Anda di halaman 1dari 8

Serat Centhini

Anlisa Lailan Kamila, Dewi Vina Qurrotu A’yunil Mukarromah, Muhammad


JIbril Bachtiar, Rizky Naufan Haq

Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang


anlisalailankamila@gmail.com, dewivina116@gmail.com,
jibrilbr9@gmail.com, rkiki5926@gmail.com

Abstrak
Pembuatan artikel ini bertujuan untuk mencoba menelaah dan memahami
tentang bagaimana isi dan makna yang terkandung dalam Serat Centhini
sebagai karya sastra Jawa. Banyaknya persepsi dan pengartian dari
masyarakat bahwa Serat Centhini hanyalah sebuah karya sastra yang
diragukan penulisnya dan dianggap sebagai karya sastra porno yang
dianggap terlalu kasar untuk dibahas. Dari hal ini bisa menunjukkan bahwa
ada kontroversi dari isi Serat Centhini tersebut. Sehingga diperlukannya
sebuah pembahasan mengenai Serat ini sehingga tidak menimbulkan salah
persepsi dan masyarakat dapat mengetahui lebih dalam tentang Serat
Centhini.

A. Pendahuluan
Latar Belakang
Salah satu karya sastra terbesar dalam kebudayaan jawa dengan
cakupan berbagai ilmu di dalamnya yang sarat akan makna mendalam,
sehingga Serat Centhini atau Suluk Tambangraras ini bisa disebut sebagai
Ensiklopedia kebudayaan masyarakat Jawa, sebagaimana tercermin dalam
bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum
baboning pangawikan Jawi (induk pengetahuan Jawa), yang isinya dari
sejarah, pendidikan, geografi, arsitektur rumah adat Jawa, pengetahuan
alam, agama, filsafah, tasawuf, mistik, ramalan, ilmu kekebalan tubuh,
adat istiadat, tatacara dalam budaya Jawa (perkawinan, pindah rumah, dan
lain-lainnya), etika, ilmu pengetahuan (sifat manusia, dunia flora dan
fauna, obat tradisional, makanan), seni, bahkan ada pula ajaran yang
berhubungan dengan hubungan seksual pada jaman dahulu. Keluasan
kajiannya dapat menunjukkan bahwa Serat Centhini merupakan hasil
kebudayaan Jawa yang mengandung ajaran yang memberikan petunjuk-
petunjuk tentang bagaimana manusia harus menjadi manusia sebagaimana
mestinya dengan berbudi luhur, baik, dan bahagia. Meskipun demikian
tidak banyak orang yang tertarik untuk membahas tentang serat ini, karena
sebagian orang masih menganggap Serat Centhini sebagai hal yang tabu
untuk dibahas, selain dari kata-katanya yang kasar, dalam serat ini juga
menjelaskan tentang hubungan seksualitas dengan gamblang tanpa adanya
batasan dalam tembang-tembangnya, yang kemudian hal ini tidak dapat
diterima sebagaian orang karena dianggap porno. Dari penjelasan di atas
dapat ditunjukkan bahwa terdapat kontroversi dan pertentangan dalam
Serat Centhini1.
Serat ini sebenarnya memiliki nama yaitu Suluk Tambangraras, tetapi
mengapa lantas kemudian dinamakan Serat Centhini, karena dikisahkan
seorang bernama Centhini sebagai saudara dan abdi dari Tambangraras
sangatlah sabar dan setia mendampingi Tambangraras dan Amongraga di
dalam kamar selama empat puluh hari lamanya dan mendengar serta
mengingat segala petuah-petuah yang diberikan Amongraga terhadap
Tambangraras, sehingga Centhini memiliki sebuah tokoh penting dalam
Suluk Tambangraras dan karena itulah namanya lah dibuat sebagai judul
Serat Centhini.
Serat Centhini merupakan karya sastra klasik Jawa dalam bentuk
tembang macapat yang diperkirakan mulai ditulis pada awal abad 19
dengan candra sangkal: Paksa Suci Sabda Ji yang sama dengan tahun
1742 Jawa dan sama dengan 1814 Masehi dan selesai pada tahun 1823
yang tergolong dalam hasil karya sastra Jawa Baru yang memiliki corak
Islam. Serat Centhini bercerita tentang kisah perjalanan putra dan putri
Sunan Giri setelah dikalahkan dalam peperangan oleh Pangeran Pekik dari
Surabaya, yang merupakan ipar dari Sultan Agung dari kerajaan Mataram

