Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena

atas berkat dan rahmat-Nya meresensi novel yang berjudul "Ziarah" karya Iwan

Simatupang, dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya.

Resensi novel ini disusun untuk memenuhi tugas bahasa Indonesia sebagai

nilai psikomotorik semester dua dan untuk memberikan informasi kepada

pembaca tentang seberapa berpengaruh metode presentasi pada siswa khususnya

di kelas XII IPA SMA Negeri 4 Depok. Dalam penyusunan karya ilmiah ini

penulis mendapat banyak bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan dari

berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima

kasih kepada:

1. , Guru bahasa Indonesia karena telah membimbing dan memberikan

pengarahan kepada penulis.

2. Orang tua yang telah memberikan dukungan.

3. Teman-teman yang sudah membantu.

Harapan penulis semoga resensi novel ini dapat memberikan informasi

dan menambah pengetahuan bagi pembaca. Penulis juga berharap resensi novel

ini dapat menjadi acuan bagi penulis dalam penulisan resensi atau karya tulis ke

depannya.

1
Penulis menyadari resensi novel ini masih memiliki banyak kekurangan

karena terbatasnya pengetahuan penulis. Untuk itu penulis mengharapkan kritik

dan saran yang membangun agar karya berikutnya dapat lebih baik lagi.

Akhir kata penulis berharap resensi novel ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak dan dapat membantu dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan rahmat dan berkat-Nya kepada

kita semua.

November 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................

DAFTAR ISI ..............................................................................................................

A. IDENTITAS NOVEL............................................................................................
B. LATAR BELAKANG PENGARANG .................................................................
C. GAMBARAN UMUM ..........................................................................................
D. SINOPSIS NOVEL ...............................................................................................
E. KEUNGGULAN NOVEL ....................................................................................
F. KELEMAHAN NOVEL .......................................................................................
G. UNSUR INTRINSIK ............................................................................................
a. Tema ..............................................................................................................

b. Tokoh, Perwatakan, dan Penokohan .............................................................

c. Latar ...............................................................................................................

d. Alur.................................................................................................................

e. Sudut Pandang ................................................................................................

f. Amanat ...........................................................................................................

H. UNSUR EKSTRINSIK .........................................................................................

1. Biografi Pengarang .........................................................................................

2. Situasi dan Kondisi.........................................................................................

3. Nilai-Nilai.......................................................................................................

I. UNSUR KEBAHASAAN .....................................................................................

1. Gaya Bahasa/Majas ........................................................................................

2. Ungkapan/Idiom .............................................................................................

3. Peribahasa.......................................................................................................

3
J. SIMPULAN...........................................................................................................
K. SARAN .................................................................................................................

4
Meresensi dan Menganalisis Novel Sastra

A. Identitas Novel

 Judul buku : Ziarah


 Genre : Fiksi, Simbolisme kematian
 Penulis buku : Iwan Simatupang
 Penerbit : Djambatan
 Cetakan : Ke – 8
 Tahun terbit : 1969
 Jumlah halaman : 142 halaman
 ISBN : 979-428-461-0

B. Latar Belakang Pengarang Menulis Novel


Pengarang novel ini menulis untuk mengingatkan kita bahwa setiap
beberaapa langkah kita tentu ziarah akan mayat-mayat yang dari jutaan tahun
telah mendahului kita, dan kita pun tentu akan menyusul mereka. Untuk itu setiap
dari apa yang kita lakukan akan diingat orang dan akan mendapat balasannnya.

C. Gambaran Umum Isi Novel


Novel Ziarah bercerita tentang "tokoh kita" yang dianggap sebagai manusia
aneh. Cerita diawali dengan berlarinya tokoh kita ke persimpangan pertama jalan
setiap pagi untuk mengharapkan pertemuannya dengan istrinya yang telah lama
meninggal dunia. Apabila gagal menemui istrinya, ia memastikan dirinya bahwa
besok dapat bertemu dengan istrinya itu. Orang-orang sudah tahu akan
kelakuannya yang aneh itu. Ia mengalami rusak syaraf. Di warung ia menuangkan
tuak penuh-penuh ke gelasnya. Ia tertawa keras-keras dan kemudian menangis
keras-keras. Setelah itu, ia diusung orang untuk diantarkan ke tempat
kediamannya. Kelakuannya yang aneh itu segera berakhir setelah ia mendapat

