Anda di halaman 1dari 13

Puisi epik Jante Arkidam

(Karya Ajip Rosidi) Sepasang mata biji saga Tajam tangannya lelancip gobang Berebahan tubuh-tubuh lalang dia tebang Arkidam, Jante Arkidam Dinding tembok hanyalah tabir embun Lunak besi di lengkungannya Tubuhnya lolos di tiap liang sinar Arkidam, Jante Arkidam Di penjudian, di peralatan Hanyalah satu jagoan Arkidam, Jante Arkidam Malam berudara tuba Jante merajai kegelapan Disibaknya ruji besi pegadaian Malam berudara lembut Jante merajai kalangan ronggeng Ia menari, ia ketawa mantri polisi lihat ke mari! Bakar mejajudi dengan uangku sepenuh saku Wedanan jangan ketawa sendiri! Tangkaplah satu ronggeng berpantat padat Bersama Jante Arkidam menari Telah kusibak rujibesi! Berpandangan wedana dan mantripolisi Jante, Jante; Arkidam! Telah dibongkarnya pegadaian malam tadi Dan kini ia menari! Aku, akulah Jante Arkidam Siapa berani melangkah kutigas tubuhnya Batang pisang,

Tajam tanganku lelancip gobang Telah kulipat rujibesi Diam ketakutan seluruh kalangan Memandang kepada Jante bermata kembang Sepatu mengapa kalian memandang begitu? Menarilah, malam senyampang lalu! Hidup kembali kalangan, hidup kembali Penjudian Jante masih menari berselempang selendang Diteguknya sloki kesembilanlikur Waktu mentari bangun, Jante tertidur Kala terbangun dari mabuknya Mantripolisi berada di sisi kiri Jante, Jante Arkidam, Nusa Kambangan! Digisiknya mata yang sidik Mantripolisi, tindakanmu betina punya! Membokong orang yang nyenyak Arkidam diam dirante kedua belah tangan Dendamnya merah lidah ular tanah Sebelum habis hari pertama Jante pilin ruji penjara Dia minggat meniti cahya Sebelum tiba malam pertama Terbenam tubuh mantripolisi di dasar kali Siapa lelaki menuntut bela? Datanglah kala aku jaga! Teriaknya gaung di lunas malam Dan Jante berdiri di atas jembatan Tak ada orang yang datang Jante hincit menikam kelam

Janda yang lakinya terbunuh di dasar kali Jante datang ke pangkuannya Mulut mana yang tak direguknya Dada mana yang tidak diperasnya? Bidang riap berbulu hitam Ruastulangnya panjang-panjang Telah terbenam beratus perempuan Di wajahnya yang tegap Betina mana yang tak ditaklukkannya? Mulutnya manis jeruk Garut Lidahnya serbuk kelapa puan Kumisnya tajam sapu injuk Arkidam, Jante Arkidam Teng tiga di tangsi polisi Jante terbangun ketiga kali Diremasnya rambut hitam janda bawahnya Teng kelima di tangsi polisi Jante terbangun dari lelapnya Perempuan berkhianat, tak ada di sisinya Berdegap langkah mengepung rumah Didengarnya lelaki menantang: Jante, bangun! Kami datang jika kau jaga! Datang siapa yang jantan Kutunggu di atas ranjang Mana Jante yang berani Hingga tak keluar menemui kami? Tubuh kalian batang pisang Tajam tanganku lelancip pedang Menembus genteng kaca Jante berdiri di atas atap Memandang hina pada orang yang banyak Dipejamkan matanya dan ia sudah berdiri di atas tanah hei, lelaki matabadak lihatlah yang tegas Jante Arkidam ada di mana?

Berpaling seluruh mata kebelakang Jante Arkidam lolos dari kepungan Dan masuk ke kebun tebu Kejar jahanam yang lari! Jante dikepung lelaki satu kampung Dilingkung kebun tebu mulai berbunga Jante sembunyi di lorong dalamnya Keluar Jante yang sakti! Digelengkannya kepala yang angkuh Sekejap Jante telah bersanggul Alangkah cantik perempuan yang lewat Adakah ketemu Jante di dalam kebun? Jante tak kusua barang seorang Masih samar, di lorong dalam Alangkah Eneng bergegas Adakah yang diburu? Jangan hadang jalanku Pasar kan segera usai! Sesudah jauh Jante dari mereka Kembali dijelmakannya dirinya Hei lelaki sekampung bermata dadu Apa kerja kalian mengantuk di situ? Berpaling lelaki ke arah Jante Ia telah lolos dari kepungan Kembali Jante diburu Lari dalam gelap Meniti muka air kali Tiba di persembunyiannya.

