cita dan rasa
Berserak dalam teriak

Bersoleklah wahai si molek


Agar bukan aku seorang datang
Mengatar sapa dan sembuh
Membawa bibit semai disini
Bangkitkan ingatan pada arwah
Para leluhur yang terkubur
Di alam kubur menantimu

Tiba-tiba setelah huru-hara reda


Aku ingin menyapamu
Lewat tangan halus dan mulus
Atau ombak pantaimu yang ramah
Mengundang gairah
Perawan desa nan pasrah

Terimalah salam sapaku


Lewat tetes tumpah darahku ditanahmu
Jangan biarkan aku berpaling
Ke negeri lain yang ramah
Membus kalbuku
Setiaku masih padamu

Bengkuluku Sayang
(Sudjiono Martojo)

Terima kasih tuhan


Ucapan tulus seorang kakek
Bengkulu
Negeri indah, subur dan kaya
Tapi saat ini di ujung senja
Sungai kehilangan airnya
Hutan kehilangan pepohonan
Belantara kehilangan marga satwanya
Tambang kehilangan galiannya
Dikuras
Ludes
Tandas
Kini mereka pergi
Bawa duit berpeti-peti
Tinggallah Bengkulu
Dengan sejuta sendu
Rakyat mengais hidup
Dari sia-sia

Untuk Tuan dan Nyonya Pembohong


(Alqobrian Syah)

Matamu merah tuan


Wajahmu pucat nyonya
Lihat palu itu
Tahukah kau gunanya?
Hukum akan memangsamu

Ya. . .
Kami tak tau
Tapi. . .
Tuan dapat membelinya
Nyonya dapat membayarnya
Ya. . .
Kami tak tau
Telinga kami telah tersumpal
Tertutup dengan kebohonganmu tuan
Tapi kami dengar
Ya. . . kami tau
Semua tau
Kau kan malu

Guru
Ridwan Nurazi
Guru, engkaulah cahaya di atas cahaya
Pemberi pencerahan bagi segala
Fatwamu sangatlah mulia
Tidak tertolak secara duniawiyah

Guru, engkau telah membakar nurani hamba


Mensucikan segala yang bernoda
Dalam menggapai cita-cita
Untuk menuju singgasana

Guru, lakumu adalah panutan


Titahmu adalah ikutan
Tegahmu berarti hambatan
Suruhmu adalah amalan

Maha mulia engkau guru


Tempat bernaung segala ilmu

Guru, engkau adalah minyak zaitun yang menyala


Meluruskan makna hidup dengan cahaya
Menggelegakkan cinta yang membara
Membakar bathin hingga fana
Engkau kekasih penuntun makna

Bengkulu, 26 Desember
2005

Inilah Kita
(Karya Nurlaili)

Kita tak pernah tersirat


Bahwa kita makan apa saja
Namun kondisi mengajari kita
Tapi cuaca menina bobo kita

Sebab keadaan mengharuskan kita makan apa saja


Penjabat makan kertas, makan hutan, makan minyak
Makan tanah dan makan hati
Rakyat sendiri

Pengusaha makan semen, aspal, makan batu


makan besi, makan kayu, seng dan genteng
polisi makan pengemudi
rakyat makan geplek

inilah kita yang tak pernah tersirat tuk


makan apa saja
bahwa sebetulnya kita
belum ada benteng pada nurani kita
dan benteng itu masih di selipkan di balik sajadah
September 2005
SEBUAH JAKET BERLUMUR DARAH pelayan?.
karya: Taufik Ismail
Sebuah jaket berlumur darah Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung Dan di atas bangunan-bangunan
Dalam kepedihan bertahun-tahun. Menunduk bendera setengah tiang.

Sebuah sungai membatasi kita Pesan itu telah sampai kemana-mana


Di bawah terik matahari Jakarta Melalui kendaraan yang melintas
Antara kebebasan dan penindasan Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Berlapis senjata dan sangkur baja Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-
Akan mundurkah kita sekarang pawai perkasa
Seraya mengucapkan Selamat tinggal Prosesi jenazah ke pemakaman
perjuangan Mereka berkata
Berikara setia kepada tirani Semuanya berkata
Dan mengenakan baju kebesaran sang Lanjutkan Perjuangan.

HANYA DALAM PUISI Mengetuk pintu demi pintu


karya : Ajip Rosidi Dan tak juga
ditemuinya: Ragi hati
Dalam kereta api Yang tak mau
Kubaca puisi: Willy dan Menyerah pada
Mayakowsky situasi?
Namun kata-katamu
kudengar Dalam lembah
Mengatasi derak-derik menataplah wajahmu
deresi. yang sabar.
Dari lembah
Kulempar pandang ke luar: mengulurlah tanganmu
Sawah-sawah dan yang gemetar.
gunung-gunung Dalam kereta api
Lalu sajak-sajak Kubaca puisi: turihan-turihan hati
tumbuh Yang dengan jari-jari
Dari setiap bulir peluh besi sang Waktu
Para petani yang Menentukan langkah-langkah Takdir:
terbungkuk sejak pagi Menjulur
Ke ruang mimpi yang kuatur
Melalui hari-hari keras dan sunyi. sia-sia.
Kutahu kau pun tahu:
Hidup terumbang-ambing antara langit Aku tahu.
dan bumi Kau pun tahu. Dalam puisi
Adam terlempar dari surga Semuanya jelas dan pasti.
Lalu kian kemari
mencari Hawa. 1968

Tidakkah telah menjadi takdir penyair


IBU
(D. Zawawi Imron)

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau


sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemundian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku.

Anda mungkin juga menyukai