Syaifuddin Gani
Lahir di Salubung ,Mambi Polewali Mandar,Sulbar,13 September,1978. Belajar Sastra dan teater sejak bergabung di
Teater Sendiri Kendari tahun 1998 sampai sekarang.Puisinya diantologikan pada antologi bersama Sendiri,Sendiri 2, dan
Malam Bulan Puisi.
Malam Matahari
Malam
Matahari berumandang di udara lembunya
Tanggalakan pakaian adzan
Di batu-batu gembala.
Kerikil lelap
Dikoyak gerhana
Kelepak azan
Tinggalkan bongkahan
Lorong-lorong lambunya
Koor daun-daun
Debur burung-burung
Mengurumun bibir matahari
Yang berbasahan
Di kali polenga
Pijarnya-pijarnya mengenang
Ikan-ikan mengeraminya
Tetaskan telur matahari
Hari
Matahari
Rekah
Dibirahi-birahi lambunya
Buru
Makam legam.tapi kau bukan itu
Dengan bait bait angin
Paragraph yang dikirim malam
Kau lahirkan
Suluh
Di gerbong sejarah yang sembab dan gelap
Di bawah mendung
Katakan gugur dan bertangisan
Di jerit-jerit kertas
Butuni
Rindu menua
Terongok sepanjang butuni
Sesayap angin hujamkan rangkulan
Pada rusuk-rusuk keratojn
2. Sendri Yakti
Lahir di Kendari,9 September 1980.Aktif di Teater Sendiri sejak duduk di bangku SMA Negeri 1 Kendari. Mengawali
pentasnya dengan lakon Dream of La Bio di Gedung Koni oleh teater SMUNSA, selanjutnya ia pentas pada Indonesia Jilid
IV (Habis) karya/sutradara: Achmad Zain pada Festival Teater Alternatif (FTA) GKJ Awards di Gedung Kesenian Jakarta,
Oktober 2003. Bersama Abd. Razak Abadi, pernah menjadi pengisi tetap Art in Radio (AIR) di Radio Swara Alam FM
Kendari. Mengikuti Malam Bulan Puisi-Teater Sendiri 2004 & 2005, dan Pembacaan Sajak Akhir Tahun Teater Sendiri
2005. Puisinya diantologikan pada Antologi Puisi Sendiri, Sendiri 2, Kumpulan Sajak Akhir Tahun-TS 2005, Antologi
Perempuan Penyair Indonesia [Masyarakat Sastra Jakarta-MSJ 2006] dan Majalah Gong Yogyakarta.
Monogram dalam Kolam
Sudah juga kau lindapkan matahari
hingga separuh kolam meruahkan pekat
likat yang memikat, katamu.
padahal, aku ingin menggantung cermin di dahan
lalu membaca warna yang memantul ke kolam
pendar yang mendebar, gumamku.
tapi kau panahbelah matahari
menggeligis pecah ke araharah,
cermin meletik, dedahan mendesik
kolam melepuh dan susut
telah lama kau dedah larung di kolam,
menenggelamkan monogram yang berlepasan.
Kutukan Sungai
Aku memeram batu-batu dan semak di dada
agar ketuk tak bergaung
dan spada tak mampir memekak
cuma boleh decak,
atau tepuk dari muara yang berkecipak.
[kutuk yang mengerak di rusuk].
Tapi pertemuan tiba-tiba itu,
membakar lingkar onak di jemari
memecahhanguskan batu-batu
menjadi tetaburan pasir yang berhinggapan di geraigerai
kukirim embun dan debu tiap saat
seperti laron dan kupu yang juga kau paketkan
tanpa kausal yang jelas.
waktu mengutuk kita menjadi pencemas,
perindu yang tak berani menggumam dan mendesah
sebatas upik abu yang memikat periperi,
meruahkan mawar di relung pangeran
dan bergegas di celah dentang
“sepatu yang kutinggal akan menggeruslepas kutukan,
ritual dari sungai yang mengaliri tubuhku”
Tapi keajaiban tak selalu tiba-tiba
tak ada sepatu yang kutanggal
kereta hanya mengantar adam,
yang bersulang dari deras sungai di mataku
Kuku memenuh inai
gaun yang dilicinkan
dasi berlapis cindai
erat belukar di tangan
ah
onak yang mesti kusemat kembali
Mosaik yang Retak
Kekalahan Dinihari
3. Fransiskus S. Patadungan,
Lahir tanggal 10 November 1986 di TorajaSulsel.sekarang menjabat ketua Arus Teater Kendari Bergabung sejak awal
berdirinya Arus Teater-Kendari tahun 2006 dan langsung diangkat menjadi Ketua ArusTeater-Kendari. Juara I dan III
Lomba Penulisan PuisiPeringatan Hari Chairil Anwar. Juara II Lomba BacaPuisi pada PESTA Unhalu tahun 2007.
Menyutradaripertunjukan puisi pada akhir tahun 2007. Karya : Antologi Puisi Ini Untuk Esok
KEBEBASAN
Di dinding sebuah gedung
seorang laki-laki berdiri
dengan selangkangan terbuka
Di tengah selangkangannya
air kencingnya memancar.
Januari 2008
KATA TERBINGKAI
Belum usai
kita terbaring setiap malam memandangi langit
menyelam merayapi hati, sambil
menyerap hening dingin
telah berkali-kali kita menyulam
kata-kata menjadi bunga
bertangkai ujung tombak
DENDAM
Sebab janji pernah mengikat kita
lalu kini
keputusanmu telah memukul
PEREMPUAN
sederhana saja untukmu.
ketahuilah
aku mencintai kamu
karena dan dengan harapan.
DESEMBER APRIL
Desember ini kau masih mengirim salam sepi dari lagit
bagai hujan mengucap musim
bintik-bintik dan gerimis menjadi
liur-liur seiring air mata kerinduan
Fana
Kurangkul malam
Kupagut kelam
Kucumbu rembulan
Kusetubuhi waktu
Kulupa usia
Berpeluh gairah
Di ladang nafsu
Sesaat nikmat
Mengikat
Ajal tiada saat
Halusinasi
air mata
membatu
di rongga
mulut
telinga
bising
memekak
di ketiak
dubur
hati
luluh
meleleh
di antara
bibir
tubuh
rubuh
menggelepar
bising memekak
air mata
luluh meleleh
di ketiak bibir
mulut membatu
di rongga dubur
di antara
hati
Wuawua-05
Aku Cemeti
Aku cemeti
yang senantiasa
mencambukmu!
entah sampai kapan.
