Anda di halaman 1dari 101

1.

Syaifuddin Gani
Lahir di Salubung ,Mambi Polewali Mandar,Sulbar,13 September,1978. Belajar Sastra dan teater sejak bergabung di
Teater Sendiri Kendari tahun 1998 sampai sekarang.Puisinya diantologikan pada antologi bersama Sendiri,Sendiri 2, dan
Malam Bulan Puisi.

Malam Matahari
Malam
Matahari berumandang di udara lembunya
Tanggalakan pakaian adzan
Di batu-batu gembala.

Kerikil lelap
Dikoyak gerhana
Kelepak azan
Tinggalkan bongkahan
Lorong-lorong lambunya

Koor daun-daun
Debur burung-burung
Mengurumun bibir matahari
Yang berbasahan
Di kali polenga
Pijarnya-pijarnya mengenang
Ikan-ikan mengeraminya
Tetaskan telur matahari
Hari

Matahari
Rekah
Dibirahi-birahi lambunya

Bocah kecil sangat Kecil


Bocah kecil sangat kecil
Matanya minim bibirnya mungil
Diatasnya,rerimbun daun-daun palem ijo
Diatasnya,bertandang-tandang awan memercikkan tawa
Oh,bajunya berbau surya berwarna lila
Suaranya meloncat antara jejeran oto dan motor
“Uang jaganya,om”.

Bocah kecilsangat kecil


Bagai patung didera hujan,aku membatu berhutang hutang.

Dagunya,karang muda baru tumbuh


Senyumnya,menyimpan pelangi
Tapi mataharinya gelap ditimbun nasib rabun

Bocah kecil angat kecil


Mana mama papamu,sayang.
“mama di lumah,papa di ladang”
Jawabnya umpama air meluncur dari celah karang

Seribu perak kuberi dengan tangan kanan


ia terima dengan mata mayang
Seribu sesak berkecambah dalam dada
Mungkin matahari-matahari itu alpa menjagkaumu
Tapi penggambar matahari melukismu
Di dinding-dinding cakrawala
Mengenang Wa Ode
Terik merebus sumsum bakau
Di teluk kendari,aku pandang matahari
Susut di lubuk laut

Rekaman kenangan terbatuk dalam pita berabu


Kudengar asin suaramu.beriak
Bagai ombak aut,berkecipak
Tergelepar merangkul pantai

Petualangan awan,musafir ke semananjung tenggara


Dan dulungan kenangan,lembab dilumuti usia

Kudengar lengking rindumu,tercekat


Pita-pita di jamuri pekat
Lalu tinggal bunyi meraung
Demam dihardik udara
Mengubur melankoli dan terjal luka
Juga perbruan matahari dan bianglala

Oe,di ujung tanjung betapa anggun


Percintaan laut raha dan cakrawala.

Di teluk kndari, aku di kerimuni sepi


Menghitung kenangan
Melontarkannya kecengkraman gelombang

Oe,dari liang pantai peti kemas digerogoti Derek


Mengemas masa lampau dan pulau-pulau terseret
Tinggalaan berbukit lika danau terlunta
Tempat kita dulu memetik senja
Kutinggalakan teluk,aku takluk,waode
Menyeret puisi yang ranggas
Jejak-Jejak Ngilu
Wajah remuk batok retak
Bermil-mil darah bergang-gang erang
Ngalir dari jejak-jejak ngilu
Tak juga hadir dan lahir nyerah pada kapak yang tandas.
Kau diburu diberondong peluru dan serdadu
Badan boleh dirajam,kau jiwa bertualang.

Buru
Makam legam.tapi kau bukan itu
Dengan bait bait angin
Paragraph yang dikirim malam
Kau lahirkan
Suluh
Di gerbong sejarah yang sembab dan gelap

Tapi ia datang dari padang buru sesungguhnya


Mengambilmu dari luka dari bumi manusia
Sambil menunggu
Yang lain luput
Yang pupus yang bersungut

Di bawah mendung
Katakan gugur dan bertangisan
Di jerit-jerit kertas

Butuni
Rindu menua
Terongok sepanjang butuni
Sesayap angin hujamkan rangkulan
Pada rusuk-rusuk keratojn

Di sini,berabad-abad kabanti dan puisi mempersunting matahari


Menjelma barisan batu karang
Rumah para raja menenun martabat tujuh
O gerbang matahari di apit merimtua
Memandang ke laut jauh ke bukit karang
Untuk masa silam yang takkan pulang.

Tiang bendera sebagai anak para raja


Memanjang ke cakrawala
Mana benderanya?
Barangkali tertambat dan terlunta
Di museum waktu

Tapak-tapak angin, pantun-pantun leluhur


Mengabur di jantung wolio
Di belit belukar sepi dan rerantai hari.
Menyelinap di rerapuh malige.

Pada mata jangkar,air mata laut berkarat menimbun berteluk-teluk jarak

2. Sendri Yakti
Lahir di Kendari,9 September 1980.Aktif di Teater Sendiri sejak duduk di bangku SMA Negeri 1 Kendari. Mengawali
pentasnya dengan lakon Dream of La Bio di Gedung Koni oleh teater SMUNSA, selanjutnya ia pentas pada Indonesia Jilid
IV (Habis) karya/sutradara: Achmad Zain pada Festival Teater Alternatif (FTA) GKJ Awards di Gedung Kesenian Jakarta,
Oktober 2003. Bersama Abd. Razak Abadi, pernah menjadi pengisi tetap Art in Radio (AIR) di Radio Swara Alam FM
Kendari. Mengikuti Malam Bulan Puisi-Teater Sendiri 2004 & 2005, dan Pembacaan Sajak Akhir Tahun Teater Sendiri
2005. Puisinya diantologikan pada Antologi Puisi Sendiri, Sendiri 2, Kumpulan Sajak Akhir Tahun-TS 2005, Antologi
Perempuan Penyair Indonesia [Masyarakat Sastra Jakarta-MSJ 2006] dan Majalah Gong Yogyakarta.
Monogram dalam Kolam
Sudah juga kau lindapkan matahari
hingga separuh kolam meruahkan pekat
likat yang memikat, katamu.
padahal, aku ingin menggantung cermin di dahan
lalu membaca warna yang memantul ke kolam
pendar yang mendebar, gumamku.
tapi kau panahbelah matahari
menggeligis pecah ke araharah,
cermin meletik, dedahan mendesik
kolam melepuh dan susut
telah lama kau dedah larung di kolam,
menenggelamkan monogram yang berlepasan.

Kutukan Sungai
Aku memeram batu-batu dan semak di dada
agar ketuk tak bergaung
dan spada tak mampir memekak
cuma boleh decak,
atau tepuk dari muara yang berkecipak.
[kutuk yang mengerak di rusuk].
Tapi pertemuan tiba-tiba itu,
membakar lingkar onak di jemari
memecahhanguskan batu-batu
menjadi tetaburan pasir yang berhinggapan di geraigerai
kukirim embun dan debu tiap saat
seperti laron dan kupu yang juga kau paketkan
tanpa kausal yang jelas.
waktu mengutuk kita menjadi pencemas,
perindu yang tak berani menggumam dan mendesah
sebatas upik abu yang memikat periperi,
meruahkan mawar di relung pangeran
dan bergegas di celah dentang
“sepatu yang kutinggal akan menggeruslepas kutukan,
ritual dari sungai yang mengaliri tubuhku”
Tapi keajaiban tak selalu tiba-tiba
tak ada sepatu yang kutanggal
kereta hanya mengantar adam,
yang bersulang dari deras sungai di mataku
Kuku memenuh inai
gaun yang dilicinkan
dasi berlapis cindai
erat belukar di tangan
ah
onak yang mesti kusemat kembali
Mosaik yang Retak

Udara mengabarkan pilu yang ranggas,


kemarau di surat dan dering telepon malam hari
berulang kukatakan, jangan hansel dan gretel!
tapi tetap kau buang serpih roti di deret pinus hutan,
bukan batu atau kayu.
dan burung itu, bergegas mematuki remah
hingga kau menangis semalaman,
merindui cermin dan matahari
Dan aku, kehilangan pekat matamu
Dari hutan, suratmu pernah sampai padaku
hijau, coklat, lalu putih dan mengusam
sedang di kamar, telanjur kurekat kacakaca
hijau, kuning, juga merah yang benderang
mosaik : cermin dan mataharimu
Lantas, kacakaca memantulkan hijau pinus tempatmu,
kulihat kau menari, senyummu memekar mawar
kulihat burung itu menari denganmu,
matanya nanar meliar
petir berlarian di dadanya,
berkejaran di kuning merah kaca-kaca
menggelegarretakkan mosaik
Dan aku, kehilangan pekat mataku

Kekalahan Dinihari

Malam marut, katakata mengerucut


menerobos sejarah yang mengumuh di sudutsudut
di udara merambat musik bingar, igau yang riuh
percakapan jadi liat dan menoreh pedih
sudah kulupa, kapan negeri ini merdeka,
dan kau mencetak tiga poin di papan skor
menandai amnesia yang akut
kita berdebat tentang feodal yang kataku belel
tapi masih kau panggil ayahmu ode
tak seperti kudecak lidah
dan memanggil kucingku sultan.
keraton tak lagi sakral
melulu peluh melulu lenguh di temboktembok
pukul dua lewat, kau ratapi ruh murhum yang minggat
Embun bergelut di bibir rerumput
mata tak jua mengerut,
skor berkejaran dinihari
selisih yang tipis untuk sebuah final
lamatlamat, udara digaung suara rempak merenjana
pintu berderak, hati tertetak
“malam untukmu, saudara
khalikku merindu, zikirku cuma zarrah di arafah”
dan kau pun beringsut ke kabut.
Selepasmu, angkaangka berjatuhan dari papan
melenting, menggelinding
berputar,
terbakar
memijar,
lalu abu.

Musa di babak Terakhir


- Toer -
Cuaca mendung. radio mengalirkan blues yang getas
mata rusuh, sedu yang ribut
kau menjadi Musa di babak ini,
setelah nil mengaramkan perih dan lirih
tanpa Fir’aun, juga rambu rambu
kau tak perlu berhenti dan berhati.
kau bisa masuk dari pintu manapun di tubuhku.
lalu aku akan membaca rajah tanganmu,
mengheningkan detak yang sungsang
dan ke matamu,
kukirim sunyi terpekat.
mungkin, badai akan menghalau suara
ke bukit, ke nadi sungai, ke palka laut
tapi akan kunyanyikan berlembar igau dari teralimu
puisi, atau mantera, atau ayat-ayat
membakar linting terakhir di bibirmu
lalu menggiring matahari,
ke tabutmu*

3. Fransiskus S. Patadungan,
Lahir tanggal 10 November 1986 di TorajaSulsel.sekarang menjabat ketua Arus Teater Kendari Bergabung sejak awal
berdirinya Arus Teater-Kendari tahun 2006 dan langsung diangkat menjadi Ketua ArusTeater-Kendari. Juara I dan III
Lomba Penulisan PuisiPeringatan Hari Chairil Anwar. Juara II Lomba BacaPuisi pada PESTA Unhalu tahun 2007.
Menyutradaripertunjukan puisi pada akhir tahun 2007. Karya : Antologi Puisi Ini Untuk Esok

KEBEBASAN
Di dinding sebuah gedung
seorang laki-laki berdiri
dengan selangkangan terbuka
Di tengah selangkangannya
air kencingnya memancar.

Januari 2008

KATA TERBINGKAI
Belum usai
kita terbaring setiap malam memandangi langit
menyelam merayapi hati, sambil
menyerap hening dingin
telah berkali-kali kita menyulam
kata-kata menjadi bunga
bertangkai ujung tombak

kita saling memberi


perih terbingkai rapi

Walau kata-kata telah berlalu


namun di batin kata membatu
Dan kita seperti anjing menjilati luka sendiri

DENDAM
Sebab janji pernah mengikat kita
lalu kini
keputusanmu telah memukul

Maka untuk kau tahu


wajah-wajah yang nampak malam
kami rias dengan terang
dari senyum

di sungai air mata


daging pipi
kami lapis daun talas

Dan agar kau tahu


di telapak tangan air mata tergenggam
terkepal tersimpan dalam nafas.

