Anda di halaman 1dari 6

Naskah Monolog Tukang Pos dalam Amplop

(Seorang Berusia 40 tahun berjalan menuntun sepeda terengah-engah,


kemudian berhenti untuk duduk di sebuah kursi)

ADEGAN 1
Sudah berpuluh-puluh tahun aku menjadi tukang pos pengantar surat yang tidak
pernah mendapat surat. Namun, baru kali inilah aku harus mengantarkan surat ke
suatu alamat yang begitu jauh yang berada di ujung dunia.

Biar aku ceritakan kisah ajaibku selama perjalanan mengantar surat itu.

40 hari 40 malam aku mengayuh sepedaku nyaris tanpa henti, sebelum akhirnya
sampai ke sebuah Bukit Kapur. Aku mengayuh sepedaku siang dan malam, dan hanya
berhenti makan, minum, dan tidur di bawah pohon yang rindang, sembari merasakan
tiupan angin dan mendengarkan suara gemericik air sungai yang mengalir, ketika itu
aku tergolek-golek di atas rumput mengenangkan keluarga yang sudah lama
ditinggalkan. Untuk pertama kalinya, dalam hidupku sebagai tukang pos, pengantar
surat yang merana tanpa menyama, aku harus melakukan perjalanan begitu panjang,
di bawah terik matahari dan sinar rembulan untuk mengantarkan surat dengan begitu
ajaib, mengarungi lembah hutan dan padang rumput sebelum akhirnya menyusuri
pantai selama berhari-hari sampai tiba di kaki bukit kapur. Aku heran mengapa ada
orang mau tinggal di Bukit Kapur itu, tempat di mana angin panas dan kering
membawa bubuk gambing. Aku mengayuh sepedaku dengan terengah-engah sambil
melihat ke belakang, melihat tas surat yang tergeletak di boncengan. sudah dari
kemarin salah satu tas itu mengeluarkan cahaya merah keemas-emasan seperti senja
sempurna yang kejinggaan cahayanya membakar langit.

Dalam perjalananku yang panjang 40 hari dan 40 malam, Aku memang nyaris tidak
pernah berhenti. pada malam hari pun tidak tidur. mengayuh sepeda sepanjang malam
di jalan tol tanpa ujung di bawah sinar rembulan yang kebiru-biruan. Tetapi, aku
selalu berhenti apabila senja menjadi sempurna. Berpuluh-puluh tahun dalam
kehidupan manusia yang fana, sangatlah mungkin ada seseorang yang tidak pernah
merasa senja itu ada. Namun, aku bukan orang seperti itu. Memang, seringkali senja
juga begitu-begitu saja, tanpa ada cahaya merahnya yang kejingga-jinggaan dengan
hamparan mega-mega yang terbentang dalam sepuan keunguan, sehingga tampak
bagaikan kapas dicelup warna ungu muda tanpa lempengan matahari raksasa yang
tenggelam di balik cakrawala dengan geletar yang membuat udara gelombang dan
rasaan menjadi rawan. Bagiku, menghayati senja sama pentingnya dengan berdoa di
dalam kuil.

dalam perjalananku beberapa kali kujumpai kuil-kuil yang sudah menjadi reruntuhan
maupun masih digunakan. Tapi, aku tidak pernah berhenti di kuil yang mana pun.
Hanya apabila senja menjadi sempurna dan cahayanya yang keemas-emasan membuat
langit membara, Sebelum menjadi ungu, biru dan gelap, aku akan berhenti
menghayatinya. bagaikan suatu upacara sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
Maka aku sangat mengenai cahaya senja keemas-emasan dari tas surat diboncengan.
Aku hanya heran, bagaimana mungkin ada cahaya senja yang merah kejingga-
jinggaan bisa memancar dari dalam tas surat.
Sebagai seorang pengantar surat baru kali ini aku melihat surat yang bercahaya senja,
padahal selama ini aku telah mengantarkan berbagai macam surat. Aku pernah
mengantarkan surat kepada pendati yang telah 40 kali mengelilingi bumi, aku juga
pernah mengantarkan surat kepada pengemis termiskin di dunia.

aku tidak akan pernah menemukannya, kalau bukan pengemis itu sendiri, yang
menyapaku di sebuah kedai arak di tepi jurang.

