Anda di halaman 1dari 17

UNIKAL AWARD

PIALA GANDEWA KE-VII 2019


Lomba Baca Puisi Kategori Pelajar dan Umum Tingkat Nasional

A. Puisi Kategori Umum

DOA SYUKUR SAWAH LADANG


Karya Emha Ainun Nadjib

Atas padi yang engkau tumbuhkan dari sawah

ladang bumimu, kupanjatkan syukur dan

kunyanyikan lagu gembira sebagai mana padi itu

sendiri berterima kasih kepadamu dan bersuka ria

lahir dari tanah, menguning di sawah, menjadi

beras di tampah, kemudian sebagai nasi memasuki

tenggorokan hambamu yang gerah, adalah cara

paling mulia bagi padi untuk tiba kembali di pangkuanmu

betapa gembira hati pisang yang dikuliti

dan dimakan oleh manusia, karena

demikianlah tugas luhurnya di dunia,

pasrah dipengolahan usus para

hamba, menjadi sari inti kesehatan dan kesejahteraan

demikianpun betapa riang udara yang dihirup


air yang direguk, sungai yang mengaliri pesawahan,

kolam tempat anak-anak berenang,

lautan penyedia bermilyar ikan serta kandungan

bumimu yang menyiapkan berjuta macam hiasan

atas segala tumpahan kasih sayangmu kepadaku

Ya Allah, baik berupa rejeki maupun cobaan,

kelebihan atas kekurangan,

kudendangkan rasa bahagia dan tekadku

sebiasa-bisa untuk membalas cinta

aku bersembahyang kepadamu,

berjamaah dengan langit dan bumimu,

dengan siang dan malammu,

dengan matahari yang setia bercahaya

dan angin yang berhembus menyejukan desa-desa

Sutan Takdir Alisjahbana menuju ke laut

angkatan baru kami telah meninggalkan engkau,

tasik yang tenang , tiada beriak

diteduhi gunung yang rimbun dari angin dan topan

Sebab sekali kami terbangun dari mimpi yang nikmat :

“Ombak ria berkejar-kejaran di gelanggang biru bertepi langit

pasir rata berulang dikecup, tebing curam ditentang diserang,


dalam bergurau bersama angina, dalam berlomba bersama mega.”

Sejak itu jiwa gelisah, selalu berjuang, tiada reda,

Ketenangan lama rasa beku, gunung pelindung rasa penggalang,

berontak hati hendak bebas.

Gemuruh berderau kami jatuh, terhempas berderai mutiara bercahaya.

Gegap gempita suara mengerang, dahsyat bahana suara menang.

Keluh dan gelak silih berganti, pekik dan tempik sambut menyambut.

Tetapi betapa sukarnya jalan, badan terhempas , kepala tertumbuk,

hati hancur, pikiran kusut, namun kembali tiada ingin,

ketenangan lama tiada diratap.

Kami telah meninggalkan engkau, tasik yang tenang, tiada beriak,

diteduhi gunung yang rimbun, dari angin dan topan.

Sebab sekali kami terbangun, dari mimpi yang nikmat.