5
pekerjaan sebagai pengapur tembok luar pekuburan, tempat istrinya dikuburkan,
yang ditawarkan oleh opseter pekuburan.
Yang terdiri dari delapan bagian :
1. Pengenalan tokoh bekas pelukis
2. Perubahan sifat tokoh bekas pelukis
3. Opseter baru yang bekerja rasional
4. Masalah dari kerja opseter yang rasional tersebut
5. Masa lalu dari sang bekas pelukis
6. Kehidupan dari bekas pelukis
7. Alasan dari kegilaan bekas pelukis
8. Akhir dari kisah bekas pelukis

D. Sinopsis Novel
Di Kotapraja, seorang pelukis terkenal di seluruh negeri terkapar trauma.
Ia ditinggal mati istrinya yang sangat ia cintai. Istrinya itu adalah dia yang
dikawininya secara tiba-tiba. Suatu hari disaat Pelukis mencoba bunuh diri karena
ketenaran karya lukisnya yang memikat semua orang dijagat bumi ini. (Beberapa
kritikus seni bilang bahwa dia adalah Nabi Seni Lukis masa depan) yang
mengakibatkan ia memiliki banyak uang dan membuatnya bingung. Karena
kebingungannya ini sang pelukis berniat bunuh diri dengan meloncat dari lantai
hotel. Ketika terjun, dia menimpa seorang gadis cantik. Tanpa diduga pula sang
pelukis langsung melakukan hubungan badan dengan si gadis di atas jalan raya.
Hal ini membuat orang-orang histeris dan akhirnya seorang brigadir polisi
membawa mereka ke kantor catatan sipil dan mengawinkan mereka.

Pelukis merasa benar-benar kehilangan terutama saat dia tahu bahwa istrinya mati,
pelukis pun langsung pergi ke kantor sipil guna mengurusi penguburan istrinya
tetapi tak ada tanggapan positif dari pengusaha penguburan. Itu terjadi karena
pelukis tak tahu apa-apa tentang istrinya. Yang dia tahu hanyalah kecintaannya

6
pada istrinya. Sehingga mayat istrinya terkatung-katung karena tak memiliki surat
penguburan yang sah. Pelukis pun menghilang ketika dicari walikota (diangkat
menjadi walikota setelah walikota pertama gantung diri karena tak bisa
memecahkan masalah mengundang pelukis saat akan ada kunjungan tamu asing)
yang ikut menghadiri penguburan Istri pelukis.
Sampai akhirnya pengusaha penguburan itu menyesali perbuatannya dan dengan
keputusan walikota akhirnya mayat istri pelukis dikuburkan. Sampai penguburan
usai, sang pelukis tak kelihatan. Saat kembali ke gubuknya, dia melihat wanita tua
kecil yang ternyata adalah ibu kandung dari istrinya. Bercerita panjang tentang
masa lalunya yang suram dan sampai saat terakhir dia bertatapan dengan anaknya
yang justru membuat dilema bagi si anak. Dan sesaat kemudian pelukis
memandangi keadaan sekitar yang penuh karangan bunga, membuang bunga-
bunga tersebut ke laut kemudian membakar gubuknya sampai habis. Beberapa
bunga yang masih tersisa ia bawa ke kuburan istrinya. Ia titipkan karangan bunga
pada centeng perkuburan. Ziarah tanpa melihat makam istrinya.
Setelah itu hidup pelukis semakin tak jelas arah. Ia seolah tak pernah percaya
bahwa istrinya telah mati. Pagi harinya hanya digunakan untuk menunggu istrinya
di tikungan entah tikungan mana dan malam harinya di tuangkan arak ke
perutnya, memanggil Tuhannya, meneriakkan nama istrinya, menangis dan
kemudian tertawa keras-keras. Hingga akhirnya datang opseter perkuburan yang
meminta dia mengapur tembok perkuburan Kotapraja yang sebelumnya telah
berbekas pamplet-pamplet polisi bahwa dia dicari.
Pelukis menerima tawaran itu dan esoknya ia mulai bekerja mengapur tembok
perkuburan Kotapraja itu 5 jam berturut-turut tiap harinya, sedangkan opseter
perkuburan mengintip dari rumah dinasnya. Pekerjaan baru Pelukis ini membawa
perubahan tingkah laku pelukis sehingga membuat seluruh negeri geger. Hingga
Walikota akan memberhentikan opseter perkuburan. Tetapi ketika mengantar
surat pemberhentian kerja itu, Walikota malah mati sendiri karena kata-kata
opseter tentang proporsi. Sebelumnya juga pernah terjadi kekacauan di negeri
karena opseter pekuburan memakai rasionalisme dalam kerjanya dan hanya
memberi instruksi kerja pada selembar kertas pada pegawainya.

