Anda di halaman 1dari 21

TUGAS BAHASA INDONESIA

BAB 4 MENIKMATI NOVEL

“ZIARAH”

Disusun oleh:

IVAN CARLOS SIMARMATA

XII IPA 2

SMA NEGERI 4 DEPOK

Jalan Jeruk Raya No. 1 Perumahan Sukatani Permai, Sukatani, Kota Depok

Jawa Barat
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat dan rahmat-Nya meresensi novel yang berjudul "Ziarah" karya Iwan

Simatupang, dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya.

Resensi novel ini disusun untuk memenuhi tugas bahasa Indonesia sebagai nilai

psikomotorik semester dua dan untuk memberikan informasi kepada pembaca tentang

seberapa berpengaruh metode presentasi pada siswa khususnya di kelas XII IPA SMA

Negeri 4 Depok. Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis mendapat banyak

bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui

kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. , Guru bahasa Indonesia karena telah membimbing dan memberikan pengarahan

kepada penulis.

2. Orang tua yang telah memberikan dukungan.

3. Teman-teman yang sudah membantu.

Harapan penulis semoga resensi novel ini dapat memberikan informasi dan

menambah pengetahuan bagi pembaca. Penulis juga berharap resensi novel ini dapat

menjadi acuan bagi penulis dalam penulisan resensi atau karya tulis ke depannya.

Penulis menyadari resensi novel ini masih memiliki banyak kekurangan karena

terbatasnya pengetahuan penulis. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran

yang membangun agar karya berikutnya dapat lebih baik lagi.


Akhir kata penulis berharap resensi novel ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak dan dapat membantu dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Semoga

Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan rahmat dan berkat-Nya kepada kita semua.

November 2019

Penulis
Meresensi dan Menganalisis Novel Sastra

A. Identitas Novel

 Judul buku : Ziarah


 Genre : Fiksi, Simbolisme kematian
 Penulis buku : Iwan Simatupang
 Penerbit : Djambatan
 Cetakan : Ke – 8
 Tahun terbit : 1969
 Jumlah halaman : 142 halaman
 ISBN : 979-428-461-0

B. Latar Belakang Pengarang Menulis Novel


Pengarang novel ini menulis untuk mengingatkan kita bahwa setiap beberaapa
langkah kita tentu ziarah akan mayat-mayat yang dari jutaan tahun telah mendahului
kita, dan kita pun tentu akan menyusul mereka. Untuk itu setiap dari apa yang kita
lakukan akan diingat orang dan akan mendapat balasannnya.

C. Gambaran Umum Isi Novel


Novel Ziarah bercerita tentang "tokoh kita" yang dianggap sebagai manusia aneh.
Cerita diawali dengan berlarinya tokoh kita ke persimpangan pertama jalan setiap pagi
untuk mengharapkan pertemuannya dengan istrinya yang telah lama meninggal dunia.
Apabila gagal menemui istrinya, ia memastikan dirinya bahwa besok dapat bertemu
dengan istrinya itu. Orang-orang sudah tahu akan kelakuannya yang aneh itu. Ia
mengalami rusak syaraf. Di warung ia menuangkan tuak penuh-penuh ke gelasnya. Ia
tertawa keras-keras dan kemudian menangis keras-keras. Setelah itu, ia diusung orang
untuk diantarkan ke tempat kediamannya. Kelakuannya yang aneh itu segera berakhir
setelah ia mendapat pekerjaan sebagai pengapur tembok luar pekuburan, tempat
istrinya dikuburkan, yang ditawarkan oleh opseter pekuburan.
Yang terdiri dari delapan bagian :
1. Pengenalan tokoh bekas pelukis
2. Perubahan sifat tokoh bekas pelukis
3. Opseter baru yang bekerja rasional
4. Masalah dari kerja opseter yang rasional tersebut
5. Masa lalu dari sang bekas pelukis
6. Kehidupan dari bekas pelukis
7. Alasan dari kegilaan bekas pelukis
8. Akhir dari kisah bekas pelukis

