Anda di halaman 1dari 140

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Objek Penelitian
Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja terdiri atas 108 halaman,
diterbitkan oleh Balai Pustaka, cetakan pertama pada tahun 1936, cetakan kedua
pada tahun 1940 dan cetakan ketiga pada tahun 1957. Novel Ngulandara
memiliki 14 bab namun antar bab masih memiliki keterkaitan. Bab-bab tersebut
yaitu: oto mogok, meksa batal, njonjah Oei Wat Hien, sampun kraos, ngadjari
kapal, peken malem ing Magelang, manahipun kagol, ndjagi wiludjenging
bendara, ngreksa namaning bendara, wonten grija sakit, pamit, serat saking
Rapingun, let nem wulan, sasampunipun wolung wulan.
Novel Ngulandara dari segi kepengarangan memiliki keistimewaan.
Keistimewaannya hingga saat ini belum ditemukan biografi yang jelas mengenai
Margana Djajaatmadja, setelah diterbitkannya novel Ngulandara ini juga belum
ditemukan lagi novel karyanya. Pengarang di era Balai Pustaka baik riwayat
hidup maupun latar belakang kehidupan mereka tidak banyak diungkapkan. Hal
ini terjadi karena pada masa itu belum ada penulisan riwayat atau biografi
pengarang dan masih terpengaruh oleh tradisi lama yang umumnya pengarang
lebih suka tidak mencantumkan nama asli pada karyanya atau menggunakan
sandi asma atau anonim. Hal tersebut selaras dengan pandangan hidup orang
jawa yang tidak suka pamer sehingga mempersulit pencarian data mengenai
pengarang sebuah karya.
Margana Djajaatmadja menggambarkan latar sosial yang terjadi pada
masa itu, kehidupan priyayi, dan kaum pribumi pada masa itu tergambar dalam
penokohan dan dikemas dengan menarik sehingga walaupun novel ini tergolong
novel lama namun cerita di dalamnya dapat menjadi referensi sejarah pada masa
itu yang masih dipengaruhi tradisi Belanda. Novel ini juga mengubah pola pikir
pembaca bahwa jaman dahulu kaum priyayi yang hidup dengan kemewahannya
tidak peduli terhadap kaum pribumi, terbukti dengan adanya tokoh Rapingun
dengan pengalaman hidupnya mengembara mencari jati diri.
commit to user

54
perpustakaan.uns.ac.id 55
digilib.uns.ac.id

Penelitian mengenai novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja


sudah pernah diteliti oleh Sugiarti dengan judul Kajian Intertekstual Novel
Ngulandara Karya Margana Djajaatmadja dengan Serat Riyanto Karya R.M
Sulardi dalam penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa novel Ngulandara
merupakan novel yang dibuat saat tingkatan sosial antara priyayi atau bukan
priyayi masih sangat terasa. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sugiarti
penelitian ini tidak terfokuskan terhadap teks saja namun juga nilai pendidikan
budi pekerti serta relevansi sebagai materi pembelajaran.
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan aspek
penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti yang terkandung dalam novel serta
relevansinya sebagai materi ajar apresiasi sastra Jawa di SMA. Data dalam
penelitian diperoleh dari sumber data berupa dokumen novel Ngulandara,
transkrip wawancara dengan beberapa guru mata pelajaran bahasa Jawa,
beberapa siswa SMA dan pakar sastra. Novel yang dipilih diambil berdasarkan
pertimbangan tertentu yang berkaitan dengan penelitian. Pertimbangan yang
dijadikan dasar adalah penokohan dan nilai budi pekerti yang tergambar dalam
tokoh belum pernah diteliti.
Penelitian ini menggunakan data novel Ngulandara cetakan ketiga.
Alasan peneliti menggunakan cetakan ketiga yang terbit thun 1957 karena novel
tersebut telah mengalami perubahan dari segi penulisan ejaan yang lebih mudah
dipahami daripada cetakan pertama tahun 1936 dan cetakan kedua tahun 1946
yang masih menggunakan ejaan lama, walaupun mengalami beberapa kali revisi
namun tidak mengubah isi dari novel Ngulandara tersebut.
Deskripsi data dilakukan berdasarkan perumusan masalah yang telah
diungkapkan sebelumnya yaitu bagaimanakah penokohan dan nilai pendidikan
budi pekerti dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja serta
bagaimanakah relevansi penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti yang
terdapat dalam novel tersebut sebagai materi ajar apresiasi sastra Jawa di SMA.
Bab ini akan membahas tentang analisis penokohan dan nilai pendidikan budi
pekerti dalam novel Ngulandara.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 56
digilib.uns.ac.id

B. Deskripsi Temuan Penelitian


Analisis data menjadi sarana utama dalam menjawab permasalahan yang
ada dalam penelitian ini, analisis mengacu pada prosedur penelitian yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya. Pada bab IV akan dijelaskan mengenai
penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti dalam novel Ngulandara karya
Margana Djajaatmadja serta relevansi unsur penokohan serta nilai budi pekerti
yang ada pada novel tersebut sebagai materi ajar apresiasi sastra Jawa di SMA
kelas XI.
Pertama peneliti akan membahas unsur penokohan dalam novel
Ngulandara. Hal ini dikarenakan penokohan merupakan bagian dari unsur
intrinsik dalam sebuah karya sastra maka dalam bab ini tentu akan dijelaskan
pula mengenai: 1) unsur intrinsik dalam novel yang meliputi tema, alur, latar,
sudut pandang, amanat, dan penokohan, 2) nilai pendidikan budi pekerti dalam
novel Ngulandara. Analisis akan dilakukan terhadap tokoh-tokoh di dalam cerita
yang berjumlah enam belas tokoh, 3) analisis penokohan dan nilai pendidikan
budi pekerti kemudian akan dilanjutkan dengan analisis relevansi kedua hal
tersebut sebagai materi ajar apresiasi sastra Jawa di SMA.
1. Unsur Intrinsik Novel Ngulandara Karya Margana Djajaatmadja.
a. Tema
Pengertian tema untuk penelitian ini merujuk pada pendapat Waluyo
(2011: 8) yang menyatakan bahwa tema adalah makna cerita, gagasan
sentral, atau dasar cerita yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Tema
merupakan gagasan dasar bagi terciptanya sebuah karya sastra, sebagai
sebuah gagasan dasar tema merupakan sesuatu yang netral, tidak
memihak. Selanjutnya melengkapi pendapat di atas Fananie (2000: 84)
menyatakan tema dapat berupa apa saja, persoalan moral, etika, agama,
sosial budaya, teknologi, masalah tradisi atau apa saja yang erat kaitannya
dalam kehidupan yang disesuaikan dengan zamannya. Novel Ngulandara
terdiri atas empat belas bagian, setiap bab memiliki tema tersendiri.
Berikut merupakan tema temuan peneliti yang berkaitan dengan persoalan
etika, moral, tradisi, sosialcommit
budaya to user
pada zaman novel tersebut dibuat.
perpustakaan.uns.ac.id 57
digilib.uns.ac.id

Sub judul pertama yaitu berjudul Oto Mogok bertemakan tolong


menolong. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa pada saat mobil keluarga
Den Bei mogok ditengah hutan sewaktu senja hingga sekian lama
menunggu munculah Rapingun bersama temannya Kasna kemudian
menolong Den Bei yang tengah mengalami kesusahan. Hal tersebut dapat
dijelaskan dengan dialog sebagai berikut:
“Rewel mboten gelem mlaku”
“Ingkang rewel punapanipun ndara?”
“Kula kurang terang”
“Punapa kepareng kula nuweni? Mbok menawi saged ngleresaken”
“Engga we lah kebeneran”(hlm. 9).

Terjemahan:
‘Rusak tidak mau jalan’
‘Apa yang rusak Tuan?’
‘Kurang tahu saya’
‘Apa boleh saya membantu, siapa tahu bisa membetulkan’
‘Wah silakan kebetulan sekali.’

Dalam dialog di atas jelas bahwa Rapingun menawarkan bantuan untuk


memperbaiki mobil milik Den Bei dan disetujui dikarenakan Den Bei
sendiri tidak tahu mengenai urusan mobil. Pada bab ini keluarga Den Bei
merasa heran melihat tingkah laku seorang supir yang baik, ramah, sangat
hormat dan memiliki sopan santun yang baik. Akhirnya setelah diceritakan
Rapingun memperbaiki kerusakannya, mobil tersebut dapat dinyalakan
kemudian Den Bei meneruskan perjalanan menuju Parakan dengan
dikawal Rapingun dari belakang.
Meksa Batal merupakan sub judul yang dipilih pengarang untuk sub
bab II. Sub bab ini merupakan penguatan tema pada sub bab pertama, jika
sub bab pertama mengusung tema tolong menolong maka pada sub bab II
ini bertema tolong menolong tanpa pamrih atau tidak mengharap imbalan.
Den Bei, istri, dan anaknya bermaksud untuk memberikan imbalan pada
Rapingun karena telah membantu memperbaiki mobilnya, mereka
berencana untuk melaksanakan maksud tersebut setelah tiba ditempat
commit
ramai. Namun ketika sampai di to user belum sempat berterima kasih
Parakan
perpustakaan.uns.ac.id 58
digilib.uns.ac.id

Rapingun sudah pergi tanpa menghiraukan Den Bei. Keluarga Den Bei
merasa sangat tertarik pada kepribadian Rapingun, karena ia menolong
tanpa mengharap imbalan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Mau arep tak wenehi seringgit, rumangsaku wis memper. Nanging
sopir mau durung nganti weruh pira anggonku menehi. Dadi tetep
wae ora gelem nampani. Ja memper wong iku jen bagus, dasar
watake alus, mesthi sugih kaprawiran”
“ Ah bapak ki saiki tiru-tiru ibu.”
“Wis ngene wae mengko jen tekan Parakan di endeg, utawa
samangsa deweke mandeg, endang kanda aku”(hlm. 13).

Terjemahan:
‘Tadi mau saya beri seringgit, menurut saya sudah pantas. Tetapi
supir tadi belum tahu berapa yang akan saya berikan.Tetap saja tidak
mau menerima. Ya memang orang itu kalau tampan, berbudi halus,
pasti banyak keterampilannya
‘Ah bapak ini meniru ibu saja.’
‘Ya sudah begini saja, nanti kalau sudah sampai Parakan kita
hentikan, atau saat dia berhenti, segera beri tahu saya.’

“Overland enggal nututi. Dumugi pratigan, inggih punika


pakendelan taksi jen wanjti sijang, sepen, mboten wonten punapa-
punapa. Prijatun tetiga sanget gela manahipun, dening kadjengipun
meksa batal mboten kelaksanan.” (hlm. 15).

Terjemahan:
‘Overland segera menyusul. Sesampainya di pertigaan, tempat
pangkalan taksi saat siang, sepi, tidak ada apa-apa. Mereka bertiga
sangat kecewa, karena keinginannya tidak terlaksana.’

Sub judul III yaitu Njonjah Oei Wat Hien. Nyonyah Hien merupakan
seorang wanita Tiong Hoa yang merupakan majikan Rapingun. Meskipun
seorang Tiong Hoa Nyah Hien fasih menggunakan bahasa Jawa krama.
Peneliti menemukan tema pada sub bab II ialah saling menghargai
keberagaman, yang terwujud dalam sikap Nyah Hien yang mampu
beradaptasi ditempat tinggalnya di Jawa meskipun adat dan budaya Jawa
tidak sama dengan adat tradisi yang ia miliki. Tradisi orang Jawa yang
terkesan malu dan tidak langsung pada pokok pembicaraan. Hal itu dapat
dibuktikan dengan kutipan berikut ini:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 59
digilib.uns.ac.id

“Keleres dinten Minggu, wetawis djam wolu endjing, ing ngadjeng


ngasistenan Ngadiredja wonten oto. Boten dangu njonjah Tiong
Hoa ingkang umur-umuranipun dereng langkung saking tigang
dasan taun. Mandap saking oto, terus dateng ngasistenan....”
(hlm. 15).

Terjemahan:
‘Bertepatan hari Minggu, sekitar pukul delapan pagi, di depan
gedung asisten Ngadireja ada oto. Tidak lama seorang Nyonyah
Tiong Hoa yang kira-kira umurnya belum lebih dari tiga puluh
tahun. Setelah turun dari mobil, lalu pergi ke gedung asisten....’

“Boten Den Aju! Sowan kula menawi kedjawi tuwi kasugengan,


inggih perlu badhe nglajengaken rembag betah. Kula njuwun
tulung Den Aju”(hlm. 17).

Terjemahan:
‘Tidak Den Ayu! Kedatangan saya kemari selain untuk
berkunjung, ada perlu membicarakan keperluan. Saya mau minta
tolong Den Ayu.’

Sub judul IV yaitu Sampun Kraos yang berarti ‘sudah nyaman’.


Diceritakan bahwa Rapingun akhirnya bekerja pada Den Bei karena
ketidaksengajaan Nyah Hien yang ingin menjual mobilnya. Mobil yang
akan dijual tersebut memiliki plat nomor yang sama dengan mobil yang
digunakan supir saat menolongnya, akhirnya mereka bertemu kembali.
Den Bei tidak menghendaki mobilnya tetapi jika diperbolehkan ia ingin
memiliki supirnya saja untuk dijadikan supir pribadi. Pada sub judul IV
bertema pengabdian tulus tanpa pamrih. Rapingun yang telah dipekerjakan
sebagai supir oleh Den Bei melaksanakan tugasnya dengan baik, mobil
menjadi baik dan kinerja Rapingun yang rapi membuat keluarga Den Bei
senang, tidak hanya pekerjaan supir yang ia kerjakan, ia pun mengerjakan
pekerjaan rumah seperti menata taman, membersihkan perabot dan lain
sebagainya ia kerjakan dengan senang dan sangat baik. Hal ini dipertegas
dengan kutipan berikut:
“Rapingun keprije Bu, apa krasan?”
“Anu ki Pak, wiwit teka let rong dina nganti seprene iki tak
sawang-sawang pasemone tansah katon padhang lan bungah.”
(hlm. 25). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 60
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘Rapingun bagaimana Bu, apa dia nyaman di sini?’
‘Begini Pak, sejak datang dua hari yang lalu sampai saat ini
wajahnya selalu terlihat bahagia’

“O, jen di timbang karo sopir lija-lijane, wis ora mu-tinemu. Sing
akeh-akeh, sopir kuwi jen dudu pagawean babagan motor ora
nindakake. Sedje karo Rapingun. Neng ngomah tak sawang-sawang
ora leren-leren, samubarang di tandangi, kaja ta nanduri tamanan,
nata-nata kursi, gambar diresiki, di tata maneh. Mangka kabeh
tatanan sarwa ngresepake (hlm. 27).

Terjemahan:
‘Wah, jika dibandingkan dengan supir-supir lainnya, tidak ada yang
menyamai. Biasanya, supir itu kalau bukan pekerjaan tentang mobil
tidak mau mengerjakan. Berbeda dengan Rapingun. Di rumah, saya
perhatikan ia tidak beristirahat, semua dikerjakan, seperti menanam
tanaman, menata kursi, membersihkan gambar, kemudian ditata
kembali. Semua yang dia kerjakan selalu memuaskan’

Ketekunan merupakan tema sub judul V yang berjudul Ngajari


Kapal ‘melatih kuda’. Den Bei memiliki kuda bernama Hel tetapi Hel
belum mendapat pelatihan yang baik sehingga kuda itu menjadi liar dan
tidak terkendali, Den Bei pun telah menyerah untuk melatih Hel. Rapingun
dengan sifatnya yang tekun memutuskan untuk melatih Hel secara diam-
diam. Hal itu ia lakukan dengan sabar, tekun dan tak putus asa walaupun
Hel memang benar-benar kuda yang liar. Akhirnya setelah mendapat
perhatian dari Rapingun Hel menjadi penurut. Den Bei kaget ketika
bertemu Rapingun tengah menunggangi Hel di jalan raya, ia segera
memerintahkan Rapingun pulang karena khawatir akan keselamatannya.
Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
“.... Den Bei Asisten Wedana dawuh supados Rapingun terus
wangsul. Lis ladjeng kadedet, Hel mlampah, ngentrag, sontan-
santun kalijan matjan nubruk. Tijang-tijang sami tjingak dene
Rapingun saged wangsul kanti wiludjeng. Punapa malih sumerep
lampahipun Hel sadjak gumagus. Mangka lampah makaten wau
namung tumrap kapal ingkang sampun mbangun-turut lan sampun
dipun-adjari.” (hlm. 39-40).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 61
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘.... Den Bei Asisten Wedana menyuruh Rapingun agar langsung
pulang. Kendali kembali ditarik, Hel berjalan. Semua orang merasa
lega Rapingun pulang dengan selamat. Hel berjalan dengan
gagahnya. Padahal cara berjalan seperti itu hanya bisa dilakukan
oleh kuda yang penurut dan telah terlatih.’

“Jektosipun, meh sadaja kapal Sandel ingkang wanter manahipun,


temtu saged lampah mekaten punika, uger ingkang numpaki prigel
anggenipun ngolahaken kendalinipun, saged andjumbuhaken
kalijan panggraitaning kapal.” (hlm. 40).

Terjemahan:
‘Sebenarnya, hampir semua kuda yang sudah jinak, tentu dapat
berjalan demikian, asalkan ditunggangi oleh orang yang pandai
dalam mengolah kendali dan dapat mengerti keingginan si kuda itu
sendiri.’

Sub judul VI yaitu Peken Malem ing Magelang bertemakan tata


krama, bagian ini menceritakan bagaimana Rapingun menjaga perilakunya
terhadap anak majikannya yaitu Raden Ajeng Supartienah. Saat itu Raden
Ajeng Tien akan pergi ke Magelang ketika akan menaiki mobil ia
terpeleset dan membuat Mantri guru khawatir akhirnya Raden Ajeng Tien
disarankan untuk duduk di depan bersama Rapingun. Rapingun merasa
harus menjaga jarak dengan majikannya. Oleh karena itu, ia memilih
duduk menjauh walaupun itu membuatnya tidak nyaman. Rapingun
melakukan hal itu semata-mata untuk menjaga kehormatan majikannya, ia
merasa kurang pantas duduk berdekatan dengan Raden Ajeng Tien karena
pada saat itu ia hanya seorang supir. Hal itu dapat dilihat dari kutipan
berikut:
“Rapingun ladjeng minggah ing bak ngadjeng sisih tengen.
Linggihipun mepet nengen, ing pangangkah sampun ngantos
nggepok badanipun Raden Adjeng Tien. Mangka kawontenanipun
bak taksih kobet. Dados ingkang mekaten wau boten sanes namung
kangge rumeksa ing bendara lan netepi tata krama” (hlm. 46).

Terjemahan:
‘Rapingun lalu naik di jok sebelah kanan. Duduknya merangsek ke
kanan, dengan harapan jangan sampai menyentuh badan Raden
Ajeng Tien. Padahalcommit to user
keadaan jok masih longgar. Hal itu untuk
perpustakaan.uns.ac.id 62
digilib.uns.ac.id

menjaga martabat majikannya dan mentaati peraturan atau tata


krama.’