7
Setelah beberapa hari pelukis mengapur tembok perkuburan, pada suatu
hari dia bergegas pulang sebelum 5 jam berturut-turut. Opseter perkuburan heran
kemudian mendatanginya dan ternyata pelukis ingin berhenti bekerja. Opseter
kebingungan tetapi pelukis menjelaskan bahwa dia tahu maksud opseter
memperkerjakannya. Bahwa selain untuk kepentingan opseter sendiri, opseter
ingin pelukis menziarahi istrinya yang sudah tiada itu. Keesokan harinya opseter
ditemukan gantung diri. Pekuburan geger, tetapi hanya sedikit sekali empati dari
pegawai-pegawai pekuburan. Penguburan opseter berlangsung cepat. Setelah
penguburan, pelukis bertemu maha guru dari opseter yang kemudian
menceritakan riwayat opseter.
Pada akhirnya pelukis pergi ke balai kota untuk melamar menjadi opseter
pekuburan agar ia dapat terus-menerus berziarah pada mayat-mayat manusia
terutama pada mayat istrinya.

E. Keunggulan Novel
a. Non fisik
Merupakan tipe novel sastra karena pengarang banyak menggunakan ungkapan-
ungkapan ataupun konotasi dan majas-majas terutama majas personifikasi , cukup
menarik, dan bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari.

b. Fisik
Dilengkapi cover yang menarik dan kertas yang bagus (bukan kertas koran).

F. Kelemahan Novel
a. Non fisik
Menggunakan alur yang membinggungkan yakni alur campuran, cerita terkesan
berlebihan dan memaksa, tema yang sangat sederhana, memerlukan psikologis
dan intelek untuk menangkapnya.

8
b. Fisik
Penjilidan yang kurang rapi dan mudah lepas, terdapat kata-kata yang salah ketik.

G. Unsur Intrinsik
a. Tema
Tema pada novel “Ziarah” ini adalah memberitahukan tentang kehidupan dan
realitas dunia yang tidak memiliki dalamnya sebuah kepastian, selalu terjadi
sebuah peristiwa kematian. Sesungguhnya manusia dapat menggenggam
kebebasan dalam kedua tangannya sendiri, dan membentuk kebebasan yang
dimilikinya menurut kehendaknya sendiri. Manusia dihadapkan pada sebuah
kematian, dihadapkan pada batas akhir hidup, suka atau tidak suka, senang atau
tidak senang harus dijalani, sebagaimana kelahirannya sendiri.
Dalam novel Ziarah ini tema utamanya adalah kematian. Akan tetapi uniknya
tema kematian ini diselingi dengan kisah kehidupan dalam ilmu filsafat. Tapi tema
kematianlah yang lebih menonjol dalam novel ini

b. Tokoh, penokohan, dan perwatakan


Tokoh :
Pelukis, istri pelukis, opseter pekuburan kotapraja, walikota kotapraja, wakil
walikota kotapraja, perdana menteri kotapraja, kepala dinas pekerjaan umum
kotapraja, mandor dan pegawai pekuburan kotapraja, maha guru opseter, ayah
opseter, brigadier polisi, nona tua, centeng pekuburan, masyarakat, penjaga
pekuburan, wanita bangsa asing, turis dan wartawan.
Penokohan dan perwatakan
1. Pelukis : protagonis (tokoh utama)
Ketika pelukis ditinggal mati oleh istrinya, dia berubah menjadi orang
yang pemabuk, dan bertingkah seperti orang gila berteriak-teriak memanggil