D. Sinopsis Novel
Di Kotapraja, seorang pelukis terkenal di seluruh negeri terkapar trauma. Ia
ditinggal mati istrinya yang sangat ia cintai. Istrinya itu adalah dia yang dikawininya
secara tiba-tiba. Suatu hari disaat Pelukis mencoba bunuh diri karena ketenaran karya
lukisnya yang memikat semua orang dijagat bumi ini. (Beberapa kritikus seni bilang
bahwa dia adalah Nabi Seni Lukis masa depan) yang mengakibatkan ia memiliki
banyak uang dan membuatnya bingung. Karena kebingungannya ini sang pelukis
berniat bunuh diri dengan meloncat dari lantai hotel. Ketika terjun, dia menimpa
seorang gadis cantik. Tanpa diduga pula sang pelukis langsung melakukan hubungan
badan dengan si gadis di atas jalan raya. Hal ini membuat orang-orang histeris dan
akhirnya seorang brigadir polisi membawa mereka ke kantor catatan sipil dan
mengawinkan mereka.

Pelukis merasa benar-benar kehilangan terutama saat dia tahu bahwa istrinya mati,
pelukis pun langsung pergi ke kantor sipil guna mengurusi penguburan istrinya tetapi
tak ada tanggapan positif dari pengusaha penguburan. Itu terjadi karena pelukis tak
tahu apa-apa tentang istrinya. Yang dia tahu hanyalah kecintaannya pada istrinya.
Sehingga mayat istrinya terkatung-katung karena tak memiliki surat penguburan yang
sah. Pelukis pun menghilang ketika dicari walikota (diangkat menjadi walikota setelah
walikota pertama gantung diri karena tak bisa memecahkan masalah mengundang
pelukis saat akan ada kunjungan tamu asing) yang ikut menghadiri penguburan Istri
pelukis.
Sampai akhirnya pengusaha penguburan itu menyesali perbuatannya dan dengan
keputusan walikota akhirnya mayat istri pelukis dikuburkan. Sampai penguburan usai,
sang pelukis tak kelihatan. Saat kembali ke gubuknya, dia melihat wanita tua kecil yang
ternyata adalah ibu kandung dari istrinya. Bercerita panjang tentang masa lalunya yang
suram dan sampai saat terakhir dia bertatapan dengan anaknya yang justru membuat
dilema bagi si anak. Dan sesaat kemudian pelukis memandangi keadaan sekitar yang
penuh karangan bunga, membuang bunga-bunga tersebut ke laut kemudian membakar
gubuknya sampai habis. Beberapa bunga yang masih tersisa ia bawa ke kuburan
istrinya. Ia titipkan karangan bunga pada centeng perkuburan. Ziarah tanpa melihat
makam istrinya.
Setelah itu hidup pelukis semakin tak jelas arah. Ia seolah tak pernah percaya bahwa
istrinya telah mati. Pagi harinya hanya digunakan untuk menunggu istrinya di tikungan
entah tikungan mana dan malam harinya di tuangkan arak ke perutnya, memanggil
Tuhannya, meneriakkan nama istrinya, menangis dan kemudian tertawa keras-keras.
Hingga akhirnya datang opseter perkuburan yang meminta dia mengapur tembok
perkuburan Kotapraja yang sebelumnya telah berbekas pamplet-pamplet polisi bahwa
dia dicari.
Pelukis menerima tawaran itu dan esoknya ia mulai bekerja mengapur tembok
perkuburan Kotapraja itu 5 jam berturut-turut tiap harinya, sedangkan opseter
perkuburan mengintip dari rumah dinasnya. Pekerjaan baru Pelukis ini membawa
perubahan tingkah laku pelukis sehingga membuat seluruh negeri geger. Hingga
Walikota akan memberhentikan opseter perkuburan. Tetapi ketika mengantar surat
pemberhentian kerja itu, Walikota malah mati sendiri karena kata-kata opseter tentang
proporsi. Sebelumnya juga pernah terjadi kekacauan di negeri karena opseter
pekuburan memakai rasionalisme dalam kerjanya dan hanya memberi instruksi kerja
pada selembar kertas pada pegawainya.
Setelah beberapa hari pelukis mengapur tembok perkuburan, pada suatu hari
dia bergegas pulang sebelum 5 jam berturut-turut. Opseter perkuburan heran kemudian
mendatanginya dan ternyata pelukis ingin berhenti bekerja. Opseter kebingungan tetapi
pelukis menjelaskan bahwa dia tahu maksud opseter memperkerjakannya. Bahwa
selain untuk kepentingan opseter sendiri, opseter ingin pelukis menziarahi istrinya yang
sudah tiada itu. Keesokan harinya opseter ditemukan gantung diri. Pekuburan geger,
tetapi hanya sedikit sekali empati dari pegawai-pegawai pekuburan. Penguburan
opseter berlangsung cepat. Setelah penguburan, pelukis bertemu maha guru dari
opseter yang kemudian menceritakan riwayat opseter.
Pada akhirnya pelukis pergi ke balai kota untuk melamar menjadi opseter pekuburan
agar ia dapat terus-menerus berziarah pada mayat-mayat manusia terutama pada mayat
istrinya.