Selanjutnya pada sub judul VII yaitu Manahipun Kagol ditemukan


tema tanggung jawab. Pada sub judul ini diceritakan Rapingun dengan
penuh tanggung jawab menjaga majikannya. Cara Rapingun mengawal
dan menjaga majikannya tidak terlalu terihat tetapi ia tetap memperhatikan
siapa saja yang dianggap mencurigakan. Saat di gedung wayang orang
terdapat dua lelaki yang mencurigakan, lelaki itu selalu melihat kearah
Raden Ajeng Tien, mengetahui hal itu Rapingun hanya waspada, sebab
lelaki itu belum berbuat sesuatu yang membahayakan majikannya. Hal itu
dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Djejaka kalih punika kedjawi patrap lan swantenipun gembar-
gembor mekaten wau, tansah nolah-noleh ngiwa-nengen lan
dateng wingking. Kala Raden Adjeng Tien saweg maspadakaken
dununging swanten, dilalah djaka ingkang prakosa punika noleh
dateng wingking, plek gatuk panjawangipun. Sanalika Raden
Adjeng Tien tumungkul, ketingal bijas pasemonipun. Getering
manah kados tinubruk ing sima lepat.” (hlm. 56).

Terjemahan:
‘Dua pemuda itu selain memiliki tingkah laku dan suara yang
keras, selalu menoleh ke kanan-kiri dan ke belakang. Saat Raden
Ajeng Tien sedang mencari sumber suara, kebetulan pemuda yang
gagah itu menoleh ke belakang, bertemulah pandangan keduanya.
Saat itu pula Raden Ajeng Tien berpaling, terlihat pucat wajahnya’

“Rapingun ingkang kapatah ing lurahipun kapurih momong


putranipun, boten tilar weweka. Sesolah-tingkahipun djedjaka
kekalih, ingkang andadosaken bijasipun Raden Adjeng Tien
sampun kesumerepan sadaja. Rapingun saja migatosaken
kawontenan punika, saparipolahipun djedjaka kekalih tansah
kalirik. Nanging Rapingun pantjen sugih gelar, sadaja
kaprajitnanipun boten ketawis babar pisan, ngantos ketingal kados
lare boten open lan bodo banget, saged ugi ingkang dipun-emba
kados ambeging sinatrija.” (hlm. 56).

Terjemahan:
‘Rapingun yang diberi tanggung jawab oleh majikannya untuk
menjaga putrinya sangat bertanggung jawab. Semua tingkah laku
kedua pemuda, yang commit to user Raden Ajeng Tien tidak nyaman
menjadikan
sudah ia diketahui. Rapingun semakin memperhatikan keadaan itu,
perpustakaan.uns.ac.id 63
digilib.uns.ac.id

apapun gerak-gerik pemuda itu selalu diawasi. Rapingun memang


pandai, semua tindakannya itu tidak terlihat mencolok, tidak
ketahuan, ia seperti anak bodoh tidak tahu apa-apa.’

Novel Ngulandara pada sub judul VIII berjudul Ndjagi Wilujenging


Bendara memiliki tema kesungguhan pengabdian. Tema tersebut
didasarkan pada cerita bahwa ketika pulang dari Magelang mobil
Rapingun dan Raden Ajeng Tien dihadang oleh dua orang laki-laki, tak
lain merupakan laki-laki yang sama saat berada di gedung wayang orang.
Laki-laki tersebut adalah teman Raden Ajeng saat masih bersekolah di
Yogyakarta bernama Hardjana, ia menyukai Raden Ajeng Tien namun
rupanya hanya bertepuk sebelah tangan. Hardjana marah dengan keadaan
tersebut sehingga ingin berbuat yang baik. Akhirnya terjadilah perkelahian
Rapingun dengan kedua laki-laki itu. Rapingun merasa bertanggung jawab
atas keselamatan majikannya rela memberikan lengannya untuk dipukul,
saat itu keadaan genting namun Rapingun dengan sigap menangani hal
tersebut dan mereka berdua pun selamat. Hal itu dapat dilihat dari kutipan
berikut:
“Dadi wose kowe pantjen ora demen karo aku, amarga kowe wis
njanding karo botjah bregas kuwi!”Tjariyos mekaten wau kalijan
nuding dateng Rapingun.
Raden Adjeng Tien prempeng, ladjeng mangsuli:”wah semono
kurang adjarmu, Hardjana. Pantjene kowe rak takon disik, utamane
tetepungan, dadi ngerti kuwi sapa. Kuwi sedulurku nak-sanak
ngerti!” (hlm. 65).

Terjemahan:
‘Jadi intinya kamu memang tidak menyukaiku, karena kamu telah
bersama pemuda tampan itu! berkata seperti itu sambil menunjuk ke
arah Rapingun.’
‘Raden Ajeng Tien berkaca-kaca, kemudian menjawab: Wah kurang
ajar sekali kamu, Hardjana. Baiknya kamu bertanya dulu, terlebih
berkenalan, sehingga kamu tahu siapa yang kamu ajak bicara. Dia
adalah saudaraku mengerti!’

“Hardjana kaget sumerep kawontenan mekaten punika, enggal


mendet tosanipun gligen ingkang sampun kagletakaken ing
treeplank, terus minger bade murugi Rapingun medal saking
commit
wingking oto. Nanging to user
nalika punika Rapingun ugi bade murugi
perpustakaan.uns.ac.id 64
digilib.uns.ac.id

Hardjana medal sawingkinging oto. Sareng Hardjana dumugi


sawingking oto kepering tengen kepetuk Rapingun. Hardjana
ngembat tosanipun bade kagebagaken ing sirahipun Rapingun.
Sareng kaijan pandjeritipun Raden Adjeng Tien, Rapingun ngendani
sarana mendak kalijan nyabet garesipun Hardjana mawi sendok
ban. Hardjana dawah kelumah.” (hlm. 66).

Terjemahan:
‘Hardjana kaget mengetahui keadaan itu, segera mengambil besi
yang sudah diletakkan di treeplank, lalu berbalik ingin menghadang
Rapingun lewat belakang mobil. Tetapi ketika itu Rapingun juga
akan menghadang Hardjana dari belakang mobil. Bertemulah
keduanya. Hardjana menghantam kepala Rapingun dengan besi.
Seketika Raden Ajeng Tien menjerit, Rapingun menghindar dengan
menunduk dan menghantam kaki Hardjana dengan sendok ban.
Hardjana pun jatuh.’

Selanjutnya pada sub judul IX berjudul Ngreksa Namaning Bendara


masih berhubungan erat dengan sub judul VIII. Bertemakan menjaga nama
baik seseorang walaupun harus berkorban. Bagian ini menceritakan
kekhawatiran Raden Ajeng Tien tentang anggapan Rapingun tentang
dirinya. Ia merasa malu dengan hal yang baru saja ia alami, sebab pada
zaman dahulu hubungan antara seorang wanita dan laki-laki masih
dipengaruhi peraturan adat yang berdasarkan norma kesusilaan. Namun
Rapingun mengerti keadaan tersebut, ia tidak akan menceritakan kejadian
itu kepada Den Bei Asisten Wedana. Perkara tangannya yang patah ia akan
beralasan sewaktu membetulkan mobil tangannya terkena slinger. Raden
Ajeng Tien sangat terharu dengan apa yang dilakukan Rapingun semata-
mata untuk menjaga nama baiknya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan
berikut:
“Mangke dumugi ndalem, pandjenengan matur dateng ingkang
rama saha ingkang ibu, bilih tangan kula tengen kenging slinger”
“O, ja talah Rapingun, pantes kowe dadi sedulurku, semono
anggonmu ngajomi menjang awakku. Nanging keprije, wong slinger
kok ngenani tangan?”(hlm. 72).

Terjemahan:
‘Nanti sesampainya di rumah, katakan saja pada Bapak dan Ibu,
commit
kalau tangan saya terkena to user
slinger.’
perpustakaan.uns.ac.id 65
digilib.uns.ac.id

‘Oh, Rapingun, pantas jika kamu menjadi saudaraku, sampai seperti


ini kamu melindungi dan menjagaku. Tetapi bagaimana, slinger
dapat melukai tangan?’

“O, ija.” Sasampunipun tjarijos mekaten punika Raden Adjeng Tien


ladjeng undjal napas: “saiki keprije pangiramu tumrap awakku
Rap?”
“Pandjenengan resik lan sutji”(hlm. 73).

Terjemahan:
‘O, iya. Setelah bercerita seperti itu Raden Ajeng Tien lalu menghela
napas. Sekarang bagaimana pandanganmu terhadapku Rap?’
‘Anda bersih dan suci.’

Balas budi menjadi tema pada sub judul X yang berjudul Wonten ing
Grija Sakit. Pada sub judul sebelumnya diceritakan bahwa cedera yang
dialami Rapingun harus mendapat penanganan khusus maka ia dibawa ke
rumah sakit. Raden Ajeng Tien yang merasa berhutang keselamatan pada
Rapingun dengan tekun mengurusi segala kebutuhan Rapingun saat berada
di rumah sakit. Namun Rapingun tidak pernah meminta apapun ia merasa
telah diperlakukan secara istimewa sementara ia hanya seorang supir.
Raden Ajeng Tien mengangkat Rapingun sebagai saudaranya hal itu ia
lakukan sebagai balasan atas keberanian dan pengabdian Rapingun
padanya. Terbukti dari kutipan berikut ini:
“Saben dinten wantji djam tiga utawi sekawan, Raden Adjeng Tien
tuwi dateng grija sakit, perlu njekapi punapa kabetahanipun
Rapingun. Nanging salebetipun seminggu ingkang kepengker dereng
nate Rapingun gadhah paneda punapa-punapa dateng Raden Adjeng
Tien....(hlm. 79).

Terjemahan:
‘Setiap hari pukul tiga atau pukul empat, Raden Ajeng Tien
berkunjung ke rumah sakit, untuk mencukupi keperluan Rapingun.
Namun sudah seminggu ini Rapingun belum memiliki permintaan
yang aneh-aneh pada Raden Ajeng Tien.... ‘

“Tresnaku marang kowe, djalaran saka ketarik watak lan luhuring


budimu, kang wis kelahir saka sakabehing pakartimu. Atas asmane
Pangeran, kowe wis tak-ujubake sarana karep kang murni dadi
sedulurku” (hlm. 88).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 66
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘Cintaku kepadamu, karena tertarik watak dan baiknya budimu, yang
telah terlihat dari seluruh tingkah lakumu. Atas nama Tuhan, aku
ikrarkan kamu menjadi saudaraku.’

Sub judul XI berjudul Pamit memiliki tema perhatian atasan kepada


bawahannya. Hal ini ditunjukan dengan kecurigaan Den Bei Asisten
Wedana terhadap sikap Rapingun. Sepulangnya dari rumah sakit Rapingun
mengerjakan pekerjaannya seperti biasa, namun raut wajah Rapingun yang
terlihat gelisah kadang-kadang juga melamun, Den Bei khawatir sehingga
menyuruh istrinya untuk bertanya kepada Rapingun. Hasilnya Rapingun
bersikap demikian karena ia rindu pada orang tuanya. Ia pun diijinkan
pulang untuk mengunjungi kelurganya di Pacitan. Hal ini dapat dilihat
pada kutipan berikut ini:
“Let setengah wulan sawangsulipun saking grija sakit, Rapingun jen
pinudju pijambakan asring ketingal susah, kala-kala ketingal
klintjutan, kados tiyang ngandut wewados ingkang bade kewiyak....”
(hlm. 90-91).

Terjemahan:
‘Setengah bulan setelah kepulangannya dari rumah sakit, saat sendiri
Rapingun sering terlihat susah, kadang-kadang terlihat gelisah,
seperti orang menyembunyikan rahasia dan akan terbongkar....’

“Sampun kalih dinten Raden Bei Asisten sumerep Rapingun ketingal


suntrut pasemonipun, badanipun ketingal sadjak lungkrah, nanging
dereng purun pitaken sabebipun. Sareng tigang dintenipun, wantji
djam sekawan sonten, Raden Aju asisten bade nuweni Rapingun
wonten kamaripun, awit wiwit bibar neda sijang ladjeng kemawon
terus mapan tilem, boten kados adat saben. Mila kakinten
pijambakipun sakit” (hlm. 91).

Terjemahan:
‘Sudah dua hari Raden Bei Asisten mengetahui Rapingun terlihat
sedih, badannya terlihat kurang sehat, tetapi ia belum bertanya
sebabnya. Setelah tiga hari, pukul empat sore, Raden Ayu Asisten
ingin menjenguk Rapingun di kamarnya, karena setelah makan siang
langsung tidur, tidak seperti kebiasaannya. Diduga Rapingun sedang
sakit.’

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 67
digilib.uns.ac.id

Tema sub judul XII yang berjudul Serat saking Rapingun adalah
kesedihan keluarga Den Bei saat mengetahui Rapingun tidak akan kembali
bekerja padanya. Keinginannya menemui orang tua hanya alasan agar
dapat pergi dari rumah Den Bei. Rapingun bersikap demikian karena ia
tidak tega melihat kesedihan Den Bei melihat kepergiannya. Sehingga
dalam suratnya Rapingun menyebutkan ingin meneruskan tugasnya
mencari Raden Mas Sutanta. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Sampun kula manah pandjang, wiwit kula nangis wonten kamar,
upami kula njuwun pamit medal, temtu bade ndadosaken
keparenging pengalih pandjenengan sekalijan saha Ndara Adjeng
Tien. Mila kula ladjeng matur dora, bade tuwi tijang sepuh dateng
Patjitan” (hlm. 98).

Terjemahan:
‘Sudah saya pikir matang-matang, sejak saya menangis di kamar,
seandainya saya meminta untuk keluar dari pekerjaan, tentu akan
menjadi masalah untuk Den Bei beserta istri dan Raden Ajeng Tien.
Jadi saya berbohong, untuk mengunjungi orang tua saya di Pacitan.’

“Wondene sebabipun kula njuwun medal, mboten djalaran saking


kirang anggen pandjenegan peparing, nanging nedya angajuh idam-
idaman kula ingkang taksih sumimpen ing salebeting manah, ngiras
madosi R.M. Sutanta....”(hlm. 98).

Terjemahan:
‘Penyebab saya meminta keluar dari pekerjaan, bukan karena gaji
yang kurang, tetapi masih ada keinginan yang tersimpan di hati, dan
lagi saya harus mencari R.M Sutanta....’

“....djalaran saking kathahing gagasan, ngantos boten rumaos jen


sami lelenggahan wonten ing patamanan ngadjeng. Sareng
enget,bjar, sumerep rembulan sampun amameraken tjahjanipun
njoroti gegodongan tuwin sekaran ing patamanan, rambjang-
rambjang asri tiningalan, kados suka pangari-arih dateng ingkang
sami nandang prihatos” (hlm. 99).

Terjemahan:
‘....karena banyaknya pikiran, sampai tidak terasa sudah lama duduk
di taman. Setelah melihat rembulan yang bersinar barulah teringat,
sinarnya mengenai daun-daun dan bunga di taman, bayang-bayang
terlihat indah, seperti penghibur untuk yang sedang bersedih.’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 68
digilib.uns.ac.id

Sub judul XII bertemakan segala sesuatu akan indah pada waktunya
jika kita mau berusaha dan berdoa. Diceritakan setelah enam bulan pergi
dari gedung asisten Ngadireja Rapingun yang juga merupakan Raden Mas
Sutanta telah mendapatkan pekerjaannya kembali sebagai opzichter
regenschap di daerah Kedungwuni. Secara kebetulan pula Den Bei Asisten
Wedana kini telah diangkat sebagai Wedana di Kedungwuni. Pertemuan
mereka terjadi secara kebetulan. Den Bei sekeluarga kaget mengetahui
bahwa Rapingun adalah R.M Sutanta putra tunggal dari priyayi Solo R.M
Gandaatmadja yang pergi untuk mengembara mencari jati dirinya. Hal itu
dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Saweg dumugi semanten, konten angin dipun-engakaken saking
lebet, njedul R.M Sutanta medal. Sarehning saking nglebet sampun
mireng jen wonten tamu, lampahipun kalijan mendak-mendak,
nijatipun bade tumut manggihi. Sareng sumerep tamunipun,
lampahipun kandeg, ndjeger, ngadeg djegreg. Kados tugu, lajeng
tumungkul mboten purun ngawasaken. Tamu-tamu sareng sumerep
Raden Mas sutanta, tiga pisan tjep, boten njuwanten ngantos
sawetawis dangu” (hlm. 103).

Terjemahan:
‘Saat itu, pintu dibuka dari dalam, R.M Sutanta keluar. Dari dalam
sudah terdengar kalau ada tamu jadi untuk menghormati jalannya
membungkuk, berniat ingin ikut menemui. Setelah mengetahui siapa
tamu itu, jalannya terhenti, tertegun, mematung seperti tugu, lalu
menunduk tidak berani melihat. Tamu-tamu yang mengetahui itu
Raden Mas Sutanta, ketiganya terdiam, tidak bersuara sampai waktu
yang lama.’

“Kula aturi nepangaken dimas, menika momongan kula R.M


Sutanta, Opseter Kabupaten ngriki.”
“Den Bei Wedana boten mangsuli, namung tansah matitisaken
dateng Raden Mas Sutanta.”
“Mekaten ugi Raden Aju Wedana, anggenipun ngawasaken akedep
tesmak. Sareng ampun tjeta, terus madjeng. Raden Mas Sutanta
dipun-rangkul kalijan ndjerit nangis”
“ O, anakku ngger!” (hlm. 103).

Terjemahan:
‘Saya perkenakan Dimas, ini anak saya R.M Sutanta, pengawas di
Kabupaten ini.’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 69
digilib.uns.ac.id

‘Den Bei Wedana tidak menjawab, hanya memperhatikan R.M


Sutanta.’
‘Begitu juga dengan Raden Ayu Wedana, melihat tanpa berkedip.’
‘Setelah jelas, lalu berjalan. Raden mas Sutanta dipeluk dan
menangis:’
“Oh, anakku”

“Den Bei Mantri guru sekalijan ingkang meksa dereng ngertos


larah-larahipun ketingal lingak-linguk. Den Bei Wedana ladjeng
ngandharaken lelampahanipun Raden Mas Sutanta, nalikanipun
santun nama Rapingun....” (hlm. 104).

Terjemahan:
‘Den Bei Mantri guru bersama istri yang tidak tahu apa yang sedang
terjadi terlihat bingung, Den Bei Wedana lalu menjelaskan cerita
perjalanan Raden Mas Sutanta, saat berganti nama menjadi
Rapingun....’

