Anda di halaman 1dari 22

Dalam Doaku

Sapardi Djoko Damono

Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan
mata, yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung
hening karena akan menerima suara-suara

Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku kau menjelma
pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan
pertanyaan muskil kepada angin yang mendesau entah dari mana

Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ibaskan
bulunya dalam gerimis, yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu

Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari
nun di sana, bersijingkat di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku

Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang dengan sabar
bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia
demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku

Aku mencintaimu...

Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu


(1989)
Kunyanyikan Lagu Ini
Putu Wijaya

Kunyanyikan lagu ini,


meskipun tak ada yang peduli,
biarpun semua orang sudah tuli.
Aku dengar, bayi-bayi menjerit di malam sunyi,
Haus, kelaparan, takut setan minta belaian.
Tetapi orang tuanya entah di mana,
Mungkin sudah tak ada,
Atau banting tulang, menangkap uang, bagai anjing mengorek tong sampah
di lorong-lorong kumuh,
Atau sedang teler melupakan hidupnya yang terlanjur remuk,
Hingga jerit itu padam, dikanibal nafas ringkih yang kehabisan pulsa.
Aku dengar perang mulut di dalam rumah.
Suara pecah-belah berpelantingan, lalu tamparan, pukulan, berakhir tendangan,
Puncakenya benda tajam, yang membuat hingar-bingar bungkam.
Lalu sepi, tinggal isak tangis anak-anak yang tak paham, kenapa dia dijatuhkan
nasib di tengah prahara,
Sementara para elit politik berjudi posisi,
Mempertaruhkan nyawa para pengikut setianya, untuk monopoli kursi,
Jangankan mendengar raungan kecoak dari dalam perut bumi,
Suara batinnya pun ia tak dengar lagi.
Mereka terlalu sibuk dengan ambisi menulis sejarah pribadi,
Sambil memakai jubah Sang Pencipta,
Mereka bunuh segala apa yang berbeda,
Musnahkan bianglaladunia,
Ciptakan mahakarya tunggalnya,

Aku nyanyikan lagu ini, untuk mengingatkan mereka yang belum disekap
ketakutan,
Jangan baru lantang suara setelah tenaga tak ada,
Kunyanyikan lagu ini, agarnanti tak perlu diulang lagi,
Akan kunyanyikan sekeras-kerasnya ke langit, dengan darah sukmaku,sampai aku
tak perlu menyanyi lagi,
Karena dia akan terus menyanyi sendiri,
Sebagai lagu sejati.
Yang berlalu tak pergi,
Ia selalu tunggu kau teringat lagi,
Yang pergi memang telah berlalu,
Tapi itu punkembali bila kau rindu,
Begitulah sejarah yang kita tulis bersama,
Mengendap ke mana pun wajahtengadah,
Walau jarak dan waktu telah membelah,
Walau rumah dan tubuh terpisah,
Kita tetap mengalir ke satu arah,
Ya Allah, karunia persaudaraanMu begitu indah
Kepada Peminta-Minta
Chairil Anwar

Baik, baik aku akan menghadap Dia


Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
Jangan lagi kau bercerita
Sudah bercacar semua di muka
Nanah meleleh dari luka
Sambil berjalan kau usap juga.
Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau dating
Sembarang kau merebah.
Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku.
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.

Juni, 1943
Maskumambang
WS Rendra

Kabut fajar menyusut dengan perlahan.


Bunga bintaro berguguran
di halaman perpustakaan.
Di tepi kolam,
di dekat rumpun keladi,
aku duduk di atas batu,
melelehkan air mata.
Cucu-cucuku!
Zaman macam apa, peradaban macam apa,
yang akan kami wariskan kepada kalian!
Jiwaku menyanyikan tembang maskumambang.
Kami adalah angkatan pongah.
Besar pasak dari tiang.
Kami tidak mampu membuat rencana
manghadapi masa depan.
Karena kami tidak menguasai ilmu
untuk membaca tata buku masa lalu,
dan tidak menguasai ilmu
untuk membaca tata buku masa kini,
maka rencana masa depan
hanyalah spekulasi keinginan
dan angan-angan.
Cucu-cucuku!
Negara terlanda gelombang zaman edan,
Cita-cita kebajikan terhempas waktu,
lesu dipangku batu.