PEREMPUAN
sederhana saja untukmu.

jangan tunggu aku


akan memanggilmu bidadari.
itu tak akan pernah !
sebab kau kuharap menjadi perempuan
yang datang dengan secangkir air untuk lelahku.
Bukan dengan selendang
yang tak lepas membentang di pundak
hingga ke ujung jari
menjadi beban untuk ditanggalkan.

ketahuilah
aku mencintai kamu
karena dan dengan harapan.
DESEMBER APRIL
Desember ini kau masih mengirim salam sepi dari lagit
bagai hujan mengucap musim
bintik-bintik dan gerimis menjadi
liur-liur seiring air mata kerinduan

Di sini tak ada yang menemaniku menyalakan lilin-lilin


menjaga terang tenang
menahan redup oleh tarian angin hingga habis perbatang
aku risih akan keredupan perlahan.
Maka kuganti saja lilin-lilin ini dengan satu lentera
agar terang dan asap hitam sama-sama ada
Janganlah marah tetaplah kalahkan aku dengan kabarmu

Aku telah lelah tapi sabarku tak habis


Aku tahu menuju April nanti kau akan berkabar lagi
tentang beban salip di punduk hatimu
tapi dari Desember ini aku telah bersiap
memikul palungan hingga April
untukmu nanti
4. Acmad Zain
Berawal dari kesendirian, disertai keprihatinan atas kondisi perteateran di Sulawesi Tenggara, tahun 1992,
Stone - demikian akrab dipanggil - mendirikan Teater Sendiri.Ia menulis naskah dan menyutradarai pementasan
teater di Teater Sendiri. Puisinya diantologikan pada Antologi Puisi Teater Sendiri Dengung, Sendiri, Sendiri 2,
Malam Bulan Puisi, Pembacaan Sajak Akhir Tahun TS-2005 [Teater Sendiri], Antologi Wasi Taman Budaya
Banjarmasin, Mengikuti Malam Bulan Puisi-Teater Sendiri 2004 & 2005, dan Pembacaan Sajak Akhir Tahun
Teater Sendiri 2005. Membawa Teater Sendiri yang dibinanya pada berbagai event di Indonesia dalam Temu
Teater Katimuri I, II, III dan Palu Indonesia Dance Forum. Pentas Teater Keliling [Surabaya, Solo, Yogyakarta,
Jakarta], dan ajang lainnya. Menerima Penghargaan Sastra Tahun 2007 dari Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi
Tenggara untuk dedikasinya dalam menggiatkan sastra di Sulawesi Tenggara. Teater Sendiri pun yang dibinanya,
menerima Penghargaan Sastra Tahun 2007 dari Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara atas aktivitas
kesastraan di Sulawesi Tenggara. Baginya, “Berbuat Adalah yang terbaik!"

Fana
Kurangkul malam
Kupagut kelam
Kucumbu rembulan
Kusetubuhi waktu
Kulupa usia
Berpeluh gairah
Di ladang nafsu
Sesaat nikmat
Mengikat
Ajal tiada saat

Halusinasi
air mata
membatu
di rongga
mulut
telinga
bising
memekak
di ketiak
dubur
hati
luluh
meleleh
di antara
bibir
tubuh
rubuh
menggelepar
bising memekak
air mata
luluh meleleh
di ketiak bibir
mulut membatu
di rongga dubur
di antara
hati
Wuawua-05

Sembilan Anak Tangga


Usai lewati sore di awal ‘06
dengan berjuta cerita di antara dua gelas kopi
buatanmu
Sesekali ada tawa terselip
di kepulan asap 234
Din
di sembilan anak tangga
semua tersimpan rapi
dan di puncak tangga ada cahaya membias
biarkan menerpa wajah kita
Din
melangkahlah selama kaki kanan
dan kaki kiri belum menyatu.
Wuawua, 1 Januari ‘06

Aku Cemeti
Aku cemeti
yang senantiasa
mencambukmu!
entah sampai kapan.
Enyahlah rasa sakit
larut rasa sakit
yang tenang…
Desirku adalah
simponi yang ‘kan
mengiringmu
pada
kemanusiaan hakiki.

Ajari Aku
Aku manusia lahir
yang kurang ajar
karena keadaan
Keadaan
menuntunku pada
kehidupan liar
di tengah kaum terpelajar
Kasian para cendekia
ajari aku
‘tuk dapat menjarah
harta negeri ini
Ajar aku
‘tuk berwajah dua
ajar aku
‘tuk bersilat lidah

5. Royan Ikmal
Lahir di Raha-Muna, Aktif di Teater Sendiri Kendari mulai tahun 2004. Puisinya diantologikan pada
antologi Malam Bulan Puisi [Teater Sendiri] dan Sendiri 2. Bersama Teater Sendiri, ia mengikuti Pentas Keliling
Indonesia 2005 di Surabaya [IAIN Sunan Ampel Surabaya], Solo [Teater Arena Surakarta], Yogyakarta
[kerjasama Teater Tangga-Universitas Muhammadiyah, Teater Eska-IAIN Sunan Kalijaga, Lembaga Indonesia
Perancis-Yogya], dan Jakarta [Pusat Bahasa Jakarta]. Ia juga salah seorang penggagas Teater Empat Raha dan
menyutradarainya. Mengikuti FTP-TS 2005 & 2005, Proselamat-Teater Sendiri, Persen-Depsi, RBK-Anasepu,
Temu Sastra Kepulauan dan Kampung Budaya IV 2004 di Topejawa-Takalar, DKM-BKKI Makassar.
Gambarmu di Kanvas Berikut
Aku hanya menggambarkan wajahmu
oleh kanvas-kanvas tersedia sajak lama
yang separuh isinya telah mengarungi jiwa
walau telah memudar, namun telah tergores
“si kulit tahu” yang ingin bersaning dengannya
Kuakui gambarmu dapat mengubah warna
kalau dulu polos, kini berubah
dengan sejuta warna yang telah buram.
tapi aku
bukan kau dideret kanvas terkebelakang
manyapu pesaingmu terdahulu gugur
Hanya status yang membedakannya
terlebih dulu terlingkar oleh ikatan duniawi
tak mungkin lagi untuk berubah sedikit pun
namun kenyataannya, ada nisan pada gambarmu
mengukir di belakang kanvas
aku hanya menyediakan, melayani, melengkapi
apakah terus terukir atau tidak.

Ayah
Telah banyak kugoreskan hatiku
pada pecahan malam, barabara matahari.
terlebih lagi untuk sebuah nyanyian
yang aku tempel pada dinding tepian hari
dan terhempas oleh hujan berhari-hari
Kali ini, hanya permintaanku pada angkasa
kita dapat bersanding dalam penantian
setelah kuasanya meneteskan syurga.
aku tidak menuduh bencana adalah penyebabnya.
tapi bencana adalah kebahagiaan
yang membawa engkau tersenyum berkepanjangan.
Ayah, hanya butiran air yang kupersembahkan
lewat selubung kata maaf yang tersesal
laksana kubangan yang coba memberikan kesejukan
walau mengalir tidak, tapi mataair murni
yang tertampung sejak terciptanya kehidupan.
Tuhan, masih dengan selembaran kataku buat angkasa
tidak engkau hadirkan hitam tanpa sesuatu yang terang
seperti katamu pada bisikan tulisanmu yang ampuh
kalimat itu terukir tebal di bibir sang ayah
maka jauhkanlah ia dari maut yang telah mengepung.
29 Mei 2006

Hanya Sebuah Desah


Malam ini, telah kupaksa jemariku untuk berjalan
membuat huruf hingga berarti, “kerinduan”
sampai terdengar dan terasa oleh telinga dan
seluruh organ tubuhmu, bahwa kelelawar malam
mampu melihat dalam kegelapan.
dengan sebuah harapan, “kepuasan”
Sebelumnya aku pernah menggali di atas batu karang
membuat tanganku terluka dan aku mengerang
tak pernah aku pikir, mengapa mawar berbunga duri?
Terlalu sulit untuk kupangkas di dalam rumahku.
Saat ini pun aku bertanya pada malam
apakah kita tidak akan melihat mentari pagi?
Maaf, hanya sebuah desah.
Yogyakarta, 22 Juni 2005

Bersetubuh dengan Kotoran


Maaf!
kita terpaksa bercinta di tengah malam
beriringan
bergandengan
berpelukan
berciuman
bahkan bersetubuh dengan kotoran
Kalau kau berkata tentang bulan yang hampir purnama
di tengahnya awan samara yang selalu menyaring sinarnya
aku tahu
kau tahu
aku buas
kau puas
aku enggan
kau bosan
Sayang, iring-iringan senjanya seakan di ubun-ubun
mungkin air bah terlanjur mengalir dengan derasnya
mengguling kita hingga hanyut dalam pelukannya
Kita mencoba menggapai tiang
walau hanya tangan yang selalu menengadah
pada bebatuan yang besar menimbun
bukan berarti bulan tidak akan purnama
hanya saja kita masih kotor di matanya
andai aku bisa menyaring penyesalan
akan aku persembahkan buat hari kemudian
harapkan kau mempersembahkan sesuatu
lepas aku di hari kemudian
Yogyakarta, 22 Juni 2005

Telah Kujelajahi Lorong Hatimu


Telah kujelajahi lorong hatimu, lalu
Aku siapkan tempat sampah untuk membuang
Semua kebusukan yang ada di kepalamu.
Pernahkah engkau melakukannya
Seperti deretan semut dengan susah
Menggotong sesuatu dengan kebersamaan?
Setapak demi setapak kakimu berpijak
Melupakan panasnya bara api yang kau lalui
Engkau tahu saying, betapa mulianya
Pengorbanan waktu, betapa tulusnya
Kepedihan rasa, dan
Betapa relanya hari untuk 3 tahun.
Saat ini romansa melilit di kepalaku, begitu pula
Lambaian jiwa, mungkinkah mata
Harus berkorban dengan memberikan
Tetesan bening yang ia miliki?
Telah kujelajahi lorong-lorong hatimu
Hingga aku tersesat di bibirmu
Dan engkau tertinggal jauh
Bahkan menetap dalam otakku
ANT Taman Budaya, 011205

6. Didit Marshel
Lahir di Uepai tahun 1976. Bergabung dengan Teater Sendiri sejak tahun 1997. Alumni Unhalu Jurusan
Bahasa dan Seni tahun 2002. Bersama TS, ia pentas dalam beberapa event kesenian, antara lain Temu Teater
Katimuri I, II, III dan Palu Indonesia Dance Forum. Karya puisinya terdapat pada Antologi Bersama Sendiri,
Sendiri 2, Malam Bulan Puisi [Teater Sendiri]. Seusai kuliah si Unhalu, ia kembali ke kampong Uepai dan
membentuk sanggar berbasiskan anak-anak usia SD, SLTP, dan SMA yang bernama Teater Rakyat Anamolepo
[Trapo] eapai. Sanggarnya, Trapo telah berkali-kali pentas, dan berkali-kali pula meraih sutradara, aktor, artistik,
penyaji terbik pada berbagai iven anatara lain Festival Teater Pelajar [2004-2005]-Teater Sendiri Kendari dan
Festival Teater-Teater Empat Raha.
Pada
Pada hidup kukatakan sepi kepanjangan
pada ramai kurelakan tuk menyatu
pada malam kubertemu angin sunyi
pada siang kubersama kehangatan hambar
pada jengkel kuluapkan semua isi perut
pada rindu kukhayalkan di kejauhan
pada terang kuberlindung dari kesilauan
pada gusar kuterbawa sepoi emosi
pada sabar kuselami kedalamannya
pada dosa kucoba hindari
pada pahala kuakan gapai
Aku ini dalam perjalanan
penuh cadas pada pijakan
perih berdarah ku kan tersenyum
walau mata berkaca-kaca.
Lasolo, 20 November 2005
Hoplah
Tung hitung terluntang lantung
menggantung di awang-awang
lang melayang menerawang
Diri sendiri menyendiri
beri, lari hindari menghampiri
seri si sri sari-sari
Larut terpaut taut maut
kusut kasut kusut rambut
cabut serabut lutut
Celoteh boteh loteh moteh teh
toreteh bateh loteh kateh
mateh sateh tateh jateh
Jalan pelan berkalan-kalan
cepat dapat ketupat rapat
tunjukkan akan berakan ikan
Resah asah mengasah basah
melamun namun manyun
lebam garam malam selam
Ngung…. Ung… ng… g
B…. i….