E. Keunggulan Novel
a. Non fisik
Merupakan tipe novel sastra karena pengarang banyak menggunakan ungkapan-ungkapan
ataupun konotasi dan majas-majas terutama majas personifikasi , cukup menarik, dan bahasa
yang digunakan adalah bahasa sehari-hari.

b. Fisik
Dilengkapi cover yang menarik dan kertas yang bagus (bukan kertas koran).
F. Kelemahan Novel
a. Non fisik
Menggunakan alur yang membinggungkan yakni alur campuran, cerita terkesan
berlebihan dan memaksa, tema yang sangat sederhana, memerlukan psikologis dan
intelek untuk menangkapnya.

b. Fisik
Penjilidan yang kurang rapi dan mudah lepas, terdapat kata-kata yang salah ketik.

G. Unsur Intrinsik
a. Tema
Tema pada novel “Ziarah” ini adalah memberitahukan tentang kehidupan dan realitas
dunia yang tidak memiliki dalamnya sebuah kepastian, selalu terjadi sebuah peristiwa
kematian. Sesungguhnya manusia dapat menggenggam kebebasan dalam kedua
tangannya sendiri, dan membentuk kebebasan yang dimilikinya menurut kehendaknya
sendiri. Manusia dihadapkan pada sebuah kematian, dihadapkan pada batas akhir
hidup, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang harus dijalani, sebagaimana
kelahirannya sendiri.
Dalam novel Ziarah ini tema utamanya adalah kematian. Akan tetapi uniknya tema
kematian ini diselingi dengan kisah kehidupan dalam ilmu filsafat. Tapi tema kematianlah
yang lebih menonjol dalam novel ini

b. Tokoh, penokohan, dan perwatakan


Tokoh :
Pelukis, istri pelukis, opseter pekuburan kotapraja, walikota kotapraja, wakil walikota
kotapraja, perdana menteri kotapraja, kepala dinas pekerjaan umum kotapraja, mandor
dan pegawai pekuburan kotapraja, maha guru opseter, ayah opseter, brigadier polisi,
nona tua, centeng pekuburan, masyarakat, penjaga pekuburan, wanita bangsa asing,
turis dan wartawan.
Penokohan dan perwatakan
1. Pelukis : protagonis (tokoh utama)
Ketika pelukis ditinggal mati oleh istrinya, dia berubah menjadi orang yang pemabuk,
dan bertingkah seperti orang gila berteriak-teriak memanggil nama istrinya. Namun
pada sebelumnya, dia adalah seorang pelukis yang terkenal, digemari oleh banyak
orang, baik, penyayang dan penyabar.
2. Istri pelukis : protagonis (tokoh pendamping)
Setia, penyayang, patuh dan berbakti kepada suaminya.
3. Opseter perkuburan kotapraja : antagonis (tokoh pendamping)
Opseter pekuburan kotapraja adalah putra satu-satunya dari hartawan terkaya diseluruh
negara. Orangnya pintar, cerdas, berpendidikan, berfikir secara berdisiplin dan kritis,
pembangkang dan suka membuat hidup hidup orang sengsara.
4. Walikota kotapraja : tritagonis (tokoh pembantu)
Walikota adalah seorang pemimpin yang tegas, keras, berbicara kasar, angkuh dan
egois.
5. Wakil walikota kotapraja (tokoh pembantu)
Baik, tidak egois, berperasaan lemah dan ikhlas.
6. Perdana menteri kotapraja (tokoh pembantu)
Patuh, penurut terhadap atasannya/walikota.
7. Kepala dinas pekejaan umum kotapraja (tokoh pembantu)
Patuh, penurut terhadap peraturan dan atasannya/walikota.
8. Mandor dan pegawai pekuburan kotapraja (tokoh pembantu)
Kasar dalam berbicara, patuh dan penurut terhadap atasannya.
9. Maha guru opseter (tokoh pembantu)
Maha guru opseter adalah seorang maha guru di sebuah universitas ilmu filsafat.
Orangnya sombong dan angkuh.
10. Ayah opseter (tokoh pembantu)
Ayah opseter adalah seorang hartawan terkaya diseluruh negara. Orangnya sombong,
angkuh dan penyayang.
11. Brigadir polisi (tokoh pembantu)
Baik hati, dan berpikir secara kritis
12. Nona tua (tokoh pembantu)
Nona tua adalah seorang ibu dari istri pelukis yang telah lama ditinggalkannya di panti
asuhan sejak ia masih kecil (mertua pelukis). Orangnya tegar, penyabar
dan penyayang.
13. Centeng pekuburan (tokoh pembantu)
Centeng pekuburan adalah seorang mantan maha guru opseter pekuburan di universitas
filsafat. Orangnya baik dan suka bercanda.
14. Masyarakat (tokoh figuran)
15. Penjaga pekuburan (tokoh figuran)
16. Wanita bangsa asing (tokoh figuran)
17. Turis (tokoh figuran)
18. Wartawan (tokoh figuran)