Puisi naratif Narasi Di suatu Pagi


(Karya W. S Rendra) Dan bukan karna,hujan,angin ataupun kemarau Pada peta perjalanan masa jahiliyah Saat khilafah perjuangkan rakyat jelata Dan bukan karna,asa,siksa,ataupun jera Malaikat memjelma bagai seorang peminta Pagi, yang menghujamkan seribu bahasa Dimulai saat ejaan kata tak lagi mengisyaratkan wacana Tercucur sudah darah-darah mengalir di kediaman angan Menghela nafas Embun terasa di kulit tangan.. Menyelinap butiran-butiran harapan Pandanganku hanya tertuju pada langit Tentang keteguhan,moral yang seakan dapat di bayar Nadi ku seakan merasuk otakku Teduh dalam kiasan.. Sendu dalam lamunan.. Embun itu merasuk hatiku Apakah inibukan sekedar narasi Ataukah persepsi.. Dari asa yang tertinggal Dari hati yang berbekal Pagi itu..hanya aku yang tau.. Bunga mekar menakjubkan Angin riang menyanyikan.. Embun datang menyerukan Karna aku masih ada di suatu pagi Karna aku masih bisa bermimpi

Puisi lirik Sia-sia


(Karya Chairil Anwar) Penghabisan kali itu kau datang Membawa kembang berkarang Mawar merah dan melati putih Darah dan suci. Kau tebarkan depanku Serta pandang yang memastikan: Untukmu. Sudah itu kita sama termangu Saling bertanya: Apakah ini? Cinta? Keduanya tak mengerti. Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri. Ah! Hatiku yang tak mau memberi Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

Februari,1943

Puisi dramatik DIPONEGORO


( Karya Chairil Anwar ) Di masa pembangunan ini tuan hidup kembali Dan bara kagum menjadi api Di depan sekali tuan menanti Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. Pedang di kanan, keris di kiri Berselempang semangat yang tak bisa mati. MAJU Ini barisan tak bergenderang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu. Sekali berarti Sudah itu mati. MAJU Bagimu Negeri Menyediakan api. Punah di atas menghamba Binasa di atas ditindas Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai Jika hidup harus merasai Maju Serbu Serang Terjang (Februari 1943) Budaya, Th III, No. 8 Agustus 1954

Puisi didaktik KARAWANG BEKASI


(Karya Chairil Anwar)

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami Terbayang kami maju dan berdegap hati? Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu Kenang, kenanglah kami Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa Kami sudah beri kami punya jiwa Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa Kami cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah kepunyaanmu Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan Atau tidak untuk apa-apa Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kenang-kenanglah kami Menjaga Bung Karno Menjaga Bung Hatta Menjaga Bung Syahrir Kami sekarang mayat Berilah kami arti Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian Kenang-kenanglah kami Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

Puisi satirik Diam Tak Selamanya Emas


(Anonim)

Saat diam tak tertahan Kata-kata meluncur menghunjam deras Tegas tuntas terkadang beringas Siapa yang sanggup membungkam pikiran? Ketika nurani telah dicampakkan dalam kubangan, atau ketika rindu membuncah serapah dan harga diri ditindas terampas tak berbekas Janji tinggal bualan dan dongeng mimpi buruk Lantangkan suaramu sobat, karena diam tak selamanya emas.

Romance KASIH
(Anonim)

Kasih .. aku bukan TUHAN yang bisa memberimu segala yang kau inginkan .. tapi, aku punya cinta yang tak bisa dibeli dengan materi .. kasih.. aku bukan MALAIKAT yang melindungimu disaat engkau terluka.. tapi, aku juga bisa merasakan sakit yang kau rasa.. kasih.. aku bukan putri yang cantik dan sempurna dikerajaan yg megah.. tapi, aku punya kerajaan yang kokoh dihati tempatmu bernaung.. kasih.. aku bukan pahlawan yang bisa memerdekakannmu.. tapi, aku rela berkorban demi kebahagiaanmu.. kasih.. aku bukan siapa yang harus ada dihatimu.. tapi, aku ingin cinta dan kasih sayang dirimu yang tulus dan menerima aku apa adanya.. aku mencintaimu kasih ...

