“ZIARAH”
Disusun oleh:
XII IPA 2
Jalan Jeruk Raya No. 1 Perumahan Sukatani Permai, Sukatani, Kota Depok
Jawa Barat
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya meresensi novel yang berjudul "Ziarah" karya Iwan
Resensi novel ini disusun untuk memenuhi tugas bahasa Indonesia sebagai nilai
psikomotorik semester dua dan untuk memberikan informasi kepada pembaca tentang
seberapa berpengaruh metode presentasi pada siswa khususnya di kelas XII IPA SMA
Negeri 4 Depok. Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis mendapat banyak
bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui
kepada penulis.
Harapan penulis semoga resensi novel ini dapat memberikan informasi dan
menambah pengetahuan bagi pembaca. Penulis juga berharap resensi novel ini dapat
menjadi acuan bagi penulis dalam penulisan resensi atau karya tulis ke depannya.
Penulis menyadari resensi novel ini masih memiliki banyak kekurangan karena
terbatasnya pengetahuan penulis. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
pihak dan dapat membantu dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Semoga
Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan rahmat dan berkat-Nya kepada kita semua.
November 2019
Penulis
Meresensi dan Menganalisis Novel Sastra
A. Identitas Novel
D. Sinopsis Novel
Di Kotapraja, seorang pelukis terkenal di seluruh negeri terkapar trauma. Ia
ditinggal mati istrinya yang sangat ia cintai. Istrinya itu adalah dia yang dikawininya
secara tiba-tiba. Suatu hari disaat Pelukis mencoba bunuh diri karena ketenaran karya
lukisnya yang memikat semua orang dijagat bumi ini. (Beberapa kritikus seni bilang
bahwa dia adalah Nabi Seni Lukis masa depan) yang mengakibatkan ia memiliki
banyak uang dan membuatnya bingung. Karena kebingungannya ini sang pelukis
berniat bunuh diri dengan meloncat dari lantai hotel. Ketika terjun, dia menimpa
seorang gadis cantik. Tanpa diduga pula sang pelukis langsung melakukan hubungan
badan dengan si gadis di atas jalan raya. Hal ini membuat orang-orang histeris dan
akhirnya seorang brigadir polisi membawa mereka ke kantor catatan sipil dan
mengawinkan mereka.
Pelukis merasa benar-benar kehilangan terutama saat dia tahu bahwa istrinya mati,
pelukis pun langsung pergi ke kantor sipil guna mengurusi penguburan istrinya tetapi
tak ada tanggapan positif dari pengusaha penguburan. Itu terjadi karena pelukis tak
tahu apa-apa tentang istrinya. Yang dia tahu hanyalah kecintaannya pada istrinya.
Sehingga mayat istrinya terkatung-katung karena tak memiliki surat penguburan yang
sah. Pelukis pun menghilang ketika dicari walikota (diangkat menjadi walikota setelah
walikota pertama gantung diri karena tak bisa memecahkan masalah mengundang
pelukis saat akan ada kunjungan tamu asing) yang ikut menghadiri penguburan Istri
pelukis.
Sampai akhirnya pengusaha penguburan itu menyesali perbuatannya dan dengan
keputusan walikota akhirnya mayat istri pelukis dikuburkan. Sampai penguburan usai,
sang pelukis tak kelihatan. Saat kembali ke gubuknya, dia melihat wanita tua kecil yang
ternyata adalah ibu kandung dari istrinya. Bercerita panjang tentang masa lalunya yang
suram dan sampai saat terakhir dia bertatapan dengan anaknya yang justru membuat
dilema bagi si anak. Dan sesaat kemudian pelukis memandangi keadaan sekitar yang
penuh karangan bunga, membuang bunga-bunga tersebut ke laut kemudian membakar
gubuknya sampai habis. Beberapa bunga yang masih tersisa ia bawa ke kuburan
istrinya. Ia titipkan karangan bunga pada centeng perkuburan. Ziarah tanpa melihat
makam istrinya.
Setelah itu hidup pelukis semakin tak jelas arah. Ia seolah tak pernah percaya bahwa
istrinya telah mati. Pagi harinya hanya digunakan untuk menunggu istrinya di tikungan
entah tikungan mana dan malam harinya di tuangkan arak ke perutnya, memanggil
Tuhannya, meneriakkan nama istrinya, menangis dan kemudian tertawa keras-keras.