Sub judul terakhir berjudul Let Wolung Wulan bertemakan


kebahagiaan. Setelah melalui masa-masa sulitnya menjalani kehidupan di
masa pengembaraannya. Rapingun menjadi supir taksi dan mengabdi pada
Nonyah Hien setelah itu ia mengabdi sebagai supir pribadi Den Bei
Asisten Wedana. Pengabdiannya kepada Den Bei diwarnai dengan
pengorbanan, Rapingun menunjukan loyalitas pengabdiannya kepada
keluarga Den Bei. Raden Mas Sutanta akhirnya menikmati kebahagiaan ia
menikah dengan Raden Ajeng Tien setelah mendapatkan pekerjaannya
kembali. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Apa iki dina libur, ta?”
“Raden Mas Sutanta mangsuli”:
“Boten, Bu. Bade njambut damel, nuweni margi Kabupaten ingkang
saweg dipun-garap menika.”
“Ana njambut gawe kok sangu bodjo. Kowe kok ndadak melu
barang ta Tien.”(hlm. 106).

Terjemahan:
‘Apa hari ini libur?’
‘Raden Mas Sutanta menjawab:
‘Tidak, Bu. Mau bekerja, melihat jalan Kabupaten yang sedang
dibangun .’
‘Kerja kok membawa istri. Kamu itu kok ikut segala Tien’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 70
digilib.uns.ac.id

“Ing saladjengipun anggenipun palakrama tansah atut runtut.


Manahipun tentrem, ngrumaosi begdja gesangipun wonten ngalam
donja. Makaten ugi Den Bei Wedana sekalijan”. (hlm. 106).

Terjemahan:
‘Selanjutnya dalam membina rumah tangga selalu baik. Hatinya
tentram merasa sangat beruntung hidup di dunia. Begitu pula Den
Bei Wedana beserta istrinya.’

Novel Ngulandara seperti yang telah dijelaskan di atas bahwasannya


merupakan novel yang masih dipengaruhi oleh zaman Belanda dimana
kaum priyayi dianggap lebih terhormat dan lebih memiliki kekuasaan saat
itu. Dalam novel ini ditunjukan dengan adanya dialog antara Rapingun dan
Den Bei Asisten Wedana saat bertemu di tengah hutan. Rapingun
memanggil Den Bei dengan sebutan Ndara. Berikut merupakan kutipan
dialog yang terjadi antara Rapingun dan Den Bei Asisten Wedana.
“Sarehning taksih gremis, mangga ndara lenggah ngelebet kemawon”
“Boten dadi napa”
“Boten ndara, mangga lenggah kemawon kula sampun kulina dhateng
djawah lan benter, panjenengan kirang prayogi”(hlm. 10).

Terjemahan:
‘Karena masih gerimis, silakan Tuan duduk di dalam saja’
‘Tidak apa-apa’
‘Tidak Tuan, silakan duduk saja saya sudah terbiasa terkena panas dan
hujan, untuk Tuan kiranya kurang baik’

Dialog tersebut sangat terlihat bagaimana seorang yang berpangkat rendah


memperlakukan seseorang yang memiliki jabatan yang lebih tinggi.
Rapingun yang saat itu hanya seorang supir bersikap sangan sopan dan tidak
membiarkan orang yang ia temui tersebut kehujanan. Sebutan ndara yang
berarti tuan menjadi ciri etika yang digambarkan dalam novel tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menemukan tema dalam novel
Ngulandara secara umum adalah perjuangan hidup dalam pencarian jati
diri. Dikatakan perjuangan hidup karena Raden Mas Sutanta yang
merupakan anak priyayi harus keluar dari kehidupan mewahnya dan rela
menjadi sopir merupakan hal yang sulit untuk dilakukan orang yang tidak
commit to user
terbiasa hidup susah. Pencarian jati diri, Raden Mas Sutanta pergi dari
perpustakaan.uns.ac.id 71
digilib.uns.ac.id

rumah dengan tujuan mencari ketentraman hidup sebab dalam dirinya


sedang bergejolak rasa malu karena dipecat dari pekerjaannya, ia juga malu
bila harus hidup bergantung kepada orang tuanya, maka ia ingin
membuktikan bahwa ia mampu untuk berdiri menggunakan kakinya sendiri,
ia mampu menjalani kerasnya kehidupan.
Hal yang dilakukan Raden Mas Sutanta tersebut seperti tersirat dalam
tembang macapat pocung karya Pakubuwana IV dalam serat Wulang Reh
yang berbunyi, ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese
kas nyantosani, setya budya pangekesing dur angkara yang bermakna
bahwa orang mencari ilmu atau jati diri dengan sarana berusaha
mempertahankan jati diri agar terhindar dari bahaya. Bahaya dalam konteks
ini adalah keterpurukan yang berkepanjangan karena mengalami kegagalan.
Hal tersebut ditunjukkan pada kutipan berikut:
“O, ngger , sanadyan kowe ora njambut gawe, rak ora kurang apa-
apa ta. Duwit saka sewan omah sesasine, kuwi rak wis cukup ko-
anggo nuruti keseneganmu. Saja keranta-ranta maneh atiku, dene
lungamu ora sangu dhuwit lan nggawa salin salembar-lembara.”
(hlm. 85)

Terjemahan:
‘Oh, anakku, walaupun kamu tidak bekerja, kamu tidak kekurangan
suatu apapun. Uang sewa rumah setiap bulan, itu sudah cukup untuk
menuruti keinginanmu. Semakin menderita hatiku, karena
kepergianmu tanpa uang atau pakaian walau hanya sepotong.’

b. Alur
Merujuk pada pendapat Stanton alur atau plot adalah jalinan cerita
yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan
akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa
yang akan datang. Pengertian plot diartikan sebagai cerita yang berisi urutan
kejadian, tetapi setiap kejadian itu dihubungkan secara sebab-akibat,
peristiwa satu menyebabkan peristiwa yang lainnya (2012: 144). Rangkaian
kejadian yang menjalin alur meliputi: (1) eksposition; (2) inciting moment;
(3) ricing action; (4) compication; (5) climax; (6) falling action; dan
commit
(7) denouement (Waluyo dan to user
Wardani, 2009: 10).
perpustakaan.uns.ac.id 72
digilib.uns.ac.id

1) Eksposition
Tahap eksposition pada novel Ngulandara karya Margana
Djajaatmadja ini adalah tahap pengarang memaparkan, memperkenalkan
latar cerita, tokoh, waktu dan beberapa sumber konflik yang dialami oleh
tokoh-tokoh dalam cerita. Awal mula diceritakan Den Bei Asisiten
Wedana, istri dan anaknya saat perjalanan pulang menuju Ngadireja
mobilnya mengalami kerusakan di tengah hutan daerah setelah dusun
Kledung yang terletak di lembah gunung Sumbing dan Sundara yang
termasuk dalam dua wilayah yaitu Parakan (Temanggung) dan Kreteg
(Wonosobo). Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Mogokipun oto wau wonten tengah-tengahing bulak, kaprenah
sangandaping dusun Kledung. Dene dusun Kledung punika dumunung
ing papan ingkang inggil , kleres ereng-erengipun redi Sumbing lan
Sundara, wonten saantawisipun Parakan (Temanggung) kalijan
Kreteg (Wanasaba). Saking Kledung dateng Parakan utawi Kreteg
sami tumurunipun” (hlm: 7).

Terjemahan:
‘Rusaknya mobil itu di tengah-tengah hutan, tepatnya di bawah dusun
Kledung. Dusun Kledung sendiri terletak di dataran tinggi, di
perbukitan gunung Sumbing dan Sundara, berada diantara Parakan
(Temanggung) dan Kreteg (Wonosobo). Dari Kledung ke Parakan
atau dari Kreteg sama-sama menurun.’

Nama-nama daerah yang digunakan dalam cerita ditemukan bahwa


latar tempat kejadian cerita adalah di Jawa Tengah, sebab nama-nama
tempat tersebut merupakan nama desa, kecamatan, dan kota di Jawa
Tengah. Selain nama-nama tempat tersebut juga ditemukan nama kota
Kedungwuni yang terletak di Klaten, dan Surakarta.
Pengarang menggambarkan latar sosial kehidupan priyayi pada
zaman novel tersebut dibuat dengan menggunakan bentuk nama seperti
Raden Bei, Raden Ayu, dan Raden Ajeng, pengarang juga
memperkuatnya dengan menggunakan kata sapaan Ndara. Sapaan
tersebut digunakan untuk menghormati orang yang dinilai memiliki strata
sosial yang lebih tinggi. Hal ini terlihat pada kutipan berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 73
digilib.uns.ac.id

“Saweg kepjek anggenipun sami tjetjriosan, kasaru datengipun


rentjang estri, matur:
“Menika wonten tamu, Ndara.”
“Bendaranipun estri taken:”
“Sapa?”
“Njonjah Hien Temanggung” (hlm. 15-16).

Terjemahan:
‘Asik bercerita, terhenti oleh datangnya pembantu wanita, memberi
tahu:’
‘Ada tamu, Nyonya.’
‘Majikan perempuannya bertanya:’
‘Siapa’
‘Nyonyah Hien Temanggung’

Pada awal novel juga diperkenalkan tokoh-tokoh yang terlibat di


dalam cerita yaitu Den Bei Asisiten Wedana, Den Ayu Asisten Wedana,
Raden Ajeng Supartienah, Rapingun, Kasna, dan Nyonyah Oei Wat Hien
yang terlibat dalam tahap eksposition. Pengenalan tokoh ditandai dengan
penggambaran bentuk fisik oleh pengarang. Hal tersebut dapat dilihat pada
dialog antara Den Bei dengan istrinya yang melihat perawakan Rapingun,
sebagai berikut:
“Kiraku ja uwis, nanging aku durung weruh. Ajakna sopir taksi”
“Ah, kiraku, dudu pak. Wong botjahe bagus ki, polatane djetmika.”
“Apa sopir taksi kuwi ora kene duwe rupa bagus lan polatan
djetmika?” (hlm. 12).

Terjemahan:
‘Menurutku ya sudah, tapi belum tahu, sepertinya supir taksi’
‘Ah, menurutku bukan Pak, orangnya tampan, tingkah lakunya sopan.’
‘Apa supir taksi itu tidak boleh tampan dan tingkah lakunya sopan?’

2) Inciting Moment
Tahap inciting moment pengarang mulai memunculkan problem-
problem yang ditampilkan kemudian ditingkatkan dan dikembangkan.
Diceritakan Rapingun yang telah menolong Den Bei memperbaiki
mobilnya yang rusak tidak mau diberi imbalan. Den Bei merasa berhutang
budi pada Rapingun ia ingin membalasnya suatu saat nanti, ia menghafal
plat mobil yang dikendaraicommit to user
Rapingun dengan harapan jika bertemu lagi ia
perpustakaan.uns.ac.id 74
digilib.uns.ac.id

ingin memberikan hak Rapingun. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan
berikut ini:
“Overland enggal nututi. Dumugi pratigan, inggih punika pakendelan
taksi jen tumudju wantji sijang, sepen, mboten wonten punapa-
punapa. Prijantun tetiga gela manahipun....” (hlm. 15)

Terjemahan:
‘Overland segera menyusul. Sesampainya dipertigaan, yaitu yang
menjadi tempat pemberhentian taksi diwaktu siang, sepi, tidak ada
apa-apa. Mereka bertiga kecewa hatinya....’

3) Ricing action
Tahapan ini diceritakan permasalahan yang semakin kompleks yaitu
saat Rapingun mengantar putri Den Bei yaitu Raden Ajeng Supartienah
yang pergi ke Magelang di jalan dihadang oleh Hardjana. Rapingun
terluka tangannya karena terkena pukulan Hardjana dan harus dirawat
dirumah sakit. Rapingun merasa bingung karena ia telah merasa keluarga
Den Bei begitu baik padanya, dalam dirinya ia merasa bersalah karena ia
tidak akan dapat menetap di satu tempat. Ia harus tetap mengembara. Hal
tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Lemes manah kula mboten saking kirang saening lampahipun rah,
Ndara”
“Lah saka apa?”
“Saking kawraten nampeni sih pandjenengan ingkang samanten
agengipun.”Witjantenan mekaten punika luhipun Rapingun saja deres
wedalipun, amargi saja kraos-raos manahipun” (hlm. 77).

Terjemahan:
‘Jantung saya lemah bukan karena kurang lancarnya aliran darah,
Tuan’
‘Lalu karena apa?’
‘Karena terlalu berat menerima kasih sayang yang Tuan berikan
kepada saya. Berkata demikian itu air mata Rapingun semakin deras,
karena merasa berat hatinya.”

4) Complication
Pada tahap ini merupakan tahap sebelum klimaks sehingga pemicu
konflik lebih ditingkatkan lagi. Diceritakan saat di rumah sakit Raden
Ajeng Tien memberikan commit to user
surat yang ia temukan diantara barang-barang
perpustakaan.uns.ac.id 75
digilib.uns.ac.id

milik Rapingun. Surat itu tak lain adalah surat dari ibu Rapingun atau R.M
Sutanta dalam surat itu tersirat kerinduan mendalam ibunya, tetapi
Rapingun masih ingin mengembara. Sebenarnya Raden Ajeng Tien telah
curiga bila Rapingun adalah Raden Mas Sutanta. Ia tetap
menyembunyikan jati dirinya dari Raden Ajeng Tien. Hal ini membuatnya
bingung mengenai apa yang harus ia lakukan, karena ia juga tidak tega
meninggalkan keluarga Den Bei yang sangat baik padanya, namun disisi
lain mungkin ibu dan bapaknya akan mati dalam kesengsaraan karena
menahan rindu padanya, ia memutuskan untuk pergi dari rumah Den Bei
dengan alasan mengunjungi orang tuanya. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut:
“Ing batos Raden Adjeng Tien radi eram sumerep pasemonipun
Rapingun, boten punapa-punapa. Rumaos tuna panggrajanipun.
Ingkang salebetipun manah Raden Adjeng Tien ngunandika, apa
saking pintere nutupi, saka wis bisa ngereh atine dewe, apa saka ora
ana gegajutaning bab babar-pisan” (hlm. 83).

Terjemahan:
‘Di dalam hati Raden Ajeng Tien agak curiga melihat raut muka
Rapingun, bukan apa-apa. Merasa kurang memperhatikan. Raden
Ajeng Tien berbicara dalam hati, apa karena pandainya dia menutupi,
dari kepandainya mengatur hatinya sendiri, atau karena memang tidak
ada hubungannya dengan masalah ini.’

“Let setengah wulan sawangsulipun saking grija sakit, Rapingun jen


pinudju pijambakan asring ketingal susah, kala-kala ketingal
klintjutan, kados tijang ngandut wewados ingkang bade kewijak....”
(hlm: 90-91).

Terjemahan:
‘Setengah bulan sejak kepulangannya dari rumah sakit, saat Rapingun
sendirian ia terlihat sedih, kadang-kadang terlihat gelisah, seperti
seseorang yang memiliki rahasia yang akan terbongkar....’

“Nuwun Ndara, saestunipun sampun sawetawis dinten menika kula


tansah kengetan dateng tijang sepuh kula. Sampun meh sadasa wulan
menika kula mboten tuwi, mangka anakipun namung setunggal til kula
pijambak” (hlm: 93).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 76
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘Maaf Tuan, sebenarnya beberapa hari ini saya teringat orang tua saya.
Sudah hampir sepuluh bulan ini saya tidak pulang, padahal saya anak
satu-satunya.

5) Climax
Climax merupakan puncak dari keseluruhan cerita. Semua kisah atau
peristiwa yang sebelumnya ditahan untuk ditonjolkan, pada tahap ini
semuanya dikisahkan. Peneliti menemukan climax pada bagian
terbongkarnya rahasia Rapingun bahwa ia sebenarnya adalah Raden Mas
Sutanta anak dari Raden Mas Gandaatmadja yang pergi dari rumah untuk
mengembara. Terbongkarnya identitas Rapingun yang sebenarnya ketika
ia berkunjung ke rumah Mantri guru Kedungwuni karena ia bekerja
sebagai pengawas di daerah itu. Secara kebetulan Den Bei Asisten
Wedana, Raden Ayu Asisten Wedana, dan Raden Ajeng Tien juga
berkunjung karena ia adalah Wedana baru di daerah Kedungwuni,
pertemuan mereka disambut tangis haru. Hal itu dapat dilihat pada kutipan
berikut:
“Saweg dumugi semanten, konten angin dipun-engakaken saking
lebet, njedul R.M Sutanta medal. Sarehning saking nglebet sampun
mireng jen wonten tamu, lampahipun kalijan mendak-mendak,
nijatipun bade tumut manggihi. Sareng sumerep tamunipun,
lampahipun kandeg, ndjeger, ngadeg djegreg. Kados tugu, lajeng
tumungkul mboten purun ngawasaken. Tamu-tamu sareng sumerep
Raden Mas sutanta, tiga pisan tjep, boten njuwanten ngantos
sawetawis dangu” (hlm. 103).

Terjemahan:
‘Saat itu, pintu dibuka dari dalam, R.M Sutanta keluar. Dari dalam
sudah terdengar kalau ada tamu jadi untuk menghormati jalannya
membungkuk, berniat ingin ikut menemui. Setelah mengetahui siapa
tamu itu, jalannya terhenti, tertegun, mematung seperti tugu, lalu
menunduk tidak berani melihat. Tamu-tamu yang mengetahui itu
Raden Mas Sutanta, ketiganya terdiam, tidak bersuara sampai waktu
yang lama.’

“Kula aturi nepangaken dimas, menika momongan kula R.M Sutanta,


Opseter Kabupaten ngriki.”
commit
“Den Bei Wedana boten to usernamung tansah matitisaken dateng
mangsuli,
Raden Mas Sutanta.”
perpustakaan.uns.ac.id 77
digilib.uns.ac.id

“Mekaten ugi Raden Aju Wedana, anggenipun ngawasaken akedep


tesmak. Sareng ampun tjeta, terus madjeng. Raden Mas Sutanta
dipun-rangkul kalijan ndjerit nangis:
“ O, anakku ngger!” (hlm. 103).

Terjemahan:
‘Saya perkenakan Dimas, ini anak saya R.M Sutanta, pengawas di
Kabupaten ini.’
‘Den Bei Wedana tidak menjawab, hanya memperhatikan R.M
Sutanta.’
‘Begitu juga dengan Raden Ayu Wedana, melihat tanpa berkedip.’
‘Setelah jelas, lalu berjalan. Raden mas Sutanta dipeluk dan
menangis:’
‘Oh, anakku’

6) Falling action
Tahap falling action merupakan tahap ketegangan konflik telah
menurun karena telah mencapai climax. Setelah mengetahui kebenaran
yang selama ini disembunyikan Raden Mas Sutanta dan mengapa ia
berbohong, Den Bei mengerti keadaan Raden Mas Sutanta. Selama
menjadi pengawas Raden Mas Sutanta telah memiliki rumah yang baru
dan meminta agar Den Bei sekeluarga menginap ditempatnya dan mereka
menyetujuinya. Hal itu dapat diihat pada kutipan berikut:
“.... Nanging kadadosanipun, Den Bei Wedana ladjeng sipeng
wonten ing grijanipun Raden Mas Sutanta, awit Raden Mas
Sutanta sampun gegrija pijambak, pirantosing balegrija sampun
pepak, tur model enggal sadaja. Dene anggenipun sipeng wonten
ing ngriku, inggih saking panedanipun Raden Mas Sutanta
iangkang boten kenging dipuntulak” (hlm. 105).