Tetapi aku keras bertahan


mendekap akal sehat dan suara jiwa,
biarpun tercampak di selokan zaman.
Bangsa kita kini seperti dadu
terperangkap di dalam kaleng utang,
yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa,
tanpa kita berdaya melawannya.
Semuanya terjadi atas nama pembangungan,
yang mencontoh tatanan pembangunan
di zaman penjajahan.
Tatanan kenegaraan,
dan tatanan hukum,
juga mencontoh tatanan penjajahan.
Menyebabkan rakyat dan hukum
hadir tanpa kedaulatan.
Yang sah berdaulat
hanyalah pemerintah dan partai politik.
O, comberan peradaban!
O, martabat bangsa yang kini compang-camping!
Negara gaduh.
Bangsa rapuh.
Kekuasaan kekerasan merajalela.
Pasar dibakar.
Kampung dibakar.
Gubuk-gubuk gelandangan dibongkar.
Tanpa ada gantinya.
Semua atas nama takhayul pembangunan.
Restoran dibakar.
Toko dibakar.
Gereja dibakar.
Atas nama semangat agama yang berkobar.
Apabila agama menjadi lencana politik,
maka erosi agama pasti terjadi!
Karena politik tidak punya kepala.
Tidak punya telinga. Tidak punya hati.
Politik hanya mengenal kalah dan menang.
Kawan dan lawan.
Peradaban yang dangkal.
Meskipun hidup berbangsa perlu politik,
tetapi politik tidak boleh menjamah
ruang iman dan akal
di dalam daulat manusia!

Namun daulat manusia


dalam kewajaran hidup bersama di dunia,
harus menjaga daulat hukum alam,
daulat hukum masyarakat,
dan daulat hukum akal sehat.
Matahari yang merayap naik dari ufuk timur
telah melampaui pohon jinjing.
Udara yang ramah menyapa tubuhku.
Menyebar bau bawang goreng yang digoreng di dapur.
Berdengung sepasang kumbang
yang bersenggama di udara.
“Mas Willy!” istriku datang menyapaku.
Ia melihat pipiku basah oleh air mata.
Aku bangkit hendak berkata.
“Sssh, diam!” bisik istriku,
“Jangan menangis. Tulis sajak.
Jangan bicara.”

Cipayung Jaya, 4 April 2006


Hukla Bulan dan Matahari
Leon Agusta

Kau dengarkah hukla menenggelamkan matahari ke dasar lautan?


Harus gelap menelan cahayanya bersama ombak gemuruh dan angin mendesing
Tapi di hatiku terdengan suara hukla yang lain
Mendayu dayu terkadang rendah sekali suaranya
Berjuta orang orang kurang makan,
kau baca di koran
Mereka tidak kelaparan,
kau baca di koran
Ada orang yang punya harta berlimpah,
kau baca di koran
Mereka tetap hidup sederhana,
kau baca di koran
Itulah nayanyian hukla
Kau dengar setiap hari
Kau dengarkah hukla sayang?
Menengalamkan bula ke perut bumi
Bintang bintang padam lantas berbenturan
Petir sambung menyambung dalam hujan hatiku mendengar hukla yang suaranya
mengalun sedih
Dengarkan lah betapa kusuk rintihanya
Seorang anak muda mati ditembak
Kau baca di koran
Konon tak ada perempuan
Kau baca di koran
Dari atas mobil senapan meledak
kau baca di Koran
Konon oleh seorang pelindung kita
kau baca di koran

Itulah nyanyian hukla


Kau dengar setiap hari
Hukla hukla
Dibawah sinar bulan dan matahari
Hukla hukla.
Pledoi Cinta Rahwana
Sitok Srengenge

Di Rimba Dandaka, di kelam yang kekal


senantiasa ada percik cahaya secerlang bintang zohal
Juga di hatiku, Sita, hati yang diselubungi seribu malam
dan digelorakan angin sakal
Aku tahu, itulah cahaya dari ruang paling purba di mana kau dan aku telah bersua
sebelum terlahir sebagai manusia
di Rimba Dandaka, Sita
telah kauhadapi genangan sunyi
Sunyi yang tak tertepis oleh dekapan kekasih
karena kesunyianmu abadi
berasal dari kesenyapan kata-kata Mahadewa
ketika ia bersabda tentang cinta
cinta yang melahirkan kita
cinta yang mengukir dan mewarnai dunia
Mencintaimu adalah mencintai bumi
sebab dalam dirimu tersimpan magma,
bara abadiyang meski begitu dalam terpendam tak akan padam
Kerut-merut kulitmu bagai lekuk-liku sungai
mengalir jauh mencari muara
menghanyutkan hasrat dan harapku ke samudera cinta
Kurun demi kurun menguap bagai fatamorgana, dua belas tahun Sita!
Dua belas tahun aku merayu, merajuk, mendamba cinta
Kini aku tahu: harapan membuatku bertahan dari rasa sia-sia
tapi juga sekaligus memperpanjang derita
Telah kuatasi derita dari rasa takut, lapar, dan wabah
kutaklukkan dewa-dewa, segala makhluk liar dan dedemit bawah tanah
Tak kusangka, deritaku justru mengada dari cinta