c. Latar tempat, waktu, sosial, dan suasana


Tempat :
1. Tikungan : “disalah satu tikungan” (p1, b2, hal 1)
2. Rumah kecil : “ke satu kamar kecil, di satu rumah
kecil, di pinggir kota kecil” (p3, b6, hal 1)
3. Kakilima jalan raya : “Dia lari tunggang-langgang ke
kakilima jalan raya” (p5, b4, hal 1)
4. Jalan : “Selesai mandi dan berpakaian, dia lari
ke jalan” (p2, b1, hal 2)
5. Tempat menyewa kamar : “Ketika sampai di depan rumah tempat dia
menyewa kamar” (p5, b1, hal 2)
6. Kedai arak : “Kemudian dia lari sekencang-
kencangnya ke kedai arak” (p5, b37, hal 2)
7. Di ujung jalan : “Hanya seekor anjing kurus dan kotor di ujung
jalan” (p3, b3, hal 3)
8. Kota : “membuat seolah dia jauh sekali dari
kota di mana dia kini ada” (p4, b3, hal 3)
9. Di kedai : “Mencuci piring di kedai” (p2, b13, hal 5)
10. Di sebelah tokoh : “Dia duduk di sebelah tokoh kita” (p1, b6, hal
8)
11. Di pekuburan : “Dia tentulah tahu istrinyanya dikubur di
perkuburan” (b19, hal 9)
12. Di kompleks perkuburan : “Opseter lari girang pulang ke ruamhnya di
kompleks perkuburan” (p3, b2, hal 10)
13. Di rumah dinas opseter : “dan jendela rumah dinasnya” (p1, b3, hal 11)
14. Ruang sidang : “dan jendela-jendela ruang sidang” (p2, b9, hal 12)
15. Di alun-alun : “Orang-orang di alun-alun ikut berteriak” (p3,
b1, hal 19)
16. Di pintu gerbang perkuburan : “di ruang kamar tunggu di pintu gerbang perkuburan”
(b7, hal 28)
17. Di mesjid dan gereja : “Bahkan khotbah di mesjid-mesjid dan dan
gereja-gereja” (b11, hal 36)
18. Warung kopi : “maupun dalam obrolan-obrolan warung kopi
biasa” (b4, hal 37)
19. Kantor dan pabrik : “Kantor-kantor dan pabrik-pabrik menjadi
sunyi” (p1, b7, hal 37)
20. Kotapraja : “Segera laporan ini diteruskan oleh opseter ke
kotapraja” (p2, b1, hal 48)
21. Di jembatan : “kita di jembatan sana tadi?” (p1, b10, hal 59)
22. Di garis finish : “khalayak ramai di garis finish marathon tadi” (p1, b15,
hal 59)
23. Studio : “Ketika petangnya dia kembali ke studionya” (p4, b1,
hal 68)
24. Hotel dan losmen : “dia diam di hotel-hotel dan di losmen-losmen”
(b1, hal 70)
25. Di atas aspal : “dan gelisah di atas aspal kering” (p4, b3, hal
72)
26. Balaikota : “Mari saya kawani Saudara-saudara berdua ke
balaikota” (p1, b2, hal 74)
27. Kantor polisi : “apakah lantas dia dapat digiring ke kantor
polisi” (p6, b7, hal 74)
28. Gubuk : “Setelah istrinya direbahkannya dalam gubuk itu” (p5,
b4, hal 77)
29. Rumah dinas walikota : “yang membawanya segera ke rumah dinas
walikota” (p5, b6, hal 86)
30. Dalam bilik : “mengunci dirinya dalam biliknya” (p3, b4, hal
87)
31. Di perpustakaan : “Inilah acara satu-satunya istrinya sehari itu, di
perpustakaan” (p5, b4, hal 88)
32. Di gubuk tepi pantai : “ke gubuk yang masih utuh di pantai” (p9, b2,
hal 89)
33. Pantai : “pergi mengipas-ngipas mukanya ke pantai” (p4, b7,
hal 93)
34. Di lembah : “Dan seperti bebek-bebek di lembah” (p3, b2,
hal 94)
35. Kantor cacatan sipil : “Di kantor cacatan sipil dulu” (p9, b3, hal 96)
36. Di panggung : “pada lampu sorot di panggung” (p1, b4, hal 99)
Waktu :
1. Pagi hari
“Juga pagi itu dia bangun” (p1, b1, hal 1)
“Paginya dia selalu gmbira” (p2, b1, hal 1)
“di ufuk tiap pagi membawa ingatan putih baginya” (p4, b4, hal 1)
“saya minum arak sepagi hari” (p9, b6, hal 7)
2. Tengah hari
“persis tengah hari mereka berpisahan” (p4, b22, hal 10)
3. Sore hari
“menjelang benamnya matahari, dia berhenti kerja” (p3, b10, hal 11)
4. Malam hari
“Begitu malam jatuh, perutnya dituangnya arak penuh-penuh” (p3, b1, hal 1)
“menghidupi detik-detik selanjutnya dari malam yang sisa” (p3, b8, hal 1)
“Malam-malamnya seperti ini” (p4, b1, hal 1)
“Malamnya, dia menyuruh penjaga perkuburan” (p1, b1, hal 2)
“malam itu dia ada melihat matahari sepanjang malam” (p4, b4, hal 2)

