Arwah-arwah buruh menggiring hujan air mata, mata mereka menyeret banjir
Kota yang tua telah lelah menggigil, sudah lupa bagaimana bermimpi dan bangun pagi
Hujan ingin bercerai dengan banjir
Tapi kota yang pikun membuatnya bagai cinta sejati dua anak manusia
Aku tak bisa pulang lagi, Ayah, kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya
Orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk. Begitu
jarak ditempuh sang ufuk menjauh. Yang tertinggal jarak itu juga-abadi. Di depan sana ufuk
yang itu juga-abadi. Tak ada romantika cukup kuat untuk dapat menaklukan dan
menggenggamnya dengan tangan-jarak dan ufuk abadi itu
Denotasi
o Pulang menghitung buah mangga yang ranum di halaman
o Memetik tomat di belakang rumah nenek
Konotasi
o Pulang ke teduh matamu
o Tapi nasib memanggilku
o Mencipta banjir dari genangan air mata
Kias
o Seekor kuda sembrani datang, menculikku dari alam mimpi
Lugas
o Aku ingin kembali ke rumah, Ayah
Imaji
Majas
Personifikasi
o Menyaksikan sepur-sepur yang batuk membelah tanah Jawa
o Kota yang tua telah lelah mengigil
o Tapi kota yang pikun
o Mata mereka menyeret banjir
o Hujan ingin bercerai dengan banjir
Hiperbola
o Menggaruk-garuk bantal saat aku bermimpi
o Membawaku terbang melintas waktu dan dimensi kata-kata
o Melihat rumput-rumput yang terbakar dibawahnya
o Menciptakan banjir dari genangan airmata
o Arwah-arwah buruh menggiring hujan airmata
Ironi
o Berjudi dengan nasib
o Sedih dan derita selalu berpelukan dengan setia
Sarkasme
o Menunggu peruntungan menjadi kaya raya
Typografi
Sajakan
Kata Konkret
Perjuangan
Rasa
Kerinduan
Kesedihan
Kepedihan
Ketidak-berdayaan
Sedih
Amanat
Bagai gambaran dari masa penjajahan jaman dahulu dimana banyak sekali pemuda yang
terpaksa harus bekerja dibawah penjajah untuk membangun jalan-jalan yang saat ini kita
nikmati. Dimana orang-orang ini sudah tidak bisa lagi kembali pulang ke rumah mereka karena
harus bekerja secara terpaksa hingga mereka mati bahkan jasad-nya juga tak dapat kembali
pulang.