Terjemahan:
‘.... Namun yang terjadi, Den Bei Wedana lalu menginap dirumah
Raden Mas Sutanta, karena Raden Mas Sutanta sudah memiliki
rumah sendiri, perabotan rumah sudah lengkap dan model terbaru.
Den Bei menginap karena keinginan Raden Mas Sutanta yang tidak
bisa ditolak.’

7) Denoument
Tahap ini berarti penyelesaian dari semua cerita yang berupa akhir
cerita. Diceritakan akhir dari novel Ngulandara Raden Mas Sutanta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 78
digilib.uns.ac.id

akhirnya menikah dan hidup rukun serta bahagia. Terbukti dengan


kutipan berikut:
“Wiwit dinten punika grijanipun Raden Mas Sutanta kenging
kawastanan kalih, ing Pekalongan sarta ing Kedungwuni” (hlm.
105).

Terjemahan:
‘Sejak hari itu rumah Raden Mas Sutanta dapat dikatakan ada dua
yaitu di Pekalongan dan di Kedungwuni.’

“Ing saladjengipun anggenipun palakrama tansah atut runtut.


Manahipun tentrem, ngrumaosi begdja gesangipun wonten ngalam
donja. Makaten ugi Den Bei Wedana sekalijan” (hlm. 106).

Terjemahan:
‘Selanjutnya dalam membina rumah tangga selalu baik. Hatinya
tentram merasa sangat beruntung hidup didunia. Begitu pula Den
Bei Wedana beserta istrinya.’

Tahapan alur yang telah dijelaskan di atas menunjukkan alur yang


digunakan dalan novel Ngulandara adalah alur utama karena dalam
penceritaannya digambarkan secara runtut tidak menggunakan alur ganda
atau alur sampingan yang menceritakan kisah lain di dalam kisah
pengembaraan Raden Mas Sutanta.
c. Sudut Pandang
Analisis sudut pandang menggunakan teori menurut Abrams bahwa
sudut pandang adalah cara dan atau pandangan yang dipergunakan
pengarang sebagi sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan
berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi
kepada pembaca (1981: 101). Minderop berpendapat bahwa sudut pandang
terbagi menjadi empat golongan yaitu, sudut pandang persona ketiga, sudut
pandang persona pertama, sudut pandang campuran, dan sudut pandang
dramatik (2005: 31).
Novel Ngulandara gaya penceritaannya menggunakan sudut pandang
persona ketiga yaitu pengisahan cerita yang memposisikan pengarang
sebagai yang maha tahu dan pengamat. Sudut pandang persona ketiga dalam
commit to user
menampilkan tokoh-tokoh ceritanya, yaitu dengan menyebut nama seperti
perpustakaan.uns.ac.id 79
digilib.uns.ac.id

Raden Mas Sutanta. Sedangkan tokoh pembantu Raden Ayu Supartinah,


Den Bei Asisten Wedana, Den Ayu Asisten Wedana, Nyonyah Oei Wat
Hien, Kerta, Kasna, Salijem, Raden Mantri guru ing Parakan, Raden Ayu
Mantri guru, Den Bei Mantri gudang, Den Ayu Mantri gudang, Hardjana,
Suratna, Mantri guru Kedungwuni, Istri Mantri guru. atau kata gantinya
misalkan keng ibu, bocah kae dan lain sebagainya. Dapat dilihat dari
kutipan di bawah ini:
“Wulan saja minggah, padangipun djingglang, makaten ugi
pasemonipun Raden Adjeng Tien lan Rapingun ingkang kataman
sunaring rembulan saja nglela, prasasat rembulan kembar”
(hlm. 70).

Terjemahan:
‘Rembulan semakin naik, terang benderang, begitu pula Raden
Ajeng Tien dan Rapingun yang terkena pancaran sinar rembulan
semakin jelas, seperti rembulan kembar.’

“Let sawulan saking datengipun njonjah Hien, kaleres dinten


Ngahad, wantji djam 5 sonten, Raden Bei Asisten Wedana sakalijan
tuwin putranipun sami lelenggahan ing gadri wingking sinambi
ngundjuk wedang kados adat saben” (hlm. 26).

Terjemahan:
‘Selang satu bulan setelah kedatangan Nyonyah Hien, bertepatan
hari Minggu pukul 5 sore, Raden Bei Asisten Wedana beserta istri
dan anaknya sedang duduk di teras belakang sambil minum,
minuman seperti biasa.’

d. Latar
Peneliti sependapat dengan Stanton bahwa latar adalah lingkungan
kejadian atau dunia dekat tempat kejadian itu berlangsung. Latar dapat
memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas, untuk memberikan
kesan realitas kepada pembaca, menciptakan suasana seolah-olah sungguh-
sungguh terjadi (2012: 35). Dengan demikian, pembaca dapat dengan
mudah mengoperasikan daya imajinasinya mengenai cerita dan
memungkinkan dapat berperan serta secara kritis dengan pengetahuan
mengenai latar sebuah cerita (Sayuti, 2000: 126-127). Selanjutnya untuk
commit
lebih memahami latar terbagi atastotiga
useryaitu (1) latar tempat, (2) latar
perpustakaan.uns.ac.id 80
digilib.uns.ac.id

waktu, dan (3) latar sosial.


1) Latar tempat
Latar tempat adalah hal yang berkaitan dengan masalah geografis,
latar tempat menyangkut deskripsi tempat suatu peristiwa cerita terjadi.
Penggunaan nama tempat haruslah tidak bertentangan dengan sifat atau
geografis tempat yang bersangkutan, karena setiap latar tempat memiliki
karakteristik dan ciri khas sendiri.
Latar tempat pada novel Ngulandara terjadi di tengah hutan tepat
dibawah dusun Kledung, Parakan, gedung asisten di Ngadireja, Kwijen
Pekalongan, Magelang, dan Kedungwuni. Ditengah hutan dibawah
dusun Kledung merupakan tempat mobil Den Bei Asisten Wedana
rusak, seperti yang tergambar pada kutipan di bawah ini:
“Mogokipun oto wau wonten tengah-tengahing bulak, kaprenah
sangandaping dusun Kledung. Dene dusun Kledung punika
dumunung ing papan ingkang inggil , kleres ereng-erengipun redi
Sumbing lan Sundara, wonten saantawisipun Parakan
(Temanggung) kalijan Kreteg (Wanasaba). Saking Kledung dateng
Parakan utawi Kreteg sami tumurunipun” (hlm. 7).

Terjemahan:
‘Rusaknya mobil itu di tengah-tengah hutan, tepatnya di bawah
dusun Kledung. Dusun Kledung sendiri terletak di dataran tinggi,
di perbukitan gunung Sumbing dan Sundara, berada diantara
Parakan (Temanggung) dan Kreteg (Wonosobo). Dari Kledung ke
Parakan atau dari Kreteg sama-sama menurun.’

“Ing Kledung punika misuwur atisipun. Dasar angine sumribit,


sinembuh gremisipun tanpa kendat....” (hlm. 7).

Terjemahan:
‘Di Kledung sudah terkenal dingin. Ditambah angin berhembus
perlahan dan gerimis yang tak kunjung usai....’

Latar tempat lain yaitu di perhentian atau pangkalan taksi di


Parakan yang biasanya dipakai para supir taksi untuk beristirahat di siang
hari. Ketika Den Bei telah sampai di Parakan dan ingin memberikan
imbalan atas jasa Rapingun, terlihat pada kutipan berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 81
digilib.uns.ac.id

“Boten dangu saking katebihan ketingal soroting dilah-dilah margi,


sumorot manginggil, kados wana kabesmen. Mratandani bilih sampun
meh dumugi ing kitha. Ingkang mekaten wau inggih kajektosan, let
seprasekawan djam oto sampai di Parakan” (hlm. 14).

Terjemahan:
‘Tidak lama dari kejauhan terlihat sinar lampu-lampu jalan, cahayanya
ke atas, seperti hutan terbakar. Pertanda bahwa hampir sampai di kota.
Ternyata benar berselang 15 menit mobil sampai di Parakan.’

Latar tempat lain yang berpengaruh terhadap kehidupan Rapingun


adalah di gedung asisten Ngadireja. Di tempat itu Rapingun dipertemukan
kembali dengan Den Bei Asisten Wedana. Ia kemudian mengabdikan diri
sebagai supir di sana. Rapingun mengalami banyak kejadian yang
membuatnya semakin memahami arti pengembaraannya. Terlihat pada
kutipan berikut:
“Kaleres dinten Minggu, wetawis djam wolu endjing, ing ngajeng
ngasistenan Ngadiredja wonten oto” (hlm. 15).

Terjemahan:
‘Bertepatan hari Minggu, kira-kira pukul delapan pagi, di depan
gedung asisten Ngadireja ada mobil.’

Di gedung asisten terdapat tempat khusus bagi Den Bei dan


keluarganya untuk bercengkrama yaitu di gadri wingking ‘teras belakang’,
pataman ‘taman’, ada juga tempat yang digunakan Rapingun yaitu kamar
Rapingun dan kandang kuda tempat Rapingun mengajari Hel, kuda milik
Den Bei. Tergambar pada kutipan berikut:
“....,Raden Bei Asisten Wedana sakalijan tuwin putranipun sami
lenggahan ing gadri wingking sinambi ngundjuk wedang kados adat
saben” (hlm. 26).

Terjemahan:
‘....,Raden Bei Asisten Wedana beserta istri dan anaknya sedang
bersama duduk di teras belakang sambil meminum minuman seperti
biasa.’

“Hel mubeng–mubeng takur-takur, ladjeng gulung. Sareng sampun


kaping kalih: tangi, dipun-ombeni toja sarem, meh telas saember.
commit
Ladjeng kalebetaken ing to user
gedogan, pakean kabikak” (hlm. 43).
perpustakaan.uns.ac.id 82
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘….Hel berputar-putar kakinya mengagaruk-garuk tanah, kemudian
bergulung-gulung. Setelah kedua kali Hel bangun, diberi minum air
garam, hampir habis satu ember. Lalu dimasukkan ke kandang kuda,
perlengkapannya dibuka.’

“Rapingun ladjeng wangsul dateng kamaripin kalijan ambekta


sindjang kalih sawit. Dene Raden Bei Asisten sekalijan medal dateng
plataran ngadjeng, terus lelenggahan wonten ing patamanan” (hlm.
96).

Terjemahan:
‘Rapingun lalu kembali ke kamarnya dengan membawa dua kain
jarik. Sedangkan Den Bei Asisten beserta istrinya keluar ke halaman
depan, kemudian duduk di taman.’

Rapingun juga mengantar Raden Ajeng Tien ke Magelang untuk


berkunjung ke rumah Mantri gudang. Pada saat itu bertepatan di Magelang
sedang digelar pasar malam. Berikut kutipannya:
“Ladjeng kadospundi? Temtunipun dipunadjeng-adjeng.”
“Inggih, mila kula bade dateng Magelang. Mangke djam-djam
sewelas wangsul, terus dateng Ngadiredja”(hlm. 44).

Terjemahan:
‘Lalu bagaimana? saat ini pasti sudah ditunggu
‘Iya, saya akan ke Magelang. Nanti kira-kira pukul sebelas bisa
pulang langsung ke Ngadireja.’

Latar tempat yang diambil selanjutnya adalah rumah sakit di Parakan.


Di rumah sakit tersebut Rapingun dirawat setelah mengalami cidera lengan
saat menolong Raden Ajeng Tien dari ulah Hardjana. Dapat dilihat pada
kutipan berikut:
“Dilebokake rumah sakit ngendi ta, Pak?”
“Rumah sakit Magelang bae.”
“Ora pak betjike ana Parakan bae, bab pangane bisa dikirim saka
Kemantren guron, Tien rak isa ngubetake ta?”
“Saged Bu”(hlm. 78).

Terjemahan:
‘Dibawa ke rumah sakit mana Pak?’
commit to user
‘Rumah sakit Magelang saja’
perpustakaan.uns.ac.id 83
digilib.uns.ac.id

‘Tidak Pak lebih baik di Parakan saja, soal makanan bisa dikirim dari
dinas pendidikan, apa Tien bisa mengusahakan?’
‘Bisa, Bu’

Rumah mantri guru di kampung Kwijen Pekalongan dan rumah


Wedana Kedungwuni juga menjadi latar tempat pada novel ini, hari itu
Raden Mas Sutanta bertamu ke rumah mantri guru untuk sekedar
silaturahmi, namun tidak disangka Den Bei Asisten dan keluarganya juga
bertamu karena ia baru saja diangkat sebagai Wedana di Kabupaten
Kedungwuni. Dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Keleres ing dinten Minggu, ing kampung Kwidjen sawingking
Pekalongan, wonten tijang neneman numpak sepeda motor Norton 6
P.K model enggal, ladjeng kendel ing ngadjeng grijanipun mantri
guru
(hlm. 100).

Terjemahan:
‘Bertepatan dengan hari Minggu, di kampung Kwijen Pekalongan,
ada seorang pemuda mengendarai sepeda motor Norton 6 P.K model
baru, lalu berhenti di depan rumah mantri guru.’

“.... Nanging kadadosanipun, Den Bei Wedana ladjeng sipeng wonten


ing grijanipun Raden Mas Sutanta, awit Raden Mas Sutanta sampun
gegrija pijambak, pirantosing balegrija sampun pepak, tur model
enggal sadaja. Dene anggenipun sipeng wonten ing ngriku, inggih
saking panedanipun Raden Mas Sutanta iangkang boten kenging
dipuntulak” (hlm. 105).

Terjemahan:
‘.... yang terjadi, Den Bei Wedana menginap di rumah Raden Mas
Sutanta, karena Raden Mas Sutanta sudah memiliki rumah sendiri,
perabotan rumah sudah lengkap dan model terbaru. Den Bei menginap
karena keinginan Raden Mas Sutanta yang tidak dapat ditolak.’

2) Latar waktu
Latar waktu merupakan segala seuatu yang mengacu pada saat
terjadinya peristiwa dalam plot secara historis. Melalui pemerian waktu
kejadian yang akan tergambar jelas. Penekanan waktu lebih kepada keadaan
hari, misalnya pagi, siang, sore atau malam. Penekanan ini juga berupa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 84
digilib.uns.ac.id

penunjuk waktu yang telah umum digunakan atau cara lain yang
menunjukan waktu tertentu.
Novel Ngulandara digambarkan kejadian pada waktu pagi, malam,
siang, sore, seperti yang digambarkan pada kutipan di bawah ini:
“Endjingipun, sawangsulipun Rapingun saking Parakan, ngeteraken
Raden Adjeng Supartienah, Rapingun ladjeng mlebet kamar
panjimpenan lapak sapirantosipun sedaja...”(hlm. 30).

Terjemahan:
‘Pagi hari sepulang Rapingun dari Parakan, mengantar Raden Ajeng
Supartienah, Rapingun masuk ruang penyimpanan pelana dan
perlengkapannya....’

“Dalu punika ringgit tijang lampahipun: Resi Brongsong inggih


punika murtjanipun Raden Djanaka....” (hlm. 53).

Terjemahan:
‘Malam ini wayang orang dengan lakon: Resi Brongsong yang tak lain
adalah Janaka.... ‘

“.... Sareng tigang dintenipun, wantji djam sekawan sonten, Raden


Aju Asisten badhe nuweni Rapingun dateng kamaripun, awit wiwit
nedha sijang ladjeng kemawon terus mapan tilem” (hlm. 91).

Terjemahan:
‘.... setelah tiga hari, pukul empat sore, Reden Ayu Asisten ingin
melihat Rapingun di kamarnya, karena sejak makan siang tadi
Rapingun pergi tidur.... ‘

Pengarang menggambarkan kejadian waktu dengan menyebutkan


nama hari, seperti pada kutipan berikut:
“Keleres dinten Minggu, wetawis djam wolu endjing, ing ngadjeng
ngasistenan ngadiredja wonten oto” (hlm. 15).

Terjemahan:
‘Bertepatan hari Minggu, kira-kira pukul delapan pagi, di depan
gedung asisten Ngadireja ada mobil.’

“Let sawulan saking datengipun njonjah Hien, kaleres dinten


Ngahad, wantji djam 5 sonten ,Raden Bei Asisten Wedana sakalijan
tuwin putranipun sami lenggahan ing gadri wingking sinambi
ngundjuk wedang kados adat saben” (hlm. 26).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 85
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘Selang satu bulan dari kedatangan nyonyah Hien, bertepatan hari
Ahad, pukul 5 sore, Raden Bei Asisten Wedana beserta istri dan
anaknya sedang bersama duduk di teras belakang sambil meminum
minuman seperti biasa.’

“Dinten Ngahad pendakipun, langiting ketingal sumilak resik.


Dalunipun mentas djawah, dados wit-witan sami ketingal seger,
godhongipun ngrembujung idjem rojo-rojo, adamel seketcaning
paningal....”(hlm: 32).

Terjemahan:
‘Hari Ahad berikutnya, langit terlihat cerah dan bersih. Tadi malam
turun hujan, sehingga pepohonan terlihat segar, daunnya hijau,
sehingga indah dipandang’

“Dinten sebtu djam gangsal sonten ing ngadjeng Kamantren guron


Parakan wonten oto Overland kendel, tendanipun kabikak”
(hlm. 43).

Terjemahan:
‘Hari Sabtu pukul lima sore di depan dinas pendidikan Parakan ada
mobil Overland berhenti, tendanya dibuka.’

“Keleres ing dinten Minggu, ing kampung Kwijen sawingking


Pekalongan, wonten tijang neneman numpak sepeda motor Norton 6
P.K model enggal, ladjeng kendel ing ngadjeng grijanipun mantri
guru” (hlm. 100)

Terjamahan:
‘Bertepatan dengan hari Minggu, di kampung Kwijen Pekalongan,
ada seorang pemuda mengendarai sepeda motor Norton 6 P.K model
baru, lalu berhenti di depan rumah Mantri guru.’

“Dinten senen djam wolu endjing wonten oto Ostin sedan dipunsetiri
prijantun neneman, bregas, umur-umuranipun kirang langkung 25
taunan” (hlm. 105).

Terjemahan:
‘Hari Senin pukul delapan pagi ada mobil Ostin sedan, dikemudikan
oleh pemuda, tegap, berumur kurang lebih 25 tahun.’

Pengarang juga menggambarkan kejadian waktu menggunakan


keterangan waktu seperti djam setengah enem, let seprasekawan jam,
commit to user
setengah kalih welas, djam tiga. Digambarkan pada kutipan di bawah ini:
perpustakaan.uns.ac.id 86
digilib.uns.ac.id

“Njatane nek kaja ngene iki prije hara? Mangka ning tengah bulak,
wis djam setengah enem, kathik atise kaja ngene”(hlm. 6).