Enyahlah rasa sakit
larut rasa sakit
yang tenang…
Desirku adalah
simponi yang ‘kan
mengiringmu
pada
kemanusiaan hakiki.
Ajari Aku
Aku manusia lahir
yang kurang ajar
karena keadaan
Keadaan
menuntunku pada
kehidupan liar
di tengah kaum terpelajar
Kasian para cendekia
ajari aku
‘tuk dapat menjarah
harta negeri ini
Ajar aku
‘tuk berwajah dua
ajar aku
‘tuk bersilat lidah
5. Royan Ikmal
Lahir di Raha-Muna, Aktif di Teater Sendiri Kendari mulai tahun 2004. Puisinya diantologikan pada
antologi Malam Bulan Puisi [Teater Sendiri] dan Sendiri 2. Bersama Teater Sendiri, ia mengikuti Pentas Keliling
Indonesia 2005 di Surabaya [IAIN Sunan Ampel Surabaya], Solo [Teater Arena Surakarta], Yogyakarta
[kerjasama Teater Tangga-Universitas Muhammadiyah, Teater Eska-IAIN Sunan Kalijaga, Lembaga Indonesia
Perancis-Yogya], dan Jakarta [Pusat Bahasa Jakarta]. Ia juga salah seorang penggagas Teater Empat Raha dan
menyutradarainya. Mengikuti FTP-TS 2005 & 2005, Proselamat-Teater Sendiri, Persen-Depsi, RBK-Anasepu,
Temu Sastra Kepulauan dan Kampung Budaya IV 2004 di Topejawa-Takalar, DKM-BKKI Makassar.
Gambarmu di Kanvas Berikut
Aku hanya menggambarkan wajahmu
oleh kanvas-kanvas tersedia sajak lama
yang separuh isinya telah mengarungi jiwa
walau telah memudar, namun telah tergores
“si kulit tahu” yang ingin bersaning dengannya
Kuakui gambarmu dapat mengubah warna
kalau dulu polos, kini berubah
dengan sejuta warna yang telah buram.
tapi aku
bukan kau dideret kanvas terkebelakang
manyapu pesaingmu terdahulu gugur
Hanya status yang membedakannya
terlebih dulu terlingkar oleh ikatan duniawi
tak mungkin lagi untuk berubah sedikit pun
namun kenyataannya, ada nisan pada gambarmu
mengukir di belakang kanvas
aku hanya menyediakan, melayani, melengkapi
apakah terus terukir atau tidak.
Ayah
Telah banyak kugoreskan hatiku
pada pecahan malam, barabara matahari.
terlebih lagi untuk sebuah nyanyian
yang aku tempel pada dinding tepian hari
dan terhempas oleh hujan berhari-hari
Kali ini, hanya permintaanku pada angkasa
kita dapat bersanding dalam penantian
setelah kuasanya meneteskan syurga.
aku tidak menuduh bencana adalah penyebabnya.
tapi bencana adalah kebahagiaan
yang membawa engkau tersenyum berkepanjangan.
Ayah, hanya butiran air yang kupersembahkan
lewat selubung kata maaf yang tersesal
laksana kubangan yang coba memberikan kesejukan
walau mengalir tidak, tapi mataair murni
yang tertampung sejak terciptanya kehidupan.
Tuhan, masih dengan selembaran kataku buat angkasa
tidak engkau hadirkan hitam tanpa sesuatu yang terang
seperti katamu pada bisikan tulisanmu yang ampuh
kalimat itu terukir tebal di bibir sang ayah
maka jauhkanlah ia dari maut yang telah mengepung.
29 Mei 2006
6. Didit Marshel
Lahir di Uepai tahun 1976. Bergabung dengan Teater Sendiri sejak tahun 1997. Alumni Unhalu Jurusan
Bahasa dan Seni tahun 2002. Bersama TS, ia pentas dalam beberapa event kesenian, antara lain Temu Teater
Katimuri I, II, III dan Palu Indonesia Dance Forum. Karya puisinya terdapat pada Antologi Bersama Sendiri,
Sendiri 2, Malam Bulan Puisi [Teater Sendiri]. Seusai kuliah si Unhalu, ia kembali ke kampong Uepai dan
membentuk sanggar berbasiskan anak-anak usia SD, SLTP, dan SMA yang bernama Teater Rakyat Anamolepo
[Trapo] eapai. Sanggarnya, Trapo telah berkali-kali pentas, dan berkali-kali pula meraih sutradara, aktor, artistik,
penyaji terbik pada berbagai iven anatara lain Festival Teater Pelajar [2004-2005]-Teater Sendiri Kendari dan
Festival Teater-Teater Empat Raha.
Pada
Pada hidup kukatakan sepi kepanjangan
pada ramai kurelakan tuk menyatu
pada malam kubertemu angin sunyi
pada siang kubersama kehangatan hambar
pada jengkel kuluapkan semua isi perut
pada rindu kukhayalkan di kejauhan
pada terang kuberlindung dari kesilauan
pada gusar kuterbawa sepoi emosi
pada sabar kuselami kedalamannya
pada dosa kucoba hindari
pada pahala kuakan gapai
Aku ini dalam perjalanan
penuh cadas pada pijakan
perih berdarah ku kan tersenyum
walau mata berkaca-kaca.
Lasolo, 20 November 2005
Hoplah
Tung hitung terluntang lantung
menggantung di awang-awang
lang melayang menerawang
Diri sendiri menyendiri
beri, lari hindari menghampiri
seri si sri sari-sari
Larut terpaut taut maut
kusut kasut kusut rambut
cabut serabut lutut
Celoteh boteh loteh moteh teh
toreteh bateh loteh kateh
mateh sateh tateh jateh
Jalan pelan berkalan-kalan
cepat dapat ketupat rapat
tunjukkan akan berakan ikan
Resah asah mengasah basah
melamun namun manyun
lebam garam malam selam
Ngung…. Ung… ng… g
B…. i….