“kau bawa surat untukku?”

“anda pengemis termiskin di dunia?”

“iya, itulah aku”

Kulihat pengemis itu, ia terlihat tidak punya tangan, tidak punya kaki, tidak punya
hidung, dan tidak punya mata. Akan tetapi, ia ditandu 4 pengemis yang jelita.

Aku dikerumuni anak-anak di bukit kapur itu, ketika mengambil surat bercahaya senja
itu, yang rupanya tidak rapat ditutup sehingga binar-binar keemasannya menyebar
kemana saja. Inilah akibatnya apabila surat hanya dianggap sekadar surat. Surat
adalah pesan, kandungan rohani manusia yang mengembara sebelum sampai ke
tujuannya. Sebuah surat adalah dunia, dimana manusia dan manusia bersua. Itulah
sebabnya, sebuah surat harus tertutup rapat, pribadi, rahasia, dan tak seorang pun
berhak membukanya. Masalahnya, surat ini sudah terbuka dan aku yang tidak sengaja
menengok ke dalamnya bagaikan langsung tersihir.

“ Awas Pak... Awas Pak... jangan masuk, itu senja… “

Aku tidak ingin masuk, tapi aku tersedot ke dalamnya.

ADEGAN 2

(layar gelap, hanya terdengar suara debur ombak, deru lirih angin, dan burung-burug
yang berpadu,) ORANG BERUSIA 40 TAHUN ITU BERPAKAIAN SAMA
DENGAN LATAR MENUNJUKAN WARNA JINGGA.

Benar…di dalam amlop itu adalah senja. Sepotong senja dimana matahari yang sudah
terbenam separuh cakrawala, semesta adalah air. dan aku menjadi ikan yang bisa
bernapas dengan insang. Aku menjadi manusia ikan. Aku tahu bahasa ikan. Di dalam
dunia air, aku mendengar banyak sekali suara-suara yang setelah kuperhatikan
ternyata adalah kata-kata. Ikan-ikan adalah penyair. Mereka bertukar kata dengan
puisi yang tak terjemahkan dalam bahasa manusia.

Samudera menggenangi semesta, matahari senja yang terbenam separuh dan tidak
turun-turun itu, waktu pergerakannya terhenti karena senja itu telah terpotong.

Aku berenang di dalam lautan jingga dan melihat segala hal yang biasanya tampak di
muka bumi terendam air. Gedung-gedung dan jalan raya tampak berkilau keemasan di
dalam air yang jingga, membuat segalanya serba baru dan mengherankan. Aku jadi
ngeri. Bagaimanakah surat ini nanti akan diterima? . Aku meluncur di dasar lautan
seperti ikan menuju matahari yang membuat segala-galanya menjadi jingga. Oh..
matahari itu tampak begitu besar, begitu dekat, tetapi yang terlihat begitu jauh.

busyet... dunia telah dikuasai ikan dan aku menjadi manusia ikan di dasar lautan
dalam amplop”. Lama sekali aku meluncur sampai lupa makan dan minum juga
waktu. Aku tak tahu berapa lama dan berapa jauh aku sudah meluncur. Aku hanya
melihat matahari di dasar lautan yang masih juga terbenam separuh itu tidak pernah
menjadi lebih dekat. Aku meluncur seperti ikan, bersama ikan lain maupun sendirian,
mengarungi lautan.

yah.. kudengar percakapan ikan, kudengar nyanyian ikan, kudengar bisik-bisik ikan,
kudengar rintihan ikan, kudengar jeritan ikan, kudengar derita ikan. Nun di kejauhan,
kulihat ikan paus merah bersimbah darah itu merintih seperti suatu yang pernah
kukenal.