Terjemahan:
‘Kenyataannya kalau seperti ini bagaimana, di tengah hutan, sudah
pukul 5.30 dan sangat dingin.’

“Boten dangu saking katebihan ketingal soroting dilah-dilah margi,


sumorot manginggil, kados wana kabesmen. Mratandani bilih sampun
meh dumugi ing kitha. Ingkang mekaten wau inggih kajektosan, let
seprasekawan djam oto sampai di Parakan” (hlm. 14).

Terjemahan:
‘Tidak lama dari kejauhan terlihat sinar lampu-lampu jalan, cahayanya
ke atas, seperti hutan terbakar. Pertanda bahwa hampir sampai di kota.
Ternyata benar selang 15 menit mobil sampai di Parakan.’

“Adate ngantos djam setengah kalih welas saweg kondur....”


(hlm. 33).

Terjemahan:
‘Biasanya sampai pukul 11.30 sudah pulang.’

“Saben dinten wantji djam tiga utawi sekawan, Raden Adjeng Tien
tuwi dateng grija sakit, perlu njekapi punapa kabetahanipun
Rapingun. Nanging salebetipun seminggu ingkang kepengker dereng
nate Rapingun gadhah paneda punapa-punapa dateng Raden Adjeng
Tien....’(hlm. 79).

Terjemahan:
‘Setiap hari jam tiga atau empat, Raden Ajeng Tien berkunjung ke
rumah sakit, untuk mencukupi keperluan Rapingun. Namun sudah
seminggu ini Rapingun belum memiliki permintaan yang aneh-aneh
pada Raden Ajeng Tien.... ‘

3) Latar sosial
Latar sosial merupakan lukisan status yang menunjukkan hakikat
seseorang atau beberapa tokoh dalam masyarakat yang ada di
sekelilingnya. Status dalam kehidupan sosial dapat digolongkan menurut
tingkatannya, seperti latar sosial bawah atau rendah, latar sosial menengah,
dan latar sosial tinggi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 87
digilib.uns.ac.id

Novel Ngulandara yang pertama terbit tahun 1936 masih menganut


sistem novel yang berlatarkan kaum bangsawan atau priyayi. Di novel itu
digambarkan dengan jelas status sosial masing-masing tokoh.
Penggambaran latar sosial tinggi ditegaskan dengan penggunaan gelar
kebangsawanan yaitu Raden Mas, Raden Ayu, Raden Ajeng, dan Mantri.
Gelar tersebut tidak boleh dipakai oleh orang biasa-biasa saja atau orang
berlatar sosial rendah misalnya saat Raden Mas Sutanta yang menyamar
menjadi supir ia hanya memakai nama Rapingun, Den Bei Asisten Wedana
juga mendapat gelar tersebut karena ia menjabat sebagai Asisten Wedana.
Pengarang ingin menunjukkan kepada pembaca betapa strata sosial dalam
masyarakat sangat penting, menyebut nama saja menggunakan aturan
seseorang yang berstrata sosial rendah harus menyebut Ndara yang berarti
’Tuan’ pada seseorang yang berstatus sosial tinggi. Berikut kutipan latar
sosial tersebut:
“Wonten menapa mas Rap?”
“Ndara seten wau tindak pundi?”
“Kala wau Ndara Den Ayu ngendika adjeng tindak kemantren
guron”(hlm. 33).

Terjamahan:
‘Ada apa mas Rap?’
‘Tuan Asisten tadi mau kemana?’
‘Tadi Den Ayu berkata mau pergi ke dinas pendidikan.’

e. Amanat
Amanat adalah pesan yang akan disampaikan melalui cerita.
Selanjutnya dijelaskan bahwa amanat biasanya berupa nilai-nilai yang
dititipkan penulis cerita kepada pembacanya. Amanat adalah ajaran moral
yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya. Pendapat tersebut
peneiti gunakan sesuai dengan pendapat Ismawati (2013:73). Adapun
amanat tersebut seperti dalam ungkapan-ungkapan Jawa di bawah ini.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 88
digilib.uns.ac.id

1) Ajining Dhiri Dumunung ing lathi, Ajining Raga Dumunung ing


Busana
Amanat yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca ialah
jangan menilai seseorang dari penampilannya saja, karena belum tentu
hal yang demikian tersebut mampu mengungkapkan kepribadian
seseorang dengan benar. Hal itu sesuai dengan pitutur luhur Jawa
ajining dhiri dumunung ing lathi, ajining raga dumunung ing busana
maksudnya seseorang akan dihargai berdasarkan apa yang melekat pada
tubuh dan jiwanya. Pada tubuh misalkan pakaian. Pakaian pada
manusia terdiri atas dua yaitu pakaian lahir dan batin. Pakaian lahir
berwujud kain, seseorang tidak harus berpakaian mewah namun cukup
sederhana bersih dan sopan, sedangkan pakaian lahir berupa ilmu dan
keluhuran budi yang mampu membawa seseorang dihormati.
Hendaknya setiap manusia memiliki kedua pakaian tersebut. Hal ini
tampak pada kutipan berikut:
“Awit sanadyan tjlananipun bregas, nanging sami ketingal pating
dlemok tilas kenging lisah, tur rambutipun morak-marik, memper jen
namung sopir taksi. Langkung-langkung manawi ngengeti
anggenipun nyebut ndara. Ewadene ing manah dereng sreg”
(hlm. 9).

Terjemahan:
‘Walaupun celananya baik, tetapi terlihat cemong seperti terkena
minyak, dan rambutnya acak-acakan, pantas jika hanya seorang supir
taksi. Lebih-lebih mengingat ia menyebutnya (Den Bei) Tuan.
Namun dalam hati belum yakin.’

2) Sepi Ing Pamrih Rame ing Gawe


Sepi ing pamrih rame ing gawe maksudnya sesuatu haruslah
dikerjakan dengan ikhlas tanpa mengarap imbalan. Jika diperlukan
harus rela berkorban demi tanggung jawab yang yang diberikan. Dalam
novel ini disampaikan pula pengabdian yang tanpa pamrih. Saat kita
mengabdikan diri kita harus rela berkorban. Seperti yang dilakukan
Rapingun saat menjaga Raden Ajeng Tien dari ulah Hardjana. Tokoh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 89
digilib.uns.ac.id

Rapingun memberikan teladan rela berkorban demi keselamatan


majikannya: berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut:
“Apa kowe ora kuwatir mungsuh wong loro mau?”
“Awit saking setya kula dateng bendara, boten wonten sumelanging
manah sekedik-kedika. Alit sakit, agengipun pedjah dereng mantra-
mantra nimbangi sihipun Bendara Seten sekalijan dateng kula.”
(hlm. 73)

Terjemahan:
‘Apa kamu tidak takut menghadapi dua musuh tadi?’
‘Karena kesetiaan saya kepada Raden Ajeng Tien, tidak ada
kekhawatiran sedikitpun. Kecilnya menjadi sakit, besar bisa sampai
mati belum dapat menandingi belas kasih yang diberikan Tuan
Asisten dan keluarga kepada saya.’

3) Sepira Gedhening Sengsara yen Tinampa amung dadi Coba


Pengarang melalui tokoh Raden Mas Sutanta ingin menunjukkan
bahwasannya saat mengalami kegagalan jangan hanya duduk meratapi
kegagalan tersebut, bangkit dan carilah ilmu agar kesalahan yang lalu
tidak terulang kembali, karena Tuhan pasti memiliki rencana yang lebih
baik. Segala sesuatu yang disikapi dengan ikhlas akan mudah dijalani.
Raden Mas Sutanta yang dipecat dari pekerjaannya memilih pergi dari
rumah untuk mengembara mencari ketenangan dan ilmu-ilmu
kehidupan banyak kesusahan dan kebahagiaan ia alami hingga akhirnya
ia menemukan kebahagiaan yaitu dengan mendapatkan pekerjaannya
kembali dan menikah dengan Raden Ajeng Tien. Berikut kutipannya:
“O, ngger , sanadyan kowe ora njambut gawe, rak ora kurang apa-
apa ta. Duwit saka sewan omah sesasine, kuwi rak wis cukup ko-
anggo nuruti keseneganmu. Saja keranta-ranta maneh atiku, dene
lungamu ora sangu dhuwit lan nggawa salin salembar-lembara.”
(hlm. 85).

Terjemahan:
‘Oh, anakku, walaupun kamu tidak bekerja, tidak kekurangan suatu
apapun kan. Uang sewa rumah setiap bulan, itu sudah cukup untuk
menuruti keinginanmu. Semakin menderita hatiku, karena
kepergianmu tanpa uang atau pakaian walau hanya sepotong.’

commit to user
“Apa iki dina libur, ta?”
“Raden Mas Sutanta mangsuli:”
perpustakaan.uns.ac.id 90
digilib.uns.ac.id

“Boten, Bu. Bade njambut damel, nuweni margi Kabupaten ingkang


saweg dipun-garap menika.”
“Ana njambut gawe kok sangu bodjo. Kowe kok ndadak melu barang
ta Tien”(hlm. 106).

Terjemahan:
‘Apa hari ini libur?’
‘Raden Mas Sutanta menjawab:’
‘Tidak, Bu. Mau bekerja, meninjau jalan Kabupaten yang dibangun
saat ini.’
‘Kerja kok mmbawa istri. Kamu itu kok ikut segala Tien.’

“Ing saladjengipun anggenipun palakrama tansah atut runtut.


Manahipun tentrem, ngrumaosi begdja gesangipun wonten ngalam
donja. Makaten ugi Den Bei Wedana sekalijan” (hlm. 106).

Terjemahan:
‘Selanjutnya dalam membina rumah tangga selalu baik. Hatinya
tentram merasa sangat beruntung hidup didunia. Begitu pula Den Bei
Wedana beserta istrinya.’

2. Analisis Penokohan Novel Ngulandara Karya Margana Djajaatmadja


Tokoh cerita (karakter) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu
karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral
dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa
yang dilakukan dalam tindakan (Abrams, 1981: 20). Di antara tokoh dan
kualitas pribadinya berkaitan erat dengan penerimaan pembaca. Perbedaan
antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya lebih ditentukan oleh kualitas
pribadi daripada dilihat secara fisik. Sebagai karya fiksi, novel merupakan suatu
bentuk karya kreatif, maka pengarang dapat mewujudkan dan mengembangkan
tokoh-tokoh ceritanya pun tidak terlepas dari kebebasan kreativitasnya.
Penokohan terbagi atas beberapa jenis yaitu tokoh protagonis, antagonis,
sentral, peripheral, kompleks dan sederhana (Sayuti, 2000: 67). Penggambaran
tokoh dapat dianalisis menggunakan metode analitik dan metode dramatik.
metode analitik pengarang langsung memaparkan tentang watak tokoh atau
karakter tokoh. Sedangkan metode dramatis pengarang tidak menggambarkan
watak tokoh secara langsung tetapi dapat disampaikan dengan cara: (1) pilihan
commit tofisik
nama tokoh, (2) melalui penggambaran user tokoh, cara berpakaian, tingkah
perpustakaan.uns.ac.id 91
digilib.uns.ac.id

laku, dan sikap-sikapnya terhadap tokoh lain, (3) melalui dialog, baik dialog
tokoh dengan tokoh-tokoh lain atau dengan dirinya sendiri (Semi, 1993: 38).
Tokoh dalam novel Ngulandara enam belas tokoh. Tokoh-tokoh tersebut
secara garis besar menjadi subjek dan pencerita yang diceritakan. Tokoh dalam
novel ini ialah Rapingun/ Raden Mas Sutanta Raden Ayu Supartinah, Den Bei
Asisten Wedana, Den Ayu Asisten Wedana, Nyonyah Oei Wat Hien, Kerta,
Kasna, Salijem, Raden Mantri guru ing Parakan, Raden Ayu Mantri guru, Den
Bei Mantri gudang, Den Ayu mantri gudang, Hardjana, Suratna, Mantri guru
Kedungwuni, Istri Mantri guru. Selanjutnya akan dianalisis berdasarkan jenis
dan teknik penggambaran tokoh dalam cerita.
a. Rapingun/ Raden Mas Sutanta
Tokoh Rapingun merupakan tokoh sentral atau tokoh utama karena tokoh
Rapingun selalu ada dalam setiap peristiwa, novel ngulandara sendiri secara
garis besar menceritakan perjalanan dan pengalaman pengembaraan tokoh
Rapigun atau Raden Mas Sutanta. Lebih lanjut tokoh Rapingun merupakan
tokoh kompleks karena seluruh sisi kehidupannya diceritakan dalam peristiwa
cerita.
Tokoh Rapingun merupakan tokoh protagonis karena di dalam cerita ia
membawakan misi-misi kebenaran dan ajaran moral, ia digambarkan sebagai
seseorang yang berbudi luhur dan suka menolong tanpa pamrih. Dalam
khasanah kebudayaan Jawa tokoh Rapingun seperti pepatah sepi ing pamrih
rame ing gawe yang bermakna bahwa dalam menanamkan kebaikan kepada
orang lain kita tidak perlu mengharapkan imbalan apalagi imbalan yang
bersifat material. Meninggalkan kesan baik kepada orang yang ditolong
harganya akan lebih mahal daripada pamrih yang lain. Berikut kutipannya:
“Ya ora ngalem ngono, wong njatane. Kono pikiren. Ing atase durung
nganti di-endeg kok mandeg dewe! Ora dijaluki tulung, bandjur nulungi.
Duwe pangeman menjang bapakmu, dening kegremisan, tur tembunge
kaja ngono mau, hara ta andak watak kaja ngono mau dumunung angger
uwong”(hlm. 12-13).

Terjemahan:
‘Bukannya memuji, memangcommit to user begitu. Coba pikirkan, belum
kenyataannya
sampai disuruh berhenti sudah berhenti. Tidak dimintai tolong malah
perpustakaan.uns.ac.id 92
digilib.uns.ac.id

menolong, bahkan langsung menawarkan bantuan. Punya rasa kasihan


pada ayahmu, karena kehujanan, bahkan kata-katanya tadi, apakah sikap
seperti itu ada pada setiap orang.’

“Mau arep tak wenehi seringgit, rumangsaku wis memper. Nanging sopir
mau durung nganti weruh pira anggonku menehi. Dadi tetep wae ora
gelem nampani. Ja memper wong iku jen bagus, dasar watake alus, mesthi
sugih kaprawiran”
“ Ah bapak ki saiki tiru-tiru ibu.”
“Wis ngene wae mengko jen tekan Parakan di endeg, utawa samangsa
deweke mandeg, endang kanda aku”(hlm. 13).

Terjemahan:
‘Tadi mau saya beri seringgit, menurut saya sudah pantas. Tetapi supir tadi
belum tahu berapa yang akan saya berikan.Tetap saja tidak mau
menerima. Ya memang orang itu kalau tampan, berbudi halus, pasti
banyak keterampilannya
‘Ah bapak ini meniru ibu saja.’
‘Ya sudah begini saja, nanti kalau sudah sampai Parakan kita hentikan,
atau saat dia berhenti, segera beri tahu saya.’

Tokoh Rapingun juga digambarkan sebagai tokoh yang sopan, giat


bekerja, dan tekun. Seperti unen-unen Jawa sapa tekun golek teken bakal tekan
maksudnya barang siapa tekun dalam mencari ilmu atau tekun dalam mengapai
keinginan maka suatu saat akan mendapatkannya. Seperti saat Rapingun
bertemu Den Bei menunjukkan seseorang yang sopan dengan bertanya mengapa
Den Bei berhenti di tengah hutan. Giat bekerja dan tekun ia tunjukan saat
bekerja di rumah Den Bei dan melatih Hel kuda yang liar karena jarang dipakai
diperkuat dengan pernyataan Nyonyah Hien yang memuji kepribadian
Rapingun. Hal itu semata-mata dilakukannya untuk mencari jati dirinya dalam
pengembaraan. Dapat dilihat pada kutipan dibawah ini:
“Punapa ndara, kendel wonten ngriki?”
Prijantun djaler wau ladjeng mandap saking oto lan maspadakaken
dateng tijang ingkang taken. Ing manah kewedan anggenipun bade
mangsuli, awit ingkang taken wau radi ngodengaken manah. Sababipun
tijangipun bregas, tatakramanipun djangkep (hlm. 9).

Terjemahan:
‘Kenapa Tuan berhenti di sini?’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 93
digilib.uns.ac.id

‘Lelaki itu turun dari mobil lalu memperhatikan orang yang bertanya. Di
hati sedikit bingung bagaimana akan menjawab, karena yang bertanya
agak membingungkan. Sebab orangnya baik, dan sopan santunnya bagus.

“Boten saestu kok Den Aju.Tijang kula samenika menika boten kados
sopir sanes-sanesipun. Watakipun alus, temen, prigel, gematosipun dateng
oto inggih boten djamak. Mila oto wau ketingalipun inggih kintjlong-
kintjlong adjegan. Lengganan mindak katah. Dalah para lengganan
kemawon sami ngalem. Pantjen pijambakipun saged nudju manahipun
lengganan” (hlm. 20).

Terjemahan:
‘Tidak, sungguh Den Ayu. Si Rapingun itu tidak seperti supir lainnya.
Wataknya halus, tekun, pandai, dan perhatian dengan mobilnya. Oleh
karena itu mobil saya terlihat kinclong sekali. Langganan semakin banyak.
Para langganan saya selalu memujinya kok. Dia memang pandai
mengambil hati langganan.’

“O, jen di timbang karo sopir lija-lijane, wis ora mu-tinemu. Sing akeh-
akeh, sopir kuwi jen dudu pagawean babagan motor ora nindakake. Sedje
karo Rapingun. Neng ngomah tak sawang-sawang ora leren-leren,
samubarang di tandangi, kaja ta nanduri tamanan, nata-nata kursi,
gambar diresiki, di tata maneh. Mangka kabeh tatanan sarwa
ngresepake” (hlm. 27).

Terjemahan:
‘O, kalau dibandingkan dengan supir-supir lainnya, tidak akan ada yang
sama, biasanya supir itu kalau bukan pekerjaan mengenai mobil tidak mau
mengerjakan. Berbeda dengan Rapingun. Saya perhatikan tidak
beristirahat, semua ia kerjakan, seperti menanami taman, menata kursi,
membersihkan gambar, ditata kembali. Semua yang ia kerjakan selalu
memuaskan.’

“Jektosipun, meh sadaja kapal Sandel ingkang wanter manahipun, temtu


saged lampah mekaten punika, uger ingkang numpaki prigel anggenipun
ngolahaken kendalinipun, saged andjumbuhaken kalijan panggraitaning
kapal” (hlm. 40).

Terjemahan:
‘Sebenarnya, hampir semua kuda yang jinak, tentu dapat berjalan
demikian, asalkan ditunggangi oleh orang yang pandai dalam mengolah
kendali dan dapat mengerti keingginan si kuda itu sendiri.’

