Anda di halaman 1dari 2

Cerpen tentang Global Warming

Perjalanan Hidup Sebuah Plastik

Hmm, aroma sate sedap menggiurkan tercium sampai ke tempatku. Aku adalah sebungkus
plastik merah yang dipakai untuk membungkus daging sate ini. Penjualnya adalah Pak Prioto.
Dia seorang yang tua namun baik, ramah kepada siapapun termasuk kepada para pembelinya.
Walau satenya hanya dijual 800 rupiah per tusuknya dia selalu melayani pembeli semaksimal
mungkin. Teman-teman seperjuanganku sudah meninggalkanku.

Mereka telah dipakai oleh Pak Prioto. Betapa senangnya hati mereka. Aku juga mau, Pak!
Derap langkah manusia mondar-mandir melewati gerobak Pak Prioto. Ada kudengar satu yang
menuju ke sini. “Mas, 20 tusuk ya, dibungkus!” Waah, dibungkus?? Semoga Pak Prioto
memilihku, aku sudah tak sabar. Tek..! Kreatt! Pak Prioto telah membungkus satenya dan
diikat dengan karet, kini saatnya menaruh dalam plastik! Kurasakan tangan tua kerut Pak
Prioto menyentuhku, duh geli! Akhirnya, aku dipakai untuk membungkus juga! “Makasih,
Mas, berapa?” “Cukup 16.000, Pak.” Setelah terjadi arus barang dan arus uang kepada yang
bersangkutan, aku segera digantungkan ke stang motor si pembeli. Ia membawa motornya
dengan kecepatan sedang. Aku bisa merasakan angin menerpa wajahku. Alangkah bainknya
majikanku yang ini mereka menempatkanku di sebuah loker yang mana banyak teman
sejenisku disana.

Esoknya, aku diambil lagi, dan kali ini aku dipakai membungkus penganan sederhana yang
akan diberikan kepada fakir miskin. Duh, kuenya berat sekali, hampir saja aku robek. Namun
hal itu tak boleh terjadi! Dan, jadilah aku tetap kuat sampai akhirnya aku berpindahtangan
lagi. Kue-kue diletakkan di piring bening dan aku? Dibuang begitu saja ke jalanan. Belum
pernah aku dihina seperti ini. Bahkan, oleh pak Prioto pun tidak! Tapi, aku tahu, aku tidak ada
apa-apanya. Maka, aku pasrah saja walau aku dicampakkan begitu saja. Aku memulai
petualangan baru lagi. Mulanya, aku sangat ketakutan. Bagaimana tidak? Tidak ada yang
mengacuhkanku, aku sendirian disni.

Aku harus mencari ilalang dan menetap di sana. Aku tak sanggup berjalan lagi apalagi
berpetualang kemudian. Apa daya, ketika ku ingin menuju ke seberang ku terlindas lagi. Kali
ini sebuah truk gandeng. Lagi-lagi ku harus menderita lagi. Bukan main, betapa beratnya
perjuangan hidup di luar sana. Beruntung, ada seorang anak SMA melihatku terkapar di jalan.
Ia menoleh kiri-kanan memastikan pengendara motor berkurang, lalu dengan cepat ia berlari
ke arahku dan menaruhku di tempat sampah. Mungkin ini yang terbaik. Tidak di rumah, tidak
di jalanan, tidak di ilalang, namun di tempat sampah. Ya, tempat penampungan barang yang
tidak berguna lagi. Tapi aku rasa tempat itu jauh lebih terhormat dari pada harus tergeletak
tak terurus di pinggiran jalan.

Dengan tubuhku yang seperti ini, aku bahkan tidak bisa menampung barang seringan apapun.
Aku sudah rusak, bolong tepatnya. Baiknya, hidupku memang di tempat sampah. Sungguh,
hatiku sakit menerima kenyataan ini. Tapi, tak apalah. Yang jelas hidupku kini lebih tenang
daripada aku harus hidup di jalanan penuh siksaan itu. Sebuah gerobak sampah menghampiri
tempatku. Memasukkan seluruh sampah yang ada di dalamnya dan memasukkannya ke
gerobak kayunya. Ia berjalan menarik gerobak bersama aku yang kini akan hidup bersama
kumpulan sampah bau nan kotor.

http://smakito.blogspot.com/2017/10/cerpen-tentang-global-warming.html

Anda mungkin juga menyukai