Suasana :
1. Gembira
“menggeger suatu tawa gempita dari atas tembok” (p2, b2, hal 15)
2. Sunyi
“sunyi senyap dipekuburan itu” (p10, b36, hal 113)
3. Ramai
“ke tengah orang ramai itu”
4. Panik
“hadirin geger” (p1, b1, hal 38)
5. Gelisah
“dia mulai gelisah”
6. Hening
“sesudah itu hening, sehening-heningnya” (p3, b10, hal 3)
7. Sedih
“demi satu titik membasah di matanya” (p10, b37, hal 123,124)
d. Alur
Alur dalam novel ini sedikit membingungkan pembaca, karena pengarang
menggunakan alur “Flash Back” atau campuran. Di awal cerita, diceritakan sang
pelukis begitu kehilangan setelah ditinggal mati istrinya, tetapi dibagian belakang
malah pembaca diajak untuk mengikuti kisah pertemuan pelukis dengan istri,
kehidupan mereka yang mengundang banyak pesona, dan saat-saat terakhir istrinya
mati. Bukan hanya pelukis dan istri saja tetapi pengarang juga mengajak pembaca
untuk mengikuti kisah balik kehidupan opseter sebelum menjadi opseter.

e. Sudut pandang
Sudut pandang yang digunakan oleh pengarang adalah sudut pandang orang ketiga yang
menggunakan pengenalan tokoh dengan nama tokoh tersebut yakni Bekas Pelukis,
Opseter, dan lain-lain.

f. Amanat
1. Tidak selalu kebahagiaan itu tentang harta, pangkat, dan kepopuleran.
2. Jangan suka menambah penderitaan orang lain, karena itu akan menambah
penderitaanmu.
3. Jangan terlalu sering hanya mementingkan pekerjaan
4. Kesedihan tidak harus selalu ditangisi terus-menerus, akan tetapi kesedihan haruslah
diawali dengan kebahagiaan.
5. Jangan sewenang-wenang menyalahkan seseorang, tanpa adanya bukti yang pasti.
6. Jangan cepat menilai orang tanpa mengetahui lebih jauh tentang orang tersebut.
7. Jalanilah kehidupan ini dengan kesederhanaan jiwa, jangan hanya memikirkan diri
sendiri, sebab itu akan merendahkan harkat dan martabatmu.