Elegi RINDU
(Karya Abd. Hamid Wahid )

Selepas sepi kembali menggenggam, suara nafiri sengkala rindu mengayun ufuk waktu. Lengkingnya merobek senyap membacakan bait-bait sejarah cinta kita dimasa-masa lalu. Di kamar ini ada tanya tak berjawab dan jerit tak terucap.. Mensyaratkan rindu syahdu yang dihempas ombak tanpa pantai. Kapan dapat menuntun khidmat hayatku, Jika takdir tak berpihak kepada kehendak bersamamu. Hanya letih dan jenuh yang bisa setia menemani sementara aku dan diriku bercakap-cakap. Saat malam beranjak meninggi, Hanya rembulan syahdu memandang berkaca-kaca. Saat sinar surya merobek kalender, Kupelajari cara berdesah panjang mengulum zaman. Hari-hariku sepi, karena aku kubur seusai pemakaman. Jiwaku perih tanpa bekas-bekas tergores. Kepada Embun kepada Awan, Damai ada padamu saat fajar dan hujan. Kusampaikan salam hormatku... Semoga ketika kue ulang-tahun teriris lagi kelak, peran sandiwara ini telah usai. Karena aku tak hendak mengajukan keluhan, ke mahkamah agung dimana Tuhan bertahta

Ode ODE UNTUK PROKLAMATOR


(Hukla, 1979)

Bertahun setelah kepergiannya kurindukan dia kembali Dengan gelombang semangat halilintar dilahirkan sebuah negeri; dalam Lumpur dan lumut Dengan api menyapu kelam menjadi untaian permata hijau dibentangan cahaya abadi Yang sesantiasa membuatnya tak pernah berhenti bermimpi menguak kabut gulita mendung, menerjang benteng demi benteng membalikkan arah to[pan, menjelmakan impian demi impian Dengan seorang sahabatnya, mereka tanda tangani naskah itu Mereka memancang tiang bendera, merobah nama dan peta, berjaga membacakan sejarah, menggenti bahasa pada buku Lalu dia meniup terompet dengan selaksa nada kebangkitan sukma. Kini kita ikut membubuhkan nama diatas bengkalainya; meruntuhkan sambil mencari, daftar mimpi membelit bulan perang saudara mengundang musnah, dendam tidur di hutan-hutan, di sawah terbuka yang sakti Kata berpasir dibibir pantai hitam dan oh, lidahku yang terjepit, buih lenyap dilaut biru derap suara yang gempita Cuma bertahan atau menerkam Ya, walau tak mudah, kurindukan semangatnya menyanyi kembali bersama gemuruh cinta yang membangun sejuta rajawali Tak mengelak dalam bercumbu, biar berbisa perih dirabu Berlapis cemas menggunung sesal mutiara matanya yang pudar Bagi negriku, bermimpi dibawah bayangan burung garuda

Hymne TUHAN SANG PENGUASA ALAM


(Anonim) Walau Engkau tak terlihat oleh mata, namun orang harus memuja-Mu Bahkan jikalau orang tak memuja dan menyembah-Mu, Sungguh celakanya orang itu Engkau tak tampak, namun segala puji hanyalah untuk-Mu Engkaulah Tuhan Sang Penguasa Alam, keberadaann-Mu daku pun tak ragu Panas dan hujan adalah milik-Mu Engkau jadikan panas, dan Engkau turunkan hujan sebagai keagungan-Mu Di saat kusebut nama-Mu bergetarlah jiwa dan ragaku Wahai Tuhanku nama-Mu selalu di hatiku Nama-Mu Yang Agung takkan kulupa sepanjang waktu Bahkan setiap hari kusebut nama-Mu dalam sembahyang sebagai sujudku Dan setiap doa, kupanjatkan hanya kepada-Mu Ya Allah ya Tuhanku, terimalah pengakuanku atas keberadaan-Mu Semoga Engkau berikan petunjuk-Mu padaku ya Tuhanku Karna petunjuk-Mu adalah rahmat bagiku Karunia-Mu selalu kurindu, karna karunia-Mu adalah kebahagiaanku Ya Allah bimbinglah daku agar daku mendapatkan surga-Mu

Anda mungkin juga menyukai