Hingga akhirnya datang opseter perkuburan yang meminta dia mengapur tembok
perkuburan Kotapraja yang sebelumnya telah berbekas pamplet-pamplet polisi bahwa
dia dicari.
Pelukis menerima tawaran itu dan esoknya ia mulai bekerja mengapur tembok
perkuburan Kotapraja itu 5 jam berturut-turut tiap harinya, sedangkan opseter
perkuburan mengintip dari rumah dinasnya. Pekerjaan baru Pelukis ini membawa
perubahan tingkah laku pelukis sehingga membuat seluruh negeri geger. Hingga
Walikota akan memberhentikan opseter perkuburan. Tetapi ketika mengantar surat
pemberhentian kerja itu, Walikota malah mati sendiri karena kata-kata opseter tentang
proporsi. Sebelumnya juga pernah terjadi kekacauan di negeri karena opseter
pekuburan memakai rasionalisme dalam kerjanya dan hanya memberi instruksi kerja
pada selembar kertas pada pegawainya.
Setelah beberapa hari pelukis mengapur tembok perkuburan, pada suatu hari
dia bergegas pulang sebelum 5 jam berturut-turut. Opseter perkuburan heran kemudian
mendatanginya dan ternyata pelukis ingin berhenti bekerja. Opseter kebingungan tetapi
pelukis menjelaskan bahwa dia tahu maksud opseter memperkerjakannya. Bahwa
selain untuk kepentingan opseter sendiri, opseter ingin pelukis menziarahi istrinya yang
sudah tiada itu. Keesokan harinya opseter ditemukan gantung diri. Pekuburan geger,
tetapi hanya sedikit sekali empati dari pegawai-pegawai pekuburan. Penguburan
opseter berlangsung cepat. Setelah penguburan, pelukis bertemu maha guru dari
opseter yang kemudian menceritakan riwayat opseter.
Pada akhirnya pelukis pergi ke balai kota untuk melamar menjadi opseter pekuburan
agar ia dapat terus-menerus berziarah pada mayat-mayat manusia terutama pada mayat
istrinya.
E. Keunggulan Novel
a. Non fisik
Merupakan tipe novel sastra karena pengarang banyak menggunakan ungkapan-ungkapan
ataupun konotasi dan majas-majas terutama majas personifikasi , cukup menarik, dan bahasa
yang digunakan adalah bahasa sehari-hari.
b. Fisik
Dilengkapi cover yang menarik dan kertas yang bagus (bukan kertas koran).
F. Kelemahan Novel
a. Non fisik
Menggunakan alur yang membinggungkan yakni alur campuran, cerita terkesan
berlebihan dan memaksa, tema yang sangat sederhana, memerlukan psikologis dan
intelek untuk menangkapnya.
b. Fisik
Penjilidan yang kurang rapi dan mudah lepas, terdapat kata-kata yang salah ketik.
G. Unsur Intrinsik
a. Tema
Tema pada novel “Ziarah” ini adalah memberitahukan tentang kehidupan dan realitas
dunia yang tidak memiliki dalamnya sebuah kepastian, selalu terjadi sebuah peristiwa
kematian. Sesungguhnya manusia dapat menggenggam kebebasan dalam kedua
tangannya sendiri, dan membentuk kebebasan yang dimilikinya menurut kehendaknya
sendiri. Manusia dihadapkan pada sebuah kematian, dihadapkan pada batas akhir
hidup, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang harus dijalani, sebagaimana
kelahirannya sendiri.
Dalam novel Ziarah ini tema utamanya adalah kematian. Akan tetapi uniknya tema
kematian ini diselingi dengan kisah kehidupan dalam ilmu filsafat. Tapi tema kematianlah
yang lebih menonjol dalam novel ini
Suasana :
1. Gembira
“menggeger suatu tawa gempita dari atas tembok” (p2, b2, hal 15)
2. Sunyi
“sunyi senyap dipekuburan itu” (p10, b36, hal 113)
3. Ramai
“ke tengah orang ramai itu”
4. Panik
“hadirin geger” (p1, b1, hal 38)
5. Gelisah
“dia mulai gelisah”
6. Hening
“sesudah itu hening, sehening-heningnya” (p3, b10, hal 3)
7. Sedih
“demi satu titik membasah di matanya” (p10, b37, hal 123,124)
d. Alur
Alur dalam novel ini sedikit membingungkan pembaca, karena pengarang
menggunakan alur “Flash Back” atau campuran. Di awal cerita, diceritakan sang
pelukis begitu kehilangan setelah ditinggal mati istrinya, tetapi dibagian belakang
malah pembaca diajak untuk mengikuti kisah pertemuan pelukis dengan istri,
kehidupan mereka yang mengundang banyak pesona, dan saat-saat terakhir istrinya
mati. Bukan hanya pelukis dan istri saja tetapi pengarang juga mengajak pembaca
untuk mengikuti kisah balik kehidupan opseter sebelum menjadi opseter.