9
nama istrinya. Namun pada sebelumnya, dia adalah seorang pelukis yang terkenal,
digemari oleh banyak orang, baik, penyayang dan penyabar.
2. Istri pelukis : protagonis (tokoh pendamping)
Setia, penyayang, patuh dan berbakti kepada suaminya.
3. Opseter perkuburan kotapraja : antagonis (tokoh pendamping)
Opseter pekuburan kotapraja adalah putra satu-satunya dari hartawan terkaya
diseluruh negara. Orangnya pintar, cerdas, berpendidikan, berfikir secara
berdisiplin dan kritis, pembangkang dan suka membuat hidup hidup orang
sengsara.
4. Walikota kotapraja : tritagonis (tokoh pembantu)
Walikota adalah seorang pemimpin yang tegas, keras, berbicara kasar, angkuh dan
egois.
5. Wakil walikota kotapraja (tokoh pembantu)
Baik, tidak egois, berperasaan lemah dan ikhlas.
6. Perdana menteri kotapraja (tokoh pembantu)
Patuh, penurut terhadap atasannya/walikota.
7. Kepala dinas pekejaan umum kotapraja (tokoh pembantu)
Patuh, penurut terhadap peraturan dan atasannya/walikota.
8. Mandor dan pegawai pekuburan kotapraja (tokoh pembantu)
Kasar dalam berbicara, patuh dan penurut terhadap atasannya.
9. Maha guru opseter (tokoh pembantu)
Maha guru opseter adalah seorang maha guru di sebuah universitas ilmu filsafat.
Orangnya sombong dan angkuh.
10. Ayah opseter (tokoh pembantu)
Ayah opseter adalah seorang hartawan terkaya diseluruh negara. Orangnya
sombong, angkuh dan penyayang.
11. Brigadir polisi (tokoh pembantu)
Baik hati, dan berpikir secara kritis
12. Nona tua (tokoh pembantu)

10
Nona tua adalah seorang ibu dari istri pelukis yang telah lama ditinggalkannya di
panti asuhan sejak ia masih kecil (mertua pelukis). Orangnya tegar, penyabar
dan penyayang.
13. Centeng pekuburan (tokoh pembantu)
Centeng pekuburan adalah seorang mantan maha guru opseter pekuburan di
universitas filsafat. Orangnya baik dan suka bercanda.
14. Masyarakat (tokoh figuran)
15. Penjaga pekuburan (tokoh figuran)
16. Wanita bangsa asing (tokoh figuran)
17. Turis (tokoh figuran)
18. Wartawan (tokoh figuran)

c. Latar tempat, waktu, sosial, dan suasana


Tempat :
1. Tikungan : “disalah satu tikungan” (p1, b2, hal 1)
2. Rumah kecil : “ke satu kamar kecil, di satu rumah
kecil, di pinggir kota kecil” (p3, b6, hal 1)
3. Kakilima jalan raya : “Dia lari tunggang-langgang ke
kakilima jalan raya” (p5, b4, hal 1)
4. Jalan : “Selesai mandi dan berpakaian, dia
lari ke jalan” (p2, b1, hal 2)
5. Tempat menyewa kamar : “Ketika sampai di depan rumah tempat dia
menyewa kamar” (p5, b1, hal 2)
6. Kedai arak : “Kemudian dia lari sekencang-
kencangnya ke kedai arak” (p5, b37, hal 2)
7. Di ujung jalan : “Hanya seekor anjing kurus dan kotor di
ujung jalan” (p3, b3, hal 3)
8. Kota : “membuat seolah dia jauh sekali
dari kota di mana dia kini ada” (p4, b3, hal 3)

11
9. Di kedai : “Mencuci piring di kedai” (p2, b13, hal 5)
10. Di sebelah tokoh : “Dia duduk di sebelah tokoh kita” (p1, b6,
hal 8)
11. Di pekuburan : “Dia tentulah tahu istrinyanya dikubur di
perkuburan” (b19, hal 9)
12. Di kompleks perkuburan : “Opseter lari girang pulang ke ruamhnya di
kompleks perkuburan” (p3, b2, hal 10)
13. Di rumah dinas opseter : “dan jendela rumah dinasnya” (p1, b3, hal
11)
14. Ruang sidang : “dan jendela-jendela ruang sidang” (p2, b9, hal 12)
15. Di alun-alun : “Orang-orang di alun-alun ikut berteriak”
(p3, b1, hal 19)
16. Di pintu gerbang perkuburan : “di ruang kamar tunggu di pintu gerbang
perkuburan” (b7, hal 28)
17. Di mesjid dan gereja : “Bahkan khotbah di mesjid-mesjid dan dan
gereja-gereja” (b11, hal 36)
18. Warung kopi : “maupun dalam obrolan-obrolan warung
kopi biasa” (b4, hal 37)
19. Kantor dan pabrik : “Kantor-kantor dan pabrik-pabrik menjadi
sunyi” (p1, b7, hal 37)
20. Kotapraja : “Segera laporan ini diteruskan oleh opseter
ke kotapraja” (p2, b1, hal 48)
21. Di jembatan : “kita di jembatan sana tadi?” (p1, b10, hal
59)
22. Di garis finish : “khalayak ramai di garis finish marathon tadi” (p1,
b15, hal 59)
23. Studio : “Ketika petangnya dia kembali ke studionya” (p4,
b1, hal 68)
24. Hotel dan losmen : “dia diam di hotel-hotel dan di losmen-
losmen” (b1, hal 70)