Selain itu Rapingun juga berwatak rela berkorban, hal ini selaras dengan
commit
cerita wayang Bambang Ekalaya. to user Ekalaya atau Palgunadi adalah
Bambang
perpustakaan.uns.ac.id 94
digilib.uns.ac.id

kesatriya yang pandai memanah ia ingin sekali menjadi murid dari guru Durna,
namun Durna sudah berjanji tidak menerima murid selain Pandawa dan Kurawa
sehingga ia menolaknya. Palgunadi kemudian membuat patung yang menyerupai
Durna agar dalam berlatih memanah ia seperti diawasi oleh Durna, hasilnya dia
menjadi pemanah yang sangat hebat. Singkat cerita karena kecemburuan Arjuna
pada kepandaian Palgunadi maka guru Durna meminta syarat pada Palgunadi ia
mau menerimanya menjadi murid namun ibu jari tangan kanan Palgunadi harus
dipotong untuk syarat itu. Hal ini dapat terlihat ketika Rapingun menolong
Raden Ajeng Tien dari ulah Hardjana ia rela terluka tangannya untuk melindungi
yang menjadi tanggung jawabnya serta tetap menjunjung tinggi norma
kesusilaan dalam keadaan gentingpun Rapingun tetap menjaga sikapnya sebagai
seorang supir. Berikut kutipannya:
“Hardjana ngembat tosanipun gligen kaangkahaken ing sirahipun
Rapingun. Sarehning Rapingun sampun mboten saged mingser malih,
tanganipun tengen ingkang saweg njepeng setir kepeksa kangge anjagi
sirah, setir kapepet dada, oto mampah, pres, tanganipun Rapingun
kagebag saking wingking dening Hardjana.” (hlm. 66).

Terjemahan:
‘Hardjana mengambil besi diarahkan ke kepala Rapingun. Rapingun tidak
dapat menghindar lagi, tangan kanannya yang harusnya memegang
kemudi terpaksa ia gunakan untuk melindungi kepala, dadanya ia gunakan
untuk menjaga kemudi, mobil berjalan dan tangan Rapingun terkena
pukulan Hardjana dari belakang.’

“Raden Adjeng Tien ngertos jen Rapingun anggenipun boten purun


kablebed setagenipun punika namung saking pekewed. Sampun ngantos
nama, murang tata, minggahipun nerak kasusilan, mila milih bade
kablebed tjatokipun tjutjal kemawon” (hlm. 69).

Terjemahan:
‘Raden Ajeng Tien mengerti alasan Rapingun tidak ingin dibalut dengan
stagen miliknya karena sungkan. Jangan sampai melanggar nilai
kesusilaan dan tata krama, oleh karena itu ia memilih dibalut dengan ikat
pinggang celananya saja.’

Tokoh Rapingun juga memiliki loyalitas yang tinggi sekali ia mengabdi ia


akan melakukan yang terbaik untuk majikannya. Hal yang dilakukan Rapingun
sama halnya dengan Punakawan commit to user yang selalu setia memberikan
abdi Pandawa
perpustakaan.uns.ac.id 95
digilib.uns.ac.id

nasehat-nasehat bijak walaupun sebenarnya mereka adalah seorang yang linuwih


namun kecintaannya kepada tuannya membuat mereka mengesampingkan hal
itu. Rapingun adalah seorang bangsawan namun demi mencapai pencarian jati
dirinya ia mengembara apapun ia lakukan untuk tuannya walaupun itu
membahayakan nyawanya. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut:
“Apa kowe ora kuwatir mungsuh wong loro mau?”
“Awit saking setya kula dateng bendara, boten wonten sumelanging
manah sekedik-kedika. Alit sakit, agengipun pedjah dereng mantra-
mantra nimbangi sihipun Bendara Seten sekalijan dateng kula”
(hlm: 73).

Terjemahan:
‘Apa kamu tidak takut menghadapi dua orang tadi?’
‘Karena kesetiaan saya kepada Raden Ajeng Tien, tidak ada kekhawatiran
sedikitpun. Kecilnya menjadi sakit, besar bisa sampai mati belum dapat
menandingi belas kasih yang diberikan Tuan Asisten dan keluarga kepada
saya.’

Penggambaran tokoh Rapingun dalam novel Ngulandara dilakukan secara


analitik dan dramatik. Adapun uraian analisisnya sebagai berikut:
1) Analitik
Secara analitik terihat dengan penggambaran watak yang dilakukan
pengarang secara langsung dengan meliht pada penggambaran fisik Rapingun
sebagai pemuda tampan. Selain itu pengarang juga menunjukkan sifat
Rapingun yang baik dan sopan melalui prolog dalam novel yang menyebutkan
bahwa Rapingun adalah seseorang yang sangat menghargai wanita terutama
pada Raden Ajeng Tien yang merupakan tanggung jawabnya saat itu.
Pengarang juga menggambarkan bentuk fisik Rapingun yang memiliki
memiliki ciri khusus lesung pipi. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
“Keleres ing dinten Minggu, ing kampung Kwijen sawingking
Pekalongan, wonten tijang neneman numpak sepeda motor Norton 6 P.K
model enggal, ladjeng kendel ing ngadjeng grijanipun mantri guru” (hlm.
100).

Terjemahan:
‘Bertepatan dengan hari Minggu, di kampung Kwijen Pekalongan, ada
seorang pemuda mengendarai sepeda motor Norton 6 P.K model baru,
commit to user
lalu berhenti di depan rumah mantri guru.’
perpustakaan.uns.ac.id 96
digilib.uns.ac.id

“Dinten Sebtu djam wolu endjing wonten oto Ostin sedan dipunsetiri
prijantun neneman, bregas, umur-umuranipun kirang langkung 25 tahun.
Tjlananipun idjem, ngangge setiwel sawo mateng, sawitan kalijan
sepatunipun, rangkepanipun rasukan sutra lurik, kawingkis dumugi sikut,
rambutipun pating prentel mewahi wenesing tjahja. Dene ingkang linggih
ing kiwanipun, prijantun estri, umur-umuranipun dereng langkung saking
wolulasan taun, pasemonipun mbranjak, pantes lan badanipun lendjang
kepara alit sekedik” (hlm. 105).

Terjemahan:
‘Hari Sabtu pukul delapan pagi ada mobil sedan Ostin dikendarai oleh
lelaki muda, tegap, umurnya kurang lebih 25 tahun. Celananya hijau,
memakai kaus kaki sawo matang, serasi dengan sepatunya, pakaiannya
sutra lurik, dilipat sampai siku, rambutnya ikal. Sedangkan yang berada di
sisi kirinya, seorang wanita umurnya belum lebih dari delapan belas
tahun, raut wajahnya bahagia, dan badannya tinggi agak kecil.’

“Boten dangu Kerta dateng ngirid sopir. Sapanduran Raden Bei Asisten
Wedana radi pangling dateng sopir wau, amargi panggenanipun beda
kalijan kala pinanggih wonten Kledung. Kala semanten pantalon,
gundulan. Samangke tjara Mataram. Udengipun blangkon udan-riris bjur,
rasukanipun surdjan ketan ireng, sindjangipun kawung beton Ngajodjan.
Nanging sareng sumerep dekoking pipinipun, boten pangling, mila enggal
dipun-atjarani” (hlm. 22).

Terjemahan:
‘Tidak lama Kerta datang bersama supir itu. Sekilas Raden Bei Asisten
Wedana tidak mengenali supir itu, karena pakaiannya berbeda sekali,
ketika bertemu di Kledung. Saat itu pantalon tanpa lengan. Sekarang
menggunakan cara Mataraman. Blangkon udan-riris membujur, bajunya
surjan hitam ketan, jaritnya kawung corak Yogyakarta. Tetapi setelah
mengetahui lesung pipinya ia langsung teringat dan mengenalinya, oleh
karena itu langsung memulai pembicaraan.’

“Prijantun djaler wau ladjeng mandap saking oto lan maspadakaken


dateng tijang ingkang taken. Ing manah kewedan anggenipun bade
mangsuli, awit ingkang taken wau radi ngodengaken manah. Sababipun
tijangipun bregas, tatakramanipun djangkep. Jen kaanggepa sopir limrah
boten pantes” (hlm: 9).

Terjemahan:
‘Lelaki itu lalu turun dari mobil memperhatikan orang yang bertanya.
Di hati sedikit bingung bagaimana akan menjawab, karena yang bertanya
orangnya agak membingungkan. Sebab orangnya baik, dan sopan
commit to user
santunnya bagus. Jika dianggap sebagai supir tidak pantas’
perpustakaan.uns.ac.id 97
digilib.uns.ac.id

“Rapingun ladjeng minggah ing bak ngadjeng sisih tengen. Linggihipun


mepet nengen, ing pangangkah sampun ngantos nggepok badanipun
Raden Adjeng Tien. Mangka kawontenanipun bak taksih kobet. Dados
ingkang mekaten wau boten sanes namung kangge rumeksa ing bendara
lan netepi tata krama” (hlm. 46).

Terjemahan:
‘Rapingun lalu naik di jok sebelah kanan. Duduknya merangsek ke kanan,
dengan harapan jangan sampai menyentuh badan Raden Ajeng Tien.
Padahal keadaan jok masih longgar. Kejadian yang demikian tersebut
hanya untuk menjaga martabat majikannya dan menjaga tata krama.’

Tokoh Rapingun digambarkan memiliki keahlian dalam melatih kuda.


Pada zaman novel ini dibuat bukan orang biasa yang mampu memiliki kuda,
hanya orang-orang terpandang yang mampu membelinya. Keahlian Rapingun
melatih kuda tentu karena sikapnya yang selalu optimis dan selalu yakin atas
segala sesuatunya. Hal ini dapat terlihat saat ia melatih kuda milik Den Bei,
karena kuda tersebut tidak dilatih dengan benar sehingga saat ini cenderung
liar. Berikut kutipannya:
“Hel sampun wanuh dateng Rapingun. Mila sareng Rapingun dateng
ladjeng gereng-gereng, endasipun dipun-angluhaken ing slarak kalijan
ngambus-ambus tanganipun Rapingun, dene pisang dereng dipun-
tedakaken. Rapingun ladjeng mepet ing gedogan. Sirah lan badanipun
dipun-ambus-ambus sajada, kados adat sabet. Hel gentos dipun-elus-elus
saking tjitak ngantos dumugi djalakipun. Samangke tjeta bilih Hel boten
namung wanuh kalijan piyambakpun, nanging kenging dipun-wastani
sampun andjilma” (hlm. 33).

Terjemahan:
‘Hel sudah menurut pada Rapingun. Saat Rapingun datang Hel
mendengus-dengus, kepalanya dijulurkan keluar dan menciumi tangan
Rapingun, tetapi pisang belum diberikan. Rapingun lalu mendekat ke
kandang. Kepala dan badannya diciumi oleh Hel seperti biasa. Hel
kemudian dielus-elus dari leher hingga punggung. Demikian itu
menunjukkan bahwa Hel bukan hanya menurut tetapi sudah jinak.’

Tokoh Rapingun bukan hanya pandai dalam mengambil hati orang lain
dengan sikapnya yang baik. Ia juga memiliki sikap yang selalu waspada serta
mempersiapkan diri atas berbagai kemungkinan yang terjadi. Pengarang
mencoba menyampaikan pesancommit
bahwa to user seseorang harus selalu waspada
sebagai
perpustakaan.uns.ac.id 98
digilib.uns.ac.id

terhadap segala kemungkinan yang terjadi seperti pesan R. Ranggawarsita


dalam karyanya serat Kalatidha bahwa amenangi jaman edan, ewuh aya ing
pambudi, melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya kaduman melik,
kaliren wekasanipun, ndilalah karsa Allah, begja-begjane wong kang
lali,luwih begja kang eling kelawan waspada. Di dunia ini banyak hal tidak
terduga melalui tokoh Rapingun pengarang ingin menyampaikan agar pembaca
selalu waspada terhadap segala kemungkinan. Seperti yang terlihat pada
kutipan berikut ini:
“ Rapingun ingkang kapatah ing lurahipun kapurih momong putranipun,
boten tilar weweka. Sesolah-tingkahipun djedjaka kekalih, ingkang
andadosaken bijasipun Raden Adjeng Tien sampun kesumerepan sadaja.
Rapingun saja migatosaken kawontenan punika, saparipolahipun djedjaka
kekalih tansah kalirik. Nanging Rapingun pantjen sugih gelar, sadaja
kaprajitnanipun boten ketawis babar pisan, ngantos ketingal kados lare
boten open lan bodo banget, saged ugi ingkang dipun-emba kados
ambeging sinatrija” (hlm. 56).

Terjemahan:
‘Rapingun yang diberi kewajiban oleh majikannya untuk menjaga putrinya
sangat bertanggung jawab. Semua tingkah laku kedua pemuda, yang
menjadikan Raden Ajeng Tien pucat sudah diketahui. Rapingun semakin
memperhatikan keadaan itu, apapun gerak-gerik pemuda itu selalu
diawasi. Tetapi Rapingun memang pandai, semua tindakannya itu tidak
terlalu mencolok, tidak ketahuan, ia seperti anak bodoh tidak tahu apa-
apa.’

Tokoh Rapingun dinilai pandai dalam menyembunyikan perasaannya


walaupun ia sedang sedih ia tetap terlihat tenang dan bahagia di depan orang
lain, agar orang-orang disekitarnya tidak khawatir padanya. Hal ini lebih
kepada falsafah orang Jawa mikul dhuwur mendhem jero yang bermakna
bahwa segala sesuatu yang bersifat pribadi tidak boleh ditunjukkan kepada
orang lain. Tokoh Rapingun melakukan hal itu karena tidak ingin rahasianya
terbongkar, jika Raden Ajeng Tien tau bahwa ia adalah Raden Mas Sutanta
maka ia akan diperlakukan berbeda olehnya. Berikut kutipannya:
“Kados ingkang katjarijos ing ngajeng, Rapingun pantjen baut nutupi
ewed pekeweding manahipun, langkung-langkung pasemonipun ingkang
tansah padang, punika dados tameng ingkang kandel sanget” (hlm. 91).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 99
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘Seperti yang telah diceritakan di depan, Rapingun memang pandai
menutupi suasana hatinya, terlebih raut wajahnya yang selalu bahagia,
sehingga dapat menjadi tameng yang tebal untuknya.’

2) Dramatik
Penggambaran dari segi dramatik dilakukan dengan tidak
menggambarkan watak tokoh secara langsung tetapi disampaikan dengan cara
piihan nama tokoh, penggambaran fisik tokoh, cara berpakaian, tingkah laku
dan sikap-sikapnya terhadap tokoh lain serta melalui dialog, baik dialog
dengan tokoh lain maupun dialog dengan dirinya sendiri. Pemberian nama
tokoh oleh pengarang sangat menunjukkan identitas tokoh Rapingun yang
sebenarnya bernama Raden Mas Sutanta. Penyamarannya sebagai seorang
pribumi atau wong cilik ia bernama Rapingun pengarang tidak menggunakan
nama Raden Mas Sutanta karena gelar Raden Mas hanya dipakai oleh seorang
priyayi. Jika menggunakan nama tokoh Raden Mas Sutanta maka
penyamarannya akan terbongkar. Perbedaan tersebut tergambar dalam
peristiwa saat tokoh Rapingun masih menyamar dan sesudah penyamaran
tersebut Kerta memanggil dengan sebutan berbeda dan tingkat bahasa yang
berbeda pula. Berikut kutipannya:
“Ampun mas Rap, ampun. Rijin di-limani, kok sakniki adjeng di-idjeni.
Blai mengke.”
“Di-idjeni pripun, ta. Rak enggih di-loroni ta kalih sampejan.” (hlm. 34)

Terjemahan:
‘Jangan mas Rap jangan. Dulu saja berlima kok sekarang mau sendirian.
Bahaya nanti.’
‘Bagaimana bisa sendiri, kan berdua sama kamu.’

“Hus, hus Ta adja gemblung lo!”


“Boten Ndara Rap e kesupen Ndara Seter.”
“Kerta angger di-elikake malah mbambung.”
“Kula kengetan saweg wonten Ngadiredja, kok Ndara.”(hlm. 106).

Terjemahan:
‘Eh Ta jangan gila ya!’
‘Tidak Tuan Rap, e lupa Tuan Seter.’
commitmenjadi-jadi.’
‘Kerta kalau dinggatkan semakin to user
‘Saya teringat saat di Ngadireja kok Tuan.’
perpustakaan.uns.ac.id 100
digilib.uns.ac.id

Penggambaran fisik, tokoh, cara berpakaian tingkah laku dan sikapnya


ditunjukan dengan dialog antar tokoh. Tokoh Rapingun digambarkan seseorang
yang berbudi pekerti halus, sopan dalam berpakaian, sopan dalam perkataan.
Pengarang mencoba menyampaikan pesan bahwa seseorang akan dihargai dan
dihormati berdasarkan perkataan yang baik, dan cara berpakaian yang sopan.
Hal itu sesuai dengan falsafah Jawa ajining dhiri dumunung ing lathi, ajining
raga dumunug ing busana. Seperti digambarkan dalam cerita bahwa Rapingun
dengan pakaiannya yang seperti supir, ia dianggap sebagai seorang supir.
Orang akan mengargai dan menilai sesuatu dari apa yang dilakukan. Hal itu
tergambar dalam kutipan berikut:
“Kiraku ja uwis, nanging aku durung weruh. Ajakna sopir taksi”
“Ah, kiraku, dudu pak. Wong botjahe bagus ki, polatane djetmika.”
“Apa sopir taksi kuwi ora kene duwe rupa bagus lan polatan djetmika?”
(hlm. 12).

Terjemahan:
‘Menurutku ya sudah, tapi aku belum tahu, sepertinya supir taksi’
‘Ah, menurutku bukan Pak, orangnya tampan, tingkah lakunya sopan.’
‘Apa supir taksi itu tidak boleh tampan dan tingkah lakunya sopan?’

“O, Ndara, kula tadah deduka, boten pisan-pisan rumaos kekirangan


menapa-menapa sadangunipun kula suwita wonten ngarsa pandjenengan.
Malah kosok wangsulipun, rumaos kawratan tampi sih kadarman
pandjenengan sekalijan mekaten ugi saking Ndara Adjeng Tien.”
(hlm. 93)

Terjemahan:
‘Oh, Tuan, saya salah, saya tidak pernah kekurangan suatu apapun selama
saya mengabdi kepada Tuan. Sebaliknya saya merasa terbebani menerima
belas kasih sayang Tuan sekeluarga begitu pula dari Ndara Ajeng Tien.’

“Ah, dikapak-kapakna kae botjah kuwi jen bagus patrap-patrape kok ja


luwes. Matjak tjara Sala, kok ja kaya prijaji Sala”
“Jen pinudju ngangge pantalon, plek setiden, tindak-tandukipin
anggenipun bregas inggih matuk lan panganggenipun”(hlm. 96).