e. Sudut pandang
Sudut pandang yang digunakan oleh pengarang adalah sudut pandang orang ketiga yang
menggunakan pengenalan tokoh dengan nama tokoh tersebut yakni Bekas Pelukis,
Opseter, dan lain-lain.
f. Amanat
1. Tidak selalu kebahagiaan itu tentang harta, pangkat, dan kepopuleran.
2. Jangan suka menambah penderitaan orang lain, karena itu akan menambah
penderitaanmu.
3. Jangan terlalu sering hanya mementingkan pekerjaan
4. Kesedihan tidak harus selalu ditangisi terus-menerus, akan tetapi kesedihan haruslah
diawali dengan kebahagiaan.
5. Jangan sewenang-wenang menyalahkan seseorang, tanpa adanya bukti yang pasti.
6. Jangan cepat menilai orang tanpa mengetahui lebih jauh tentang orang tersebut.
7. Jalanilah kehidupan ini dengan kesederhanaan jiwa, jangan hanya memikirkan diri
sendiri, sebab itu akan merendahkan harkat dan martabatmu.
H. Unsur Ekstrinsik
1. Biografi pengarang
Iwan Simatupang (1928—1970) Pengarang IWAN SIMATUPANG Iwan Simatupang,
sastrawan tahun 1960-an, menulis karya-karya yang bersifat inkonvensional dan
karena itu dianggap pembawa angin baru dalam kesusastraan Indonesia. Iwan
Simatupang lahir di Sibolga, Sumatra Utara, tanggal 18 Januari 1928 dengan nama
Iwan Martua Dongan Simatupang. Dia dianggap sebagai anak yang cerdas. Dia
dibesarkan dalam keluarga Islam. Ayahnya seorang haji yang mengajari Iwan
membaca Alquran. Sebagian masa kecil Iwan dilaluinya di Aceh, daerah yang
dikenal sebagai "Serambi Mekah". Kemudian, pada masa remajanya ia tinggal di
Sibolga, tempat kelahirannya, yaitu pusat agama Protestan di Sumatra Utara. Iwan
belajar mengaji Alquran dari orang tuanya. Kemudian, ia melanjutkan pelajarannya
ke sekolah lanjutan di Padang Sidempuan. Tahun 1948 Iwan berhenti dari sekolah
dan masuk pasukan yang ikut berperang melawan Belanda. Dia menjadi komandan
pasukan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) dan memimpin organisasi
Pemuda Indonesia di Sumatra Utara. Tahun 1949 ia ditangkap dan tidak berapa
lama kemudian dibebaskan di Medan. Kesempatan setelah bebas dimanfaatkannya
untuk menyelesaikan studinya di HBS bagian B sebagai extraneus. Setelah tamat
dari HBS, ia melanjutkan pelajarannya ke Fakultas Kedokteran di Surabaya tahun
1953. Di samping berkuliah di Fakultas Kedokteran, Iwan juga mempelajari berbagai
ilmu, seperti filsafat, antropologi, sastra, dan agama. Di dalam memasalahkan
agama, Iwan selalu terlibat dalam perdebatan sengit dengan teman-temannya. Iwan
tidak dapat menyelesaikan studinya di Fakultas Kedokteran karena tidak tahan
melihat darah dan memotong-motong mayat. Kemudian, ia pindah ke Jakarta dan di
Jakarta inilah ia mulai banyak membaca masalah-masalah kebudayaan. Akhirnya, ia
aktif menulis, antara lain, di Mimbar Indonesia dan Siasat. Tahun 1954 Iwan
Simatupang memperoleh beasiswa ke Eropa untuk memperdalam pengetahuannya
tentang kebudayaan. Iwan memperdalam antropologi di Leiden (1956),
memperdalam drama di Amsterdam (1957), dan memperdalam filsafat di Paris
(1958). Bulan November 1955, Iwan berkenalan dengan Corinne Imalda de Gaine
(Corry) dan tanggal 2 Desember 1955 mereka menikah di Amsterdam. Iwan
Simatupang akhirnya memilih agama Katolik sebagai agamanya sampai akhir
hayatnya. Dari perkawinan itu mereka memperoleh dua orang anak, yaitu Ino Alda
dan Ion Partibi. Setelah menyelesaikan studinya di Paris, akhir tahun 1958 Iwan
Simatupang bersama istri dan anak-anaknya kembali ke Indonesia. Tahun 1960
Corry meninggal dunia karena menderita penyakit tipus. Kematian Corry itu sangat
memukul jiwanya. Kenangan atas kematian istrinya mendorong Iwan menulis novel
Ziarah tahun 1960 yang baru terbit 9 tahun kemudian. Tahun 1961 Iwan menulis
naskah novel Merahnya Merah dan baru diterbitkan tahun 1968 oleh Penerbit
Djambatan. Tanggal 10 Juni 1961 Iwan menikah lagi dengan Dra. Tanneke Burki.