Tiba-tiba Saja
Tiba-tiba saja saingat itu anak
malas-malasnya, rajin-rajinnya, keras-kerasnya,
marah-marahnya, ngambek-ngambeknya,
uring-uringannya
Jika kelak aku larut usia
ialah penerus langkah
karena, tiba-tiba saja saingat itu anak
Dia!
terlintas disaat aku sunyi
disaat aku sedih
ayun langkahnya adalah obat
diamnya adalah dingin
cerianya adalah nyata
karena, tiba-tiba saja saingat itu anak
Aku !
bukan apa-apa
ia adalah harapan
walau ia tidak tahu, sebab
tidak ‘kan pernah kuberi tahu
tentang segalanya itu
kelak ia akan tahu
bahwa ia adalah segalanya
karena, tiba-tiba saja saingat itu anak
Pedalaman Lasolo, 7 Oktober 2005

Bingung
Gantung untung lantang sayang
hanya di hati tapi terkunci
benci laci, poci pecah lengah basah
Sarang dijadikan sarung buat serang barang
barang buta seperti bala berhati batu
terbata-bata hindari diri lari sembunyi
Mungil mengail pengalaman di halaman
berlindung pada pelindung, buang lang-lang diberi sayang
apa dikata lata berkata jata jadi rata-rata
lolos polos, siapa jadi jongos?
Pintar putar latar, narasi jadi basi
sampai kapan papan delapan kedepan
akui jati dari Raha, bahwa prahara itu begitu
Memang muda ada padamu,
tapi madu pada padu walau pedih
terima saja, saja terima tak lama-lama
sabar disambar tebar lebar
sesal asala jasad terbabad
akui mengakui pakui-kui
gila lagi aku kau
hanya nyaho tak bergeming gamang.
Pedalaman Lasolo, 25Agustus 2005

Vocal
Itu dingin selimuti badan
hati beku buat tak nyaman
coba panasi dengan asap
hasilnya kamar jadi pengap
Entah ini hanya rasa
terasa jiwa melambung makna
atau hanya perasaan
dibutuh, tidak! Dilupakan, jangan!
Otak berputar kelilingi alam
gelisah temani temaram
jangkrik lantunkan irama resah
ombak di kejauhan mendesah basah.
Usung harapan di kejauhan
namun tak kesampaian
jarak telah memisah
bungkam semua kumpulan desah
Anak manusia terdampar jauh
langlang buana pedalaman kumuh
sendiri di pengasingan romantis
hingga semua terputus lepas
7. Karmil Edo Sendiri
Lahir di Ende-NTB tahun 1978. Bergabung dengan Teater Sendiri, tahun 1999. Bersama TS ia pentas pada
Temu Teater Katimuri I di Banjarmasin 2000 dan even kesenian lainnya. Ia juga pernah bergabung dengan
beberapa sanggar yaitu, UK-Seni Unhalu, Bensfis, dan kini membina Teater Rahasia. Ia juga telah tiga kali kuliah
di tiga jurusan yang berbeda. Mengikuti Malam Bulan Puisi-Teater Sendiri 2004 & 2005, dan Pembacaan Sajak
Akhir Tahun Teater Sendiri 2005. Karya puisi Antologi Bersama Sendiri, Sendiri 2, Malam Bulan Puisi,
Pembacaan Sajak Akhir Tahun-TS 2005 [Teater Sendiri].
Tentang Malam Kita
Membiarkan bulan berlalu
Begitulah kisah
Di atas bukit batu
Kita berkesah
Polos kata tanpa malu
Tentang sekian resah
Tentang sekian cintamu
Ada kesal
Tentang sekian ceritaku
Ada sesal
Tentang malam itu
Ingin kau kutinju
Uepai, 14 subuh Februari 2006

Tentangmu
Kukuh dua kaki
Topang sejuta ide
Sekian kata entah
Kau ambil
Kau buang
Tinta pun tercecer pada leluk bayangmu
Kekar dua lengan
Pikul sejuta gagas
Sekian cerita entah
Kau rangkum
Kau edit
Kertas pun terserak pada tiap desahmu
Kilau lapang jidat itu
Kutahu kau gemilang
Ada yang ingin kukatakan tentang kau
Din, aku iri
Ende, 2005

Kata Mata Kita


Mata pena bosan merangkai kata
Mata pena enggan melukis kita
Mata pena macet di kota
Mata pena kehabisan tinta
Mata kota kita
Seperti pena tanpa tinta
Seperti tinta tanpa kata
Kendari Beach, Desember 2004

Maaf Dek
:Mereka
Sementara kuingin sembunyi
Kau mencari
Sementara sekian banyak kujauhi
Kau hampiri
Sementara aku berlari
Kau dapati
Entah siapa yang mulia
Lalu ada belai
Enggan usai
Bahkan tanpa kata
Apalagi cinta
Tercipta cerita
Segala tentang kita
Maaf
Aku khilaf
Aku insyaf
Kendari, 140203

Memori Kita
:Andi
Di atas sampan itu
Kita pernah bersama
Tantang pembodohan
Dalam tirai
Tenggelam di dalam ideologi
Hanyut di arus perlawanan
Kandas di kejamnya kekuasaan
Lalu terapung oleh popularitas
Kita pun sepakat hilang
Lenyap dari kenyataan
Aku bersembunyi
Dalam kegelapan yang bagiku artistik
*terakhir kudengar
Kau semakin mesra dengan-Nya
Makassar, Agustus 2005
8. Iwan Konawe
Lahir di Kendari tahun 1978. Menggaa Lighting [Penata Lampu] Teater Sendiri ini pernah mengecap bangku
kuliah di UNM-Makassar Jurusan Sendratasik angkatan 1999. Namun, saya ramalkan bakal tak selesai-selesai.
Makanya lebih baik cepat mengundurkan diri sebelum diundurkan, katanya sambil tertawa. Bersama TS, ia
pentas dalam beberapa event kesenian. Mengikuti Malam Bulan Puisi-Teater Sendiri 2004 & 2005, dan
Pembacaan Sajak Akhir Tahun Teater Sendiri 2005, Temu Sastra Kepulauan dan Kampung Budaya IV 2004 di
Topejawa-Takalar, DKM-BKKI Takalar-Makassar. Selama empat bulan, magang di Gedung Kesenian Jakarta
bagian Tata Cahaya dan Artistik, kerjasama Yayasan Kelola-GKJ. Karya puisi pria Konawe (Tolaki) yang suka
bertualang ini, terdapat pada Antologi Bersama Sendiri, Sendiri 2, Kumpulan Sajak Pembacaan Sajak Akhir
Tahun-TS 2005, Malam Bulan Puisi [Teater Sendiri], dan Majalah Gong Yogyakarta. Kini menetap di Kendari
sambil sesekali bertualang ke Uepai.
SMS Kedua Ratus Tujuh
:Syaifuddin Gani
‘lekas kemari
kamis atau jumat pagi
kau mesti di kendari
kita akan mengganti bulan
dengan malam bulan puisi”
begitu berburu kau menyapaku
lewat pesan masuk telepon genggamku
:pada suatu magrib
tanpa bulan temaram
hanya kegelapan
kesepian,
berjarak puluhan kilometer kerinduan
Uepai, Ujung September 2004

Kata Perpisahan V
:Para Pembuat Bom
selamat malam anjing malam
berikan kami lolonganmu
sebagai jerit penolong untuk kami
memasuki mimpi yang bergalau
akan kuberi jeritan yang lain
lebih perih, lebih menyayat:
dari bagian tubuh kami yang terbuang.
Uepai, 2004

Silea
di tanah pinus pegunungan silea
reranting kering berguguran
merepih kabut
memapah pagi yang berpekat.
tepi gunung menebar wangi sejuk kemesraan
tepi jurang menebar indah getir kematian
menuliskan rinduku bergalau
sepanjang jalan berlika-liku debu.
Kolaka, Agustus 2004
Suatu Malam
suatu malam
saat lorong rumahmu mulai kelam
kupacu jarak menembus rindu yang pupus
kuhalau kabut malam yang menutup
jarak perpisahan
Kendari, 2003

Ritus Molulo
bumi merubah nasib:
pesta kawin, panen, dan kematian
tiba-tiba menjemput
bumi dijajal:
kedua telapak kaki menari

jemari adam erat menganyam jemari hawa


luluh lantakkan tanah
pada pusar lingkar kekerabatan
bumi bersaksi:
demi cucu merukun
tiga bunyi karandu
dititipkan tono motuo
demi kami
Inggomiu
Konawe, 2004

9. Irianto Ibrahim
Lahir di Gu-Buton, 21 Oktober 1978. Belajar sastra dan teater sejak bergabung di Teater Sendiri Kendari tahun 1997.
Puisinya dimuat dalam antologi bersama Malam Bulan Puisi (kumpulan sajak teater sendiri), Sendiri 3 (kumpulan sajak
teater sendiri) Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Kantor Bahasa Medan). Kumpulan Sajak tunggalnya terbit untuk kalangan
sendiri yaitu Barasanji di Tengah Karang (2004); Bunda, Kirimkan Nanda Doa-Doa (2006); Yang Tak Pernah Selesai
(2007).
Semasa mahasiswa mendirikan Pekerja Puisi Sultra (eksis). Kemudian mendirikan Komunitas Arus, ruang baca,
teater dan kedai buku, sebuah ruang diskusi dan pengkajian sastra dan teater di Kendari, Sulawesi Tenggara. Pernah
menjadi peserta Program Penulisan Puisi Mastera di Samarinda

PERJALANAN PULANG
barangkali kau telah melupakannya
atau mungkin lenyap ditelan sepi
lalu kutuntun awan mencatat yang terucap
di antara dupa dalam jambangan perak
dan lagu blues yang tak kutahu liriknya
ada bayang ragu mengintai
dari balik jendela yang telah kusam tirainya
dan seekor kucing kurus melintas
kulihat memantul dari matamu
sudah berkali-kali kuhirup aroma nafasmu
seperti tak akan usai perjalanan sepi
dan lorong waktu yang mendadak jadi peta
mendetak dalam dadaku
barangkali kau tak perlu mengingat
karena telah kutaksir malam
yang meredupkan mimpi
Jogja, 2007

ALAMAT MAUT
kaupun tak akan melihat pantai itu dari jendela
meski dengan bibir bergetar
dengan mata nanar
terlalu singkat sebagai derita
namun, teramat panjang sebagai duka
ada nada pilu tersendat
dasar laut yang menandai maut
dan lambaian penghabisan yang luput dari ingatan
lebih dalam dari segala alasan
kata yang tak dapat dipadankan dengan kelam
dengan seribu malam yang mendekam
atau deras arus yang mengancam
pilu yang dalam dan suram
kau hanya dapat menabur bunga dari jendela
dan ombak akan terus menuju pantai
sementara di langit
awan kelabu bukan miliknya lagi
Buton, 2007

SEJAK MATAHARI
HANYA BICARA PADA BUNGA-BUNGA
sejak matahari hanya bicara pada bunga-bunga
ia tak lagi ke taman itu.
ia ingin sendiri saja,
melupakan bangku kayu
daun-daun yang terserak
ujung ranting yang meruncing
dan satu kancing baju kekasihnya
yang pernah tanggal di sana
dekat sumur batu yang keramat
ia bikin rumah bambu
dengan sebuah beranda
yang menghadap ke utara
sebuah tempat untuk melupakan
sebuah pekarangan yang menjadikan hari
lebih kusam dari kolam tua
sejak matahari hanya bicara pada bunga-bunga
ia ingin sendiri saja
memandang gunung yang kurus karena kemarau
atau kidung riang burung-burung perayu
ia hanya bermain dengan seekor kucing betina
yang entah datang dari mana
ketika malam bertahap menjadi keruh
angin tiba-tiba mengendus
mengambil kucing itu
melarikannya ke gunung
dan menyembunyikannya dekat pohon kuku
pohon yang lebih ia benci dari pacar pertamanya
ia marah
ia kesal
sejak itu ia tak ingin bicara pada angin
Kendari, 2007

BUKIT NATAL
masih ingat bukit natal yang kita pandangi dari balik jendela?
mungkin ada dua atau tiga peri lucu yang sudah terbang pulang
entah karena apa
barangkali tongkat ajaib dan bola lampu berwana merah
sudah redup sejak pagi
dan kau masih membingkai diri
sementara kapas-kapas yang sengaja ditempelkan
telah menjadi salju dalam dirimu
kau dingin, kataku.
dari bukit itu, sebuah kartu natal dengan pita berwana kelam
bergambar sinterklas dan tujuh ekor rusa emas
mengetuk pintu kamarku.
aku butuh peri kecil, kataku.
kau masih membingkai diri
menatap bukit natal yang meredup satu-satu
Samarinda, 2007

SEEKOR BURUNG TUA


ini bukan kali pertama aku melihatnya
seorang pengayuh sepeda bertopi dalam kabut
dan dua kelelawar kecil terperangkap
dekat pohon cemara
ada suara burung malam melengking
saat bintang-bintang kembali pulang
merendam diri
di danau bersama bidadari
bercanda dan menari
lalu terbang lagi
aku di sini
sebagai burung tua yang pasrah
memendam rahasia gunung dan samudra
dan warna cuaca
ini kali kesekian aku melihatnya
seorang pengayuh sepeda bertopi dalam kabut
menoleh sejenak pada seekor kucing
yang linglung mengasak tulang
aku di sini
menghitung butir-butir sepi
dalam kabut yang enggan menepi
Purwakarta, 2007

10. Rustina
Lahir di Pomalaa pada tanggal 3 Juli 1989. Saat ini,penulis sedang menempuh pendidika Di FKIP Universitas
Haluoleo,Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia,Sastra dan Daerah angkatak 2007. Bergabung dalam Komunitas Arus
Kecil Kendari.