Tiba-tiba Saja
Tiba-tiba saja saingat itu anak
malas-malasnya, rajin-rajinnya, keras-kerasnya,
marah-marahnya, ngambek-ngambeknya,
uring-uringannya
Jika kelak aku larut usia
ialah penerus langkah
karena, tiba-tiba saja saingat itu anak
Dia!
terlintas disaat aku sunyi
disaat aku sedih
ayun langkahnya adalah obat
diamnya adalah dingin
cerianya adalah nyata
karena, tiba-tiba saja saingat itu anak
Aku !
bukan apa-apa
ia adalah harapan
walau ia tidak tahu, sebab
tidak ‘kan pernah kuberi tahu
tentang segalanya itu
kelak ia akan tahu
bahwa ia adalah segalanya
karena, tiba-tiba saja saingat itu anak
Pedalaman Lasolo, 7 Oktober 2005
Bingung
Gantung untung lantang sayang
hanya di hati tapi terkunci
benci laci, poci pecah lengah basah
Sarang dijadikan sarung buat serang barang
barang buta seperti bala berhati batu
terbata-bata hindari diri lari sembunyi
Mungil mengail pengalaman di halaman
berlindung pada pelindung, buang lang-lang diberi sayang
apa dikata lata berkata jata jadi rata-rata
lolos polos, siapa jadi jongos?
Pintar putar latar, narasi jadi basi
sampai kapan papan delapan kedepan
akui jati dari Raha, bahwa prahara itu begitu
Memang muda ada padamu,
tapi madu pada padu walau pedih
terima saja, saja terima tak lama-lama
sabar disambar tebar lebar
sesal asala jasad terbabad
akui mengakui pakui-kui
gila lagi aku kau
hanya nyaho tak bergeming gamang.
Pedalaman Lasolo, 25Agustus 2005
Vocal
Itu dingin selimuti badan
hati beku buat tak nyaman
coba panasi dengan asap
hasilnya kamar jadi pengap
Entah ini hanya rasa
terasa jiwa melambung makna
atau hanya perasaan
dibutuh, tidak! Dilupakan, jangan!
Otak berputar kelilingi alam
gelisah temani temaram
jangkrik lantunkan irama resah
ombak di kejauhan mendesah basah.
Usung harapan di kejauhan
namun tak kesampaian
jarak telah memisah
bungkam semua kumpulan desah
Anak manusia terdampar jauh
langlang buana pedalaman kumuh
sendiri di pengasingan romantis
hingga semua terputus lepas
7. Karmil Edo Sendiri
Lahir di Ende-NTB tahun 1978. Bergabung dengan Teater Sendiri, tahun 1999. Bersama TS ia pentas pada
Temu Teater Katimuri I di Banjarmasin 2000 dan even kesenian lainnya. Ia juga pernah bergabung dengan
beberapa sanggar yaitu, UK-Seni Unhalu, Bensfis, dan kini membina Teater Rahasia. Ia juga telah tiga kali kuliah
di tiga jurusan yang berbeda. Mengikuti Malam Bulan Puisi-Teater Sendiri 2004 & 2005, dan Pembacaan Sajak
Akhir Tahun Teater Sendiri 2005. Karya puisi Antologi Bersama Sendiri, Sendiri 2, Malam Bulan Puisi,
Pembacaan Sajak Akhir Tahun-TS 2005 [Teater Sendiri].
Tentang Malam Kita
Membiarkan bulan berlalu
Begitulah kisah
Di atas bukit batu
Kita berkesah
Polos kata tanpa malu
Tentang sekian resah
Tentang sekian cintamu
Ada kesal
Tentang sekian ceritaku
Ada sesal
Tentang malam itu
Ingin kau kutinju
Uepai, 14 subuh Februari 2006
Tentangmu
Kukuh dua kaki
Topang sejuta ide
Sekian kata entah
Kau ambil
Kau buang
Tinta pun tercecer pada leluk bayangmu
Kekar dua lengan
Pikul sejuta gagas
Sekian cerita entah
Kau rangkum
Kau edit
Kertas pun terserak pada tiap desahmu
Kilau lapang jidat itu
Kutahu kau gemilang
Ada yang ingin kukatakan tentang kau
Din, aku iri
Ende, 2005
Maaf Dek
:Mereka
Sementara kuingin sembunyi
Kau mencari
Sementara sekian banyak kujauhi
Kau hampiri
Sementara aku berlari
Kau dapati
Entah siapa yang mulia
Lalu ada belai
Enggan usai
Bahkan tanpa kata
Apalagi cinta
Tercipta cerita
Segala tentang kita
Maaf
Aku khilaf
Aku insyaf
Kendari, 140203
Memori Kita
:Andi
Di atas sampan itu
Kita pernah bersama
Tantang pembodohan
Dalam tirai
Tenggelam di dalam ideologi
Hanyut di arus perlawanan
Kandas di kejamnya kekuasaan
Lalu terapung oleh popularitas
Kita pun sepakat hilang
Lenyap dari kenyataan
Aku bersembunyi
Dalam kegelapan yang bagiku artistik
*terakhir kudengar
Kau semakin mesra dengan-Nya
Makassar, Agustus 2005
8. Iwan Konawe
Lahir di Kendari tahun 1978. Menggaa Lighting [Penata Lampu] Teater Sendiri ini pernah mengecap bangku
kuliah di UNM-Makassar Jurusan Sendratasik angkatan 1999. Namun, saya ramalkan bakal tak selesai-selesai.
Makanya lebih baik cepat mengundurkan diri sebelum diundurkan, katanya sambil tertawa. Bersama TS, ia
pentas dalam beberapa event kesenian. Mengikuti Malam Bulan Puisi-Teater Sendiri 2004 & 2005, dan
Pembacaan Sajak Akhir Tahun Teater Sendiri 2005, Temu Sastra Kepulauan dan Kampung Budaya IV 2004 di
Topejawa-Takalar, DKM-BKKI Takalar-Makassar. Selama empat bulan, magang di Gedung Kesenian Jakarta
bagian Tata Cahaya dan Artistik, kerjasama Yayasan Kelola-GKJ. Karya puisi pria Konawe (Tolaki) yang suka
bertualang ini, terdapat pada Antologi Bersama Sendiri, Sendiri 2, Kumpulan Sajak Pembacaan Sajak Akhir
Tahun-TS 2005, Malam Bulan Puisi [Teater Sendiri], dan Majalah Gong Yogyakarta. Kini menetap di Kendari
sambil sesekali bertualang ke Uepai.
