Anda di halaman 1dari 2

Perjalanan Malam Sebuah Jaket Berlumur Darah

karya : Goenawan Mohammad karya: Taufik Ismail

Sebuah jaket berlumur darah


Mereka berkuda sepanjang malam,
Kami semua telah menatapmu
sepanjang pantai terguyur garam.
Telah pergi duka yang agung
si bapak memeluk dan si anak dingin,
Dalam kepedihan bertahun-tahun.
menembus kelam dan gempar angin.

Sebuah sungai membatasi kita


Adakah sekejap anak tertidur,
Di bawah terik matahari Jakarta
atau takutkan ombak melimbur?
Antara kebebasan dan penindasan
“Bapak, aku tahu langkah si hantu,
Berlapis senjata dan sangkur baja
Ia memburuku di ujung itu.”
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’
Si bapak diam meregang sanggurdi,
Berikara setia kepada tirani
merasakan sesuatu akan terjadi.
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?.
Kita teruskan saja sampai sampai,
sampai tak lagi terbujur pantai.
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
“Tapi ‘ku tahu apa nasibku’,
Dan di atas bangunan-bangunan
lepaskanlah aku dari pelukmu.”
Menunduk bendera setengah tiang.
“Tahanlah, buyung, dan tinggallah diam,
mungkin ada cahaya tenggelam.”
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Namun si hantu tak lama nunggu,
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
dilepaskannya cinta bagai belenggu.
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Si anak pun terbang ke sebuah cuaca,
Prosesi jenazah ke pemakaman
“Bapak, aku mungkin kangen disana.”
Mereka berkata
Semuanya berkata
1976
Lanjutkan Perjuangan.
Tidakkah telah menjadi takdir penyair
HANYA DALAM PUISI Mengetuk pintu demi pintu
karya : Ajip Rosidi Dan tak juga
ditemuinya: Ragi hati
Dalam kereta api Yang tak mau
Kubaca puisi: Willy dan Menyerah pada
Mayakowsky situasi?
Namun kata-katamu
kudengar Dalam lembah
Mengatasi derak-derik menataplah wajahmu
deresi. yang sabar.
Dari lembah
Kulempar pandang ke luar: mengulurlah tanganmu
Sawah-sawah dan yang gemetar.
gunung-gunung Dalam kereta api
Lalu sajak-sajak Kubaca puisi: turihan-turihan hati
tumbuh Yang dengan jari-jari
Dari setiap bulir peluh besi sang Waktu
Para petani yang Menentukan langkah-langkah Takdir:
terbungkuk sejak pagi Menjulur
Ke ruang mimpi yang kuatur
Melalui hari-hari keras dan sunyi. sia-sia.
Kutahu kau pun tahu:
Hidup terumbang-ambing antara langit Aku tahu.
dan bumi Kau pun tahu. Dalam puisi
Adam terlempar dari surga Semuanya jelas dan pasti.
Lalu kian kemari
mencari Hawa. 1968

Anda mungkin juga menyukai