Alina
Kubaca kalimat akhir dari kertas lusuh itu dan terdiam. Ibu jari mengusap bait-bait yang tertulis
dari tinta hitam yang mulai mengabur. Kualihkan pandangan, menerawang jauh pada cakrawala
yang berwarna jingga kemerah-merahan. Kutatap lekat bulatnya mentari. Seperti kuning telur,
selintas pikirku bermonolog. Pikiranku melayang jauh, rasa senang dan gembira yang tadi
kurasakan kini ikut larut terbawa jauh oleh sapuan ombak ke tengah laut sana.
Pada beberapa waktu yang lalu, Aku awalnya hanya ingin keluar mencari udara segar setelah
hampir tiga bulan tertahan di rumah saja. Rasa bosan dengan gerak hidup yang terbatas,
memunculkan ide untuk kabur lagi. Kabur mungkin kata yang berlebihan, Aku hanya ingin
berjalan-jalan sebentar, menghirup udara segar Bumi setelah berhasil melewati kiamat besarnya.
Lagi pula ke mana lagi aku akan pergi? tanah yang ku pijak saat ini, adalah satu-satunya daratan
tersisa di Bumi.
Setelah berhasil lolos dari ketatnya penjagaan, buru-buru aku lari. Tak tahu arah, hanya
mengandalkan insting saja. Jalanan yang tadinya penuh dengan pemukiman penduduk, semakin
jauh berlari semakin sepi akan orang, tersisa pohon-pohon rindang dan semak belukar. Riak air
yang saling bersahut menyapa telinga. Aku mengenalinya, suara itu aku sangat mengenalinya.
Segera aku melangkah mendekat pada pesisir pantai, ujung dari daratan yang tersisa. Rasanya
Bau khas laut yang asin terbawa angin dan menerpa kulit, membawa surai hitam milikku menari.
Ombak-ombak kecil menyentuh dan membasahi kaki tak beralasku, sensasi dingin yang kurasakan,
tak mampu membuat diriku beranjak menjauh. Tubuh kucondongkan ke bawah, dengan lengan
baju yang sudah tergulung, kedua tangan berkecipak-cipak pada air laut. Dadaku seakan penuh
dengan bunga mekar, perasaan bahagia dan senang, membuat keras suara tawaku lepas.
Ah, ini bukan hanya sebuah mimpi! Aku masih tak percaya!
Bagaikan kembali seperti anak berusia enam tahun, kakiku berjingkrak ke sana kemari. Berlari
menyusuri bibir Pantai, menikmati suara deburan ombak yang memecah karang dan angin sepoi-
sepoi. Lariku terhenti karena ada sesuatu di depan sana tak jauh dari posisiku berdiri. Netraku
menangkap tumpukan barang yang tersapu oleh ombak hingga terdampar di pesisir Pantai. Aku
mendekati tumpukan tersebut, karena penasaran ada barang-barang apa saja dan siapa tahu ada
Tapi nihil, tumpukan itu hanya berisi potongan kayu dan pohon, badan kendaraan yang berlumut,
kain-kain baju tak layak pakai, plastik botol dan barang-barang lain yang sama tidak bergunanya.
Sungguh sia-sia, sayang sekali waktu bersenang-senangku berkurang. Ingin rasanya memutar
kembali waktu dan tenaga yang kugunakan untuk mengais tumpukan barang itu. Saat tubuh akan
berbalik dan hendak melangkah menjauh, ujung kaki kananku tanpa sengaja menginjak sebuah
perahu kertas.
Iya, kau tak salah baca. Itu adalah sebuah perahu kertas yang masih kering dan utuh. Aku saja
terkejut melihat barang itu ada di sana. Tapi tidak bisa dibilang utuh kembali sih, setelah kakiku
menginjaknya, perahu itu penyok. (Aku benar-benar minta maaf karena sungguh tidak sengaja)
Aku mengambil perahu kertas tersebut dan Aku amati. Meski warna kertas sudah menguning dan
kotor, kertas itu benar-benar kering padahal berada ditumpukkan barang yang pastinya basah itu.
Kutiup-tiup agar sisa pasir yang menempel pergi. Lalu dengan penasaran Aku bongkar bentuk
perahu kertas tersebut, dan siapa yang bisa percaya bila ada kalimat panjang tertulis dalam kertas
itu. Sudah pasti aku berhalusinasi, tapi nyatanya tidak. Jelas-jelas perahu kertas itu adalah sebuah
surat yang entah bagaimana tetap kering meski sudah terombang-ambing, naik turun, ke kanan dan
Sudah menjadi sebuah hakikat manusia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi bukan? Tanpa babibu
ku baca isi surat itu dan boom cukup terkejut dengan fakta yang Aku temukan di dalamnya.