Aku berhenti, mencoba mendengar lebih jelas. Dan kudengar semakin banyak suara
yang seperti kukenal. Aku mendekat ke suara itu, dan alangkah tercengangnya aku,
sebuah kota peradaban manusia yang telah ditelan samudra yang kemerah-merahan.

aku kawin dengan seekor lumba-lumba, dan melahirkan spesies baru.”Anak-anakku


menjadi makhluk air, yang mempunyai kecerdasan, sehingga dimungkinkan
membangun kembali sebuah dunia yang beradab di dalam air. Kota-kota cahaya yang
dahulu dibangun manusia, kini mulai dihuni oleh keturunan anak-anakku yang
mengawini ikan-ikan lain juga.

kami bangsa baru di dalam air, berkembang biak dengan sangat cepat, aku sudah
menjadi ikan sepenuhnya! Suatu jenis ikan yang belum pernah ada di dunia. Tubuhku
bersisik, punggungku bersirip, tanganku seperti gabungan sayap kelelawar dan ikan
pari. Kakiku disatukkan selaput, sementara kepalaku melonjong seperti ikan, tetapi
tetap berunsur manusia.

Aku meriwayatkan sejarah manusia kepada keturunanku bahwa manusia di muka


bumi yang dengan segala kelebihannya dari segala makhluk lain, tak pernah mampu
menahan dirinya menjadi penghancur.

Mereka terheran-heran, tak mengerti jika mendengar kisah manusia. Mereka tidak
bisa membayangkan, betapa mungkin manusia menghancurkan hutan, mengotori laut,
menyantap makhluk-makhluk lain dan membantai sesamanya tanpa perasaan. Mereka
tak mengerti, betapa mungkin manusia begitu jahat dengan kecerdasannya hanya
merusak semesta yang suci.

Berabad-abad aku tinggal di kota-kota yang bercahaya di dasar laut, aku bimbang
meski tau surat itu tengah ditunggu orang di ujung dunia, tapi apabila aku tau cara
kembali dan kembali, aku hanya akan menjadi seorang tukang pos yang harus
mengantarkan surat kesana-kemari.

Namun rupanya aku memang harus kembali, seperti kataku surat adalah pesan,
kandungan rohani manusia yang mengembara sebelum sampai ke tujuannya. Sebuah
surat adalah dunia, dimana manusia dan manusia bersua. Aku tidak ingin menjadi
manusia menjadi sepi, karena kandungan rohani manusia menyebar tak tau rimbanya.

Dalam sebuah pertemuan, kusampaikan kepada keturunanku bahwa dunia ini berada
di dalam sebuah amplop. Mereka terkejut, dan aku berusaha keras membuat mereka
mengerti, sampai ketika akhirnya mereka mengerti, mereka semua menjadi sangat
sedih.

“kami mengira semesta begitu luas. bahkan tak terbatas. Karena sepanjang sejarah
kehidupan kami selalu ada cakrawala, di depan pencapaian-pencapaian kami, ternyata
dunia kami hanya sebesar amplop. Kalau begitu apa yang kami mengerti selama ini
adalah semu! kami tidak suka hidup dalam dunia semu, kami ingin hidup dalam dunia
yang sebenarnya”

“tapi kalian akan mati… kalian tidak bisa hidup tanpa air!”

“kami tidak perduli! Lebih baik kami mati dalam kenyataan, ketimbang hidup dalam
sesuatu yang semu”

“kalau begitu, kalian tidak pernah belajar apa-apa. Untuk apa semua dibangun kalau
hanya ingin mengulangi bencana yang sama.”

Sejak saat itu, hampir semua jenis ikan yang memiliki kecerdasan itu mencari-cari
jalan untuk keluar dari amplop. Setiap goa dan selusuran di selusuri, siapa tahu seperti
sebuah jalan yang menghubungkannya dengan dunia di luar amplop. Aku menjadi
sangat takut dengan cita-cita kemajuan yang tak kunjung padam, karena kemajuan
yang terlalu banyak akan memicu kehancuran, seperti pernah kuriwayatkan.