Dia memperoleh seorang anak perempuan, Violeta. Akan tetapi, umur perkawinan
itu tidak panjang. Mereka bercerai tahun 1964. Selain bekerja sebagai dosen pada
beberapa perguruan tinggi, ia juga bekerja pada sebuah perusahaan mobil dan
sebagai wartawan. Tempat tinggalnya tidak tetap. Dengan dua orang anaknya, ia
pernah menyewa satu kamar Hotel Salak di Bogor. Pada waktu itu ia sering
diundang untuk berceramah di berbagai forum. Karena kegiatan fisiknya terlalu
banyak, Iwan menderita penyakit lever. Iwan meninggal dunia tanggal 4 Agustus
1970 di Jakarta. Selama hidupnya ia menulis empat novel, yaitu (1) Merahnya
Merah (1968), (2) Ziarah (1969), (3) Kering (1969), dan (4) Koong (1975). Dia
pernah mendapat penghargaan Hadiah Sastra Asia (SEA Write Award) dari Thailand
atas karya novelnya Ziarah pada tahun 1977. Novelnya Merahnya Merah (1968)
mendapat hadiah sastra Nasional 1970 dan novelnya Kooong (1975; mendapat
hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K, 1975). Dua novelnya Ziarah
(The Pilgrim, 1975) dan Kering (Drought,1978) diterjemahkan Harry Aveling ke
dalam bahasa Inggris. Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam Tegak Lurus dengan
Langit (1982), sedangkan puisi-puisinya dalam Ziarah Malam (1993). A. Teeuw
menyatakan bahwa barangkali ialah pengarang Indonesia yang waktu itu mendapat
sorotan paling banyak, baik oleh pengamat sastra di dalam negeri maupun di luar
negeri. H.B. Jassin menyatakan bahwa Iwan Simatupang sanggup melukiskan
dengan jernih jalan pikiran tokoh-tokohnya dan hakikat masalah mereka tanpa
selubung-selubung kerahasian. Ketika meresensi novel Ziarah Iwan Simatupang,
H.B. Jassin menyatakan perkembangan ketika menyambut pembaharuan dalam
sajak Chairil Anwar dan menyambut kehadiran novel baru Ziarah Iwan Simatupang
dengan menyebutkan bahwa keduanya memerlukan waktu untuk dipahami. Yassin
menyambut novel Iwan sebagai cerita yang baru sama sekali dalam bahasa, dalam
pengungkapan, dalam mendekati hidup dan permasalahan, merupakan halaman
baru dalam kesusastraan Indonesia.