KAMUS KECIL

Karya Joko Pinurbo

Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu

Walau kadang rumit dan membingungkan

Ia mengajari saya cara mengarang ilmu


Sehingga saya tahu

Bahwa sumber segala kisah adalah kasih

Bahwa ingin berawal dari angan

Bahwa ibu tak pernah kehilangan iba

Bahwa segala yang baik akan berbiak

Bahwa orang ramah tidak mudah marah

Bahwa untuk menjadi gagah kau harus menjadi gigih

Bahwa seorang bintang harus tahan banting

Bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan

Bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira

Sedangkan pemulung tidak pelnah merasa gembila

Bahwa orang putus asa suka memanggil asu

Bahwa lidah memang pandai berdalih

Bahwa kelewat paham bisa berakibat hampa

Bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman

Bahasa Indonesiaku yang gundah

Membawaku ke sebuah paragraf yang merindukan bau tubuhmu

Malam merangkai kita menjadi kalimat majemuk yang hangat

Dimana kau induk kalimat dan aku anak kalimat


Ketika induk kalimat bilang pulang

Anak kalimat paham

Bahwa pulang adalah masuk ke dalam palung

Ruang penuh raung

Segala kenang tertidur di dalam kening

Ketika akhirnya matamu mati

Kita sudah menjadi kalimat tunggal

Yang ingin tinggal

Dan berharap tak ada yang bakal tanggal

Joko Pinurbo

Selamat menunaikan ibadah puisi

MASKUMAMBANG

Karya W.S. Rendra

Kabut fajar menyusup dengan perlahan

bunga Bintaro berguguran di halaman perpustakaan

di tepi kolam, di dekat rumpun keladi


aku duduk diatas batu melelehkan airmata

Cucu-cucuku

zaman macam apa,

peradaban macam apa

yang akan kami wariskan kepada kalian.

Jiwaku menyanyikan lagu maskumambang

kami adalah angkatan pongah

besar pasak dari tiang.

kami tidak mampu membuat rencana menghadapi masa depan,

karena kami tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa lalu

dan tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa kini

maka rencana masa depan hanyalah spekulasi, keinginan, dan angan-angan

Cucu-cucuku

negara terlanda gelombang zaman edan

cita-cita kebajikan terhempas batu

lesu dipangku batu

tetapi aku keras bertahan


mendekap akal sehat dan suara jiwa

biarpun tercampak di selokan zaman

Bangsa kita kini

seperti dadu terperangkap dalam kaleng hutang

yang dikocok-kocok oleh bangsa adi kuasa

tanpa kita bisa melawannya

semuanya terjadi atas nama pembangunan

yang mencontoh tatanan pembangunan di zaman penjajahan

Tatanan kenegaraan dan tatanan hukum

juga mencontoh tatanan penjajahan

menyebabkan rakyat dan hukum hadir tanpa kedaulatan

Yang sah berdaulat hanya pemerintah dan partai politik

o comberan peradaban,

o martabat bangsa yang kini compang-camping

negara gaduh, bangsa rapuh

Kekuasaan kekerasan meraja lela

Pasar dibakar, kampung dibakar,

gubuk-gubuk gelandangan dibongkar

tanpa ada gantinya


semua atas nama tahayul pembangunan.