Aku pergi ke sebuah candi bekas peradaban manusia dan melihat patung-patung batu
yang di dalam stupa-stupa masih bergumam seperti mendengungkan mantra-mantra.

Aku ingin menyampaikan berita ini ke dunia, namun bagaimana caranya. Aku ingin
membuat catatan, tetapi di dunia air ini kami tidak mengenal huruf dan cara berpikir
kami lain. percakapan kami berlangsung di dalam pikiran, karena mulut kami tidak
berlidah, kami tidak bertelinga dan air tidak akan mampu menghubungkan suara-
suara kami.

Aku melamun, tiba-tiba senja beranjak, matahari yang terbenam separuh selama
berabad-abad itu, bergerak kembali. Senja akan berubah menjadi malam. Dunia
menjadi gelap dan segalanya akan menjadi lain. ikan-ikan berenang mundur,
makhluk-makhluk air terkejut dan melingsatan. Senja yang merah keemas-emasan itu
memudar dengan cepat meninggalkan nuansa ungu yang kelam dan dasar lautan yang
tadinya selalu terang berubah menjadi gelap sama sekali. Aku terpaku ditempatku,
meraba-raba dalam kegelapan dan aku tidak bisa melakukan apa-apa.

Aku memejamkan mata dan dunia dalam mataku terpejam,

ADEGAN 3
Ya waktu itu, aku kembali ke tempat semula, bukit kapur tempat ku berhenti sejenak
menilik senja dalam amplop.
Kulihat orang-orang mengelilingiku. Seragam tukang pos yang kukenakan basah
kuyup, sepedaku tergolek dengan roda berputar. Aku bangkit berdiri. Kulihat orang-
orang di sekitarku, mereka menatapku dengan mata berbinar-binar.

“Bapak masih seperti dulu ketika masuk ke dalam amplop itu. Padahal sudah 10 tahun
lamanya bapak berada di dalam amplop. Bapak tidak bertambah tua.”

Anak-anak itu sudah menjadi remaja. Mereka belum meninggalkan desa itu. Kulihat
amplop itu, kupungut dan kurekatkan kembali penutupnya yang terbuka. Masih ada
basahan air di dalamnya, kumasukkan kembali amplop itu ke dalam tas surat, lantas
kuberdirikan sepedaku.

“maaf pak, selama bapak ada di dalam amplop, sepeda itu kami pinjam untuk main-
main. Tidak apa-apa yah pak. Habis bapak lama sekali ada di dalam! Sepeda itu sudah
banyak sekali berjasa pak, ada perempuan hamil diantar pakai sepeda itu ke dukun
beranak di tepi danau. Terima kasih pak dan sekali lagi maaf.”

“ iya pak. kami belajar pakai sepeda dari sepeda itu pak. Terima kasih. Harap maklum
pak, di desa ini kami hanya mengenal kambing dan kerbau. Jadi kami penasaran
sekali melihat sepeda bapak. Tadinya, kami mau menunggu bapak dari dalam amplop.
Tapi setelah beberapa hari itu, kami menunggu, kami pikir bisa memakainya saja pak.
Ya kami percaya bapak ngga marah-marah. Bapak lama sekali sih di dalam”

“ Ya. Bapak tidak tahu cara keluarnya.”

“ oohh. Pasti bapak tidak sempat memejamkan mata. Orang tua kami sering keluar
masuk senja. Tinggal memejamkan mata saja. Itulah pintu masuknya. Tapi, kami
semua tidak tertarik. Karena kami sudah kenyang dengan cerita, kami lebih tertarik
untuk tertarik main sepeda. “

Aku tak tau lagi apa yang harus ku katakan, yang jelas surat ini (mengeluarkan surat
dari tas pos) yang didalamnya berisi senja, masih harus ku hantarkan kepada
seseorang di ujung dunia.

Namanya… Alina.

*Keterangan

Warna biru = Pengemis Termiskin di Dunia


Warna Oren = Bangsa Ikan
Warna Hijau = Anak-anak kampung

Anda mungkin juga menyukai