SMS Kedua Ratus Tujuh
:Syaifuddin Gani
‘lekas kemari
kamis atau jumat pagi
kau mesti di kendari
kita akan mengganti bulan
dengan malam bulan puisi”
begitu berburu kau menyapaku
lewat pesan masuk telepon genggamku
:pada suatu magrib
tanpa bulan temaram
hanya kegelapan
kesepian,
berjarak puluhan kilometer kerinduan
Uepai, Ujung September 2004
Kata Perpisahan V
:Para Pembuat Bom
selamat malam anjing malam
berikan kami lolonganmu
sebagai jerit penolong untuk kami
memasuki mimpi yang bergalau
akan kuberi jeritan yang lain
lebih perih, lebih menyayat:
dari bagian tubuh kami yang terbuang.
Uepai, 2004
Silea
di tanah pinus pegunungan silea
reranting kering berguguran
merepih kabut
memapah pagi yang berpekat.
tepi gunung menebar wangi sejuk kemesraan
tepi jurang menebar indah getir kematian
menuliskan rinduku bergalau
sepanjang jalan berlika-liku debu.
Kolaka, Agustus 2004
Suatu Malam
suatu malam
saat lorong rumahmu mulai kelam
kupacu jarak menembus rindu yang pupus
kuhalau kabut malam yang menutup
jarak perpisahan
Kendari, 2003
Ritus Molulo
bumi merubah nasib:
pesta kawin, panen, dan kematian
tiba-tiba menjemput
bumi dijajal:
kedua telapak kaki menari
9. Irianto Ibrahim
Lahir di Gu-Buton, 21 Oktober 1978. Belajar sastra dan teater sejak bergabung di Teater Sendiri Kendari tahun 1997.
Puisinya dimuat dalam antologi bersama Malam Bulan Puisi (kumpulan sajak teater sendiri), Sendiri 3 (kumpulan sajak
teater sendiri) Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Kantor Bahasa Medan). Kumpulan Sajak tunggalnya terbit untuk kalangan
sendiri yaitu Barasanji di Tengah Karang (2004); Bunda, Kirimkan Nanda Doa-Doa (2006); Yang Tak Pernah Selesai
(2007).
Semasa mahasiswa mendirikan Pekerja Puisi Sultra (eksis). Kemudian mendirikan Komunitas Arus, ruang baca,
teater dan kedai buku, sebuah ruang diskusi dan pengkajian sastra dan teater di Kendari, Sulawesi Tenggara. Pernah
menjadi peserta Program Penulisan Puisi Mastera di Samarinda
PERJALANAN PULANG
barangkali kau telah melupakannya
atau mungkin lenyap ditelan sepi
lalu kutuntun awan mencatat yang terucap
di antara dupa dalam jambangan perak
dan lagu blues yang tak kutahu liriknya
ada bayang ragu mengintai
dari balik jendela yang telah kusam tirainya
dan seekor kucing kurus melintas
kulihat memantul dari matamu
sudah berkali-kali kuhirup aroma nafasmu
seperti tak akan usai perjalanan sepi
dan lorong waktu yang mendadak jadi peta
mendetak dalam dadaku
barangkali kau tak perlu mengingat
karena telah kutaksir malam
yang meredupkan mimpi
Jogja, 2007
ALAMAT MAUT
kaupun tak akan melihat pantai itu dari jendela
meski dengan bibir bergetar
dengan mata nanar
terlalu singkat sebagai derita
namun, teramat panjang sebagai duka
ada nada pilu tersendat
dasar laut yang menandai maut
dan lambaian penghabisan yang luput dari ingatan
lebih dalam dari segala alasan
kata yang tak dapat dipadankan dengan kelam
dengan seribu malam yang mendekam
atau deras arus yang mengancam
pilu yang dalam dan suram
kau hanya dapat menabur bunga dari jendela
dan ombak akan terus menuju pantai
sementara di langit
awan kelabu bukan miliknya lagi
Buton, 2007
SEJAK MATAHARI
HANYA BICARA PADA BUNGA-BUNGA
sejak matahari hanya bicara pada bunga-bunga
ia tak lagi ke taman itu.
ia ingin sendiri saja,
melupakan bangku kayu
daun-daun yang terserak
ujung ranting yang meruncing
dan satu kancing baju kekasihnya
yang pernah tanggal di sana
dekat sumur batu yang keramat
ia bikin rumah bambu
dengan sebuah beranda
yang menghadap ke utara
sebuah tempat untuk melupakan
sebuah pekarangan yang menjadikan hari
lebih kusam dari kolam tua
sejak matahari hanya bicara pada bunga-bunga
ia ingin sendiri saja
memandang gunung yang kurus karena kemarau
atau kidung riang burung-burung perayu
ia hanya bermain dengan seekor kucing betina
yang entah datang dari mana
ketika malam bertahap menjadi keruh
angin tiba-tiba mengendus
mengambil kucing itu
melarikannya ke gunung
dan menyembunyikannya dekat pohon kuku
pohon yang lebih ia benci dari pacar pertamanya
ia marah
ia kesal
sejak itu ia tak ingin bicara pada angin
Kendari, 2007
BUKIT NATAL
masih ingat bukit natal yang kita pandangi dari balik jendela?
mungkin ada dua atau tiga peri lucu yang sudah terbang pulang
entah karena apa
barangkali tongkat ajaib dan bola lampu berwana merah
sudah redup sejak pagi
dan kau masih membingkai diri
sementara kapas-kapas yang sengaja ditempelkan
telah menjadi salju dalam dirimu
kau dingin, kataku.
dari bukit itu, sebuah kartu natal dengan pita berwana kelam
bergambar sinterklas dan tujuh ekor rusa emas
mengetuk pintu kamarku.
aku butuh peri kecil, kataku.
kau masih membingkai diri
menatap bukit natal yang meredup satu-satu
Samarinda, 2007
10. Rustina
Lahir di Pomalaa pada tanggal 3 Juli 1989. Saat ini,penulis sedang menempuh pendidika Di FKIP Universitas
Haluoleo,Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia,Sastra dan Daerah angkatak 2007. Bergabung dalam Komunitas Arus
Kecil Kendari.
Ratapan Senja
Mungkin
Hari dewa langit sedang bersedih
Wahai dewa;
Kendari Maret,2008
30 Maret 2008
Mimpi
Dunia diam
pengantAr lelap.