Terjemahan:
‘Ah, bagaimanapun anak itu kalau sudah tampan tingkah lakunya juga
luwes. Berpakaian gaya Solo, kok ya seperti priyayi Solo’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 101
digilib.uns.ac.id

‘Saat menggunakan pantalon, persis setiden, gagah cocok dengan


pakaiannya’

Tokoh Rapingun merupakan tokoh yang selalu waspada terhadap segala


situasi. Ia telah mempersiapkan segala kemungkinan yang terjadi. Hal ini
seseuai dengan syair pada tembang macapat sinom karya R.Ng.
Ranggawarsita, sak begja begjane wong kang lali isih begja wong kang eling
kalawan waspada, maksudnya eling’ingat berarti ingat kepada Tuhan Yang
Maha Mengawasi, waspada maknanya harus berhati-hati terhadap manusia lain
yang bisa menjerumuskan. Berikut kutipannya:
“Sing ko-anggo ngantem Hardjana karo Suratna mau apa?”
“Sendok ban. Menapa ingkang setunggal wau namanipun Suratna?”
“Ija. Nanging aku gumun, dene kowe kok oleh sendok ban.”
“Tijang sampun sedija wiwit pangkat saking Magelang”
“Dadi kowe wis nyedijani wiwit ana Magelang?”
“Inggih” (hlm. 72).

Terjemahan:
‘Apa yang kamu gunakan untuk menghantam Hardjana dan Suratna tadi?’
‘Sendok ban. Apa yang satunya tadi bernama Suratna?’
‘Iya. Tapi saya bingung, darimana kamu mendapat sendok ban.’
‘Saya sudah menyediakannya sejak berangkat dari Magelang’
‘Jadi kamu sudah menyediakannya mulai dari Magelang?’
‘Iya’

Penting bagi seseorang untuk memiliki keterampilan setelah


digambarkan memiliki keahlian mengendalikan kuda tokoh Rapingun
digambarkan memiliki keahlian memperbaiki mobil. Hal itu ditunjukkan ketika
tokoh Rapingun membantu tokoh Den Bei memperbaiki mobilnya yang rusak
di tengah hutan. Rapingun yang saat itu kebetulan melintas di daerah Kledung
melihat ada mobil yang berhenti di tengah hutan, bukan hal yang biasa
kejadian demikian tersebut. Oleh karena itu Rapingun berhenti dan
menanyakan apa yang terjadi, benar saja mobil itu sedang rusak dan
pemiliknya tidak dapat memperbaikinya. Dapat dilihat pada kutipan dibawah
ini:
“Punapa kepareng kula bikak?”
“Engga, engga!” commit to user
“Na, padangana nganggo rek ja Na!”
perpustakaan.uns.ac.id 102
digilib.uns.ac.id

“Enggih.”
“Nanging ngati-ati, adja ketjedaken, awit tenge (wadah bensin) oto iki ana
ngarep, jen ana pipa sing borot barang”(hlm. 10).

Terjemahan:
‘Apa boleh saya buka?’
‘Silakan’
‘Na, terangi pakai korek api ya Na.’
‘Iya’
‘Tapi hati-hati, jangan dekat-dekat karena tangki bensin mobil ini ada di
depan, nanti kalau ada saluran yang bocor’

b. Raden Bei Asisten Wedana/ Den Bei Wedana


Tokoh Den Bei merupakan tokoh protagonis yang mana ia membawa
pesan moral yang sangat penting bahwasannya memperlakukan bawahan
seperti keluarga sendiri karena mengingat bawahan atau pembantu yang
melayaninya dengan sepenuh hati maka ia harus membalas demikian. Hal itu
ditunjukkan dengan kasih sayangnya kepada Rapingun. Walaupun hanya
seorang supir namun karena pengabdian Rapingun yang tulus ikhlas kepada
keluarga Den Bei maka Den Bei memberikan balasan yang setimpal. Sesuai
dengan pepatah Jawa rugi satak bathi sanak yang berarti rugi material tidak
masalah namun keuntungan yang berupa persaudaraan dan pengabdian tak
ternilai harganya. Berikut kutipannya:
Rehning Rapingun sampun ketingal tentrem manahipun, Raden Bei
Asisten ladjeng dawuh:”Betjike kowe sesuk tak gawa menjang rumah sakit
bae, Rap.”
“Inggih, ndara, kados seketja manggen ing grija sakit “
“Apa ora diopeni dewe ta Pak?”
“Awake dewe mangsa ngertia, bareng dokter rak bisa weruh terang”
(hlm. 75)

Terjemahan:
‘Karena Rapingun sudah terlihat tenang, Raden Bei Asisten lalu berkata:’
‘Sebaiknya besuk kamu dibawa ke rumah sakit saja, Rap.’
‘Iya Tuan, lebih baik berada di rumah sakit.’
‘Apa tidak dirawat sendiri saja Pak?’
‘Kita kan tidak tahu, kalau dokter bisa tahu dengan jelas.’

Tokoh Raden Bei Asisten Wedana merupakan tokoh peripheral karena


commit
tokoh ini hanya mendukung tokoh to user
utama dalam menyampaikan maksud cerita.
perpustakaan.uns.ac.id 103
digilib.uns.ac.id

Hal ini terlihat ketika Den Bei meminta kepada Nyah Hien bahwa Rapingun
ingin dijadikan supir pribadinya dan lagi tokoh Den Bei menjelaskan kepada
Mantri guru bahwa Raden Mas Sutanta adalah seseorang yang menyamar
menjadi supirnya yaitu Rapingun. Berikut kutipannya:
“Den Bei Mantri guru sekalijan ingkang meksa dereng ngertos larah-
larahipun ketingal lingak-linguk. Den Bei Wedana ladjeng ngandaraken
lelampahipun Raden Mas Sutanta, nalikanipun santun nama Rapingun.
Sanadyan boten djlentreh, nanging tjeta saged ngertosaken dateng
ingkang mireng, kadospundi gandenganipun Raden Mas Sutanta kalijan
Wedana ing Kedungwuni enggal wau....”(hlm. 104).

Terjemahan:
‘Den Bei Mantri guru dan istrinya yang tidak tahu apa apa bingung melihat
apa yang sedang terjadi. Den Bei Wedana kemudian menjelaskan
bagaimana kisah Raden Mas Sutanta, ketika berganti nama menjadi
Rapingun. Walaupun tidak terlalu lengkap, tetapi jelas menggambarkan
bagaimana hubungan Raden Mas Sutanta dengan Wedana Kedungwuni
baru itu.... ‘

Den Bei merupakan tokoh yang baik hati, memiliki rasa balas budi dan
tidak mudah panik sehingga tokoh tersebut dapat dikategorikan ke dalam tokoh
kompleks, hal ini terlihat kepada ketenangan tokoh Den Bei saat berada dalam
kesusahan. Selanjutnya tokoh Den Bei berniat memberikan imbalan kepada
tokoh Rapingun sejumlah uang ketika ditolak justru ingin menambah
imbalannya. Seperti tergambar pada kutipan berikut:
“Sawise, keprije, lah ja kudu nrima. Mengko jen ana oto saka Wanasaba
utawa Parakan sing wis ngglondhang, ja pada nunggang kuwi bae.”
(hlm. 6).

Terjemahan:
‘Mau bagaimana lagi, ya harus menerima. Nanti kalau ada mobil dari
Wonosobo atau Parakan yang sudah kosong naik itu saja’

“Ning rasane kok kurang kepenak, wong ditulungi kok malah ngenak-
enak”(hlm. 10).

Terjemahan:
‘Tapi rasanya kurang sopan diberi pertolongan kok malah enak-enakan.’

“Mau arep tak wenehi seringgit, rumangsaku wis memper. Nanging sopir
mau durung nganti weruh commit to user
pira anggonku menehi. Dadi tetep wae ora
perpustakaan.uns.ac.id 104
digilib.uns.ac.id

gelem nampani. Ja memper wong iku jen bagus, dasar watake alus, mesthi
sugih kaprawiran”
“ Ah bapak ki saiki tiru-tiru ibu.”
“Wis ngene wae mengko jen tekan Parakan di endeg, utawa samangsa
deweke mandeg, endang kanda aku”(hlm. 13).

Terjemahan:
‘Tadi mau saya beri seringgit, menurut saya sudah pantas. Tetapi supir tadi
belum tahu berapa yang akan saya berikan.Tetap saja tidak mau
menerima. Ya memang orang itu kalau tampan, berbudi halus, pasti
banyak keterampilannya
‘Ah bapak ini meniru ibu saja.’
‘Ya sudah begini saja, nanti kalau sudah sampai Parakan kita hentikan,
atau saat dia berhenti, segera beri tahu saya.’

Raden Bei merupakan tokoh yang kompleks karena telah digambarkan


bahwa sisi kehidupannya lebih banyak dari pada tokoh lain selain tokoh utama.
Tokoh Den Bei dijelaskan bagaimana karekternya dapat dilihat dari cara tokoh
lain menghormatinya ataupun dialog antar tokoh, cara berpakaian, dan juga
perjalanan kariernya dari Asisten Wedana menjadi Wedana. Berikut
kutipannya:
“Wah ora ngira aku ketamuan dimas Asisten Wedana sakalijan. Menika
wau menapa rawuh saking Ngadireja kemawon?”
“Inggih kangmas. Sowan kula mriki kedjawi sowan tuwi, ugi ngaturi
priksa, saking pangestunipun para sepuh, kula samangke ditetepaken
dados Wedana wonten ing Kedungwuni”(hlm. 103).

Terjemahan:
‘Wah saya tidak menyangka akan kedatangan tamu asisten Wedana
sekeluarga. Langsung dari Ngadireja?’
‘Iya Mas. Kedatangan saya kemari selain untuk berkunjung, saya juga
ingin memberi tahu bahwa saya sekarang diangkat sebagai Wedana di
Kedungwuni.’

“Den Bei, mbok menawi salebetipun minggu ngadjeng menika oto dipun
bajar”
We lah saja keleresan. Saja enggal saja prajogi” (hlm. 25).

Terjemahan:
‘Den Bei, kalau tidak salah minggu depan mobil itu akan dibayar’
‘Wah kebetulan sekali, semakin cepat semakin baik.’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 105
digilib.uns.ac.id

1) Analitik
Analisis mengenai tokoh Raden Bei Asisten Wedana dapat dilihat dari
penggambaran watak dan ciri fisik tokoh oleh pengarang secara langsung.
Raden Bei Asisten Wedana merupakan laki-laki berumur kurang lebih lima
puluh tahun namun masih pantas jika disebut berumur empat puluh tahun dan
juga rendah hati. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Prijantun wau umuripun udakawis seketan taun, nanging kabekta saking
saening badan, lan saged ugi saking mboten alitan manah, ketingalipun
saweg umur kawandasan taun” (hlm. 5).

Terjemahan:
‘Lelaki itu umurnya kurang lebih lima puluhan tahun, tetapi karena
badannya bagus lan mungkin karena kerendahan hatinya, sepertinya
terlihat umur empat puluhan tahun.’

Den Bei juga digambarkan sebagai seseorang yang berhati-hati dalam


berbicara apa lagi dengan orang yang baru ia kenal. Seperti saat pertama
bertemu dengan Rapingun ia tidak tau kalau Rapingun seorang supir, karena
untuk ukuran seorang supir Rapingun terlalu sopan, sehingga Den Bei
memutuskan untuk menggunakan bahasa krama madya untuk menjaga
kehormatannya. Berikut kutipannya:
“Prijantun djaler wau ladjeng mandap saking oto lan maspadakaken
dateng tijang ingkang taken. Ing manah kewedan anggenipun bade
mangsuli,awit sanadyan tjlananipun bregas, nanging sami ketingal
pating dlemok tilas kenging lisah, tur rambutipun morak-marik, memper
jen namung sopir taksi. Langkung-langkung manawi ngengeti
anggenipun nyebut ndara. Ewadene ing manah dereng sreg” (hlm. 9).

Terjemahan:
‘Lelaki itu kemudian turun dari mobil dan memperhatikan orang yang
bertanya. Dalam hati kesulitan bagaimana untuk menjawab, walaupun
celananya pantas, tetapi terlihat kotor seperti terkena minyak, dan
rambutnya acak-acakan, pantas jika hanya seorang supir taksi. Lebih-
lebih mengingat ia menyebutnya (Den Bei) Tuan. Namun dalam hati
belum yakin.’

Tokoh Den Bei juga merupakan tokoh yang sayang terhadap keluarganya.
Den Bei selalu meluangkan waktunya untuk sekedar minum teh atau
commit to user
bercengkrama dengan keluargannya di rumah. Alasan tokoh Den Bei
perpustakaan.uns.ac.id 106
digilib.uns.ac.id

menginginkan tokoh Rapingun menjadi supirnya adalah untyk membuat


keluarganya senang. Terutama istri dan anaknya jika pergi aman bersama
tokoh Rapingun. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Let sawulan saking datengipun njonjah Hien, kaleres dinten Ngahad,
wantji djam 5 sonten, Raden Bei Asisten Wedana sakalijan tuwin
putranipun sami lelenggahan ing gadri wingking sinambi ngundjuk
wedang kados adat saben” (hlm. 26).

Terjemahan:
‘Selang satu bulan setelah kedatangan Nyonyah Hien, bertepatan hari
Minggu pukul 5 sore, Raden Bei Asisten Wedana beserta istri dan anaknya
sedang duduk diteras belakang sambil minum minuman seperti biasa.’

Raden Bei Asisten Wedana merupakan seorang priyayi dapat dilihat


dari penggunaan nama dan cara berpakaiannya. Dari penggunaan nama
Raden Bei Asisten Wedana, dapat dilihat bahwa Den Bei merupakan priyayi
yang bekerja sebagai asisten Wedana kemudian diakhir cerita naik pangkat
menjadi Wedana. Asisten Wedana merupakan jabatan pada zaman
pemerintahan terdahulu yang bertugas membantu kerja Wedana. Wedana
sendiri merupakan jabatan dibawah Bupati namun berada lebih tinggi dari
seorang Camat. Cara berpakaian tokoh Den Bei pun tidak biasa, ia
menggunakan jas dan kain jarit. Dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Kala semanten Den Bei Asisten Wedana sekalijan ingkang putri tuwin
putranipun lenggah ing gadri wingking sinambi ngundjuk wedang”
(hlm.15).

Terjemahan:
‘Saat itu Den Bei Asisten Wedana bersama istri dan juga anaknya duduk di
teras belakang sambil minum minuman.’

“....Wironipun kablesekaken menginggil, ngantos katokipun ketingal


sekedik, djasipun sampun kabikak, kantun ngangge rangkepan. Patjaking
badan metenteng radi mbungkuk. Nering pandulu tumudju dateng
mesining oto. Sadjak migatosaken saget dateng kawontenaning motor
punika”(hlm. 5).

Terjemahan:
‘....lipatan-lipatan jaritnya dimasukkan ke atas, hingga celananya terlihat
sedikit, jasnya sudah dibuka, hanya tinggal pakaian dalam. Badannya agak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 107
digilib.uns.ac.id

membungkuk. Pandangannya tertuju pada mesin mobil. Terlihat sedang


memperhatikan keadaan mobil itu.’

2) Dramatik
Cara tokoh lain menghormati tokoh Den Bei pun telah menunjukkan
bahwa tokoh ini bukanlah orang biasa, melainkan seseorang yang memiliki
strata sosial tinggi. Dan lagi pada zaman dahulu seseorang yang memiliki
pembantu rumah tangga adalah seseorang yang kaya atau priyayi, Den Bei
memiliki dua orang pembantu yaitu Kerta dan Salijem serta supir yaitu
Rapingun. Seperti kutipan di bawah ini:
“Wis genah kuwi pak.”
“Wis terang.”Ladjeng ngundang rentjangipun, “Ta, Ta, Kerta!”(hlm. 21).

Terjemahan:
‘Sudah pasti itu Pak’
‘Sudah jelas, lalu memanggil pembantunya. Ta, Ta, Kerta!’

“.... Lajeng ngungak dateng margi ageng, Den Bei Asisten Wedana
sampun mboten ketingal. Enggal-enggal madosi rentjang estri pun
salijem. Sareng pinanggih, saweg njapu wonten emper wingking“
(hlm. 32)

Terjemahan:
‘.... Lalu melihat ke jalan besar, Den Bei Asisten Wedana sudah tidak
terlihat. Buru-buru mencari pembantu wanita yang bernama Salijem.
Setelah bertemu, ternyata ia sedang menyapu di pekarangan belakang.’

“O, jen di timbang karo sopir lija-lijane, wis ora mu-tinemu. Sing akeh-
akeh, sopir kuwi jen dudu pagawean babagan motor ora nindakake. Sedje
karo Rapingun. Neng ngomah tak sawang-sawang ora leren-leren,
samubarang di tandangi, kaja ta nanduri tamanan, nata-nata kursi,
gambar diresiki, di tata maneh. Mangka kabeh tatanan sarwa
ngresepake” (hlm. 27).

Terjemahan:
‘O, kalau dibandingkan dengan supir-supir lainya, sudah tidak akan yang
menyamai. Biasanya, supir itu kalau bukan pekerjaan mengenai mobil
tidak mau mengerjakan. Berbeda dengan Rapingun. Saya perhatikan tidak
beristirahat, semua ia kerjakan, seperti menanami taman, menata kursi,
membersihkan gambar, ditata kembali. Semua yang ia kerjakan selalu
memuaskan.’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 108
digilib.uns.ac.id

c. Raden Ayu Asisten Wedana/ Den Ayu Wedana


Tokoh Den Ayu Asisten Wedana merupakan tokoh protagonis, sebagai
tokoh ini ia telah membawa misi menyampaikan pesan moral dan nilai-nilai
kebaikan kepada pembaca. Tokoh Raden Ayu Asisten merupakan tokoh yang
dermawan, baik hati, berbaik sangka, dan juga sayang kepada keluarga. Hal ini
terlihat dengan usulnya untuk menambahkan uang imbalan yang akan
diberikan kepada tokoh Rapingun. Tokoh Raden Ayu juga berbaik sangka
kepada tokoh Rapingun karena tingkah laku Rapingun yang sopan dan penuh
tata krama. Berikut kutipannya:
“Ija Pak, aku rudjuk. Lan maneh di-imbuhi seringgit engkas minangka
patukone kaprawirane lan pangemane menjang kowe”
“Ija, karepku ja ngono kok Bu”(hlm. 13).

Terjemahan:
‘Iya Pak, aku setuju. Dan ditambah seringgit lagi sebagai
penghormatannya padamu dan perhatiannya padamu’
‘Iya maksudku juga begitu Bu’

“Kiraku ja uwis, nanging aku durung weruh. Ajakna sopir taksi”


“Ah, kiraku, dudu pak. Wong botjahe bagus ki, polatane djetmika.”
“Apa sopir taksi kuwi ora kene duwe rupa bagus lan polatan djetmika?”
(hlm. 12).

Terjemahan:
‘Menurutku ya sudah, tapi aku belum tahu, sepertinya supir taksi’
‘Ah, menurutku bukan Pak, orangnya tampan, tingkah lakunya sopan.
‘Apa supir taksi itu tidak boleh tampan dan tingkah lakunya sopan?’