Bukankah lucu? Bila Aku simpulkan setelah membaca secara keseluruhan isi surat itu, bencana
besar yang sudah menghancurkan bumi ini terjadi karena dua manusia di masa lalu. Hanya karena
persoalan cinta dan rumitnya hubungan mereka, mengakibatkan bumi luluh lantah terendam air,
Gedung tinggi yang runtuh karena terendam, air bah yang masih membutuhkan waktu lama untuk
surut, kota-kota yang porak-poranda serta ribuan baja dan mesin otomotif yang saat ini tergeletak
bagai bangkai besi berkarat tak berguna. Bencana besar ini terjadi hanya karena mereka berdua?
Alina kau harus tahu, menurutku bukan hanya Sukab yang bodoh dan tolol, dirimu tak ada
Dan apakah kau tahu Alina? Akan kuberitahu kau sebuah kebenaran. Bumi dua puluh tahun setelah
bencana besar itu kini mulai membaik, bahkan air bah yang muncul dari surat yang diberikan oleh
Sukab kepadamu kini mulai menyurut. Ah untuk Senja yang Sukab potong, kau tahu? Itu hilang,
Mungkin Tuhan mendengar banyaknya doa dan tangis manusia yang tak berdosa di Bumi, juga
melihat Bumi yang hancur bukan atas kehendak-Nya, potongan Senja itu benar-benar lenyap.
Banyak yang mengatakan bahwa potongan senja itu melebur jadi satu dengan Matahari sekarang.
Tapi siapa yang tahu? Semua biar menjadi rahasia saja. Manusia harus tetap berada pada batasnya,
bukan?
Yang pasti langit juga berangsur-angsur kembali berwarna biru cerah dengan awan-awan putih ada
sebagai corak. Warna jingga kemerah-merahan kini hanya muncul ketika Matahari kembali pada
peraduannya.
Dan kau bilang kau satu-satunya pengembara yang tersisa pada saat itu?
Ckckck, mungkin karena dirimu berjuang sendirian untuk menyelamatkan diri hingga sampai pada
puncak Himalaya. Kau tidak tahu saja, kapal-kapal besar yang disiapkan oleh pemimpin-pemimpin
dunia mampu menyelamatkan jutaan nyawa. Aku bersama ayahku menaiki kapal besar itu kau
tahu. Selama hampir sepuluh tahun kami hidup di atas kapal-kapal besar yang berlayar tanpa henti.
Sebelum pada akhirnya menemukan sebuah daratan yang tidak tergapai oleh tsunami dan banjir
Alina, Kau tak mau disalahkan atas bencana besar yang dialami oleh manusia, tapi faktanya kau
juga salah!
Seharusnya sejak awal dirimu tidak perlu memberikan perhatian lebih pada Sukab, aku tahu apa
itu rasanya kasihan. Tapi kau lihat sendiri Alina, pria itu dengan nekat memotong senja hanya
untuk diberikan untuk orang terkasihnya, yaitu dirimu. Dan jangan bohongi perasaan kau sendiri,
Kau bilang tidak ada rasa pada Sukab, tapi dirimu mau menunggu hingga sepuluh tahun demi surat
yang Sukab kirimkan untukmu. Meski ya pada akhirnya kau menyerah dan memiliki suami dan
anak. Aku tak menyalahkanmu untuk satu hal itu. Tapi tetap saja! Kau Alina, jelas-jelas menaruh
harapan pada surat yang Sukab kirimkan. Itulah mengapa kukatakan Kau sama Tololnya seperti
Sukab!
Tapi kuakui Sukab memang lebih-lebih tolol dari dirimu. Bayangkan saja senja, SENJA yang
besarnya melebihi bumi dia potong! Ke mana perginya akal sehat laki-laki itu?!
Oh Tuhan, apakah cinta memang bisa membuat akal sehat dan logika orang-orang hilang???
Dulunya, aku tak percaya. Namun, setelah membaca surat ini, sekarang aku percaya akan hal itu.
Aku hela nafas dengan kasar, rasa marah masih berapi-api. Otakku berkecamuk dengan segala
sumpah serapah dan cacian, tapi dipikir kembali rasanya sia-sia bila bibirku baru akan mengutuk
mereka sekarang. Toh, aku yakin mereka sudah lama mati. Kuharap hukum akhirat itu ada dan
mereka menerimanya.