Rs.Korem 01-11-2007
Kelam Senja
Di jembatan itu
Sendu wajahmu
Seakan ratapmu
Tlah menjalin perjanjian
Hingga
2. Goenawan Mohamad
dilahirkan di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Pemimpin redaksi majalah Tempo selama 23 tahun yang juga
mantan wartawan harian Kami ini dikenal luas sebagai penyair dan penulis esai yang sangat cerdas. Karya-karyanya
antara lain: Pariksit (1971), Potret Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang (1972), Interlude (1973), Seks, Sastra, Kita
(1980), Catatan Pinggir (1982-91; empat jilid), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998). Salah seorang
penanda tangan Manifes Kebudayaan ini, pada 1973 mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah RI, dan delapan tahun
kemudian meraih SEA Write Award.
Di Muka Jendela
Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil
ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh: - Datanglah!
Ada sepasang bukit, meruncing merah
dari tanah padang-padang yang terngadah
tanah padang-padang tekukur
di mana tangan-hatimu terulur. Pula
ada menggasing kincir yang sunyi
ketika senja mengerdip, dan di ujung benua
mencecah pelangi:
tidakkah siapa pun lahir kembali di detik begini
ketika bangkit bumi,
sajak bisu abadi,
dalam kristal kata
dalam pesona?
Kabut
Siapakah yang tegak di kabut ini.
Atau Tuhan, atau kelam:
Bisik-bisik lembut yang sesekali
Mengusap wajahnya tertahan-tahan
Kepada siapakah kabut ini
Telah turun perlahan-lahan:
Kepada pak tua, atau kami
Kepada kerja atau sawah sepi ditinggalkan
1963
3. Abdul Hadi WM
Dilahirkan di Sumenep, Madura, 24 Juni 1946. Antara 1967-83 pernah menjadi redaktur Gema Mahasiswa,
Mahasiswa Indonesia, Budaya Jaya, Berita Buana, dan penerbit Balai Pustaka. Pada 1973-74 mengikuti International
Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat. Karya-karyanya: Riwayat (1967) Laut Belum Pasang (1971), Cermin
(1975), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1976; meraih hadiah Buku Puisi Terbaik
Dewan Kesenian Jakarta 1976-77), Tergantung Pada Angin (1977), Anak Laut Anak Angin (1983; mengantarnya menerima
penghargaan SEA Write Award 1985). Sejumlah sajaknya diterjemahkan Harry Aveling dan disertakan dalam antologi
Arjuna in Meditation (1976).
Dan Angin di Luar Jendela
OlehAbdulHadWM(1946-)
lampupadam
malammati
danangindiluarjendelayangsayuputerhenti
ruangyangberkemaskumandanghilang
lebihdingin,Tuhan
dandesakanlangitdalamudara
dankemarauyangberbagisisa
padaku
padabayanganmengecil
padabayanganyangtakterdengarsentuhan
terbisikjugasajakdanceritera
tapitaktahudetikpunjam
bersamamusimturunperlahan
Tuhan,sajakyangkinitermangu,dinginabadi
terhentisebelumjadi
diluarangin,dijendeladanbulankianbiru
pudardiatasbahuku
Tuhan,selamatmalam
Yogyakarta, 1967
Tuhan pada Suatu Subuh
Tuhanberjalan-jalandarisatuayatkeayatlain
Darisatudoakedoalain
Menyaksikankitasemua
Merubahkabut
Jadicuaca
Demikiansepi
Akanmenjelmakanpuisi
DanTuhantegakdisini
Memperhatikankitasemua
Assalamu’alaikum,ucapnya
Sambilmenebarkanbunga-bungasurgawi
1967
(Tahun penerbitan Terlambat di Jalan sajak-sajak 1967-1968
4. Amir Hamzah
Dilahirkan di Tanjungpura, Sumatera Utara, 28 Februari 1911 dan meninggal di Kuala Begumit, di provinsi yang
sama, 20 Maret 1946, sebagai korban dari suatu “revolusi sosial”. Ia merupakan pendiri majalah Pujangga Baru (1933)
bersama-sama Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Dua kumpulan puisinya, Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu
(1941) tak henti-henti menjadi bahan pembicaraan dan kajian para kritikus sastra di dalam dan luar negeri serta diajarkan
di sekolah-sekolah hingga saat ini. Selain itu ia pun melahirkan karya-karya terjemahan: Setanggi Timur (1939), Bagawat
Gita (1933), Syirul Asyar (tt.).
Karena Kasihmu
Karenakasihmu
Engkautentukanwaktu
Seharilimakalikitabertemu
Akuangankanrupamu
Kulebihisekali
Sebelumcuacamenalisutera
Berulang-ulangkuintai-intai
Terus-meneruskurasa-rasakan
Sampaisekarangtiadatercapai
Hasratsukmaidamanbadan
Pujikudikaulaguankawi
Datangturundaridatuku
Diujunglidahengkauletakkan
Pintuterunaditengahgembala
Sunyisepipintunyapoyang
Tidakmenretakdindingdambaku
Layanglagutiadamelangsing
Harumgemerincinggentarebana
Hatiku,hatiku
Hatikusayangtiadabahagia
Hatikukecilberdukaraya
Hilangiayangdilihatnya
1937
(Tahunterbitkumpulapuisi Nyanyi Sunyi)
Berdiri Aku
Berdiriakudsenjasenyap
Camarmelayangmenepisbuih
Melayahbakaumenguraipuncak
Berjulangdataruburberkembang
Anginpulangmenyejukbumi
Menepuktelukmengempasemas
Larikegunungmemuncaksunyi
Berayun-ayundiatasalas
Benangrajamencelupujung
Naikmarakmengorakcorak
Elanglekasayaptergulung
Dimabukwarnaberarak-arak
Dalamrupamahasempurna
Rindusendumengharukalbu
Ingindatangmerasasentosa
Menyecaphidupbertentutuju
1941
(Tahun terbit kumpulan puisi Buah Rindu)
5. WS. Rendra
Dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935. Sepulang memperdalam pengetahuan drama di American
Academy of Dramatical Arts, ia mendirikan Bengkel Teater. Sajak-sajaknya mulai dikenal luas sejak tahun 1950-an.
Antara April-Oktober 1978 ditahan Pemerintah Orde Baru karena pembacaan sajak-sajak protes sosialnya di Taman
Ismail Marzuki, Jakarta. Kumpulan puisinya: Balada Orang Tercinta (1956; meraih Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955-
56),
Surat Cinta
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur yang gaib,
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah,
Wahai, dik Narti,
aku cinta kepadamu !