1
Menurut buku Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan terjemahan dari Serat Centhini
Elizabeth D. Inandiak salah satu tembangnya berbunyi: ‘’Ketahuilah dengan baik, Dinda
arti salat adalah berbicara dengan zat Allah. Salat adalah memuaskan pikiran pada zat dan
bukan lainnya. dan zat adalah welas kasih . . .’’ dan pada tembang yang lain berbunyi:
“Cibolang pintar menebak hasrat wanita, ia bisa semaunya memperpendek atau
memperpanjang zakarnya sesuai ukuran farji yang tersaji, ia mengenali setiap ceruk dan
lekuk daging, sumber kenikmatan….”
Islam. Diceritakan dalam Serat Centhini tentang pengembaraan putra-putri
dari Sunan Giri ialah Jayangresmi, Jayengraga dan seorang putri bernama
Ken Rancangkapti.
Dalam kajian ini terdapat beberapa rumusan masalah yang akan kami
bahas berkaitan dengan Serat Centhini, yang pertama yaitu bagaimana isi
dan yang terkandung dalam Serat Centhini, kemudian bagaimana nilai-nilai
yang terkandung dalam Serat Centhini.

Isi Dari Serat Centhini


Bahasan dan tema dalam penulisan Serat Centhini ialah mengenai
tentang perjalanan hidup Amongraga dalam mencapai kebenaran ilahi
dalam mencapai kesempurnaan hidup dengan meninggalakan segala sifat
keduniawian. Sedangkan tokoh Centhini disini digambarkan sebagai abdi
dari Tambangraras yang setia melayani dan menemani tuannya. Sedangkan
Tambangraras di kisahkan sebagai penerima nasehat, wejangan dari tokoh
Amongraga dan juga sebagai isteri yang sangat menghormati suaminya.
Cerita berawal dari penyerangan pangeran pekik dari Surabaya atas
perintah dari Sultan Agung dari kerajaan Mataram Islam untuk menyerang
daerah Gresik tepatnya di kerajaan Giri, dalam uppayanya untuk
menguasai Giri. Dalam penyerangannya kerajaan Giri dapat ditaklukan dan
Raja Giri yaitu Sunan Giri yang kemudian meninggal dalam penjara
Mataram. Dikisahkkan Sunan Giri mempunyai tiga anak yang bernama
Jayangremi, Jayangraga, dan seorang putri yang bernama Rancangkepti,
yang melakukan pengembaran atau lebih tepatnya pelarian setelah
menerima kekalahan perang dari Raden Pekik. Pada masa-masa itu mereka
terus dicari oleh Raden Pekik atas perintah Sultan Agung. Di ceritakan sang
kakak Jayengresmi kemudian mengungsikan kedua adiknya, akan tetapi
dicari dalam kedhaton tidak ia temukan karena mungkin sudah
bersembunyi, maka pergilah sendiri Jayangresmi dengan ditemani dua
orang santri dengan anggapan bahwa kedua adiknya telah pergi terlebih
dahulu darinya.
Singkat cerita kemudian Jayengresmi mulai berguru pada kyai dan
belajar tentang berbagai bidang ilmu, kemudian Jayengresmi yang sudah
berganti nama menjadi Amongraga menghadap kyai Ageng untuk
melanjutkan perjalanannya untuk mencari kedua adiknya yang terpisah.
Bertemulah Amongraga dengan Kyai Panurta atau Ki Panurta yang memiliki
seorang putri yang bernama Tambangraras yang kemudian akan menjadi
istri sang Amongraga. Setelah Tambangraras telah menjadi istri dari
Amongraga, diceritakan selama 40 malam Amongraga tidak pernah sama
sekali menggauli istrinya ia malah memberikan wejangan-wejangan
terhadap Tambangraras mengenai berbagai hal yakni wejangan mengenai
tentang sifat-sifat Allah, wejangan tentang amal kehidupan, wejangan
tentang syahadat dan beragai wejangan yang lain, dengan Centhini yang
selalu setia mendampingi dengan sabar di dalam kamar dibalik tirai.
Setelah lewat 40 malam akhirnya Amongraga menggauli Tambangraras.
Setelah itu kemudian Amongraga memberitahu isterinya bahwa dia akan
melanjutkan perjalanannya mencari kedua adiknya, mendengar itu
Tambangraras merasa sedih dan mencoba membujuk agar dia boleh ikut
bersamanya, tetapi saat pagi tiba Amongraga sudah berangkat
meninggalkan tempat Ki Panurta bersama dengan kedua muridnya. Maka
dapat kita ringkas tokoh Amongraga disini merupakan anak dari sunan Giri
yang melakukan pengembaraan setelah kerajaan Giri diserang yang
kemudian ia memperdalam ilmunya sampai ia bertemu dengan
Tambangraras dan Centhini yang akan memulai berbagai cerita yang lain.