12
25. Di atas aspal : “dan gelisah di atas aspal kering” (p4, b3,
hal 72)
26. Balaikota : “Mari saya kawani Saudara-saudara berdua
ke balaikota” (p1, b2, hal 74)
27. Kantor polisi : “apakah lantas dia dapat digiring ke kantor
polisi” (p6, b7, hal 74)
28. Gubuk : “Setelah istrinya direbahkannya dalam gubuk itu”
(p5, b4, hal 77)
29. Rumah dinas walikota : “yang membawanya segera ke rumah dinas
walikota” (p5, b6, hal 86)
30. Dalam bilik : “mengunci dirinya dalam biliknya” (p3, b4,
hal 87)
31. Di perpustakaan : “Inilah acara satu-satunya istrinya sehari
itu, di perpustakaan” (p5, b4, hal 88)
32. Di gubuk tepi pantai : “ke gubuk yang masih utuh di pantai” (p9,
b2, hal 89)
33. Pantai : “pergi mengipas-ngipas mukanya ke pantai” (p4,
b7, hal 93)
34. Di lembah : “Dan seperti bebek-bebek di lembah” (p3,
b2, hal 94)
35. Kantor cacatan sipil : “Di kantor cacatan sipil dulu” (p9, b3, hal
96)
36. Di panggung : “pada lampu sorot di panggung” (p1, b4,
hal 99)

Waktu :
1. Pagi hari
“Juga pagi itu dia bangun” (p1, b1, hal 1)
“Paginya dia selalu gmbira” (p2, b1, hal 1)
“di ufuk tiap pagi membawa ingatan putih baginya” (p4, b4, hal 1)
“saya minum arak sepagi hari” (p9, b6, hal 7)

13
2. Tengah hari
“persis tengah hari mereka berpisahan” (p4, b22, hal 10)
3. Sore hari
“menjelang benamnya matahari, dia berhenti kerja” (p3, b10, hal 11)
4. Malam hari
“Begitu malam jatuh, perutnya dituangnya arak penuh-penuh” (p3, b1, hal 1)
“menghidupi detik-detik selanjutnya dari malam yang sisa” (p3, b8, hal 1)
“Malam-malamnya seperti ini” (p4, b1, hal 1)
“Malamnya, dia menyuruh penjaga perkuburan” (p1, b1, hal 2)
“malam itu dia ada melihat matahari sepanjang malam” (p4, b4, hal 2)

Suasana :
1. Gembira
“menggeger suatu tawa gempita dari atas tembok” (p2, b2, hal 15)
2. Sunyi
“sunyi senyap dipekuburan itu” (p10, b36, hal 113)
3. Ramai
“ke tengah orang ramai itu”
4. Panik
“hadirin geger” (p1, b1, hal 38)
5. Gelisah
“dia mulai gelisah”
6. Hening
“sesudah itu hening, sehening-heningnya” (p3, b10, hal 3)
7. Sedih
“demi satu titik membasah di matanya” (p10, b37, hal 123,124)
d. Alur
Alur dalam novel ini sedikit membingungkan pembaca, karena pengarang
menggunakan alur “Flash Back” atau campuran. Di awal cerita, diceritakan sang
pelukis begitu kehilangan setelah ditinggal mati istrinya, tetapi dibagian belakang

14
malah pembaca diajak untuk mengikuti kisah pertemuan pelukis dengan istri,
kehidupan mereka yang mengundang banyak pesona, dan saat-saat terakhir
istrinya mati. Bukan hanya pelukis dan istri saja tetapi pengarang juga mengajak
pembaca untuk mengikuti kisah balik kehidupan opseter sebelum menjadi opseter.

e. Sudut pandang
Sudut pandang yang digunakan oleh pengarang adalah sudut pandang orang ketiga
yang menggunakan pengenalan tokoh dengan nama tokoh tersebut yakni Bekas
Pelukis, Opseter, dan lain-lain.

f. Amanat
1. Tidak selalu kebahagiaan itu tentang harta, pangkat, dan kepopuleran.
2. Jangan suka menambah penderitaan orang lain, karena itu akan menambah
penderitaanmu.
3. Jangan terlalu sering hanya mementingkan pekerjaan
4. Kesedihan tidak harus selalu ditangisi terus-menerus, akan tetapi kesedihan
haruslah diawali dengan kebahagiaan.
5. Jangan sewenang-wenang menyalahkan seseorang, tanpa adanya bukti yang pasti.
6. Jangan cepat menilai orang tanpa mengetahui lebih jauh tentang orang tersebut.
7. Jalanilah kehidupan ini dengan kesederhanaan jiwa, jangan hanya memikirkan diri
sendiri, sebab itu akan merendahkan harkat dan martabatmu.