Ratapan Senja

Mungkin
Hari dewa langit sedang bersedih

Aur matanya tlah menjejal tanah pekarngan

Membasahi pakaian yang tadi kujemur

Enah apa yang dikatakannya ketika mencium ata rumahku

Pohon tanjung terbahak menatap gusar wajahku

Wahai dewa;

Harus pakai apa kusea air matamu ini?

Haruskah kutarik awan dan menutup mata airmu?

Atau kubalut dengan cahaya matahari senja?

Kendari Maret,2008

Sehari Di akhir Maret

Saat kau kembai;

Mengulum jejak kenangan tentang kita

Mungkin itu hanya sekedar mimpi akan sejarah


Karena jejak itu

Kini menjadi puisi yang kau baca.

30 Maret 2008

Mimpi

Saat rembulan bersujud pada pedar malam

Dari jerat tubuh

Kau bebaskan roh

Yang dibungkus berates-ratus sampul

Menggerayangi pekat malam

Yang menyembah dingin

karena subuh masih terasa panjang

Kendari,3i Maret 2008

Saat suara-suara itu Kekal


Saat suara-suara itu kekal

Mata kian lelah tuk me,andang

Baying-bayang itu ilusi

Dan sedetikpun ta akan pernah nyata

Tuk bertahta disetiap tatap mata

Saat suara-suara itu kekal

Dunia diam

Terhimpit derai hujan

Pelipur segala duka

akan sebuah kisah

Saat suara-suara itu kekal

jejak kish itu telah usai

dalam rangkaian cerita

pengantAr lelap.
Rs.Korem 01-11-2007

Kelam Senja

Di jembatan itu

Air matamu sealir arus sungai

Yang mendendangkan kisahmu

Entah apa yang tlah membuatmu meratap?

Sebab apa yang menjadi pucuk ratapanmu?

Disenja yang hendak meminang malam

Engku belum juga beranjak dari jembatan itu

Engkau hanya menghitung tetes demi tetes

Duka yang telah meretas lukalukamu

Sendu wajahmu

Tak lagi dapat mencipta cahaya malammu

Seakan ratapmu
Tlah menjalin perjanjian

Dengan waktuwaktu yang akan engkau lalui

Hingga

Jembatan itu menawanmu

Dengan rantai yang menjeratmu

Pada bingaibingakai kelabu


1.

2. Goenawan Mohamad
dilahirkan di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Pemimpin redaksi majalah Tempo selama 23 tahun yang juga
mantan wartawan harian Kami ini dikenal luas sebagai penyair dan penulis esai yang sangat cerdas. Karya-karyanya
antara lain: Pariksit (1971), Potret Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang (1972), Interlude (1973), Seks, Sastra, Kita
(1980), Catatan Pinggir (1982-91; empat jilid), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998). Salah seorang
penanda tangan Manifes Kebudayaan ini, pada 1973 mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah RI, dan delapan tahun
kemudian meraih SEA Write Award.

Di Muka Jendela
Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil
ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh: - Datanglah!
Ada sepasang bukit, meruncing merah
dari tanah padang-padang yang terngadah
tanah padang-padang tekukur
di mana tangan-hatimu terulur. Pula
ada menggasing kincir yang sunyi
ketika senja mengerdip, dan di ujung benua
mencecah pelangi:
tidakkah siapa pun lahir kembali di detik begini
ketika bangkit bumi,
sajak bisu abadi,
dalam kristal kata
dalam pesona?
Kabut
Siapakah yang tegak di kabut ini.
Atau Tuhan, atau kelam:
Bisik-bisik lembut yang sesekali
Mengusap wajahnya tertahan-tahan
Kepada siapakah kabut ini
Telah turun perlahan-lahan:
Kepada pak tua, atau kami
Kepada kerja atau sawah sepi ditinggalkan
1963

3. Abdul Hadi WM
Dilahirkan di Sumenep, Madura, 24 Juni 1946. Antara 1967-83 pernah menjadi redaktur Gema Mahasiswa,
Mahasiswa Indonesia, Budaya Jaya, Berita Buana, dan penerbit Balai Pustaka. Pada 1973-74 mengikuti International
Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat. Karya-karyanya: Riwayat (1967) Laut Belum Pasang (1971), Cermin
(1975), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1976; meraih hadiah Buku Puisi Terbaik
Dewan Kesenian Jakarta 1976-77), Tergantung Pada Angin (1977), Anak Laut Anak Angin (1983; mengantarnya menerima
penghargaan SEA Write Award 1985). Sejumlah sajaknya diterjemahkan Harry Aveling dan disertakan dalam antologi
Arjuna in Meditation (1976).
Dan Angin di Luar Jendela
OlehAbdulHadWM(1946-)

lampupadam
malammati
danangindiluarjendelayangsayuputerhenti
ruangyangberkemaskumandanghilang
lebihdingin,Tuhan
dandesakanlangitdalamudara
dankemarauyangberbagisisa
padaku

padabayanganmengecil
padabayanganyangtakterdengarsentuhan
terbisikjugasajakdanceritera
tapitaktahudetikpunjam
bersamamusimturunperlahan

Tuhan,sajakyangkinitermangu,dinginabadi
terhentisebelumjadi
diluarangin,dijendeladanbulankianbiru
pudardiatasbahuku

Tuhan,selamatmalam

Yogyakarta, 1967
Tuhan pada Suatu Subuh
Tuhanberjalan-jalandarisatuayatkeayatlain
Darisatudoakedoalain
Menyaksikankitasemua
Merubahkabut
Jadicuaca

Demikiansepi
Akanmenjelmakanpuisi
DanTuhantegakdisini
Memperhatikankitasemua
Assalamu’alaikum,ucapnya
Sambilmenebarkanbunga-bungasurgawi
1967
(Tahun penerbitan Terlambat di Jalan sajak-sajak 1967-1968

4. Amir Hamzah
Dilahirkan di Tanjungpura, Sumatera Utara, 28 Februari 1911 dan meninggal di Kuala Begumit, di provinsi yang
sama, 20 Maret 1946, sebagai korban dari suatu “revolusi sosial”. Ia merupakan pendiri majalah Pujangga Baru (1933)
bersama-sama Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Dua kumpulan puisinya, Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu
(1941) tak henti-henti menjadi bahan pembicaraan dan kajian para kritikus sastra di dalam dan luar negeri serta diajarkan
di sekolah-sekolah hingga saat ini. Selain itu ia pun melahirkan karya-karya terjemahan: Setanggi Timur (1939), Bagawat
Gita (1933), Syirul Asyar (tt.).

Karena Kasihmu
Karenakasihmu
Engkautentukanwaktu
Seharilimakalikitabertemu

Akuangankanrupamu
Kulebihisekali
Sebelumcuacamenalisutera

Berulang-ulangkuintai-intai
Terus-meneruskurasa-rasakan
Sampaisekarangtiadatercapai
Hasratsukmaidamanbadan

Pujikudikaulaguankawi
Datangturundaridatuku
Diujunglidahengkauletakkan
Pintuterunaditengahgembala

Sunyisepipintunyapoyang
Tidakmenretakdindingdambaku
Layanglagutiadamelangsing
Harumgemerincinggentarebana

Hatiku,hatiku
Hatikusayangtiadabahagia
Hatikukecilberdukaraya
Hilangiayangdilihatnya

1937
(Tahunterbitkumpulapuisi Nyanyi Sunyi)

Berdiri Aku
Berdiriakudsenjasenyap
Camarmelayangmenepisbuih
Melayahbakaumenguraipuncak
Berjulangdataruburberkembang

Anginpulangmenyejukbumi
Menepuktelukmengempasemas
Larikegunungmemuncaksunyi
Berayun-ayundiatasalas

Benangrajamencelupujung
Naikmarakmengorakcorak
Elanglekasayaptergulung
Dimabukwarnaberarak-arak
Dalamrupamahasempurna
Rindusendumengharukalbu
Ingindatangmerasasentosa
Menyecaphidupbertentutuju

1941
(Tahun terbit kumpulan puisi Buah Rindu)

5. WS. Rendra
Dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935. Sepulang memperdalam pengetahuan drama di American
Academy of Dramatical Arts, ia mendirikan Bengkel Teater. Sajak-sajaknya mulai dikenal luas sejak tahun 1950-an.
Antara April-Oktober 1978 ditahan Pemerintah Orde Baru karena pembacaan sajak-sajak protes sosialnya di Taman
Ismail Marzuki, Jakarta. Kumpulan puisinya: Balada Orang Tercinta (1956; meraih Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955-
56),

Surat Cinta
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur yang gaib,
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah,
Wahai, dik Narti,
aku cinta kepadamu !

Kutulis surat ini


kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai, dik Narti,
kupinang kau menjadi istriku !

Kaki-kaki hujan yang runcing


menyentuhkan ujungnya di bumi,
Kaki-kaki cinta yang tegas
bagai logam berat gemerlapan
menempuh ke muka
dan tak kan kunjung diundurkan

Selusin malaikat
telah turun
di kala hujan gerimis
Di muka kaca jendela
mereka berkaca dan mencuci rambutnya
untuk ke pesta
Wahai, dik Narti
dengan pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga serta keris keramat
aku ingin membimbingmu ke altar
untuk dikawinkan
Aku melamarmu,
Kau tahu dari dulu:
tiada lebih buruk
dan tiada lebih baik
dari yang lain...
penyair dari kehidupan sehari-hari,
orang yang bermula dari kata
kata yang bermula dari
kehidupan, pikir dan rasa

Semangat kehidupan yang kuat


bagai berjuta-juta jarum alit
menusuki kulit langit:
kantong rejeki dan restu wingit
Lalu tumpahlah gerimis
Angin dan cinta
mendesah dalam gerimis.
Semangat cintaku yang kuta
batgai seribu tangan gaib
menyebarkan seribu jaring
menyergap hatimu
yang selalu tersenyum padaku

Engkau adalah putri duyung


tawananku
Putri duyung dengan
suara merdu lembut
bagai angin laut,
mendesahlah bagiku !
Angin mendesah
selalu mendesah
dengan ratapnya yang merdu.
Engkau adalah putri duyung
tergolek lemas
mengejap-ngejapkan matanya yang indah
dalam jaringku
Wahai, putri duyung,
aku menjaringmu
aku melamarmu

Kutulis surat ini


kala hujan gerimis
kerna langit
gadis manja dan manis
menangis minta mainan.
Dua anak lelaki nakal
bersenda gurau dalam selokan
dan langit iri melihatnya
Wahai, Dik Narti
kuingin dikau
menjadi ibu anak-anakku !
Rumpun Alang-alang
Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang
Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang
Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal
Gelap dan bergoyang ia
dan ia pun berbunga dosa
Engkau tetap yang punya
tapi alang-alang tumbuh di dada
6. Subagio Sastrowardoyo
Dilahirkan di Madiun, Jawa Timur, 1 Februari 1924, dan meninggal di Jakarta, 18 Juli 1995. Peraih M.A. dari
Departement of Comparative Literature, Yale University, Amerika Serikat ini pernah mengajar di beberapa sekolah
menengah di Yogyakarta, Fakultas Sastra UGM, SESKOAD Bandung, Salisbury Teachers College, dan Flinders University,
Australia. Cerpennya, “Kejantanan di Sumbing” dan puisinya, “Dan Kematian Makin Akrab”, masing-masing meraih
penghargaan majalah Kisah dan Horison. Kumpulan puisinya, Daerah Perbatasan membawanya menerima Anugerah
Seni dari Pemerintah RI (1971), sementara Sastra Hindia Belanda dan Kita mendapat Hadiah Sastra dari Dewan Kesenian
Jakarta, dan bukunya yang lain, Simfoni Dua, mengantarkannya ke Kerajaan Thailand, menerima Anugerah SEA Write
Award.