Lanjut cerita Amongraga kemudian berkelana mencari kedua adiknya,
diperjalanan bersama kedua muridnya ia membangun sebuah padepokan
dan mulai banyak santri yang menimba ilmu di sana. Di ceritakan dalam
Serat Centhini banayk murid yang menimba ilmu di sana mencapai empat
ribu orang lebih, pria dan wanita. Namun mereka digambarkan seolah tak
mempunyai otak, seperti terkena guna-guna, karena terbawa oleh
permainan sulap dua murid Amongraga. Disini ajaran yang dilakukan di
padepokan Amongraga dianggap oleh Mataram sebagai ajaran sesat dan
dihukum mati karenanya. Hukuman itu pun dijatuhkan dan dengan di
buangnya Amongraga ke laut. Kabar itu sampai di telinga Tambangraras
yang kemudian tidak percaya akan berita itu, maka pergilah Tambangraras
berserta Centhini untuk mencari kebenaran tentang Amongraga. Dalam
perjalanannya banyak digambarkan tentang bagaimana kerasnya hidup di
dunia luar sebagai perempuan, Tambangraras menyadari bahwa banyak
sekali keburukan dalam dunia ini. Sampailah titik dimana Tambangraras
menyerahkan semuanya kepada Tuhan dan bahkan berhenti untuk
mengurusi dirinya sendiri. Singkat cerita pada saat detik-detik ajalnya
menjemput ia melihat sebuah bayangan tempat yang sangat indah, tidak
ada kejahatan, disanalah tempat yang ia dambakan, tempat itu tidak bisa
dilihat oleh sembarang orang, ternyata disanalah Amongraga beserta kedua
muridnya berada, seketika Tambangraras langsung kembali ruhnya dan
menemui Amongraga dan mulai hidup di sana meninggalkan tempat kedua
orangtuanya.
Setelah disana beberapa saat, Tambangraras dan Amongraga mulai
benar-benar kembali memfokuskan diri terhadap hal yang berbau dengan
ke akhiratan dan menghilangkan segala bentuk keduniawian, dalam Serat
Centhini bercerita, bahwa Amongraga dan Centhini membangun sebuah
benteng jiwa yang berada ditengah samudra yang tak seorangpun dapat
menaklukannya, benteng ini digambarkan dengan sebuah benteng besi dan
banyak orang yang ingin merebutnya tapi tak satupun dapat memasukinya.
Hingga sampai suatu saat tiba seorang bernama Jatiswara yang
menantangnya dalam perlawanan ilmu tingkat tinggi. Dijelaskan disini
bahwa tokoh Jatiswara ini berasal dari Serat Jatiswara yang umurnya lebih
tua dari Serat Centhini, dan diperkirakan Serat Jatiswara ini menjadi salah
satu babon dari Serat Centhini. Pemunculan tokoh Jatiswara merupakan
bentuk penghormatan terakhir penyair Serat Centhini terhadap
pendahulunya Serat Jatiswara sebelum akhirnya melupakannya. Pada
akhirnya Amongraga dikalahkan oleh Jatiswara, dan Jatiswara
mengingatkan kepada Amongraga bagaimana Sultan Agung telah membuat
ayahnya Sunan Giri menderita dan telah meninggal dalam penjara kerajaan
Mataram, yang kemudian Amongraga berniat untuk kembali ke sifat
keduniawiannya dengan berniat untuk menjadi Raja kembali.
Hingga pada akhir cerita Amongraga dan Tambangraras menemui
Sultan Agung yang pada saat itu menyamar sebagai seorang pertapa.
Singkatnya Amongraga meminta kepada Sultan Agung untuk menjadi
seorang Raja, tetapi Sultan Agung menolaknya dan menawarkan pilihan
lain yaitu agar Amongraga dan Tambangraras untuk berubah menjadi ulat
yang kemudian akan Sultan Agung dan Raden Pekik makan, yang akan
menjadi darah daging Sultan Agung dan dapat menjadi penerusnya kelak.
Pada akhirnya lahirlah anak yang diberi nama Arab, Sayidin. Ketika
dikhitan ia dipanggil Jibus atau Kadang Rangkah, dan dihari
peernikahannya dengan putri pangeran pekik ia menjadi pangeran Mataram
dan dinobatkan menjadi Raja Amangkurat I
Hingga akhir Serat Centhini ini dapat disimpulkan bahwa Amongraga
menitis kembali menjadi raja yang hina, benar-benar berakhir sia-sia
dikarenakan hal itu. Sehingga dapat diambil pendapat bahwa sebenarnya
Amongraga telah membuang seluruh nafsu akan duniawi yang mengikatnya
kecuali satu yaitu kepahitan menyaksikan ayahnya ditaklukan oleh Sultan
Agung.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Serat Centhini