Sangat pantas mereka menerima itu, iya kan? Mereka pasti sudah tahu konsekuensi yang akan
dihadapi, terlebih ketika harus menghadap Tuhan dan bersaksi. Tak akan bisa mengelak dari dosa-
Bila aku menerawang kembali pada masa lalu sebelum bencana besar itu terjadi, Aku masih ingat
diriku bermain dengan riang di tengah lapangan bersama teman-teman. Tiba-tiba dengan tergopoh
ayah datang menjemputku, entah tidak jelas apa yang dirinya katakan. Namun, yang pasti pada
saat itu garis wajahnya yang halus mengerut tajam. Keringat sebesar biji jagung tampak jelas
berlomba untuk jatuh dari pelipisnya. Bersamaan dengan datangnya Ayah, pada detik itu juga
nyaring sirine berbunyi, suaranya berbeda dari mobil patroli polisi pada biasanya. Sebuah suara
sirine yang berbunyi sebagai peringatan, peringatan bahwa bencana besar akan terjadi.
Menggendong tubuh kecilku dengan kasar, tanpa Aku sadari tubuh mulai menjauh dari lapangan.
Pada saat itu Aku sadar, bahwa banjir besar yang menenggelamkan kota akan datang. Dari yang
kuingat, manusia berhamburan ke sana ke mari, ramai riuh mereka menabrak satu sama lain.
Tangisan anak seusiaku, banyak kulihat mereka terpaku di tengah keramaian itu, ekspresi bingung
dan takut melebur menatap nanar bagaimana orang dewasa buru-buru menyelamatkan diri masing-
masing.
Guncangan dan deru nafas kasar Ayah yang kudengar. Menyadarkan diriku bahwa beruntungnya
Aku pada saat itu. Karena orang dewasa pada saat itu hanya peduli pada mereka sendiri, hanya
tampak satu dua tiga orang dewasa seperti Ayahku datang menjemput anak-anak yang bermain di
lapangan bersamaku. Syukurlah Ayahku tak meninggalkanku sendiri. Dengan erat kulingkarkan
lengan pada leher ayahku dengan kepalaku letakkan pada bahu luasnya. Mata terpejam dengan
erat, hati sama kerasnya berpacu, darah terasa terpompa lebih cepat, mengalir ke setiap sela tubuh
Langit pada saat itu berubah warna menjadi jingga kemerah-merahan diiringi banyaknya air
mengalir dari perbukitan merendam dataran rendah. Sungguh, pada hari itu rasanya diriku seperti
berada di neraka. Terlambat sedikit saja Ayahku pergi ke Pelabuhan dan menaiki kapal, mungkin
kita berdua tidak akan selamat dan bisa hidup sampai sekarang.
"Hei! kau di sana! Tetap diam dan balikan badanmu!" lamunanku buyar setelah suara keras
laki-laki menyapa gendang telinga. Kulihat sekeliling hanya aku satu-satunya orang yang berada
di Pantai, matahari sudah hampir sempurna tenggelam menyisakan sedikit guratan jingga
kemerahan di langit yang mulai menggelap. Sudah jelas pastinya, suara bernada perintah itu
ditujukan padaku. Segera Aku remas kertas lusuh yang kugenggam sedari tadi. Kedua tangan
terangkat sejajar bersisian dengan telinga. Mengikuti instruksi, secara sadar tubuh berbalik,
Oh, aku tak mengira secepat ini diriku akan ketahuan lagi.
“Lagi-lagi kau berulah Nona, padahal kukira kau sudah merenungkan diri dari kejadian
tiga bulan lalu dan tidak akan diam-diam kabur lagi dari rumah.” Salah satu dari dua laki-laki
“Aku hanya bosan, dan please deh! Aku enggak kabur! Siapa yang bakal betah dan tahan
terkurung di rumah aja? bisa gila lama-lama! Aku juga mau menghirup udara segar, main air laut
yang asin, atau setidaknya biarin Aku ke Pusat kota buat melepas jenuh. Sampaikan itu pada
Ayahku.” Jelasku menggebu dengan gestur melipat dua tangan di depan dada. Mereka ini
berlebihan, padahal percobaan Aku sebelumnya gagal dan hanya sekali! Tapi kata-kata yang
“Kau bisa mengatakan hal itu secara langsung pada Profesor nanti, Selena. Sekarang kita
harus bergegas kembali masuk, akan sangat berbahaya bila kita masih berada di luar kawasan
Arcelia malam-malam tanpa perlindungan.” Kali ini Andrea, satu-satunya wanita yang
menyusulku berbicara. Aku berpikir sejenak dan berdecap sebelum akhirnya menyetujui dengan
Pada akhirnya aku kembali ke tempat itu, Arcelia. Nama daratan yang sekarang dihuni oleh orang-
orang yang berhasil selamat dari kiamat dua puluh tahun lalu. Bumi memang dikatakan bisa
kembali ditempati, namun semuanya pasti tidak akan sama seperti dulu kan? Dengan hampir 90
persen bagian dari bumi tertutup air. Kira-kira bahaya apa yang menunggu Manusia di lautan lepas
-Selesai-