TAMU
masih ada yang mau singgah
di pondok tua — kesan sesal
gamit rindu, gores duka
biar terbuka pintu muka
buat tamu tak terduga
siapa akan mengajak berbicara —
rumput, batu, matahari
arti kabur di pudar hari
di bawah jenjang berdiri bayang
di tangan pisau belati
tiba ia menoleh memperhati

TAMU
Lelaki yang mengetuk pintu pagi hari
sudah duduk di ruang tamu. Aku baru
bangun. Tapi rupanya ia tidak
merasa tersinggung waktu aku belum
mandi dan menemui dia. Rambutku masih
kusut dan pakaianku hanya baju kumal
dan sarung lusuh.
“Aku mau menjemput,” katanya pasti,
seolah-olah aku sudah berjanji sebelumnya
dan tahu apa rencananya.
“Bukankah ini terlalu pagi?” tanyaku ragu.
“Dia sudah menunggu!” Ia nampak tak sabar
dan tak senang dibantah. Aku belum tahu
siapa yang ia maksudkan dengan “dia”,
tetapi sudah bisa kuduga siapa.
“Tetapi aku perlu waktu untuk berpisah
dengan keluarga. Terlalu kejam untuk
meninggalkan mereka begitu saja. Mereka
akan mencari.”
Nampaknya tamu itu begitu angkuh seperti
tak mau dikecilkan arti. Siapa dapat lolos
dari tuntutannya.
Sebelum aku sempat berbenah diri ia telah
menyeret aku ke kendaraannya dan aku dibawanya
lari entah ke mana. ke sorga atau ke neraka?”
7. Sapardi Djoko Damono
Dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, 20 Maret 1940. Puisi-puisi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia sejak
1975 dan pernah aktif sebagai redaktur majalah sastra-budaya Basis, Horison, Kalam, Tenggara (Malaysia) ini adalah:
Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983; mendapat Hadiah sastra DKJ 1983), Sihir Hujan (1984;
pemenang hadiah pertama Puisi Putera II Malaysia 1983), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000).
Sedangkan karya-karya sastra dunia yang diterjemahkannya: Lelaki Tua dan Laut (1973; Ernest Hemingway), Sepilihan
Sajak George Seferis (1975), Puisi Klasik Cina (1976), Lirik Klasik Parsi (1977), Afrika yang Resah (1988; Okot p’Bitek).

AKUINGIN
Akuinginmencintaimudengansederhana
dengankatayangtaksempatdiucapkan
kayukepadaapiyangmenjadikannyaabu

Akuinginmencintaimudengansederhana
denganisyaratyangtaksempatdisampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Sebuah Taman Sore Hari


darisayap-sayapburunkecilitu
berguguransepi,sepiku
saatterhentidisebuatamankotaini
daunjatuhdiatasbangku,bagaimimpi

diantardatangdansuatukalipergi
beribuloncengberbunyi
kekalsewaktubercakapkepadahati
lalukepadabumi.Disiniakumenanti

1967

8. Sanento Yuliman

Dilahirkan di Banyumas, Jawa Tengah, 14 Juli 1941, dan meninggal di Bandung, 14 Juli 1992. Pada 1981 menyelesaikan
program doktoralnya di Ecole de Hautes Etudes en Science Sociale, Paris, Perancis. Penyair yang juga dikenal sebagai
penulis esai dan kritikus seni rupa yang disegani ini pernah menjadi redaktur Mahasiswa Indonesia, majalah sastra
Horison (1971-73), dan Aktuil, khususnya untuk ruang “Puisi Mbeling”. Puisi-puisinya diangkat Ajip Rosidi ke dalam Laut
Biru Langit Baru (1977).

Pertempuran Subuh
serentetantembakan–kemudiansepi
sebuahledakan:
sunyikembali

ditimur
deretanawan:
lengkungalisyangkela

serentetantembakan
horisonpunsenyap
sepertimatayangpejam
angin
napasyangdalam
tiba-tibalangitmengangkat
pelupuknya,dannyalaterbuka,memandangmata
hari,murahdanmerah
denganberatmenatap,mengawasi
prajurityangtersungkurkanak-kanakyanghancur
rendahdanmerahmencari
sesuatuyangbarudibumidanmenemukan
(pagiini,sepertiselamanya)
hatimanusia
burukdantua
serentetantembakan
(dilangit
burung-burungbeterbangan:
bayang-bayangyanggelisah
diantarabintang-bintang)
1967

9. Saini K.M.

dilahirkan di Sumedang, Jawa Barat, 16 Juni 1938. Penyair yang bertahun-tahun mengasuh rubrik “Pertemuan Kecil” di
Pikiran Rakyat Bandung ini terakhir menjabat Direktur Jenderal Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Sejumlah penyair yang lahir dan berkembang dari kelembutan dan ketajaman kritiknya di “Pertemuan Kecil” antara lain:
Sanento Yuliman, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Soni Farid Maulana, Beni Setia, Cecep Syamsul Hari. Karya-
karyanya meliputi puisi, karya sastra drama, dan esai.

Parthenon
Sia-sia.Betapapunmatakhayalmencoba
membangunkembalikemegahankuildaripuing-puingini,
perangdangempabumimenetapkan
bahwaabad-pualamparadewatelahpergi.

Pergi.Segalamambangjelitadanpangerancendekia,
dengankapalpenghabisantelahangkatsauh
dariLautAegeakeNegeriKenangan.Tinggalkita
terpencar-pencardipantaiwaktu.

Mengembaramencaridewatabaru,namuntakmampu
mempersembahkan iman kanak-kanak yang murni; tak mampu
mendirikan Parthenon baru, karena menolak setiap pilar
setiap penopang lain, kecuali tangan dan kaki sendiri.

1968

Nyanyian Tanah Air


Gunung-gunung erkasa, lembah-lembah yang akan tinggal menganga
dalam hatiku. anah airku, saya mengembara dalam bus
dalamkeretaapiyangbernyanyi.Takhabis-habisnyahasrat
menyanjungdanmemujaengkaudalamlaguku.
Bumiyangtahandalamderita,sukmamutinggalterpendam
bawahpuing-puing,bawahdarahkeringdiluka,
padadenyutdagingmuda
Damaikankiranyaanak-anakmuyangdendamdansakithati,
yaIbuyangparahdalamduka-kasihku!

Kutatapsetiapmatadistasiun,padajendela-jendelaterbuka
kucarifajarsemangatyangpijarmenyala-nyala
surya esok hari, matahari sawah dan sungai kami
di langit yang bebas terbuka, langit burung-burung merpati

10. Toto Sudarto Bachtiar


Dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929. Penyair yang dikenal dengan dua kumpulan puisinya: Suara (1956;
memenangkan Hadiah Sastra BMKN 1957) dan Etsa (1958) ini, juga dikenal sebagai penerjemah yang produktif.

GADIS PEMINTA-MINTA

Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil


Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil


Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dam kemayaan riang

Duniamu yang lebih tinggi dari menara ketedral


Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kauhafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk membagi dukaku

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil


Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda

11. Yurnaldi
Yurnaldi (atau sering dipanggil Nal atau Danal) penyair Indonesia asal Minangkabau, Solok, Sumatera Barat. Antologi
tunggal yang telah terbit Berita kepada Ibu (Kreta Nusantara, 1992). Antologi puisi keduanya akan terbit. Puisinya pernah
masuk nominasi terbaik lomba cipta puisi tingkat Sumbar tahun 1994, dan pemenang lomba cipta puisi sosial tingkat
nasional di Banda Aceh tahun 1996.

Aku Kehilangan Matahari 


Aku hidup dalam dunia tanpa biosfir
Dalam dunia iklan nan galir
Nenekku bilang, bumiku dulu alang kepalang
Hutan menghijau ditebang sayang
Florafauna hidup seimbang 
Kini, ketika peradaban bergulir
Aku hidup bagai di bumi partikelir
Duniaku adalah hutanhutan tanggul
Dibaluti asapasap mengepul
Oho, penguasaku keasyikan bersiulsiul 
Aku kehilangan matahari di bumiku
Hutanhutan beton tumbuh subur tak pernah layu
Bertanyalah anak cucu, ke mana perginya banyu
Dimakan siapa itu kayukayu
Oho, kelak akankah aku hidup tanpa paruparu 
Bumiku menyanggah
Tanah airku rengkahrengkah
Kudengar hati nurani penguasaku berkata
Nikmatilah musibah laknat Allah.  
Jakarta, 2008   
Resettlement Mentawai  
Coba kita mau berkata apa
Kalau kenyataan yang kutemui benar adanya
Resettlement adalah peti mati katanya
Seolah tak berdosa
Pemerintah, celetuknya
Tlah lakukan penjajahan budaya
Dengan peti mati dia jauh dari segala
Tak seperti uma untuk tampung semua
Tak bisa muturuk bila punen tiba
Tak ada ritual sebagaimana biasa
Tak hidup mengelompok menurut spesifikasi kesukuannya 
Kita mau berkata apa coba
Kalau nilainilai yang berada di luar dirinya
Resettlement mentawai adalah peti mati katanya
Peti mati siapa
Dia atau kita  
 
Padang-Jakarta, 2002- 2008  

12. Faisal syahreza


Lahir di Cianjur, sedang merampungkan pendidikannya di UPI, Bahasa dan Sastra Indonesia. Puisinya tergabung di
antologi sastra senja, SELALU ADA RINDU (2006, DKJ). Puisi dan cerpennya dimuat surat kabar daerah maupun
nasional (Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Padang Ekspres, Lampung Post, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Jurnal Sastra
Lazuardi, Majalah Sastra Horison Dll)  Kini bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS UPI) dan Sanggar Sastra
Remaja Indonesia, Horison. Juga mengasuh komunitas penulis muda di Rumah Tumbuh.
Sajak cinta
Betapa tidak setiap harinya
Aku jatuh cinta padamu
Seperti halnya
Kutatap wajahmu yang dulu
Ketika pertama bertemu
Aku masih tetap seorang
Lelaki yang menyisir rindu
Sampai meluapkan
Puisi yang tak terwadahi
Dan menujum pada sirat rona
kecantikanmu
Aku selalu gagu
Mengucapkannya padamu
Mungkin karena aku
Selalu kehabisan kata-kata
Dan mulai lupa
Betapa aku
Selalu jatuh cinta
Seperti halnya
Kupu-kupu
Yang tak mau jauh dari
Bunga-bunga di pinggir tebing, tumbuh
Sulit dipetik sesiapapun.
Akulah anak dari sepi
Akulah anak dari sepi
Yang selalu menghitung
Gugur daun di halaman
Menengok ke luar jendela
Berharap seseorang pulang
Ke hatinya, sebagai kekasih
Aku serupa
Malaikat yang hinggap
Di atap rumah mengamati
Orang-orang mengaji
Kemudian terbang ke langit
Membawa pesan pada Tuhan
Aku kemudian
Merasa sendiri terbang
Dan menyelam
Di kedalaman
Lautan kepedihan.