3. Nilai-nilai
Nilai Moral :
a. . Berbakti dan sayang kepada suami
Isterinya menerima tanpa syarat. Apa salahnya menerima permintaan ini? (hal 98,
b19)
b. Tidak membeda-bedakan status sosial
ah dia sungguh sahabat besar! Seorang manusia besar! (hal 112, b19) berbuat baik
karena orang terpandang
c. Tidak bertindak asusila di tempat umum
hanya untuk mempersaksikan sepasang merpati yang sedang asyik di atas aspal itu
(hal 73, b8)
NilaiSosial :
a. Saling membantu dalam kesusahan
orang-orang baik hati yang telah berkenan mengantarnya pulang (hal 3, b3)
b. Memberi ucapan kepada orang yang menikah
karangan-karangan bunga dikirim dari segenap penjuru (hal 76, b20)
c. Kurang terbuka pada sekitar
para pegawai tidak kenal siapa sesungguhnya dia (hal 130, b29)
Nilai Agama :
a. Berziarah
yang terus menerus menziarahi mereka (hal 141, b4)
b. Menguburkan orang mati
Besoknya, isteri pelukis dikubur. (hal 105, b1)
NilaiPendidikan :
a. Harus mengamalkan ilmu yang didapat dari pendidikan
Otaknya yang sangat cerdas, membuat dia menyesuaikan dirinya dengan
pekerjaannya (hal 32, p5 k1)
NilaiBudaya
a. Menikah
dan selesailah upacara meresmikan mereka sebagai suami isteri (hal 74, b12)
I. Unsur Kebahasaan
1. Gaya Bahasa
Majas
Majas Personifikasi
A. “...rasa riang mendaki dalam dirinya.”(hal2)
B. “fajar yang mengambang di ufuk tiap pagi membawa ingatan putih baginya”(hal1)
C. “Desah kesibukan ini sesekali dianarangin ketelinganya..” (hal 3)
D. “...praktek praktek menjilat atasannya...” (hal20)
E. “... ketika mas dari sinar-sinar penghabisan matahari mengendap-ngedap pergi dari
pusara-pusara...” (hal 32)
F. berdiri tegak
Majas Repetisi
A. Ataukah… dia hanya menyangka saja dia berteriak?
Suaminya berteriak. Ataukah … dia hanya ingin menyangka saja suaminya pergi?
Suaminya? Ataukah … dia hanya ingin menyangka saja (hal 103)
Majas Simile
A. “Dirinya merasa kering,seperti daging sapi yang dikuras kering habis-habisan.”
(hal87)
B. “Istrinya makin cantik seperti sekuntum bunga yang pada akhirnya bertemu sinar
matahari dan mekar-semekarnya” (hal 88)
C. “Wajahnya laksana topeng jenis kayu yang sekerasnya” (hal 102)
D. “Dia mengenal suaminya luar dalam keras sekerasnya ,kering sekeringnya bagaikan
padang pasir....” (hal 102)
E. “...Dia laksana dewata laut murka.....” (hal 123)
F. …bagaikan gunung berapi yang meletus, walikota terbahak-bahak (hal 82)
G. …matanya melotot seperti kerucut roket yang siap ditembakkan… (hal 82)
2. Ungkapan (idiom)
a. Gelisahnya berwarna kelabu (hal 104, p5)
b. Sepasang merpati yang sedang asyik di atas aspal… (hal 73)
c. Tawa gempita dari atas tembok …(hal 15)
d. Daun pintu sekeras-kerasnya….(hal 3)
3. Peribahasa
-
J. Simpulan
Novel Ziarah karangan Iwan Simatupang mengajarkan bahwa tidak
selalu kebahagian hanya tentang uang, harta, jabatan, atau pun tentang
kepopuleran seseorang. Pelukis yang berbakat, kaya dan sangat terkenal yang
menjadi tokoh utama dalam novel tersebut menjadi depresi karena tidak dapat
menjalani hidupnya dengan normal. Tokoh pelukis itu justru bahagia bukan
karena harta dan kepopuleran yang dia miliki jusru karena seorang pendamping
hidup, dan bahkan lebih bahagia lagi setelah menjalani hidup di gubuk yang tua
dan sederhana. Tentu saja yang menjadi acuan hidup ialah sebagaimana dan
seberapa besar kita bersyukur kepada Tuhan atas segala berkat yang telah
diberikan-Nya kepada kita.
K. Saran
Novel ini cocok dibaca oleh kalangan orang remaja yang mulai dewasa hingga
orang dewasa karena bahasa yang digunakan cukup rumit, butuh psikologis dan
intelek, serta termasuk jenis novel yang berat sehingga anak-anak sangat tidak
untuk dianjurkan membaca novel ini. Novel yang mengenai nilai-nilai dalam
kehidupan bermasyarakat seperti sekarang ini.