H. Unsur Ekstrinsik
1. Biografi pengarang
Iwan Simatupang (1928—1970) Pengarang IWAN SIMATUPANG Iwan
Simatupang, sastrawan tahun 1960-an, menulis karya-karya yang bersifat
inkonvensional dan karena itu dianggap pembawa angin baru dalam
kesusastraan Indonesia. Iwan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatra Utara,

15
tanggal 18 Januari 1928 dengan nama Iwan Martua Dongan Simatupang. Dia
dianggap sebagai anak yang cerdas. Dia dibesarkan dalam keluarga Islam.
Ayahnya seorang haji yang mengajari Iwan membaca Alquran. Sebagian masa
kecil Iwan dilaluinya di Aceh, daerah yang dikenal sebagai "Serambi Mekah".
Kemudian, pada masa remajanya ia tinggal di Sibolga, tempat kelahirannya,
yaitu pusat agama Protestan di Sumatra Utara. Iwan belajar mengaji Alquran dari
orang tuanya. Kemudian, ia melanjutkan pelajarannya ke sekolah lanjutan di
Padang Sidempuan. Tahun 1948 Iwan berhenti dari sekolah dan masuk pasukan
yang ikut berperang melawan Belanda. Dia menjadi komandan pasukan Tentara
Republik Indonesia Pelajar (TRIP) dan memimpin organisasi Pemuda Indonesia
di Sumatra Utara. Tahun 1949 ia ditangkap dan tidak berapa lama kemudian
dibebaskan di Medan. Kesempatan setelah bebas dimanfaatkannya untuk
menyelesaikan studinya di HBS bagian B sebagai extraneus. Setelah tamat dari
HBS, ia melanjutkan pelajarannya ke Fakultas Kedokteran di Surabaya tahun
1953. Di samping berkuliah di Fakultas Kedokteran, Iwan juga mempelajari
berbagai ilmu, seperti filsafat, antropologi, sastra, dan agama. Di dalam
memasalahkan agama, Iwan selalu terlibat dalam perdebatan sengit dengan
teman-temannya. Iwan tidak dapat menyelesaikan studinya di Fakultas
Kedokteran karena tidak tahan melihat darah dan memotong-motong mayat.
Kemudian, ia pindah ke Jakarta dan di Jakarta inilah ia mulai banyak membaca
masalah-masalah kebudayaan. Akhirnya, ia aktif menulis, antara lain, di Mimbar
Indonesia dan Siasat. Tahun 1954 Iwan Simatupang memperoleh beasiswa ke
Eropa untuk memperdalam pengetahuannya tentang kebudayaan. Iwan
memperdalam antropologi di Leiden (1956), memperdalam drama di Amsterdam
(1957), dan memperdalam filsafat di Paris (1958). Bulan November 1955, Iwan
berkenalan dengan Corinne Imalda de Gaine (Corry) dan tanggal 2 Desember
1955 mereka menikah di Amsterdam. Iwan Simatupang akhirnya memilih agama
Katolik sebagai agamanya sampai akhir hayatnya. Dari perkawinan itu mereka
memperoleh dua orang anak, yaitu Ino Alda dan Ion Partibi. Setelah
menyelesaikan studinya di Paris, akhir tahun 1958 Iwan Simatupang bersama
istri dan anak-anaknya kembali ke Indonesia. Tahun 1960 Corry meninggal dunia
karena menderita penyakit tipus. Kematian Corry itu sangat memukul jiwanya.
Kenangan atas kematian istrinya mendorong Iwan menulis novel Ziarah tahun
1960 yang baru terbit 9 tahun kemudian. Tahun 1961 Iwan menulis naskah novel
Merahnya Merah dan baru diterbitkan tahun 1968 oleh Penerbit Djambatan.
Tanggal 10 Juni 1961 Iwan menikah lagi dengan Dra. Tanneke Burki. Dia
memperoleh seorang anak perempuan, Violeta. Akan tetapi, umur perkawinan itu
tidak panjang. Mereka bercerai tahun 1964. Selain bekerja sebagai dosen pada
beberapa perguruan tinggi, ia juga bekerja pada sebuah perusahaan mobil dan
sebagai wartawan. Tempat tinggalnya tidak tetap. Dengan dua orang anaknya, ia
pernah menyewa satu kamar Hotel Salak di Bogor. Pada waktu itu ia sering
diundang untuk berceramah di berbagai forum. Karena kegiatan fisiknya terlalu
banyak, Iwan menderita penyakit lever. Iwan meninggal dunia tanggal 4 Agustus
1970 di Jakarta. Selama hidupnya ia menulis empat novel, yaitu (1) Merahnya