restoran dibakar, toko dibakar, gereja dibakar,

atas nama semangat agama yang berkobar

Apabila agama menjadi lencana politik

maka erosi agama pasti terjadi

karena politik tidak punya kepala,

tidak punya telinga, tidak punya hati,

politik hanya mengenal kalah dan menang

kawan dan lawan,

peradaban yang dangkal

Meskipun hidup berbangsa perlu politik,

tetapi politik

tidak boleh menjamah kemerdekaan iman dan akal

didalam daulat manusia

namun daulat manusia

dalam kewajaran hidup bersama di dunia

harus menjaga daulat hukum alam,

daulat hukum masyarakat

dan daulat hukum akal sehat


Matahari yang merayap naik dari ufuk timur

telah melampaui pohon dinding

udara yang ramah menyapa tubuhku

menyebarkan bau bawang yang digoreng di dapur

berdengung sepasang kumbang yang bersenggama di udara

GERGAJI

Karya Slamet Sukirnanto

Setiap gergaji berderik melengking mengatasi bunyi satwa,

Merintihlah hutan ke angkasa

Menggugah mereka yang lelap damai tidur di surga

Pohon-pohon dan semak saling bicara

Kapan gilirannya mengalirkan darah rebah ke lantai lumpur yang basah

Kita adalah bagian makhluk yang kalah

Tetapi tdidak bisa disingkirkan

Dan di basmi dari bumi ini

Setiap gergaji berderik melengking tinggi membelah sunyi

Langit turun mendekap dan menampung air mata kami


Di tumpahkan menjadi hujan dan bencana bumi

Prahara atau banjir menjalar sepanjang lembah-lembah ini

Tuhan telah mengutus langit

Tuhan telah mengutus awan

Dan tuhan telah mengutus bumi

Untuk menantang yang melawan takdir

Pohon-pohon perkasa rebah dengan gagah

Semak-semak meratapi pahlawan yang pergi

Kepada bumi dan daratan

Lembah menitipkan maaf atas kegatduhan yang tidak di ingini

Dedaunan dan ranting bedoa sejak pagi

Tugan semoga lindungilah wilayah kami

Dari keganasan gergaji dan algojo besi

Tubuh kami telah di koyak oleh ketajaman dan keganasan gergaji

Pisau raksasa telah mengadili tubuh kami,saudara-saudara kami,tetangga


kami,rumpun kami

Yang selama ini engkau bimbing

Dan engkau tunjuki cara terbaik membangun keagungan belantara ini

Untuk memujamu ya tuhan!atas kehendakmu


B. Puisi Kategori Pelajar

SABDA GARUDA

Karya Emha Jayabrata

Pada hari Indonesia lahir, ku dapati pendeta berhati ramah, rahib-rabib berwajah
sumringah, ulama dan kiyai pun hanyut dengan pekik takbir yang megah.
Didepan ruang persalinan garuda akan lahir, masing-masing berdoa kepada
Tuhanya. Tak ada saling tuding, tak ada saling caci, tak ada saling sikut bahkan
tak ada saling bunuh. Semua sibuk dengan doanya, dengan rasa gembiranya akan
kelahiran garuda.

Ini Indonesia, republik ini lahir bukan hanya karena jasa saudaraku diujung timur
dengan kekayaan alamnya. Bukan hanya karena jasa saudaraku di jawa dengan
kerisnya. Bukan hanya karena renconganya, badiknya, cluritnya, mandaunya, dan
goloknya, tetapi karena darahnya. Darah yang sama-sama anyir dan amis untuk
garuda.

Saat garuda masih balita, duh...aduh begitu lucunya, begitu menggemaskanya!


Dahulu demi merawat garuda. Yang miskin menyumbang keringatnya.Yang kaya
menyumbang hartanya. Ulamak, pendeta, rahib, biarawan menyumbang doanya.
Janda-janda menyumbangkan nyawa suaminya. Anak-anak yatim
menyumbangkan kepala bapaknya. Pejabat hingga presiden mengorbankan
gajinya semua demi tumbuh sehatnya garuda, mengangkasa melanglang jagad
raya, meneriakan bhineka, menggetarkan dunia.

Kini, saat garuda menginjak usia renta. Aduh...duh..duh! Aku melihat anak cucu
garuda bergulat berebut warisan, sekan-akan menyumpahi besok pagi garuda
akan moksa. Aku melihat anak-anak pejabat memaksa bapaknya mengambil
tanah-tanah anak yatim. Ribut soal qunut, ribut soal idola yang dianut, kesucian
persaudaraan pun direnggut. Aku mendengar yang mungkar teriak Allahu Akbar,
yang makruf teriak Allahu Akbar! Aku jadi bingung ikut yang mana?

Hingga kini, saat garuda di usia tua. Disana sini aku dengar huru hara. Di negeri
ini aku dengar seorang guru dipenjarakan muridnya, aku dengar meraka
membakar kartu suara, aku dengar aparat bersenjata main mata di gudang-
gudang negara, aku dengar anak-anak bermata bening diperkosa, aku dengar
seorang ibu membuang bayi karena malu tak ada bapaknya, aku dengar hakim-
hakim mulia dirusak wajahnya, aku dengar para sarjana kehilangan moralnya, aku
dengar perempuan-perempuan bunting dibakar karena mencuri susu, aku dengar
nenek tua dipenjara karena mencuri kayu. Terakhir aku dengar ada jenazah
ditolak dikuburkan karena beda pilihan presidennya.