13. Soni Farid Maulana


Dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat, 19 Februari 1962. Sajak-sajak penyair yang bekerja sebagai wartawan harian
Pikiran Rakyat ini tersebar di berbagai media massa dalam negeri, dan sebagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Belanda dan Jerman. Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan: Bunga Kecubung (1984), Dunia Tanpa Peta
(1985), Krematorium Matahari (1985), Para Penziarah (1987), Matahari Berkabut (1989), Kalakay Mega (1992),
Guguran Debu (1994), Panorama Kegelapan (1996), Lagu dalam Hujan (1996), Sehabis Hujan (1996), Di Luar Mimpi
(1997), Impian Depan Cermin (1999), Kita Lahir sebagai Dongengan (2000).

NARASI DI BAWAH HUJAN


 hujan, curahkan berkahmu yang hijau
pada lembah hatiku
 
puaskan dahaga tumbuhan,
hingga jiwaku terasa segar membajak kehidupan.
di pinggir jendela aku ingat benar tahun lalu
aku masih kanak, bersenda gurau, bernyanyi riang,
 
memutar-mutar payung hitam di bawah curahmu;
yang berkilauan agai perak disentuh matahari.
 
o, hujan. Puaskan dahaga jiwaku
agar hidupku menyeruak bagai tumbuhan
 
menjemput Cahaya Maha Cahaya
1984 – 1989

SAAT HUJAN JATUH


 sudah biasa
aku mendengar simfoni rindu
sehabis hujan
di halaman
 
memetik daun-daun
berdering dan pecah
di atas batu
 
esoknya adalah fajar
mengekalkan kicau burung
lalu sisa embun di dahan
 
berkemas, membumbung
ke dalam baris sajak-sajakku
yang sarat cinta
semekar mawarNya
 
            1983
 
14. Ramadhan KH
Dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, 16 Maret 1927. Mantan redaktur majalah Kisah, Siasat Baru, dan Budaya Jaya
yang banyak menulis buku biografi dan pernah lama mukim di luar negeri ini adalah penulis kumpulan puisi Priangan si
Jelita (1958; memenangkan Hadiah Sastra Nasional BMKN 1957-58), dan novel-novel Kemelut Hidup (1976; pemenang
Sayembara Mengarang Roman DKJ 1974), Keluarga Permana (1978; pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ
1976). Novelnya yang lain, Ladang Perminus, membawa pengarang ini ke Thailand, menerima SEA Write Award 1993.
3
 bumi ini dibawa ke alam hijau
dan perang tiada
di atas tali-tali kayu berlubang
 
sumur segala derita,
bersamaan semua berpelukan
 
bumi ini dibawa ke alam hijau
dan perang tiada
di atas hati-hati dara terluka
 
sumur segala sayatan,
penampung tangis bertukaran
 
3
 penyair
kayu pertama
di tumpukan pembakaran
 
penyair
abu landasan
di tumpukan reruntuhan
 
dara!
bimbang hanya
mencekik diri sendiri!
 
dara!
takut hanya
buat makhluk pengecut!
 

14. Mustofa Bisri

Dilahirkan di Rembang, 10 Agustus 1944. Sering menggunakan nama samaran M. Ustov Abi Sri. Lulusan Universitas
Al-Azhar (Kairo, Mesir) ini kerap mengikuti forum baca puisi, termasuk di Festival Mirbid X di Irak. Karya-karyanya
dimuat dalam sejumlah antologi puisi bersama,

Puisi Jenaka Muslimin Modern


Kaummusliminpunmodern
Lihat,merekaberwudludengantissubasahberparfum
Berjumatandikantordengantaklupasholat
..........Tahiyattal-kantor
Imamdankhatibnyacukuptelevisi50inci
Takmemerlukanuangtransportdangaji
Kaummusliminpunmodern
Lihat,merekamendapatkanjodoh
Melaluikomputerbirojodoh
Danmerekakawinviatelepon
Denganpenghulutape-recorder
Danmaskawinkartukredit
Merekaberkomunikasijarakjauh
Denganbahasa-bahasayangtaksalingmenyentuh
Merekataklagiberbedapendapat
Karenabedapendapatmenghabiskanenersi
Dantidakpraktissamasekali
Merekamenggantinyadengankebenciandan
.........permusuhan
Tohsenjata-senjatamutakhirsiapdipergunakan
Mulaicacimakitajamhinggarudal-rudalkejam

Kaummuslimpunmodern
Bukan, bahkan agaknya sejak lama sekali
Mereka sendiri sudah merupakan robot-robot sejati
1410 H/1989 M

AKU MERINDUKANMU, O MUHAMMADKU


Aku merindukanmu o, Muhammadku
Sepanjang jalan kulihat wajah-wajah
yang kalah
menatap mataku yang tak berdaya
sementara tangan-tangan perkasa
terus mempermainkan kelemahan
airmataku pun mengalir mengikuti panjang
jalan
mencari-cari tangan
lembut-wibawamu

Dari dada-dada tipis papan


terus kudengar suara serutan
derita mengiris berkepanjangan
dan kepongahan tingkah-meningkah
telingaku pun kutelengkan
berharap sesekali mendengar
merdu-menghibur suaramu
Aku merindukanmu o, Muhammadku

Ribuan tangan gurita keserakahan


menjulur-julur ke sana kemari
mencari mangsa memakan kurban
melilit bumi meretas harapan
aku pun dengan sisa-sisa suaraku
mencoba memanggil-manggilmu
O, Muhammadku, o, Muhammadku
Di mana-mana sesama suadara
saling cakar berebut benar
sambil terus berbuat kesalahan
Qur’an dan sabdamu hanyalah kendaraan
masing-masing mereka yang berkepentingan
aku pun meninggalkan mereka
mencoba mencarimu dalam sepi rinduku

Aku merindukanmu o, Muhammadku

Sekian banyak Abu Jahal Abu Lahab


menitis ke sekian banyak umatmu
O, Muhammadku-salawat dan salam bagimu-
bagaimana melawan gelombang kebodohan
dan kecongkakan yang telah tergayakan
bagaimana memerangi umat sendiri?
O, Muhammadku

Aku merindukanmu o, Muhammadku


Aku sungguh merindukanmu.

1. Wahib Wahab
Doktor dengan kajian studi Islam dari IAIN Suka Yogya-karta ini, lahir di Kediri, 29 September 1965. Tulisannya banyak dimuat
di berbagai koran dan majalah. Beberapa terbitan bukunya, berupa buku-buku kajian Islam. Kyai ini bekerja sebagai Dosen IAIN
Sunan Ampel Surabaya. Selain itu mengajar di beberbai Perguruan Tinggi Swasta di Jatim, serta beberapa pesantren. Ia juga sebagai
pembina “Forum Studi Islam dan Zikir (FORSIZ) Kab/Kota Mojokerto. Anak tiga (Ria, Misbah, dan Nabila dari istri yang baru satu).
Dalam hidup ia punya motto: meski aku hidup di era belakangan, sungguh aku akan berbuat sesuatu yang pernah diperbuat oleh
orang-orang terdahulu” dan aku ingin “hidup mulia dan Mati sebagai syuhada.”

ZAMAN EDAN
Aku terbakar dalam api menyala perlahan
Aku adalah keinginan yang pedih
Aku serahkan percaya pada kesangsian yang hidup
Aku mencari, bertanya dan bercita-cita
Aku tiada hajat pada telinga zaman edan
Akulah suara penyair terpinggirkan
Oleh kepongahan corong – corong kezaliman

Zamanku sendiri tak pernah paham makna kudamba


Aku akan berbuat “sesuatu” dengan keberanian
Yang belum pernah diperbuat oleh para pendahulu
Berteriak demi kemanusiaan yang terkoyak
Oleh korupsi, pornografi
Menghiasi debat panjang menjemukan.

Mojokerto, 18 Mei 2006


SYAHWAT KORUPSI
kemauan terbakar oleh kesenangan sesaat
harmoni kehidupan pun lenyap
meracuni diri
tak pernah merasa salah
pikiran pun membusuk
terangsang oleh keserakahan
kesempatan menyapa
terbangun oleh kasak kusuk
meraup kekayaan penuh konfirmasi
menggelembung syahwat kerakusan
mencuri keranjang korupsi
tak pernah puas
mata pun buta, telinga pun tuli
wujud strukturalnya manusia
kebuasannya melampaui hewani
gila jabatan, takut kematian
padahal izrail pasti menjemput nyawa
tak pernah salah mendatangi kepada siapa
bila badan terbujur kaku
tak bermakna nada-nada merayu
berharap hidup walau sesaat
untuk diisi dengan jenis-jenis tobat
oh.. sungguh terlambat

Mojokerto, 18 Mei 2006

2. Muhammad Yamin

Dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, 23 Agustus 1903, dan meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962. Menulis
(dan menerjemahkan) karya sastra dan sejarah dalam berbagai bentuk: puisi, drama, biografi.

Bahasa, Bangsa
Was du ererbt von deinen Vätern hast
Erwirb es um es zu besitzen

Selagikecilberusiamuda,
Tidursianakdipangkuanbunda,
Ibubernyanyi,lagudandendang
Memujisianakbanyaknyasedang;
Berbuatsayangmalamdansiang
Buaiantergantungditanahmoyang.

Terlahirdibangsa,berbahasasendiri
Diapitkeluargakanandankiri
BesarbudimanditanahMelayu
Berdukasuka,sertakanrayu;
Perasaanserikatmenjadipadu
Dalambahasanya,permaimerdu.

Meratapmenangisbersukaraya
Dalambahagiabaladanbaya;
Bernafaskitapermanjangkannyawa
Dalambahasasambunganjiwa
DimanaSumatra,disitubangsa,
Dimanaperca,disitubahasa.

Andalaskusayang,janabejana
Sejakkankecilmudateruna
Sampaimatiberkalangtanah
Lupakebahasa,tidakkanpernah
Ingatpemuda,Sumateramalang
Tiadabahasa,bangsapunhilang.
Pebruari 1921
3. Acep Zamzam Noor
Dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 Februari 1960. Alumnus Seni Rupa ITB ini melanjutkan studinya di
Universita Italiana per Stranieri, Perugia, Italia. Puisi-puisinya tersebar di berbagai majalah dan surat kabar dalam dan
luar negeri (Malaysia).
TERINGAT LI PO
Siapakah yang melangkah
Meninggalkan jejak gerimis?
Lengkung langit
Sejak semula hanya betah jadi saksi
Yang bisu. Dan angin risik dan daun-daun
Siapakah yang melangkah
Dan bergegas melupakan jejak
Kesedihan? Aku, bayang-bayang dan bulan
Hanya berpandangan. Menunggu. Dan taman lebih bisu
Juga pohon-pohon dan bangku-bangku. Juga waktu
1983
DUA PANTAI
Di antara dua pantai. Seperti juga alamat rindu
Tersesatlah kita dalam panjangnya sebuah ciuman
Serta rimbunnya sulur-sulur pohon kenangan:
Tenggelam dalam tahun-tahun yang bergaram
Hanyut dan megap-megap dicumbu kesementaraan
Setangga demi setangga menapaki keagungan upacara
Luput menggapai pangkal kata, menyerah pada debar dada
Kembali merayap dari banjar ke banjar, dari kandang babi
Ke kafe sunyi. Dalam mabuk kita melihat sebuah gambar
Dan nampaklah tubuh-tubuh yang bergelimpangan
Seperti patung-patung yang hangus terbakar
Tertawa karena langit kita masih biru adanya
Perahu masih melaju dalam naungan angin sakal
Dari tenggara. Kita membaca jejak pada kilau ombak
Menenggak arak serta kandungan filsafatnya
Hingga gairah mistik itu kembali membakar udara
Dan tubuh kita menjelma anak-anak panah yang menyala
Di antara dua pantai, seperti juga dermaga cinta
Terkulailah kita dalam letihnya sekian persetubuhan
Serta berlikunya jalan menuju ruang pemujaan:
Ternyata kemesraan masih mempunyai wilayah di bumi
Seperti juga kedalaman hati dengan riak-riaknya yang sopan
1996
4. Kriapur
Dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, 6 Agustus 1959, dan meninggal di Batang, provinsi yang sama, 17 Februari 1987.
Menulis sejak 1974. Puisi-puisinya dikumpulkan dalam Tiang Hitam Belukar Malam (1996), dan sejumlah antologi.