H. Unsur Ekstrinsik
1. Biografi pengarang
Iwan Simatupang (1928—1970) Pengarang IWAN SIMATUPANG Iwan Simatupang,
sastrawan tahun 1960-an, menulis karya-karya yang bersifat inkonvensional dan
karena itu dianggap pembawa angin baru dalam kesusastraan Indonesia. Iwan
Simatupang lahir di Sibolga, Sumatra Utara, tanggal 18 Januari 1928 dengan nama
Iwan Martua Dongan Simatupang. Dia dianggap sebagai anak yang cerdas. Dia
dibesarkan dalam keluarga Islam. Ayahnya seorang haji yang mengajari Iwan
membaca Alquran. Sebagian masa kecil Iwan dilaluinya di Aceh, daerah yang
dikenal sebagai "Serambi Mekah". Kemudian, pada masa remajanya ia tinggal di
Sibolga, tempat kelahirannya, yaitu pusat agama Protestan di Sumatra Utara. Iwan
belajar mengaji Alquran dari orang tuanya. Kemudian, ia melanjutkan pelajarannya
ke sekolah lanjutan di Padang Sidempuan. Tahun 1948 Iwan berhenti dari sekolah
dan masuk pasukan yang ikut berperang melawan Belanda. Dia menjadi komandan
pasukan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) dan memimpin organisasi
Pemuda Indonesia di Sumatra Utara. Tahun 1949 ia ditangkap dan tidak berapa
lama kemudian dibebaskan di Medan. Kesempatan setelah bebas dimanfaatkannya
untuk menyelesaikan studinya di HBS bagian B sebagai extraneus. Setelah tamat
dari HBS, ia melanjutkan pelajarannya ke Fakultas Kedokteran di Surabaya tahun
1953. Di samping berkuliah di Fakultas Kedokteran, Iwan juga mempelajari berbagai
ilmu, seperti filsafat, antropologi, sastra, dan agama. Di dalam memasalahkan
agama, Iwan selalu terlibat dalam perdebatan sengit dengan teman-temannya. Iwan
tidak dapat menyelesaikan studinya di Fakultas Kedokteran karena tidak tahan
melihat darah dan memotong-motong mayat. Kemudian, ia pindah ke Jakarta dan di
Jakarta inilah ia mulai banyak membaca masalah-masalah kebudayaan. Akhirnya, ia
aktif menulis, antara lain, di Mimbar Indonesia dan Siasat. Tahun 1954 Iwan
Simatupang memperoleh beasiswa ke Eropa untuk memperdalam pengetahuannya
tentang kebudayaan. Iwan memperdalam antropologi di Leiden (1956),
memperdalam drama di Amsterdam (1957), dan memperdalam filsafat di Paris
(1958). Bulan November 1955, Iwan berkenalan dengan Corinne Imalda de Gaine
(Corry) dan tanggal 2 Desember 1955 mereka menikah di Amsterdam. Iwan
Simatupang akhirnya memilih agama Katolik sebagai agamanya sampai akhir
hayatnya. Dari perkawinan itu mereka memperoleh dua orang anak, yaitu Ino Alda
dan Ion Partibi. Setelah menyelesaikan studinya di Paris, akhir tahun 1958 Iwan
Simatupang bersama istri dan anak-anaknya kembali ke Indonesia. Tahun 1960
Corry meninggal dunia karena menderita penyakit tipus. Kematian Corry itu sangat
memukul jiwanya. Kenangan atas kematian istrinya mendorong Iwan menulis novel
Ziarah tahun 1960 yang baru terbit 9 tahun kemudian. Tahun 1961 Iwan menulis
naskah novel Merahnya Merah dan baru diterbitkan tahun 1968 oleh Penerbit
Djambatan. Tanggal 10 Juni 1961 Iwan menikah lagi dengan Dra. Tanneke Burki.
Dia memperoleh seorang anak perempuan, Violeta. Akan tetapi, umur perkawinan
itu tidak panjang. Mereka bercerai tahun 1964. Selain bekerja sebagai dosen pada
beberapa perguruan tinggi, ia juga bekerja pada sebuah perusahaan mobil dan
sebagai wartawan. Tempat tinggalnya tidak tetap. Dengan dua orang anaknya, ia
pernah menyewa satu kamar Hotel Salak di Bogor. Pada waktu itu ia sering
diundang untuk berceramah di berbagai forum. Karena kegiatan fisiknya terlalu
banyak, Iwan menderita penyakit lever. Iwan meninggal dunia tanggal 4 Agustus
1970 di Jakarta. Selama hidupnya ia menulis empat novel, yaitu (1) Merahnya
Merah (1968), (2) Ziarah (1969), (3) Kering (1969), dan (4) Koong (1975). Dia
pernah mendapat penghargaan Hadiah Sastra Asia (SEA Write Award) dari Thailand
atas karya novelnya Ziarah pada tahun 1977. Novelnya Merahnya Merah (1968)
mendapat hadiah sastra Nasional 1970 dan novelnya Kooong (1975; mendapat
hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K, 1975). Dua novelnya Ziarah
(The Pilgrim, 1975) dan Kering (Drought,1978) diterjemahkan Harry Aveling ke
dalam bahasa Inggris. Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam Tegak Lurus dengan
Langit (1982), sedangkan puisi-puisinya dalam Ziarah Malam (1993). A. Teeuw
menyatakan bahwa barangkali ialah pengarang Indonesia yang waktu itu mendapat
sorotan paling banyak, baik oleh pengamat sastra di dalam negeri maupun di luar
negeri. H.B. Jassin menyatakan bahwa Iwan Simatupang sanggup melukiskan
dengan jernih jalan pikiran tokoh-tokohnya dan hakikat masalah mereka tanpa
selubung-selubung kerahasian. Ketika meresensi novel Ziarah Iwan Simatupang,
H.B. Jassin menyatakan perkembangan ketika menyambut pembaharuan dalam
sajak Chairil Anwar dan menyambut kehadiran novel baru Ziarah Iwan Simatupang
dengan menyebutkan bahwa keduanya memerlukan waktu untuk dipahami. Yassin
menyambut novel Iwan sebagai cerita yang baru sama sekali dalam bahasa, dalam
pengungkapan, dalam mendekati hidup dan permasalahan, merupakan halaman
baru dalam kesusastraan Indonesia.