Tapi bukan itu yang merisaukanku


barangkali karena cinta membuatku lebih hidup
dan itu lebih bermakna dibanding hidup tanpa cinta
Keagungan cinta tak bisa dinilai dari pemilikannya
tapi bagaimana ia diperjuangkan dan dijaga
Itulah yang kulakukan, Sita
memperjuangkan dan menjaga cintaku kepadamu
Mahadewa mencipta hutan, aku membuat taman
Maka dari Rimba Dandaka kuboyong kau ke Taman Asoka
demi melindungimu dari keluhuran palsu
yang kelak menistakanmu
Kau tahu, kekasihku
seluruh peradaban ini sebelum dibentuk dan diarahkan
oleh kesadaran pikiran, lebih dulu digerakkan naluri
Akulah gerak naluri itu, gerak murni
yang hendak menentukan arahnya sendiri
Rama menyerbu Alengka bukan semata untuk merebutmu kembali
tapi terutama demi menjaga wibawa dan nama baiknya sendiri
aku hadapi amarah prajurit Kiskenda dan Ayodya
sebagai risiko atas pilihanku, perjuangan cintaku
Rama mengerahkan balatentara karena ia pamer kuasa
aku bersedia tumpas tanpa melibatkan siapa pun
Mereka yang gugur di pihakku
semata berperang demi mempertahankan negeri yang diserbu
Rama memilihmu karena ingin memiliki dan menguasaimu
aku mencintaimu sebagai pelaksanaan takdirku
Maka kusambut panggilan takdir itu

dengan hanya satu kesimpulan:


Rahwana berjaya di atas atau tersungkur tumpas
sama-sama jadi penentu:
betapa besar dan mutlak cintaku padamu
Pada hari terakhir perang agung itu, Sita
dengan kereta yang dihela delapan kuda, kusongsong ajalku
Matahari ditelan gerhana
jagat sekelam nasib buruk yang menghadangku
tapi aku tak peduli, karena cintaku padamu suci
bahkan tak akan lunas jika ditebus dengan mati
Sampai panah ciptaan Brahma itu
menembus dadaku, mengoyak kalbuku
bagian paling kulindungi karena di situ bersemayam cintaku
Kusaksikan darahku tercurah, lalu menggumpal beku
seperti tinta yang mendadak tak lagi basah
lantaran tak cukup menulis rinduku padamu
Kenangkanlah Sita, betapa pada detik terakhir menjelang ajalku
semesta gelap gulita. Segala sirna. Hanya wajahmu
semata-mata wajahmu
yang tetap membayang di pelupuk mataku
Daun-daun di Rimba Dandaka gugur
bunga-bunga di Taman Asoka gugur
Alengka runtuh
Rahwana rubuh
tapi tidak cintaku, Sita
cintaku padamu tegak dan baka terus tumbuh, berbiak berjuta cerita
Sajak Rajawali
WS Rendra

sebuah sangkar besi


tidak bisa mengubah rajawali
menjadi seekor burung nuri

rajawali adalah pacar langit


dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti

langit tanpa rajawali


adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma
tujuh langit, tujuh rajawali
tujuh cakrawala, tujuh pengembara

rajawali terbang tinggi memasuki sepi


memandang dunia
rajawali di sangkar besi
duduk bertapa
mengolah hidupnya

hidup adalah merjan-merjan kemungkinan


yang terjadi dari keringat matahari
tanpa kemantapan hati rajawali
mata kita hanya melihat matamorgana
rajawali terbang tinggi
membela langit dengan setia
dan ia akan mematuk kedua matamu
wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka
Museum Perjuangan
Kuntowijoyo

Susunan batu yang bulat bentuknya


berdiri kukuh menjaga senapan tua
peluru menggeletak di atas meja
menanti putusan pengunjungnya.

Aku tahu sudah, di dalamnya


tersimpan darah dan air mata kekasih
Aku tahu sudah, di bawahnya
terkubur kenangan dan impian
Aku tahu sudah, suatu kali
ibu-ibu direnggut cintanya
dan tak pernah kembali

Bukalah tutupnya
senapan akan kembali berbunyi
meneriakkan semboyan
Merdeka atau Mati.

Ingatlah, sesudah sebuah perang


selalu pertempuran yang baru
melawan dirimu.
Tanah Air Mata
Sutardji Calzoum Bachri

tanah airmata tanah tumpah darahku


mata air airmata kami
airmata tanah air kami

di sinilah kami berdiri


menyanyikan airmata kami

di balik gembur subur tanahmu


kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami

kami coba simpan nestapa


kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak ke mana-mana

bumi memang tak sebatas pandang


dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke mana pun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke mana pun terbang
kalian kan hinggap di airmata kami ke mana pun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman airmata kami
Sajak Seonggok Jagung
WS Rendra

Seonggok jagung di kamar


dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan

Memandang jagung itu,


sang pemuda melihat ladang;
Ia melihat petani;
Ia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar...

Dan ia juga melihat


suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium bau kue jagung.

Seonggok jagung di kamar


dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung.

Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja

Tetapi ini:
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.

Ia memandang jagung itu


dan ia melihat dirinya terlunta-lunta
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik
etalase ia melihat saingannya naik sepeda motor.

Ia melihat nomor-nomor lotre.


ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.

Seonggok jagung di kamar


tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan.
Yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarnya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.

Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi
asing di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran
atau apa saja
bila pada akhirnya
ketika ia pulang ke daerahnya lalu berkata
Di sini aku merasa asing dan sepi!

Anda mungkin juga menyukai