Setelah membaca serat Centhini tersebut dapat mengajarkan bahwa
keserakahan dan ketamakan pada hal duniawi haruslah dihilangkan pada
diri masing-masing manusia. Hal tersebut hanya akan merugikan diri
sendiri, yang tidak akan pernah puas dengan apa yang dicapai. Dalam serat
ini sifat keserakahan dan ketamakan tersebut disimbolkan dengan sifat “ke-
aku-an”. Sedangkan maksud dari “ke-aku-an” tersebut yaitu tentang sifat
diri sendiri yang mengikatnya.
Dalam serat Centhini ini digambarkan bahwa Amongraga yang
walaupun sudah membuang semua nafsu akan duniawi, akan tetapi yang
terjadi Amongraga tidak bisa melepas ikatan akan kepahitan akan sang
ayah yang meninggal, sehingga membuat dirinya menjadi seorang raja yang
hina. Dan karena itulah diceritakan didalamnya bahwa Amongraga hanya
berakhir dengan sia-sia
Kesimpulan
Serat Centhini yang biasa disebut Ensiklopedia kebudayaan
masyarakat Jawa mampu menceritakan tentang kehidupan yang
sebagaimana dengan berbudi luhur, baik dan bahagia. Isi Serat Centhini
bukan semata-mata menceritakan hal yang berhubungan tentang
seksualitas tetapi menceritakan tentang perjalanan putra dan putri Sunan
Giri yang awalnya hanya mengejar kehidupan dunia tetapi setelah
Tambangraras dan Amongraga menyadari bahwa kehidupan dunia luar
sangatlah keras maka Tambangraras dan Amongraga berserah diri kepada
Tuhan dan memfokuskan diri terhadap akhirat.
Daftar Pustaka

Inandiak, Elizabeth D. 2006. Nafsu Terakhir. Yogyakarta : Galangpress

Munarsih. 2005. Serat Centhini Warisan Sastra Dunia. Yogyakarta :


Gelombang Pasang

Inandiak, Elizabeth D. 2004. Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan. :


Galangpress

Junanah. 2010. Kajian Morfesemantis Terhadap Serat Centhini. Millah. Vol


10

Nurnanungsih. Nilai Edukasi Metafora Teks-teks Seksual dalam Serat


Centhini Karya Pakubuwana V

Anda mungkin juga menyukai