16
Merah (1968), (2) Ziarah (1969), (3) Kering (1969), dan (4) Koong (1975). Dia
pernah mendapat penghargaan Hadiah Sastra Asia (SEA Write Award) dari
Thailand atas karya novelnya Ziarah pada tahun 1977. Novelnya Merahnya
Merah (1968) mendapat hadiah sastra Nasional 1970 dan novelnya Kooong
(1975; mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K, 1975). Dua
novelnya Ziarah (The Pilgrim, 1975) dan Kering (Drought,1978) diterjemahkan
Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris. Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam
Tegak Lurus dengan Langit (1982), sedangkan puisi-puisinya dalam Ziarah
Malam (1993). A. Teeuw menyatakan bahwa barangkali ialah pengarang
Indonesia yang waktu itu mendapat sorotan paling banyak, baik oleh pengamat
sastra di dalam negeri maupun di luar negeri. H.B. Jassin menyatakan bahwa
Iwan Simatupang sanggup melukiskan dengan jernih jalan pikiran tokoh-
tokohnya dan hakikat masalah mereka tanpa selubung-selubung kerahasian.
Ketika meresensi novel Ziarah Iwan Simatupang, H.B. Jassin menyatakan
perkembangan ketika menyambut pembaharuan dalam sajak Chairil Anwar dan
menyambut kehadiran novel baru Ziarah Iwan Simatupang dengan menyebutkan
bahwa keduanya memerlukan waktu untuk dipahami. Yassin menyambut novel
Iwan sebagai cerita yang baru sama sekali dalam bahasa, dalam pengungkapan,
dalam mendekati hidup dan permasalahan, merupakan halaman baru dalam
kesusastraan Indonesia.

2. Situasi dan Kondisi


Angkatan 66’. Di zaman revolusi, Iwan selalu aktif selaku tentara pelajar dan ikut
berjuang di garis depan. Iwan pernah jadi guru, wartawan, pengarang cerpen serta
puisi, tidak hanya menulis esai, drama serta novel. Karena lebih tertarik pada
karang-mengarang, Iwan berhenti jadi guru. Dia terus mengarang dan menjadi
wartawan. Sebagai wartawan Iwan menulis banyak sketsa perihal orang-orang
tersisih terpinggirkan. Iwan memperoleh hadiah penghargaan untuk narasi
pendeknye dalam Erwin Gastilla di Filipina, serta hadiah untuk karya nonfiksi
dari Mrs. Judi Lee dari Singapura. Sejak meninggal, buku-buku Iwan mendapat
perhatian khusus kalangan seniman, khususnya sastrawan. Tahun 1970 nama
Iwan Simatupang menjulang dalam dunia sastra Indonesia, karena pengarang ini
memelopori cara baru dalam penulisan prosa di Indonesia.

17
3. Nilai-nilai
 Nilai Moral :
a. . Berbakti dan sayang kepada suami
Isterinya menerima tanpa syarat. Apa salahnya menerima permintaan ini? (hal 98,
b19)
b. Tidak membeda-bedakan status sosial
ah dia sungguh sahabat besar! Seorang manusia besar! (hal 112, b19) berbuat baik
karena orang terpandang
c. Tidak bertindak asusila di tempat umum
hanya untuk mempersaksikan sepasang merpati yang sedang asyik di atas aspal
itu (hal 73, b8)

 NilaiSosial :
a. Saling membantu dalam kesusahan
orang-orang baik hati yang telah berkenan mengantarnya pulang (hal 3, b3)
b. Memberi ucapan kepada orang yang menikah
karangan-karangan bunga dikirim dari segenap penjuru (hal 76, b20)
c. Kurang terbuka pada sekitar
para pegawai tidak kenal siapa sesungguhnya dia (hal 130, b29)

 Nilai Agama :
a. Berziarah
yang terus menerus menziarahi mereka (hal 141, b4)
b. Menguburkan orang mati
Besoknya, isteri pelukis dikubur. (hal 105, b1)