KUPAHAT MAYATKU DI AIR


kupahat mayatku di air
namaku mengalir
pada batu dasar kali kuberi wajahku
pucat dan beku

di mana-mana ada tanah


ada darah
mataku berjalan di tengah-tengah
mencari mayatku sendiri
yang mengalir
namaku sampai di pantai
ombak membawa namaku
laut menyimpan namaku
semua ada di air

Solo, 1981

AKU INGIN MENJADI BATU DI DASAR KALI

Aku ingin menjadi batu di dasar kali


Bebas dari pukulan angin dan keruntuhan
Sementara biar orang-orang bersibuk diri
Dalam desau rumput dan pohonan

Jangan aku memandang keluasan langit tiada tara


seperti padang-padang tengadah
Atau gunung-gunung menjulang
Tapi aku ingin menjadi sekedar bagian
dari kediaman

Aku sudah tak tahan lagi melihat burung-burung pindahan


Yang kau bunuh dengan keangkuhanmu —yang mati terkapar
Di sangkar-sangkar putih waktu
O, aku ingin jadi batu di dasar kali

1982
5. Hamid Jabbar
Dilahirkan di Kotagadang, Sumatera Barat, 27 Juli 1949. Karya-karya penyair yang pernah menjadi wartawan
Indonesia Express, Singgalang, dan redaktur Balai Pustaka ini antara lain: Paco-Paco (1974), Dua Warna (1975; bersama
Upita Agustine), Wajah Kita (1981), Siapa Mau Jadi Raja, Raja Berak Menangis, Zikrullah. Cerpennya, “Engku Datuk Yth.
Di Jakarta” terpilih masuk ke dalam antologi Cerita Pendek Indonesia IV (1986; Satyagraha Hoerip [ed.]). Kumpulan
puisinya terakhir: Super Hilang, Segerobak Sajak (1998; memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama).

AROMA MAUT
Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?
Barangkali satu denyut lepas, o satu denyut lepas
tepat di saat tak jelas batas-batas, sayangku:
Segalanya terhempas, o segalanya terhempas!
(Laut masih berombak, gelombangnya entah ke mana.
Angin masih berhembus, topannya entah ke mana.
Bumi masih beredar, getarnya sampai ke mana?
Semesta masih belantara, sunyi sendiri ke mana?)
Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?
Barangkali hilir-mudik di suatu titik
tumpang-tindih merintih dalam satu nadi, sayangku:
Sampai tetes-embun pun selesai, tak menitik!
(Gelombang lain datang begitu lain.
Topan lain datang begitu lain.
Gelap lain datang begitu lain.
Sunyi lain begitu datang sendiri tak bisa lain!)
Padang, 1977/1978

6. Sanusi Pane
Dilahirkan di Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905, dan meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968. Antara
tahun 1931-41, pernah menjadi redaktur di majalah Timbul, harian Kebangunan, dan Balai Pustaka. Karya-karyanya
meliputi puisi, drama, sejarah, dan terjemahan

MENCARI
Aku mencari
Di kebun Hindia.
Aku pesiar
Di kebun Yunani.
Aku berjalan
Di tanah Roma.
Aku mengembara
Di benua Barat.

Aegala buku
Perpustakaan dunia
Sudah kubaca,
Segala filsafat
Sudah kuperiksa.

Akhirnya kusampai
Ke dalam taman
Hati sendiri.

DIBAWA GELOMBANG
Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah kemana aku tak tahu

Jauh di atas bintang kemilau


Seperti sudah berabad-abad
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi yang kecil amat
Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin di daun
Suaraku hilang dalam udara
Dalam laut yang beralun-alun

Alun membawa bidukku perlahan


Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah kemana aku tak tahu

7. Toeti Heraty Noerhadi


Dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, 27 November 1933. Sarjana Filsafat dari Rijk Universiteit Leiden ini meraih
doktor filsafatnya di Univeristas Indonesia. Karya-karyanya: Sajak-sajak 33 (1973), Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979;
[ed.]), Mimpi dan Pretensi (1982), Aku dan Budaya (1984), Manifestasi Puisi Indonesia-Belanda (1986; dengan Teeuw
[ed.]), Wanita Multidimensional (1990), Nostalgi = Transendensi (1995). Puisi-puisinya dimuat pula dalam Antologi Puisi
Indonesia 1997 dan Sembilan Kilap Cermin (2000).
PENYESALAN
mengapa justru malam itu
kau datang padaku?

dalam mimpi lembayung bugenvil


dan bayangan berhadapan, tiba-tiba nyata:
lelaki mencium gadis jangkung
mengecup jari tangannya

berdua kita tegak


salah seorang berpaling muka
engkau atau aku? mengapa?

NOSTALGI = TRANSENDENSI

Nostalgi sama dengan transendensi


betul, ini permainan kata
lagi-lagi kata asing
tapi apa sih yang tidak asing
tapi itu hanya ilusi
kembali pada nostalgi
berarti kehilangan
yang dulu-dulu dibayangkan
hanya tidak mencekam lagi, karena
lembut dengan ironi
saat kini yang berkilas balik
siapa tahu nanti …
kini — dulu — nanti, teratasi
bukankah itu transendensi?

8. Joko Pinurbo
Dilahirkan di Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962. Manuskrip penyair yang hingga kini bekerja sebagai salah seorang
redaktur penerbitan Kompas ini, Di Bawah Kibaran Sarung, terpilih sebagai pemenang ketiga Sayembara Mengarang
Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2000. Selain di dalam Celana (1999), karya-karyanya ditemukan pula di berbagai media
massa, antara lain: Horison, Basis, Kalam, Kompas, Republika.

KEPADA CIUM
 
seperti anak rusa menemukan sarang air
di celah batu karang tersembunyi,
 
seperti gelandangan kecil menenggak
sebotol mimpi di bawah rindang matahari,
 
malam ini aku mau minum di bibirmu.
 
Seperti mulut kata mendapatkan susu sepi
yang masih hangat dan murni,
 
seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri
pada luka lambung yang tak terobati.
 
            2006

UBAN
 Pasukan uban telah datang memasuki wilayah hitam.
Hitam merasa terancam dan segera merapatkan barisan.
“Putih lambang kematangan, hitam harus kita lumpuhkan.”
“Hitam lambang kesuburan, putih harus kita enyahkan.”
 
Tiap malam pasukan putih dan pasukan hitam bertempur
memperebutkan daerah kekuasaan sampai akhirnya

seluruh dataran kepala berhasil dikuasai masyarakat uban.


“Hore, kita menang. Kita penguasa masa depan.”
 
Tapi uban jelek di lubang hidungmu memperingatkan:
“Jangan salah paham. Putih adalah hitam yang telah luluh
dalam derita dan lebur dalam pertobatan.”
 
“Demikian sabda uban,” sindir uban-uban pengecut
yang tiap hari minta didandani dengan semir hitam.
 
            (1999)

9. Chairil Anwar
Dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922, dan meninggal di Jakarta, 28 April 1949. Bersama Asrul Sani dan
Rivai Apin, sastrawan yang oleh H.B. Jassin dinobatkan sebagai Pelopor angkatan 45 dalam puisi itu, mendirikan
“Gelanggang Seniman Merdeka” (1946). Kumpulan puisi penyair yang pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat
“Gelanggang” dan Gema Suasana ini adalah Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949), Deru Campur Debu
(1949), Tiga Menguak Takdir (1950; bersama Asrul Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang (1986), Derai-derai
Cemara (1998).

PRAJURIT JAGA MALAM


Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

(1948)

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO


Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat


Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

(1948)

10. Taufiq Ismail


Dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935. Penerima American Field Service International Scholarship
untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat (1956-57), dan lulus dari Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Indonesia, Bogor (1963). Karya-karya penyair penerima Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1970 yang
juga salah seorang pendiri majalah sastra Horison (1966) dan Dewan Kesenian Jakarta (1968) ini, telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan Perancis. Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan: Manifestasi
(1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.), Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah
Seni 1970), Tirani (1966),

Kerendahan Hati
Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
    yang tegak di puncak bukit
    Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
    yang tumbuh di tepi danau

          Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,


          Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
          memperkuat tanggul pinggiran jalan

    Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya


    Jadilah saja jalan kecil,
    Tetapi jalan setapak yang
    Membawa orang ke mata air

          Tidaklah semua menjadi kapten


          tentu harus ada awak kapalnya....
          Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
          rendahnya nilai dirimu
          Jadilah saja dirimu....
          Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri

Kembalikan Indonesia Padaku


 
        Hari depan Indonesia adalah duaratus jutamulut yang
                 menganga
        Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt,
                 sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang
                 menyala bergantian.
        Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong
                siang-malam, dengan bola yang bentuknya seperti
                  telur angsa
        Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang
                 tenggelam karena seratus juta penduduknya.
                 Kembalikan
                 Indonesia
                 padaku.
       Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main
                pingpong siang malam dengan bola telur angsa di
                bawah sinar lampu 15 wat.
       Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan
                tenggelam lantaran berat bebannya kemudian
                angsa-angsa berenang di atasnya.
       Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang
             menganga, dan di dalam mulut itu ada bola-bola
             lampu 15 wat, sebagian putih dan sebagian hitam,
             yang menyala bergantian.
   Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang
             berenang-renang sambil main pingpong di atas
             pulau Jawa yang tenggelam dan membawa seratus juta
             bola lampu 15 wat ke dasar lautan.
             Kembalikan
             Indonesia
             padaku.
    Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong
             siang malam dengan bola yang bentuknya seperti
              telur angsa
    Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang
              tenggelam karena seratus juta penduduknya.
     Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
              sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang
              menyala bergantian.
     Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang
              menganga.
              Kembalikan
              Indonesia
              padaku.
11. Suminto A. Sayuti
Dilahirkan di Purbalingga, Jawa Tengah, 26 Oktober 1956. Selain tersebar di berbagai antologi, karya-karya penyair
yang hingga kini setia mengulas karya puisi dan sastra di mingguan Minggu Pagi dan KR Minggu ini, antara lain: Puisi
dan Pengajarannya (1958), Himpunan Analisis Sastra (1983), Himpunan Analisis Puisi (1988), Dasar-dasar Analisis
Fiksi (1988), Malam Lereng (1986), Syair-syair Cinta (1989). Kini guru besar, mengajar di Universitas Negeri
Yogyakarta.
MALAM TAMANSARI
Penjaga malam itu datang tatkala rembulan
jatuh di pundak tembok temugelang. Aku pun
bergegas masuk ke dalam mata cincin di jari
manismu, nimas. Orang-orang ribut, “Malingsakti,
malingsakti, di mana engkau sembunyi”.
Keraguan muncul menyelimuti kalbumu. “lepas
Dan berikan buat tumbal-pageblug negeri, Pipi
ini lebih nikmat dielus telanjang jari. “Aku pun
bergegas sembunyi di ikat sanggul rambutmu.
Engkau pun bergegas berbisik, “Malinghati, malinghati,
Kepadamu selamanya aku bakalan mengabdi”. Lalu sepi.
Penjaga malam itu pergi tatkala rembulan jatuh
di pundak tembok temugelang. Aku pun bergegas
keluar dari persembunyian. “Surikanti, Surtikanti,
lelaki sejati tak pernah cidra ing janji”. lalu sepi.