2. Situasi dan Kondisi


Angkatan 66’. Di zaman revolusi, Iwan selalu aktif selaku tentara pelajar dan ikut
berjuang di garis depan. Iwan pernah jadi guru, wartawan, pengarang cerpen serta puisi,
tidak hanya menulis esai, drama serta novel. Karena lebih tertarik pada karang-
mengarang, Iwan berhenti jadi guru. Dia terus mengarang dan menjadi wartawan.
Sebagai wartawan Iwan menulis banyak sketsa perihal orang-orang tersisih
terpinggirkan. Iwan memperoleh hadiah penghargaan untuk narasi pendeknye dalam
Erwin Gastilla di Filipina, serta hadiah untuk karya nonfiksi dari Mrs. Judi Lee dari
Singapura. Sejak meninggal, buku-buku Iwan mendapat perhatian khusus kalangan
seniman, khususnya sastrawan. Tahun 1970 nama Iwan Simatupang menjulang dalam
dunia sastra Indonesia, karena pengarang ini memelopori cara baru dalam penulisan
prosa di Indonesia.

3. Nilai-nilai
 Nilai Moral :
a. . Berbakti dan sayang kepada suami
Isterinya menerima tanpa syarat. Apa salahnya menerima permintaan ini? (hal 98,
b19)
b. Tidak membeda-bedakan status sosial
ah dia sungguh sahabat besar! Seorang manusia besar! (hal 112, b19) berbuat baik
karena orang terpandang
c. Tidak bertindak asusila di tempat umum
hanya untuk mempersaksikan sepasang merpati yang sedang asyik di atas aspal itu
(hal 73, b8)

 NilaiSosial :
a. Saling membantu dalam kesusahan
orang-orang baik hati yang telah berkenan mengantarnya pulang (hal 3, b3)
b. Memberi ucapan kepada orang yang menikah
karangan-karangan bunga dikirim dari segenap penjuru (hal 76, b20)
c. Kurang terbuka pada sekitar
para pegawai tidak kenal siapa sesungguhnya dia (hal 130, b29)

 Nilai Agama :
a. Berziarah
yang terus menerus menziarahi mereka (hal 141, b4)
b. Menguburkan orang mati
Besoknya, isteri pelukis dikubur. (hal 105, b1)

 NilaiPendidikan :
a. Harus mengamalkan ilmu yang didapat dari pendidikan
Otaknya yang sangat cerdas, membuat dia menyesuaikan dirinya dengan
pekerjaannya (hal 32, p5 k1)

