PENGANTAR
Cetakan baru Bekisar Merah ini memuat dua buku dwilogi yaitu Bekisar Merah dan Belantik.
Karena dikemas dalam satu buku, maka dalam resensi kali ini saya akan membahas kedua
buku tersebut secara sekaligus.
Pada buku keempat, yaitu Rumah Kaca, terjadi perubahan tokoh utama dari Minke
ke Pangemanann. Tokoh Pangemanann ini baru muncul pada bagian akhir buku
ketiga. Ia adalah 'musuh besar' Minke.
Buku keempat ini, secara garis besar, berkisah tentang usaha Pemerintah Kolonial
Hindia-Belanda dalam memonitor gerakan rakyat Indonesia. Pangemanann sendiri
adalah seorang Indonesia yang bekeerja untuk Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.
Siapa Pangemanann?
Jacques Pangemanann adalah seorang Menado yang diangkat anak oleh seorang
apoteker berkebangsaan Perancis. Ia sempat kuliah di Sorbone selama dua tahun,
dan kemudian menempuh Pendidikan Kepolisian. Ia datang ke Indonesia dengan
pangkat Inspektur Polisi Tingkat-I, sebuah pangkat tertinggi untuk seorang pribumi.
Oleh karena prestasi kerjanya, pangkatnya cepat meningkat menjadi Komisaris.
Setelah beberapa tahun bekerja di lapangan, ia dipindahtugaskan untuk bekerja 'di
belakang meja', di Kantor Algemeene Secretarie. Ia bertugas mengawasi dan
mengendalikan organisasi-organisasi pribumi yang bermunculan saat itu. Tugas
inilah yang membawanya kepada pertemuan dengan Minke, tokoh utama dalam tiga
buku sebelumnya. Buku keempat ini dipenuhi oleh pergulatan Pangemanann dalam
urusannya dengan Minke.
"Nuraniku tergoncang. Apa yang harus kulakukan terhadap dia? Dia bukan penjahat,
bukan pemberontak...Dia hanya terlalu mencintai bangsa tanah airnya Hindia..."
(hlm. 7). Itulah gambaran awal pergulatan batinnya. Pergulatan batin itu terus
menerus terjadi dan mewarnai seluruh buku ini. Dua kekuatan yang tarik-menarik,
antara melaksanakan tugas dan menuruti nurani, terus menyertai kisah hidup
Pangemanann.
Pangemanann senantiasa sadar akan dua kekuatan itu. Namun ternyata, tetap
harus ada satu kekuatan yang menang atas kekuatan lain. Sayangnya,
Pangemanann lebih memilih untuk melawan nuraninya. Ia lebih mementingkan
pekerjaan dan nama baiknya daripada hal-hal yang lain, bahkan termasuk
keluarganya. "Madame Pangemanann pergi, aku pun tak merasa kehilangan. Anak-
anak pergi, aku pun tak merasa kehilangan. Mengapa aku akan merasa kehilangan
kalau jabatanku punah dan kehormatanku di depan umum rusak?" (hlm. 368). "Demi
karierku, Minke, pimpinan Redaksi Medan harus disingkirkan. Dan demi nama
baikku pula Suurhof juga harus dipunahkan." (hlm. 39).
Pramoedya dengan bahasa yang indah dan melalui sebuah fiksi sejarah, sungguh
mengajak setiap pembaca untuk merenung, merefleksikan hidupnya, dan
menghakimi diri sendiri. Sebuah karya sastra yang sayang untuk dilewatkan.