Selusin malaikat
telah turun
di kala hujan gerimis
Di muka kaca jendela
mereka berkaca dan mencuci rambutnya
untuk ke pesta
Wahai, dik Narti
dengan pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga serta keris keramat
aku ingin membimbingmu ke altar
untuk dikawinkan
Aku melamarmu,
Kau tahu dari dulu:
tiada lebih buruk
dan tiada lebih baik
dari yang lain...
penyair dari kehidupan sehari-hari,
orang yang bermula dari kata
kata yang bermula dari
kehidupan, pikir dan rasa
TAMU
masih ada yang mau singgah
di pondok tua — kesan sesal
gamit rindu, gores duka
biar terbuka pintu muka
buat tamu tak terduga
siapa akan mengajak berbicara —
rumput, batu, matahari
arti kabur di pudar hari
di bawah jenjang berdiri bayang
di tangan pisau belati
tiba ia menoleh memperhati
TAMU
Lelaki yang mengetuk pintu pagi hari
sudah duduk di ruang tamu. Aku baru
bangun. Tapi rupanya ia tidak
merasa tersinggung waktu aku belum
mandi dan menemui dia. Rambutku masih
kusut dan pakaianku hanya baju kumal
dan sarung lusuh.
“Aku mau menjemput,” katanya pasti,
seolah-olah aku sudah berjanji sebelumnya
dan tahu apa rencananya.
“Bukankah ini terlalu pagi?” tanyaku ragu.
“Dia sudah menunggu!” Ia nampak tak sabar
dan tak senang dibantah. Aku belum tahu
siapa yang ia maksudkan dengan “dia”,
tetapi sudah bisa kuduga siapa.
“Tetapi aku perlu waktu untuk berpisah
dengan keluarga. Terlalu kejam untuk
meninggalkan mereka begitu saja. Mereka
akan mencari.”
Nampaknya tamu itu begitu angkuh seperti
tak mau dikecilkan arti. Siapa dapat lolos
dari tuntutannya.
Sebelum aku sempat berbenah diri ia telah
menyeret aku ke kendaraannya dan aku dibawanya
lari entah ke mana. ke sorga atau ke neraka?”
7. Sapardi Djoko Damono
Dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, 20 Maret 1940. Puisi-puisi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia sejak
1975 dan pernah aktif sebagai redaktur majalah sastra-budaya Basis, Horison, Kalam, Tenggara (Malaysia) ini adalah:
Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983; mendapat Hadiah sastra DKJ 1983), Sihir Hujan (1984;
pemenang hadiah pertama Puisi Putera II Malaysia 1983), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000).
Sedangkan karya-karya sastra dunia yang diterjemahkannya: Lelaki Tua dan Laut (1973; Ernest Hemingway), Sepilihan
Sajak George Seferis (1975), Puisi Klasik Cina (1976), Lirik Klasik Parsi (1977), Afrika yang Resah (1988; Okot p’Bitek).
AKUINGIN
Akuinginmencintaimudengansederhana
dengankatayangtaksempatdiucapkan
kayukepadaapiyangmenjadikannyaabu
Akuinginmencintaimudengansederhana
denganisyaratyangtaksempatdisampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
diantardatangdansuatukalipergi
beribuloncengberbunyi
kekalsewaktubercakapkepadahati
lalukepadabumi.Disiniakumenanti
1967
8. Sanento Yuliman
Dilahirkan di Banyumas, Jawa Tengah, 14 Juli 1941, dan meninggal di Bandung, 14 Juli 1992. Pada 1981 menyelesaikan
program doktoralnya di Ecole de Hautes Etudes en Science Sociale, Paris, Perancis. Penyair yang juga dikenal sebagai
penulis esai dan kritikus seni rupa yang disegani ini pernah menjadi redaktur Mahasiswa Indonesia, majalah sastra
Horison (1971-73), dan Aktuil, khususnya untuk ruang “Puisi Mbeling”. Puisi-puisinya diangkat Ajip Rosidi ke dalam Laut
Biru Langit Baru (1977).
Pertempuran Subuh
serentetantembakan–kemudiansepi
sebuahledakan:
sunyikembali
ditimur
deretanawan:
lengkungalisyangkela
serentetantembakan
horisonpunsenyap
sepertimatayangpejam
angin
napasyangdalam
tiba-tibalangitmengangkat
pelupuknya,dannyalaterbuka,memandangmata
hari,murahdanmerah
denganberatmenatap,mengawasi
prajurityangtersungkurkanak-kanakyanghancur
rendahdanmerahmencari
sesuatuyangbarudibumidanmenemukan
(pagiini,sepertiselamanya)
hatimanusia
burukdantua
serentetantembakan
(dilangit
burung-burungbeterbangan:
bayang-bayangyanggelisah
diantarabintang-bintang)
1967
9. Saini K.M.
dilahirkan di Sumedang, Jawa Barat, 16 Juni 1938. Penyair yang bertahun-tahun mengasuh rubrik “Pertemuan Kecil” di
Pikiran Rakyat Bandung ini terakhir menjabat Direktur Jenderal Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Sejumlah penyair yang lahir dan berkembang dari kelembutan dan ketajaman kritiknya di “Pertemuan Kecil” antara lain:
Sanento Yuliman, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Soni Farid Maulana, Beni Setia, Cecep Syamsul Hari. Karya-
karyanya meliputi puisi, karya sastra drama, dan esai.
Parthenon
Sia-sia.Betapapunmatakhayalmencoba
membangunkembalikemegahankuildaripuing-puingini,
perangdangempabumimenetapkan
bahwaabad-pualamparadewatelahpergi.
Pergi.Segalamambangjelitadanpangerancendekia,
dengankapalpenghabisantelahangkatsauh
dariLautAegeakeNegeriKenangan.Tinggalkita
terpencar-pencardipantaiwaktu.
Mengembaramencaridewatabaru,namuntakmampu
mempersembahkan iman kanak-kanak yang murni; tak mampu
mendirikan Parthenon baru, karena menolak setiap pilar
setiap penopang lain, kecuali tangan dan kaki sendiri.