 NilaiPendidikan :
a. Harus mengamalkan ilmu yang didapat dari pendidikan
Otaknya yang sangat cerdas, membuat dia menyesuaikan dirinya dengan
pekerjaannya (hal 32, p5 k1)

 NilaiBudaya
a. Menikah
dan selesailah upacara meresmikan mereka sebagai suami isteri (hal 74, b12)

18
I. Unsur Kebahasaan
1. Gaya Bahasa

Majas

 Majas Personifikasi
A. “...rasa riang mendaki dalam dirinya.”(hal2)
B. “fajar yang mengambang di ufuk tiap pagi membawa ingatan putih
baginya”(hal1)
C. “Desah kesibukan ini sesekali dianarangin ketelinganya..” (hal 3)
D. “...praktek praktek menjilat atasannya...” (hal20)
E. “... ketika mas dari sinar-sinar penghabisan matahari mengendap-ngedap pergi
dari pusara-pusara...” (hal 32)
F. berdiri tegak

 Majas Repetisi
A. Ataukah… dia hanya menyangka saja dia berteriak?
Suaminya berteriak. Ataukah … dia hanya ingin menyangka saja suaminya
pergi?
Suaminya? Ataukah … dia hanya ingin menyangka saja (hal 103)

B. Betapa inginnya dia bersamanya berlari-lari….


Betapa inginnya dia bersamanya mengumpulkan…
Betapa inginnya dia bersamanya mengumpulkan menyerakkan … (hal103)

 Majas Hiperbola
A. “...tuan adalah nabi seni lukis masa datang.” (hal69)
B. “dalam diri sang opseter berkecanguk krisis hebat.” (hal 60)
C. “dadanya ingin meledak oleh keturunitu” (hal 25-26)
D. “..Suara bekas pelukis nyaring menggaung antara tembok-tembok pekuburan”
(hal 140)
E. “Teriaknya ini sunyi menggema di tengah jumlah manusia.....” (hal 115)
F. kalimat itu membuat tokoh kita seolah melihat panah panas ditembakkan
beruntun-runtun ke langit. (hal 7)
G. dia menggigil oleh pengetahuan ini (hal 27)

19
 Majas Simile
A. “Dirinya merasa kering,seperti daging sapi yang dikuras kering habis-habisan.”
(hal87)
B. “Istrinya makin cantik seperti sekuntum bunga yang pada akhirnya bertemu sinar
matahari dan mekar-semekarnya” (hal 88)
C. “Wajahnya laksana topeng jenis kayu yang sekerasnya” (hal 102)
D. “Dia mengenal suaminya luar dalam keras sekerasnya ,kering sekeringnya
bagaikan padang pasir....” (hal 102)
E. “...Dia laksana dewata laut murka.....” (hal 123)
F. …bagaikan gunung berapi yang meletus, walikota terbahak-bahak (hal 82)
G. …matanya melotot seperti kerucut roket yang siap ditembakkan… (hal 82)

2. Ungkapan (idiom)
a. Gelisahnya berwarna kelabu (hal 104, p5)
b. Sepasang merpati yang sedang asyik di atas aspal… (hal 73)
c. Tawa gempita dari atas tembok …(hal 15)
d. Daun pintu sekeras-kerasnya….(hal 3)

3. Peribahasa
-

J. Simpulan
Novel Ziarah karangan Iwan Simatupang mengajarkan bahwa tidak
selalu kebahagian hanya tentang uang, harta, jabatan, atau pun tentang
kepopuleran seseorang. Pelukis yang berbakat, kaya dan sangat terkenal
yang menjadi tokoh utama dalam novel tersebut menjadi depresi karena
tidak dapat menjalani hidupnya dengan normal. Tokoh pelukis itu justru
bahagia bukan karena harta dan kepopuleran yang dia miliki jusru karena
seorang pendamping hidup, dan bahkan lebih bahagia lagi setelah
menjalani hidup di gubuk yang tua dan sederhana. Tentu saja yang
menjadi acuan hidup ialah sebagaimana dan seberapa besar kita bersyukur
kepada Tuhan atas segala berkat yang telah diberikan-Nya kepada kita.

20
K. Saran
Novel ini cocok dibaca oleh kalangan orang remaja yang mulai dewasa
hingga orang dewasa karena bahasa yang digunakan cukup rumit, butuh
psikologis dan intelek, serta termasuk jenis novel yang berat sehingga
anak-anak sangat tidak untuk dianjurkan membaca novel ini. Novel yang
mengenai nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat seperti sekarang ini.

21

Anda mungkin juga menyukai