Anda di halaman 1dari 7

TAUFIK ISMAIL - KUPU-KUPU DI DALAM BUKU

Kupu-kupu di dalam Buku

Ketika duduk di setasiun bis, di gerbong kereta api,


di ruang tunggu praktek dokter anak, di balai desa,
kulihat orang-orang di sekitarku duduk membaca buku,
dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang,

Ketika berjalan sepanjang gang antara rak-rak panjang,


di perpustakaan yang mengandung ratusan ribu buku
dan cahaya lampunya terang benderang,
kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua
sibuk membaca dan menuliskan catatan,
dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang,

Ketika bertandang di sebuah toko,


warna-warni produk yang dipajang terbentang,
orang-orang memborong itu barang
dan mereka berdiri beraturan di depan tempat pembayaran,
dan aku bertanya di toko buku negeri mana gerangan aku sekarang,

Ketika singgah di sebuah rumah,


kulihat ada anak kecil bertanya pada mamanya,
dan mamanya tak bisa menjawab keinginan-tahu puterinya,
kemudian katanya,
“tunggu, tunggu, mama buka ensiklopedia dulu,
yang tahu tentang kupu-kupu,”
dan aku bertanya di rumah negeri mana gerangan aku sekarang,

Agaknya inilah yang kita rindukan bersama,


di setasiun bis dan ruang tunggu kereta-api negeri ini buku dibaca,
di perpustakaan perguruan, kota dan desa buku dibaca,
di tempat penjualan buku laris dibeli,
dan ensiklopedia yang terpajang di ruang tamu
tidak berselimut debu
karena memang dibaca.

Taufiq Ismail, 1996


Puisi Tjahjono Widarmanto
DI RAHIM IBU
*) buat bakal anakku

1
akar itu telah menemukan airnya
roh-roh menari setelah ditiup
menjadi sulur-sulur menjulur ke serat ari-ari
telah tumbuh warna-warna dari bau kesetiaan
mengalirkan putih ketuban

waktu mengupas wujud itu


laut akan meminjamkan garamnya
matahari menjulurkan mahkota
: ibu, aku tak sabar
ingin menuliskan huruf-hurufku!
2
ari-ari itu tak berhenti pda serat
namun menjadi sebutir telur
kelak akan menyingkap daging
diberi nama --- manusia

: bersama ketuban, biarkan aku muncrat


tumbuh menjadi para kesatria
akan kucatat legenda baru, dunia para penakluk
biarkan para rahib mencatatnya, dinasti baru, legenda baru.
akan kulibas kematian, kusamak menjadi kaus kaki kecilku

dari tempatku lunak dan hangat ini telah kurangkai api jadi bunga-bunga
bau harum mengalir dari tubuhku memanggil segenap kupu-kupu
sebab sejak dari rahim ibu telah kupintal sebuah sejarah
ANAK

Lahir dari endapan cahaya

terpancar dari perairan dalam tulang

anak adalah batu-batu terusan

yang akan menimbun atau membangun

balik apa yang tertinggal

sebagai ucapan atau bisik-bisik

sebagai sentuhan atau cakar-ayam

dan lewat anak, nama bangkit atau tidak

setelah lewati seluruh waktu, seluruh

umur yang tersimpan dalam aroma

yang merayap dalam tidur-tidur

atau pada igauan-igauan

yang panjang atau patah-patah itu

dalam bulan-pecah ketika tangan telah

lekat pada debu dan nafas tinggal sejengkal

dalam malam ketika anjing kelabu

mengirimkan lengking terakhirnya

terbau sekujur daging-daging rompal

dan lewat anak, kamu berpendar atau tidak!


Gresik, 1996

Karya MARDI LUHUNG


JADIKAN AKU

jadikan aku sungai dibuangi sampah

jadikan aku laut tempat berlayar para nakhoda

jadikan aku gelombangtempat bersiutcamar-camar

jadikan akugoa tempat orang-orang bertapa

jadikan aku telaga tempat bermandi orang-orang terluka

jadikan aku oase tempat persinggahan para musafir

jadikan aku mabuk yang takhirau kata-kata

jadikan aku celah pemantul cahaya

dongeng orang-orang kota makin lelah mengeja waktu

dan tak lagimampu menulis sejarah

: sejarah telah ditimbuni oleh luapan angka-angka

dan menari-nari sampai ringkih

aku coba untuk mengerti lempang jalan ini; raut wajah

yang kehilangan tanda-tanda; kehilangan makna

betapa piciknya,

ketika matahari menerpa ubun-ubun

kita makin dibuai beribu muslihat – menggagahkan diri

sambil menggapai-gapai langit yang kian menjauh

aku coba untuk mengerti makna hari ini


aku coba untuk mengerti ketidak mengertian ini

bila aku sampai tepian – saudaraku

biarkankuraih cahaya bulan yang berbinar

sebab laut, sungai, telaga dan percikan air

adalah hauskuyang purnama

sebab hutangku pada waktu makin menjejal

sebab dari sini persoalan demi persoalan akan berakhir

ketika kubasuh wajah seraya kusapa waktu

begitu sejuknya matahari di padang sahara

aku mencoba meniadakan kesangsian tapakmu

lalu kau tanya, mengapa tubuhku berlumur darah

lantaranbeban bumi ini makin sarat dan berkarat

maka jadikan aku tanah tempat pijakmu

1995

KARYA SYAF ANTON


WAHAI PEMUDA MANA TELURMU?
oleh Sutardji Calzoum Bachri

Apa gunanya merdeka


Kalau tak bertelur
Apa guna bebas
Kalau tak menetas?

Wahai bangsaku
Wahai pemuda
Mana telurmu?

Kepompong menetaskan kupukupu


Kuntum mengantar bunga
Putik memanggil buah
Buah menyimpan biji
Biji menyimpan mimpi
menyimpan pohon
dan bungabunga

Uap terbang menetas awan


mimpi jadi
sungai pun jadi
menetas jadi
hakekat lautan

Setelah kupikir pikir


manusia itu
ternyata burung berpikir

Setelah kurenung renung


manusia ternyata
burung merenung

Setelah bertafakur
Tahulah aku
Manusia harus bertelur

Burung membuahkan telur


Telur menjadikan burung
Ayah menciptakan anak
Anak melahirkan ayah

Wahai para pemuda


Menetaslah kalian
Lahirkan lagi
Bapak bagi bangsa ini!

Ayo Garuda
Mana telurmu?
Menetaslah

Seperti dulu
Para pemuda
bertelur emas

Menetaskan kau
Dalam sumpah mereka

Anda mungkin juga menyukai