Anda di halaman 1dari 5

Surat Cinta

oleh WS Rendra

Kutulis surat ini


kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur yang gaib.
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah,
Wahai, Dik Narti,
aku cinta kepadamu!

Kutulis surat ini


kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai, Dik Narti,
kupinang kau menjadi istriku!

Kaki-kaki hujan yang runcing


menyentuhkan ujungnya dibuai

Kaki-kaki cinta yang tegas


bagai logam berat gemerlapan
menempuh ke muka
dan tak kan kunjung diundurkan
Selusin malaikat
telah turun
di kala hujan gerimis
Di muka kaca jendela
mereka berkaca dan mencuci rambutnya
untuk ke pesta.
Wahai, Dik Narti,
dengan pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga serta keris keramat
aku ingin membimbingmu ke altar
untuk dikawinkan.

Aku melamarmu,
Kau tahu dari dulu:
tiada lebih buruk
dan tiada lebih baik
dari yang lain…

penyair dari kehidupan sehari-hari,


orang yang bermula dari kata
kata yang bermula dari
kehidupan, pikir dan rasa

Semangat kehidupan yang kuat


bagai berjuta-juta jarum alit
menusuki kulit langit.
kantong rejeki dan restu wingit
Gugur
oleh WS Rendra

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya.
Tiada kuasa lagi menegak.
Telah ia lepaskan dengan gemilang

pelor terakhir dari bedilnya


ke dada musuh yang merebut kotanya.

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya.
Ia sudah tua
luka-luka di badannya.

Bagai harimau tua


susah payah maut menjeratnya.
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya.

Sesudah pertempuran yang gemilang itu


lima pemuda mengangkatnya
di antara anaknya.
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya.

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya.

Belum lagi selusin tindak


maut pun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya

ia berkata:
“Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah;
tanah Ambarawa yang kucinta.
Kita bukanlah anak jadah
kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah jiwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa.
Orang itu kembali berkata:
“Lihatlah, hari telah fajar!
Wahai bumi yang indah
kita akan berpelukan
buat selama-lamanya!
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menancapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun akan berkata:
– Alangkah gemburnya tanah di sini.”
Puisi Balada Terbunuhnya Atmo Karpo

Oleh : W.S. Hendra

Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi


Bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para
Mengepit kuat-kuat lutut menunggang perampok yang diburu
Surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang

Segenap warga desa mengepung hutan itu


Dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
Mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
Berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri

Satu demi satu yang maju terhadap darahnya


Penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka.

Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!


Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa.

Majulah Joko Pandan! Di mana ia?


Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa.

Anak panah empat arah dan musuh tiga silang


Atmo Karpo tegak, luka tujuh liang.

Joko Pandan! Di mana ia!


Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Bedah perutnya tapi masih setan ia


Menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala

Joko Pandan! Di manakah ia!


Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan


Segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
Ridla dada bagi derunya dendam yang tiba.

Pada langkah pertama keduanya sama baja.


Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka.

Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka


Pesta bulan, sorak sorai, anggur darah.

Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang


Ia telah membunuh bapaknya.
Raksasa
Putu Wijaya

Di dalam mimpiku ada raksasa


Taringnya sebesar pohon kelapa
Kepalanya gundul sekeras baja
Dari Mulutnya menyembur kata-kata jahat

Hai anak kecil kamu tak usah rajin


Buang buku ayo main di jalanan
Jangan dengar kata orang tua
Ikut ogut berpesta pora

Tetapi aku bukan anak ingusan


Tubuhku masih kecil tapi hatiku besar
Ibu sudah melatihku jadi kuat
Dan papaku tak senang aku bodoh

Guruku di sekolah selalu bilang


Hati-hati dengan orang jahat
Mulutnya manis tetapi akibatnya berat
Raksasa itu marah dan merengut

Karena aku tak sudi tekuk lutut


Dari mulutnya keluar api panas
Tangannya mau mencekik ganas
Hai anak berani,katanya marah

Kalau Kau bandel awas kumamah


Lau Menganga taringnya berkilat
Lalu Melompat mau menyikat
Aku tenang tapi waspada

Tidak Teriak takut pun bukan


Sambil berdoa aku bertindak
Keluarkan raportku serentak
Angka delapan,Sembilan, dan sepuluh
Meloncat melilit raksasa

Dalam sekejap mata ia menyerang


Ampun,jerit raksasa ketakutan
jangan ikat aku dengan angka
Aku berjanji tak lagi nakal

Mengganggu anak yang rajin belajar


Dalam tidurku muncul raksasa
Tetapi ia sudah kapok
Sekarang setia menjaga tidurku
Sambil belajar membaca

Anda mungkin juga menyukai