Yang aku tahu seharusnya ahli ibadah menjaga lidah, yang aku tahu seharusnya
yang rajin ngaji tak sibuk mencaci. Yang aku tahu mimbar-mimbar yang suci
harus di jaga sampai mati. Yang satu menuduh yang lain intoleran dan radikalis.
Yang satu teriak dirinya paling nasionalis.

aku semakin bingung garuda?

Kini sebagian anak-anak garuda tak mau lagi hormat bendera, bahkan
mengatakan hormat bendera adalah perilaku ahli neraka, menyanyikan lagu
Indonesia raya adalah pengingkaran kesetiaan pada tuhan, mengamalkan bhineka
tunggal ika adalah kekufuran. Tak habis pikir, padahal garuda bukan berhala.

Lihatlah, kesitu! kehatimu dipenuhi benci dan cemburu. Dirimu, istrimu, anakmu
sedang ditimang-timang oleh zaman tak karuan. Maka tulis lagi di hatimu tentang
sabda yang indah. Sabda garuda: Bhineka Tunggal Ika.
BURUNG-BURUNG MURUNG

Karya Apito Lahire

burung-burung murung

sayapmu menggantung

di atas pangkringan kayu asam

burung-burung murung

parau kicaumu di ujung paruh

lenguh suaramu

sisa parau

melepuh

sangkarmu abadi

jeruji

kepungan mimpi'mimpi

harga diri

transaksi

kau digantang pagi

siang-malam

dipaksa meracau

majikanmu super ego

merampas kemerdekaanmu
beranak-pinak

hidupmu adalah nyanyian pemerasan

suaramu ditekuk dalam permainan hasrat kemenangan-kemenangan

burung-burung murung

bulu-bulumu mabung

tinggal kenangan

terbang hanyalah sunyi

pekikmu sesaat sebelum mati

lehermu tergenjet sela-sela jeruji

2019

JEMBATAN

Sutardji Calzoum Bahri

Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata bangsa

Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi,

Dalam ewuh pekewuh, dalam isyarat dan kilah tanpa makna

Maka aku pun pergi menatap pada wajah orang berjuta


Wajah orang jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota

Wajah orang tergusur, wajah yang ditilang malang

Wajah legam pemulung yang memungut remah-remah pembangunan

Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase indah di berbagai
plaza

Wajah yang diam-diam menjerit, melengking, Melolong dan mengucap:

Tanah air kita satu

Bangsa kita satu

Bahasa kita satu

Bendera kita satu

Tapi wahai saudara satu bendera,

Kenapa kini ada sesuatu yang terasa jauh beda di antara kita?

Sementara jalan-jalan mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota,

Jembatan-jembatan tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah

yang ada.

Tapi siapakah yang mampu menjembatani

jurang di antara kita?

Di lembah-lembah kusam pada pucuk tulang kersang

dan otot linu mengerang


Mereka pancangkan koyak-moyak bendera hati

Dipijak ketidakpedulian pada saudara

Gerimis tak mampu menguncupkan kibarnya.

Lalu tanpa tangis mereka menyanyi:

Padamu negeri

Airmata kami

INDONESIA MASA KINI

Karya Aslam Kussatyo

Indonesia masa kini

Putik sari terburai badai sendiri

Dimana tangkai bunganya

Dilukai pejalan semesta

Indonesia masa kini

Riak gelombang terhempas arus

Berpusar lupa menepi

Indah pantai kikis tergerus


Lalu kemana adiluhung budayamu

Sementara tradisi jadi simbol beku

Lalu kemana gemah ripah lohjinawimu

Sementara jutaan pengembara tanpa kompas

Meniti tiap kesempatan yang terampas

Indonesia masa kini

Perempuan tengah baya berselimut luka

Bertudung megah selendang sutra

Molek indah tak terawat lagi

Indonesia masa kini

Garuda tua menunggu kesejatian

2014

Anda mungkin juga menyukai