GENDERANG KURUKASETRA
(UTARI)
engkau yang kini tengah berlumur darah
menyandang beban menuju Palagan
berhentilah sejenak dan dengarlah
matahari terengah menyaksikan
korban demi korban berjatuhan
dan perang
senantiasa saja akan berkepanjangan
:
lelaki yang mencoba bertahan
dan dendam tak berkesudahan
dan janji seorang manusia
tengadahlah, di atasmu matahari dan sayap semesta
sebab mereka juga akan datang menghampiri
usaikan dulu Perang dalam sanubari
:
sementara genderang bertalu-talu
anak-anak panah pun bersintuhan dan melaju
menangkan dulu peperangan yang senantiasa jaga
sepanjang engkau bilang: aku anak manusia

12. Emha Ainun Nadjib


Dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Karya-karya alumnus International Writing Program di Iowa
University, Amerika Serikat (1981) ini antara lain: Sajak-sajak Sepanjang Jalan (1978), Nyanyian Gelandangan (1982),
Indonesia Bagian Sangat Penting dari Desa Saya (1980), 99 untuk Tuhanku (1980), Syair Lautan Jilbab (1989), Suluk
Pesisiran (1988), Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan, Sastra yang Membebaskan (1985), Cahaya Maha Cahaya
(1991), Slilit Sang Kiai (1991), Markesot Bertutur (1992), Seribu Masjid Satu Jumlahnya: Tahajud Cinta Seorang
Hamba (1990), Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996), Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1994), Tuhan pun “Berpuasa”
(1977).
Doa Syukur Sawah Ladang
atas padi yang engkau tumbuhkan dari sawah
ladang bumimu, kupanjatkan syukur dan
kunyanyikan lagu gembira sebagaimana padi itu
sendiri berterima kasih kepadamu dan bersukaria
lahir dari tanah, menguning di sawah, menjadi
eeras di tampah, kemudian sebagai nasi memasuki
tenggorakan hambamu yang gerah, adalah cara
paling mulia bagi padi untuk tiba kembali di
pangkuanmu
betapa gembira hati pisang yang dikuliti dan
dimakan oleh manusia, karena demikianlah tugas
luhurnya di dunia, pasrah di pengolahan usus para
hamba, menjadi sari inti kesehatan dan
kesejahteraan
demikianpun betapa riang udara yang dihirup,
air yang direguk, sungai yang mengairi persawahan,
kolam tempat anak–anak berenang, lautan penyedia
bermilyar ikan serta kandungan bumimu yang
menyiapkan berjuta macam hiasan
atas segala tumpahan kasih sayangmu kepadaku
ya allah, baik yang berupa rejeki maupun cobaan,
kelebihan atau kekurangan, kudendangkan rasa
bahagia dan tekadku sebisa-bisa untuk membalas
cinta
aku bersembahyang kepadamu, berjamaah
dengan langit dan bumimu, dengan siang dan malammu,
dengan matahari yang setia bercahaya dan
angin yang berhembus menyejukkan desa–desa
1988
Cahaya Maha Cahaya
Usiaku enam hari
Enam hari yang menakjubkan: Tuhan bermain
ruang
waktu di tangannya, bisa kau bayangkan?
Hari pertama cahaya maha cahaya
Cahaya maha cahaya tak bisa dikisahkan
Bisa, mungkin. Tapi kita ini dungu
Ilmu kita tingkat serdadu
Hari kedua kegelapan tiada tara
Beberapa kata mulai bisa mengucap, karena
rahasia mulai berlaku didepanmu sebagai
rahasia
Hari ketiga kau adalah kau, aku masih aku
Baru kelak Tuhan, semua kita nangis cengeng
Kita melempari galaksi supaya bintang runtuh, kita
mengais-ngais bumi mencari emas permata untuk
kita kunyah-kunyah demi mengisi hari dengan ketololan
Di hari keempat engkau adalah dunia ini
Kalau kau gembira bukanlah kau yang bergembira
sebab sesungguhnya tak kau perlukan
kegembiraan
Kalau kau bersedih kehidupanlah yang bersedih
sebab kesedihan tak sanggup menyentuh jiwamu
Kau tak membutuhkan suka duka, harta atau
kepapaan, kau tak terikat oleh penjara atau
kemerdekaan, kau lebih perkasa dari ketakutan
atau keberanian, kau lebih tinggi dari derajat
kehinaan, kau lebih besar dari kehidupan
atau maut
Di manakah engkau bersemayam kiranya?
Hari keempat telah senja dan fajar hari kelima
mulai menyiapkan pemenuhan janjinya
Hari kelima gelap gulita
Hari di mana engkau sirna, di mana engkau tak
engkau
hari yang menjelmakan kembali menjadi cahaya
menyatu ke hari keenam cahaya maha cahaya
1988

13. Rahim Qahhar


Dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, 29 Juni 1943. Menulis puisi, cerita pendek, drama, novel, dan skenario televisi.

JANGAN BILANG
Jangan bilang : Indonesia hanya Soekarno-Hatta berteriak merdeka
di Pegangsaan Timur tujuhbelas Agustus empatlima

Indonesia adalah ratusan kaki napaktilas di daerah selatan


bersandingbahu bergantian menandu paru-paru Pak Dirman
tak satu pun urung atau menoleh ke belakang

Jangan bilang : Indonesia hanya Rudy bersama kawan berkibar


habis-habisan di gelanggang menimba airmata menang

Indonesia adalah Gombloh yang ompongkurus berteriak serak


merah darahku putih tulangku
Kristi menugal tanah merdeka melepas dara putih ke awan luka

Jangan bilang : Indonesia hanya Salim ahli sihir yang mahir


menyulap desa menjadi kotaraya atau melukis peta
sejarah purba menjadi peta semesta
Indonesia adalah iman meretas tali jajahan bersaksi bambu
mengalahkan meriam namun Nashar masih terus puasa malam
kanvasnya enggan tersentuh tangan dan Buyung menambal nasib
ke seberang teringat kalpataru jauh melayang

Indonesia adalah jutaan tangan siang malam mengemis asma Tuhan


minta sawah berbunga dan kebun tebu kukuh dalam petatua dunia
di mana pendekar sejarah bersumpah tak akan merubah
tanah pusaka di garis khatulistiwa

Indonesia adalah uratnadiku airmandiku gardujagaku jua


Chairil menjaga Bung Karno menjaga Bung Syahrir
menjaga Bung Hatta
aku menjaga siapa bila penerus mimpi dan pertapa
terlena diayun bunga-bunga surga

Jangan bilang : Indonesia harimau singa atau badak Sumatera


Indonesia bumijejakku tungkuapiku payungteduhku jua
Indonesia adalah nyawaku nyawamu nyawa ratusan juta jiwa
yang peluhlepuhnya bahana merdeka

Medan, 595

Kutanam Benih Kutanam Pedih

Kutanam bibit kutanam benih


kutanam pedih kutanam sedih kutanam jerih kutanam risih
kutanam padi berhari-hari
kutanam budi berpanen duri

kutanam sirih rangkai berangkai


pupuk kukasih dihantam badai
ulah siapa ulah siapa

Kucangkul kurangkul tanah merdeka ini


begitu rentan mengusung beban
kusemai kubelai ranah sawah ini
bak perawan menyulam kelam
Kicau burung telah terkunci
saat pohon randu berkabung nyeri
menggemuruh guruh tengah hari
kilat melesat di ubun api
Kusimpan petir di relung dada
tak sempat bertanya kenapa
sang dara belum datang juga
mengantar cangkir dan bejana
barangkali rindunya terkapar
disandera

Kutanam bibit kutanam benih


kutanam luka kutanam noda kutanam duka kutanam dosa
kutanam ketan tumbuh ilalang
curah hujan terasa garam

kutanam cabai dekat pematang


belum kutuai banjir pun datang
ulah siapa ulah siapa

Medan, 2802

14. Agus Ali Mashuri


Kyai ini sebagai pimpinan Pondok Pesantren Bumi Shalawat, Tulangan, Sidoarjo. Banyak ceramah agama di berbagai
daerah di wilayah Jawa Timur.

KUNCI SUKSES ITU DI LANGIT


Jika dengan iman engkau dambakan kedamaian
carilah kedamaian di tempat sunyi
tindakan dan kata adalah saksi pikiran tersembunyi
dari keduanya terpancar hasrat hati nurani
ketahuilah tempat yang sunyi adalah hati

Hati laksana cermin ia memantulkan apa yang dihadapi


dan diinginkannya
hati tak bisa jernih jika tertutup dan ternodai
oleh hawa nafsu dan keserakahan
hati yang bersih bila menerima cahaya Ilahi
maka ia memantulkan kebenaran mendalam

Orang yang berhati rakus dan ambisius lebih panas dari api
orang yang berhati qonaah lebih kaya dari lautan
orang yang berhati bersih dan berperilaku ramah
senantiasa sukses dalam hidupnya
orang yang berhati kasar dan cenderung mencari lawan
tak pernah sukses dalam hidupnya
ketahuilah kunci sukses itu di langit

Kekuatan manusia terbesar adalah doa


jika anda merasa ragu akan kekuasaan Allah
renungkanlah gempa yang melanda Yogya
bersihkanlah hati kita dari tamak dan serakah
dan tanamkanlah di kebun jiwa anda
pohon-pohon hikmah bunga-bunga ilmu
dan kembang-kembang pengetahuan

Bumi Sholawat, 2006


15. Muhammad Thohir
kyai yang satu ini pernah menjabat sebagai direktur Rumah Sakit Islam Surabaya (1975-1985). Dr. Muhammad Thohir,
Sp.Kj ini, lahir di Surabaya, 26 Maret 1943. Pendidikannya FK Unair Surabaya (1964), Spesialisasi Ilmu Kedokteran Jiwa
– FK unair (1990). Jabatan yang pernah diembannya banyak: Pernah jadi Wakil Ketua PWNU Jatim (1987-1997), A’wan
Syuriah PBNU (1992-1997), Ketua IV MUI Jatim Bidang Ukhuwah dan Kerukunan, Ketua IDAJI (Ikatan Dokter Ahli
Jiwa) Surabaya (1997-2002) Selain itu pernah Ketua VII ICMI Pusat, tahun 1995-2000.
AL-QUR’AN NAN INDAH
Indahnya rumah-rumah itu yang
Al-Qur’an sebagai hiasan dindingnya
Dinding-dinding yang merona dan menyapa
Dengan kalimat-kalimat penuh makna
Namun,
indahkan Al-Qur’an itu
Dari hiasabn dinding menjadi hiasan bibir
Bibir-bibir yang bergetar
Melantunkan melodi makrifat
Mengerti maupun belum memahami
Getaran Al-Qur’an dari bibir-bibir itu
Membuka pintu-pintu keindahan

Lewatlah pintu keindahan itu


Masukkan Al-Qur’an
Dari hiasan bibir menjadi hiasan qolbu
Betapa indahnya qolbu berhias Qur’an
Betapa cerah qolbu itu
Penuh cahaya di lubuknya
Sinarnya membekas di qolbu-qolbu yang mendekati
Qolbu yang sehat dan cerdas
Khazanah Nafsu Muthma’innah

Namun,
Lihat, puncak keindahan itu
Ketika aktualisasi Al-Qur’an
Dari hiasan qolbu menjadi hiasan perilaku
Indah nan cantik perilaku
Yang berhias Al-Qur’an
Pribadi murah hati yang dimuliakan
Pribadi mulia nan elegan
Pribadi rendah hati yang ditinggikan
Pribadi harum nan semerbak
Pribadi Taqwa Bahagia dan membahagiakan orang lain
Senang bila menyenangkan orang lain
Peduli dan memberi
Bagai hadiah untuk diri sendiri
Sekaranglah saat untuk menikmatinya

Surabaya, 25 Maret 2006

MENATA HATI

Ketika hati sejernih air


Jangan biarkan ia menjadi keruh

Ketika hati seputih awan


Jangan biarkan ia mendung

Ketika hati seindah bulan


Hiasilah ia dengan Iman*)
Ketika hati suram tak karuan
Cerahkan ia dengan Al-Qur’an

Ketika hati memeluk kebenaran


Puaskan ia menikmati kebahagiaan

Ketika hati seputih melati


Gunakan ia untuk interaksi

Ketika hati penuh madu


Racun pun akan berlalu

Ketika hati berbunga-bunga


Berikan ia sebagai tanda cinta

Ketika hati seperti mutiara


Ucapkanlah Al-Hamdulillah
16. Aminuddin Rifai SS
Lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, 19 Maret 1972, Pabelan, Surakarta. Sarjana Sastra alumnus Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Menulis puisi, cerpen, esai di berbagai media massa dan berbagai buku
antologi, baik bersama maupun tunggal. Antologi esai

Makrifat Sungai

aku berkapal, sepagi tadi


sesiang ini
menyusuri sungai
dan kupastikan
bahwa aku tidak pernah
melupakanmu

dari dek ini


kutangkap aurat tepian
yang menjaga genit perawan
mandi berkain basah
berhati basah

amboi
aku kembali memastikan
bahwa syahwatku telah basah
oleh sebab mengintipmu
di sungai

Anda mungkin juga menyukai