1968
Kutatapsetiapmatadistasiun,padajendela-jendelaterbuka
kucarifajarsemangatyangpijarmenyala-nyala
surya esok hari, matahari sawah dan sungai kami
di langit yang bebas terbuka, langit burung-burung merpati
GADIS PEMINTA-MINTA
11. Yurnaldi
Yurnaldi (atau sering dipanggil Nal atau Danal) penyair Indonesia asal Minangkabau, Solok, Sumatera Barat. Antologi
tunggal yang telah terbit Berita kepada Ibu (Kreta Nusantara, 1992). Antologi puisi keduanya akan terbit. Puisinya pernah
masuk nominasi terbaik lomba cipta puisi tingkat Sumbar tahun 1994, dan pemenang lomba cipta puisi sosial tingkat
nasional di Banda Aceh tahun 1996.
Dilahirkan di Rembang, 10 Agustus 1944. Sering menggunakan nama samaran M. Ustov Abi Sri. Lulusan Universitas
Al-Azhar (Kairo, Mesir) ini kerap mengikuti forum baca puisi, termasuk di Festival Mirbid X di Irak. Karya-karyanya
dimuat dalam sejumlah antologi puisi bersama,
Kaummuslimpunmodern
Bukan, bahkan agaknya sejak lama sekali
Mereka sendiri sudah merupakan robot-robot sejati
1410 H/1989 M
1. Wahib Wahab
Doktor dengan kajian studi Islam dari IAIN Suka Yogya-karta ini, lahir di Kediri, 29 September 1965. Tulisannya banyak dimuat
di berbagai koran dan majalah. Beberapa terbitan bukunya, berupa buku-buku kajian Islam. Kyai ini bekerja sebagai Dosen IAIN
Sunan Ampel Surabaya. Selain itu mengajar di beberbai Perguruan Tinggi Swasta di Jatim, serta beberapa pesantren. Ia juga sebagai
pembina “Forum Studi Islam dan Zikir (FORSIZ) Kab/Kota Mojokerto. Anak tiga (Ria, Misbah, dan Nabila dari istri yang baru satu).
Dalam hidup ia punya motto: meski aku hidup di era belakangan, sungguh aku akan berbuat sesuatu yang pernah diperbuat oleh
orang-orang terdahulu” dan aku ingin “hidup mulia dan Mati sebagai syuhada.”
ZAMAN EDAN
Aku terbakar dalam api menyala perlahan
Aku adalah keinginan yang pedih
Aku serahkan percaya pada kesangsian yang hidup
Aku mencari, bertanya dan bercita-cita
Aku tiada hajat pada telinga zaman edan
Akulah suara penyair terpinggirkan
Oleh kepongahan corong – corong kezaliman
2. Muhammad Yamin
Dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, 23 Agustus 1903, dan meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962. Menulis
(dan menerjemahkan) karya sastra dan sejarah dalam berbagai bentuk: puisi, drama, biografi.
Bahasa, Bangsa
Was du ererbt von deinen Vätern hast
Erwirb es um es zu besitzen
Selagikecilberusiamuda,
Tidursianakdipangkuanbunda,
Ibubernyanyi,lagudandendang
Memujisianakbanyaknyasedang;
Berbuatsayangmalamdansiang
Buaiantergantungditanahmoyang.
Terlahirdibangsa,berbahasasendiri
Diapitkeluargakanandankiri
BesarbudimanditanahMelayu
Berdukasuka,sertakanrayu;
Perasaanserikatmenjadipadu
Dalambahasanya,permaimerdu.
Meratapmenangisbersukaraya
Dalambahagiabaladanbaya;
Bernafaskitapermanjangkannyawa
Dalambahasasambunganjiwa
DimanaSumatra,disitubangsa,
Dimanaperca,disitubahasa.
Andalaskusayang,janabejana
Sejakkankecilmudateruna
Sampaimatiberkalangtanah
Lupakebahasa,tidakkanpernah
Ingatpemuda,Sumateramalang
Tiadabahasa,bangsapunhilang.
Pebruari 1921
3. Acep Zamzam Noor
Dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 Februari 1960. Alumnus Seni Rupa ITB ini melanjutkan studinya di
Universita Italiana per Stranieri, Perugia, Italia. Puisi-puisinya tersebar di berbagai majalah dan surat kabar dalam dan
luar negeri (Malaysia).
TERINGAT LI PO
Siapakah yang melangkah
Meninggalkan jejak gerimis?
Lengkung langit
Sejak semula hanya betah jadi saksi
Yang bisu. Dan angin risik dan daun-daun
Siapakah yang melangkah
Dan bergegas melupakan jejak
Kesedihan? Aku, bayang-bayang dan bulan
Hanya berpandangan. Menunggu. Dan taman lebih bisu
Juga pohon-pohon dan bangku-bangku. Juga waktu
1983
DUA PANTAI
Di antara dua pantai. Seperti juga alamat rindu
Tersesatlah kita dalam panjangnya sebuah ciuman
Serta rimbunnya sulur-sulur pohon kenangan:
Tenggelam dalam tahun-tahun yang bergaram
Hanyut dan megap-megap dicumbu kesementaraan
Setangga demi setangga menapaki keagungan upacara
Luput menggapai pangkal kata, menyerah pada debar dada
Kembali merayap dari banjar ke banjar, dari kandang babi
Ke kafe sunyi. Dalam mabuk kita melihat sebuah gambar
Dan nampaklah tubuh-tubuh yang bergelimpangan
Seperti patung-patung yang hangus terbakar
Tertawa karena langit kita masih biru adanya
Perahu masih melaju dalam naungan angin sakal
Dari tenggara. Kita membaca jejak pada kilau ombak
Menenggak arak serta kandungan filsafatnya
Hingga gairah mistik itu kembali membakar udara
Dan tubuh kita menjelma anak-anak panah yang menyala
Di antara dua pantai, seperti juga dermaga cinta
Terkulailah kita dalam letihnya sekian persetubuhan
Serta berlikunya jalan menuju ruang pemujaan:
Ternyata kemesraan masih mempunyai wilayah di bumi
Seperti juga kedalaman hati dengan riak-riaknya yang sopan
1996
4. Kriapur
Dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, 6 Agustus 1959, dan meninggal di Batang, provinsi yang sama, 17 Februari 1987.
Menulis sejak 1974. Puisi-puisinya dikumpulkan dalam Tiang Hitam Belukar Malam (1996), dan sejumlah antologi.