 NilaiBudaya
a. Menikah
dan selesailah upacara meresmikan mereka sebagai suami isteri (hal 74, b12)

I. Unsur Kebahasaan
1. Gaya Bahasa

Majas

 Majas Personifikasi
A. “...rasa riang mendaki dalam dirinya.”(hal2)
B. “fajar yang mengambang di ufuk tiap pagi membawa ingatan putih baginya”(hal1)
C. “Desah kesibukan ini sesekali dianarangin ketelinganya..” (hal 3)
D. “...praktek praktek menjilat atasannya...” (hal20)
E. “... ketika mas dari sinar-sinar penghabisan matahari mengendap-ngedap pergi dari
pusara-pusara...” (hal 32)
F. berdiri tegak

 Majas Repetisi
A. Ataukah… dia hanya menyangka saja dia berteriak?
Suaminya berteriak. Ataukah … dia hanya ingin menyangka saja suaminya pergi?
Suaminya? Ataukah … dia hanya ingin menyangka saja (hal 103)

B. Betapa inginnya dia bersamanya berlari-lari….


Betapa inginnya dia bersamanya mengumpulkan…
Betapa inginnya dia bersamanya mengumpulkan menyerakkan … (hal103)
 Majas Hiperbola
A. “...tuan adalah nabi seni lukis masa datang.” (hal69)
B. “dalam diri sang opseter berkecanguk krisis hebat.” (hal 60)
C. “dadanya ingin meledak oleh keturunitu” (hal 25-26)
D. “..Suara bekas pelukis nyaring menggaung antara tembok-tembok pekuburan” (hal
140)
E. “Teriaknya ini sunyi menggema di tengah jumlah manusia.....” (hal 115)
F. kalimat itu membuat tokoh kita seolah melihat panah panas ditembakkan beruntun-
runtun ke langit. (hal 7)
G. dia menggigil oleh pengetahuan ini (hal 27)

 Majas Simile
A. “Dirinya merasa kering,seperti daging sapi yang dikuras kering habis-habisan.”
(hal87)
B. “Istrinya makin cantik seperti sekuntum bunga yang pada akhirnya bertemu sinar
matahari dan mekar-semekarnya” (hal 88)
C. “Wajahnya laksana topeng jenis kayu yang sekerasnya” (hal 102)
D. “Dia mengenal suaminya luar dalam keras sekerasnya ,kering sekeringnya bagaikan
padang pasir....” (hal 102)
E. “...Dia laksana dewata laut murka.....” (hal 123)
F. …bagaikan gunung berapi yang meletus, walikota terbahak-bahak (hal 82)
G. …matanya melotot seperti kerucut roket yang siap ditembakkan… (hal 82)

2. Ungkapan (idiom)
a. Gelisahnya berwarna kelabu (hal 104, p5)
b. Sepasang merpati yang sedang asyik di atas aspal… (hal 73)
c. Tawa gempita dari atas tembok …(hal 15)
d. Daun pintu sekeras-kerasnya….(hal 3)

3. Peribahasa
-
J. Simpulan
Novel Ziarah karangan Iwan Simatupang mengajarkan bahwa tidak
selalu kebahagian hanya tentang uang, harta, jabatan, atau pun tentang
kepopuleran seseorang. Pelukis yang berbakat, kaya dan sangat terkenal yang
menjadi tokoh utama dalam novel tersebut menjadi depresi karena tidak dapat
menjalani hidupnya dengan normal. Tokoh pelukis itu justru bahagia bukan
karena harta dan kepopuleran yang dia miliki jusru karena seorang pendamping
hidup, dan bahkan lebih bahagia lagi setelah menjalani hidup di gubuk yang tua
dan sederhana. Tentu saja yang menjadi acuan hidup ialah sebagaimana dan
seberapa besar kita bersyukur kepada Tuhan atas segala berkat yang telah
diberikan-Nya kepada kita.

K. Saran
Novel ini cocok dibaca oleh kalangan orang remaja yang mulai dewasa hingga
orang dewasa karena bahasa yang digunakan cukup rumit, butuh psikologis dan
intelek, serta termasuk jenis novel yang berat sehingga anak-anak sangat tidak
untuk dianjurkan membaca novel ini. Novel yang mengenai nilai-nilai dalam
kehidupan bermasyarakat seperti sekarang ini.

Anda mungkin juga menyukai