Solo, 1981
1982
5. Hamid Jabbar
Dilahirkan di Kotagadang, Sumatera Barat, 27 Juli 1949. Karya-karya penyair yang pernah menjadi wartawan
Indonesia Express, Singgalang, dan redaktur Balai Pustaka ini antara lain: Paco-Paco (1974), Dua Warna (1975; bersama
Upita Agustine), Wajah Kita (1981), Siapa Mau Jadi Raja, Raja Berak Menangis, Zikrullah. Cerpennya, “Engku Datuk Yth.
Di Jakarta” terpilih masuk ke dalam antologi Cerita Pendek Indonesia IV (1986; Satyagraha Hoerip [ed.]). Kumpulan
puisinya terakhir: Super Hilang, Segerobak Sajak (1998; memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama).
AROMA MAUT
Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?
Barangkali satu denyut lepas, o satu denyut lepas
tepat di saat tak jelas batas-batas, sayangku:
Segalanya terhempas, o segalanya terhempas!
(Laut masih berombak, gelombangnya entah ke mana.
Angin masih berhembus, topannya entah ke mana.
Bumi masih beredar, getarnya sampai ke mana?
Semesta masih belantara, sunyi sendiri ke mana?)
Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?
Barangkali hilir-mudik di suatu titik
tumpang-tindih merintih dalam satu nadi, sayangku:
Sampai tetes-embun pun selesai, tak menitik!
(Gelombang lain datang begitu lain.
Topan lain datang begitu lain.
Gelap lain datang begitu lain.
Sunyi lain begitu datang sendiri tak bisa lain!)
Padang, 1977/1978
6. Sanusi Pane
Dilahirkan di Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905, dan meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968. Antara
tahun 1931-41, pernah menjadi redaktur di majalah Timbul, harian Kebangunan, dan Balai Pustaka. Karya-karyanya
meliputi puisi, drama, sejarah, dan terjemahan
MENCARI
Aku mencari
Di kebun Hindia.
Aku pesiar
Di kebun Yunani.
Aku berjalan
Di tanah Roma.
Aku mengembara
Di benua Barat.
Aegala buku
Perpustakaan dunia
Sudah kubaca,
Segala filsafat
Sudah kuperiksa.
Akhirnya kusampai
Ke dalam taman
Hati sendiri.
DIBAWA GELOMBANG
Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah kemana aku tak tahu
NOSTALGI = TRANSENDENSI
8. Joko Pinurbo
Dilahirkan di Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962. Manuskrip penyair yang hingga kini bekerja sebagai salah seorang
redaktur penerbitan Kompas ini, Di Bawah Kibaran Sarung, terpilih sebagai pemenang ketiga Sayembara Mengarang
Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2000. Selain di dalam Celana (1999), karya-karyanya ditemukan pula di berbagai media
massa, antara lain: Horison, Basis, Kalam, Kompas, Republika.
KEPADA CIUM
seperti anak rusa menemukan sarang air
di celah batu karang tersembunyi,
seperti gelandangan kecil menenggak
sebotol mimpi di bawah rindang matahari,
malam ini aku mau minum di bibirmu.
Seperti mulut kata mendapatkan susu sepi
yang masih hangat dan murni,
seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri
pada luka lambung yang tak terobati.
2006
UBAN
Pasukan uban telah datang memasuki wilayah hitam.
Hitam merasa terancam dan segera merapatkan barisan.
“Putih lambang kematangan, hitam harus kita lumpuhkan.”
“Hitam lambang kesuburan, putih harus kita enyahkan.”
Tiap malam pasukan putih dan pasukan hitam bertempur
memperebutkan daerah kekuasaan sampai akhirnya
9. Chairil Anwar
Dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922, dan meninggal di Jakarta, 28 April 1949. Bersama Asrul Sani dan
Rivai Apin, sastrawan yang oleh H.B. Jassin dinobatkan sebagai Pelopor angkatan 45 dalam puisi itu, mendirikan
“Gelanggang Seniman Merdeka” (1946). Kumpulan puisi penyair yang pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat
“Gelanggang” dan Gema Suasana ini adalah Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949), Deru Campur Debu
(1949), Tiga Menguak Takdir (1950; bersama Asrul Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang (1986), Derai-derai
Cemara (1998).
(1948)
(1948)
Kerendahan Hati
Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di tepi danau
GENDERANG KURUKASETRA
(UTARI)
engkau yang kini tengah berlumur darah
menyandang beban menuju Palagan
berhentilah sejenak dan dengarlah
matahari terengah menyaksikan
korban demi korban berjatuhan
dan perang
senantiasa saja akan berkepanjangan
:
lelaki yang mencoba bertahan
dan dendam tak berkesudahan
dan janji seorang manusia
tengadahlah, di atasmu matahari dan sayap semesta
sebab mereka juga akan datang menghampiri
usaikan dulu Perang dalam sanubari
:
sementara genderang bertalu-talu
anak-anak panah pun bersintuhan dan melaju
menangkan dulu peperangan yang senantiasa jaga
sepanjang engkau bilang: aku anak manusia
JANGAN BILANG
Jangan bilang : Indonesia hanya Soekarno-Hatta berteriak merdeka
di Pegangsaan Timur tujuhbelas Agustus empatlima
Medan, 595
Medan, 2802
Orang yang berhati rakus dan ambisius lebih panas dari api
orang yang berhati qonaah lebih kaya dari lautan
orang yang berhati bersih dan berperilaku ramah
senantiasa sukses dalam hidupnya
orang yang berhati kasar dan cenderung mencari lawan
tak pernah sukses dalam hidupnya
ketahuilah kunci sukses itu di langit
Namun,
Lihat, puncak keindahan itu
Ketika aktualisasi Al-Qur’an
Dari hiasan qolbu menjadi hiasan perilaku
Indah nan cantik perilaku
Yang berhias Al-Qur’an
Pribadi murah hati yang dimuliakan
Pribadi mulia nan elegan
Pribadi rendah hati yang ditinggikan
Pribadi harum nan semerbak
Pribadi Taqwa Bahagia dan membahagiakan orang lain
Senang bila menyenangkan orang lain
Peduli dan memberi
Bagai hadiah untuk diri sendiri
Sekaranglah saat untuk menikmatinya
MENATA HATI
Makrifat Sungai
amboi
aku kembali memastikan
bahwa syahwatku telah basah
oleh sebab mengintipmu
di sungai