Sebagai seorang istri dari Asisten Wedana ia sangat menjaga kehormatan


keluarga, ramah, senang bergurau dan ia selalu memperhatikan anak serta
pekerja yang bekerja pada keluargannya. Hal ini sesuai dengan kodrat wanita
yang haruslah menjaga kehormatan keluarga. Tokoh Raden Ayu yang pandai
bergurau ditunjukkan ketika berbicara dengan Nyonyah Hien, ia juga sangat
perhatian kepada para pekerjanya. Ia tak segan untuk memberikan makanan
atau minuman untuk mereka. Dapat dilihat pada kutipan dibawah ini:
“Mangga Njah”
“Inggih Den Aju”
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 109
digilib.uns.ac.id

Sareng sampun sami lenggah sadaja, Raden Aju Asisten wedana ngendika
sembranan:
“Kadek terang, hla wong ana widadari tumurun!”
“Jah Den Ayu ki kok nggretjoki”(hlm. 16).

Terjamahan:
‘Mari silakan Nyah’
‘Iya Den Ayu’
‘Setelah semuanya duduk, Raden Ayu Asisten Wedana berkata:
‘Tumben ada bidadari turun!’
‘Den Ayu ini kok mengejek’

“Rapingun keprije Bu, apa krasan?”


“Anu ki Pak, wiwit teka let rong dina nganti seprene iki tak sawang-
sawang pasemone tansah katon padhang lan bungah.” (hlm. 25).

Terjemahan:
‘Rapingun bagaimana Bu, apa nyaman dia sini?’
‘Begini Pak, sejak datang dua hari yang lalu sampai saat ini saya
perhatikan raut wajahnya selalu bahagia’

“O, jen di timbang karo sopir lija-lijane, wis ora mu-tinemu. Sing akeh-
akeh, sopir kuwi jen dudu pagawean babagan motor ora nindakake. Sedje
karo Rapingun. Neng ngomah tak sawang-sawang ora leren-leren,
samubarang di tandangi, kaja ta nanduri tamanan, nata-nata kursi,
gambar diresiki, di tata maneh. Mangka kabeh tatanan sarwa
ngresepake” (hlm. 27).

Terjemahan:
‘O, kalau dibandingkan dengan supir-supir lainya, sudah tidak akan yang
menyamai. Biasanya, supir itu kalau bukan pekerjaan mengenai mobil
tidak mau mengerjakan. Berbeda dengan Rapingun. Saya perhatikan tidak
beristirahat, semua ia kerjakan, seperti menanami taman, menata kursi,
membersihkan gambar, ditata kembali. Semua yang ia kerjakan selalu
memuaskan.’

Tokoh Raden Ayu Asisten Wedana merupakan tokoh peripheral karena


perannya dalam membantu tokoh utama dalam menyampaikan pesan
moralnya. Hal ini dibuktikan dengan dialog-dialog tokoh Raden Ayu yang
menunjukkan watak atau karakter Rapingun. Berikut kutipannya:
“Kiraku ja uwis, nanging aku durung weruh. Ajakna sopir taksi”
“Ah, kiraku, dudu pak. Wong botjahe bagus ki, polatane djetmika.”
“Apa sopir taksi kuwi ora kene duwe rupa bagus lan polatan djetmika?”
(hlm. 12). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 110
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘Menurutku ya sudah, tapi aku belum tahu, sepertinya supir taksi’
‘Ah, menurutku bukan Pak, orangnya tampan, tingkah lakunya sopan
‘Apa supir taksi itu tidak boleh tampan dan tingkah lakunya sopan?’

“Rapingun keprije Bu, apa krasan?”


“Anu ki Pak, wiwit teka let rong dina nganti seprene iki tak sawang-
sawang pasemone tansah katon padhang lan bungah.” (hlm. 25).

Terjemahan:
‘Rapingun bagaimana Bu, apa nyaman dia sini?’
‘Begini Pak, Sejak datang dua hari yang lalu sampai saat ini saya
perhatikan raut wajahnya selalu bahagia’

“O, jen di timbang karo sopir lija-lijane, wis ora mu-tinemu. Sing akeh
akeh, sopir kuwi jen dudu pagawean babagan motor ora nindakake. Sedje
karo Rapingun. Neng ngomah tak sawang-sawang ora leren-leren,
samubarang di tandangi, kaja ta nanduri tamanan, nata-nata kursi,
gambar diresiki, di tata maneh. Mangka kabeh tatanan sarwa ngresepake
(hlm. 27).

Terjemahan:
‘‘O, kalau dibandingkan dengan supir-supir lainya, sudah tidak akan yang
menyamai. biasanya, supir itu kalau bukan pekerjaan mengenai mobil
tidak mau mengerjakan. Berbeda dengan Rapingun. Saya perhatikan tidak
beristirahat, semua ia kerjakan, seperti menanami taman, menata kursi,
membersihkan gambar, ditata kembali. Semua yang ia kerjakan selalu
memuaskan.’

1) Analitik
Tokoh Den Ayu Asisten Wedana dalam penggambarannya tidak
diceritakan secara detail ia hanya digambarkan sebagai seorang istri dari
Asisten Wedana karena dari nama yang digunakan oleh pengarang yaitu Den
Ayu, nama itu digunakan untuk seseorang yang telah menikah sehingga tokoh
ini dikategorikan sebagai tokoh sederhana. Berikut kutipannya:
“Memperipun prijatun estri ingkang wonten sisih kiwa punika bodjonipun,
ingkang wonten tengen anakipun” (hlm. 5)

Terjemahan:
‘Sepertinya perempuan yang berada di kirinya adalah istrinya dan yang
berada di kanannya adalah anaknya.’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 111
digilib.uns.ac.id

“Sampun kalih dinten Raden Bei Asisten sumerep Rapingun ketingal


suntrut pasemonipun, badanipun ketingal sadjak lungkrah, nanging
dereng purun pitaken sabebipun. Sareng tigang dintenipun, wantji djam
sekawan sonten, Raden Aju asisten bade nuweni Rapingun wonten
kamaripun, awit wiwit bibar neda sijang ladjeng kemawon terus mapan
tilem, boten kados adat saben. Mila kakinten pijambakipun sakit”
(hlm. 91).

Terjemahan:
‘Sudah dua hari Raden Bei Asisten mengetahui Rapingun terlihat sedih,
badannya terlihat kurang sehat, tetapi belum bertanya sebabnya. Setelah
tiga hari, jam empat sore, Raden Ayu asisten ingin menjenguk Rapingun di
kamarnya, karena setelah makan siang ia langsung tidur, tidak seperti
biasaannya. Mungkin ia sakit.’

“Dereng ngantos tamat pamaosipun, Raden Aju Asisten wedana sampun


brebel-brebel ngedalaken luh. Raden Adjeng Tien maos kalijan katja-
katja. Den Bei Asisten wedana deleg-deleg” (hlm. 99).

Terjemahan:
‘Belum selesai membaca, Raden Ayu Asisten Wedana sudah menangis.
Raden Ajeng Tien membaca sambil berkaca-kaca. Den Bei Asisten
Wedana tertegun.’

“Ing saladjengipun anggenipun palakrama tansah atut runtut. Manahipun


tentrem, ngrumaosi begdja gesangipun wonten ngalam donja. Makaten ugi
Den Bei Wedana sekalijan” (hlm. 106).

Terjemahan:
‘Selanjutnya dalam membina rumah tangga selalu baik. Hatinya tentram
merasa sangat beruntung hidup didunia. Begitu pula Den Bei Wedana
beserta istrinya’

Penggambaran fisik tokoh Den Ayu Asisten tidak begitu kompleks


pengarang hanya menggambarkan sebagai seorang wanita, tidak digambarkan
postur tubuh atau ciri fisik lain yang menonjol. Dapat dilihat dari kutipan
berikut:
“Ing salebeting prijantun wau utek madosi ingkang ndjalari mogoking
otonipun, ingkang estri ketingal suntrut. Tanganipun tengen sedakep,
badan kasendeaken ing tjagaking tenda sirahipun kabantalaken tangan
kiwa. Kados boten mokal jen ta kawastanana saweg susah manahipun”
(hlm. 5).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 112
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘Sementara lelaki tadi sibuk mencari tahu apa yang menyebabkan
mobilnya mogok, istrinya terlihat cemberut. Tangan kanannya dilipat,
badannya disandarkan pada tiang tenda kepalanya beralaskan tangan
kirinya. Seperti itu pantas jika disebut sedang bersusah hatinya.

2) Dramatik
Analisis dramatik terhadap tokoh Den Ayu Asisten Wedana diperkuat
dengan dialog tokoh lain yaitu Raden Bei Asisten Wedana yang memangginya
dengan sebutan “Bu” begitu pula anaknya Raden Ajeng Supartienah
memanggilnya dengan sebutan “Ibu” dan lagi dialog dari tokoh lain yang
memperjelas. Seperti kutipan dibawah ini:
“Hem! Ibune mono wasis yen mung nutuh”
“Anakipun njelani:
“Jah Ibu ki! Punapa inggih oto menika namung murugaken kesusahan
tok? Wong ya lagi sepisan bae dingendikakake akeh!” (hlm. 6).

Terjemahan:
‘Hem! Ibu ini pandai kalau menuduh’
‘Anaknya menyela:
‘Iya Ibu ini! Apa iya mobil ini hanya menimbulkan kesusahan saja? Baru
rusak sekali saja dibilang berkali-kali!’

“Raden Nganten Mantri guru njelani:


“Djeng Tien, ingkang Ibu menapa mboten estu tindak?”
“Boten, amargi miturut sandjangipun Rapingun, Ibu saweg radi pujeng.
Mangka kula sampun keladjeng ngaturi serat dateng Bu mantri Gudang
Magelang”(hlm. 44).

Terjemahan:
‘Raden Nganten Mantri guru menyela:
‘Djeng Tien, apa Ibumu benar-benar tidak berangkat?’
‘Tidak, karena menurut Rapingun, Ibu agak pusing. Padahal saya sudah
terlanjur mengirim surat pada Bu Mantri gudang Magelang.’

Karakter mudah curiga serta mudah panik juga digambarkan pada tokoh
Raden Ayu Asisten Wedana. Ketika berada di tengah hutan karena mobilnya
rusak tokoh ini panik dan curiga kepada mantan supirnya yang sengaja merusak
mobil tersebut. Dan lagi ia menyalahkan suaminya yang memiliki mobil karena
mobil itu sering rusak dan hanya menyusahkan saja. Kenyataannya mobil
commit to user
tersebut baru satu kali mengalami kerusakan. Berikut kutipannya:
perpustakaan.uns.ac.id 113
digilib.uns.ac.id

“Njatane nek kaja ngene iki prije hara? Mangka ning tengah bulak, wis
djam setengah enem, kathik atise kaja ngene gunung Sumbing wis kemul
ampak-ampak, dalah ing Kledung ja wis meh putih, dasare dalane
sumengka, kok jebul otone bobrok”(hlm. 6).

Terjemahan:
‘Kenyataannya kalau seperti ini bagaimana, di tengah hutan, sudah pukul
5.30 pula, dan sangat dingin, gunung Sumbing sudah tersaput kabut, di
Kledung juga hampir putih, sedang terburu-buru eh lha kok mobilnya
rusak.’

“Ingkang risak menika menapanipun ta Pak? Mangke gek dipaeka sopir


ingkang mentas medal menika.”
“Mempere ya ngono Tien, nanging bapakmu ora priksa.”
“Hara ibune kuwi rak tanduk meneh olehe nutuh...(hlm. 6).

Terjemahan:
‘Yang rusak bagian apa Pak? Jangan jangan direkayasa oleh supir yang
baru saja keluar itu.’
‘Sepertinya begitu Tien tapi bapakmu tidak tahu’
‘Ibu ini menuduh lagi kan...’

Sikap religius juga ditunjukkan oleh tokoh Raden Ayu Asisten Wedana,
hal itu terjadi ketika berada di dalam kesusahan ia berdoa kepada yang Maha
Membuat Hidup agar diberi keselamatan. Perilaku yang ditunjukkan oleh tokoh
Raden Ayu Asisten Wedana sesuai dengan syair yang terdapat pada tembang
dhandhanggula yang berbunyi kawruhana sejatining urip, manungsa urip ana
ing donya, prasast mung mampir ngombe, umpamakna manuk mabur, oncat
saking kurunganeki, ngendi pencokan mbenjang, ywa kongsi kaleru, umpama
wong lunga sanja, njan-sinanjan nora wurung bakal mulih, mulih mula
mulanira ‘ketahuilah bahwa sejatinya manusia di dunia, hanya seperi singgah
untuk minum, bagai burung yang terbang lepas dari sangkar, kemana akan
terbang, jangan sampai keliru, andaikan orang pergi berkunjung, suatu saat
pasti akan pulang, pulang pada asalnya’. Raden Ayu Asisten Wedana
menyadari bahwa kekuasaan tertinggi terletak di tangan Tuhan oleh karena itu
setiap makhluk wajib meminta pertolongan padanya. Seperti pada kutipan
berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 114
digilib.uns.ac.id

“Nengna we rak uwis ta Tien! Ibumu kuwi lagi mudja semadi kok”
“Kowe mono Tien, botjah ora Djawa, wong kuwi rak ija sabisa-bisane
nenuwun marang sing Gawe Urip ta! (hlm. 8).

Terjemahan:
‘Biarkan sajalah Tien, ibumu itu sedang berdoa.’
‘Kamu itu Tien, kamu itu tidak tahu, orang itu seharusnya meminta kepada
Yang Maha Membuat Hidup!’

d. Raden Ajeng Supartienah/ Raden Ajeng Tien/ Raden Ayu Tanta/ Raden
Ayu Seter.
Tokoh Raden Ajeng Supartienah merupakan anak semata wayang dari
Den Bei Asisten dan Den Ayu Asisten. Tokoh ini tergolong ke dalam tokoh
protagonis karena ia membawakan karakter sebagai seorang wanita yang
berpendidikan karena Raden Ajeng Tien merupakan lulusan sarjana dari
Yogyakarta, ia terkenal pandai dalam mengingat dan tenang dalam menghadapi
masalah. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Memperipun prijatun estri ingkang wonten sisih kiwa punika bodjonipun,
ingkang wonten tengen anakipun” (hlm. 5)

Terjemahan:
‘Sepertinya perempuan yang berada di kirinya adalah istrinya dan yang
berada di kanannya adalah anaknya.’

“Nanging ija bener kandane ibumu kuwi, Tien. Apa kowe ora weruh
nomere oto buri mau, Tien?
“Menika wau terang wonten seratanipun, AA nomer 1013.”(hlm.13)

Terjemahan:
‘Tetapi memang benar apa yang dikatakan ibumu itu Tien. Apa kamu tidak
tahu berapa nomor belakang mobil tadi?’
‘Tadi jelas terlihat tulisannya, AA nomor 1013.’

“Dadi kowe ontang-anting kaja Tien?”


“Inggih Ndara”(hlm. 94).

Terjemahan:
‘Jadi kamu anak tunggal seperti Tien?’
‘Iya Tuan.’

“Rak inggih sami wiludjeng ta Njah?”


commit to user
“Pangestu pandjenengan wiludjeng, Den Bei.”
perpustakaan.uns.ac.id 115
digilib.uns.ac.id

Anakipun gentos mbagekaken:


“Sugeng Njah?”
“Wiludjeng Den Adjeng. Lo Den Adjeng Tien (tjekakan saking
Soepartinah) kok wonten dalem. Menapa mboten mulang? (hlm. 16).

Terjemahan:
‘Sehat kan Nyah?’
‘Atas doa anda sehat, Den Bei.’
Anaknya bergantian menyapa:
‘Sehat Nyah?’
‘Sehat Den Ajeng. Lho Den Ajeng Tien (kependekan dari Soepartinah)
kok di rumah. Apa tidak mengajar?’

Raden Ajeng Tien merupakan seorang guru di H.C.S Partikelir (sekolah


swasta) di Parakan, ia merupakan sarjana tamatan Yogjakarta. Ia juga pandai
menjaga harkat dan martabatnya sebagai seorang wanita saat berada jauh dari
orang tua semasa ia menempuh pendidikan. Hal itu sesuai dengan yang terdapat
dalam serat Wulang Putri karya Pakubuwana VI yang berbunyi, iya
sariranireki, dene denya nglakoni, eneng eninga ing kalbu, awas eling supata,
sirna nepsu ta nini, anganak ana sih kalawan amirah maksudnya menjadi
wanita utama dibutuhkan kecerdasan batiniah di samping kecerdasan intelektual.
Keduanya saling melengkapi. Hanya wanita yang eling yang memiliki
ketajaman emosi. Demikian pula dengan Raden Ajeng Tien yang selalu
mengingat harkat dan martabatnya serta orang tuanya. Berikut kutipannya:
“Dinten sebtu djam gangsal sonten ing ngadjeng Kamantren guron
Parakan wonten oto Overland kendel, tendanipun kabikak. Inggih ing
ngriku punika pondokanipun Raden Adjeng Supartinah. Raden Adjeng
Supartinah punika dados guru H.C.S partikelir ing Parakan” (hlm. 43).

Terjemahan:
‘Hari Sabtu pukul lima sore di depan dinas pendidikan Parakan ada
mobil Overland berhenti, tendanya dibuka. Disanalah tempat tinggal
Raden Ajeng Supartinah. Raden Ajeng Supartinah menjadi guru di
H.C.S Partikelir (sekolah swasta) di Parakan.’

“Pangrasamu keprije ta, Hardjana. Kowe tawa buku, mangka aku butuh
sabab ana gandenge karo pasinaonku, mesti bae tak tampani. Adja sing
kowe, sapa-sapaa pantes tak aturi panuwun sing gede banget. Dek
semana kowe nawani buku-buku roman karangane sardjana Zola,
commit
nanging aku nampik, awit to user kuwi ora pantes dadi watjane
buku-buku
perpustakaan.uns.ac.id 116
digilib.uns.ac.id

botjah kang lagi sinau kaja aku iki, awit sisip sembire bakal gawe
rusaking budiku. Ija wiwit nalika kuwi aku duwe pangira jen atimu ora
djujur” (hlm. 64).

Terjemahan:
‘Perasaanmu bagaimana Hardjana. Kamu menawarkan buku, padahal
buku itu ada kaitannya dengan yang ku pelajari, pasti aku terima.
Jangankan kamu, aku bisa berterima kasih kepada siapa saja. Saat itu
kamu menawarkan buku-buku roman karangan sarjana Zola, aku
menolak, karena buku-buku itu tidak pantas menjadi bacaan anak yang
sedang belajar sepertiku, karena sebabnya akan membuat rusak
karakterku. Mulai saat itu aku mengira kamu memang tidak jujur.’

Dilihat dari segi keterlibatannya tokoh Raden Ajeng Tien merupakan


tokoh peripheral. Tokoh Raden Ajeng Tien mendukung tokoh utama
menunjukkan jalannya cerita. Raden Ajeng Tien lah yang menemukan surat
milik Rapingun, sebenarnya surat itu adalah surat milik Rapingun namun ia
mengelak karena takut penyamarannya sebagai Rapingun akan terbongkar.
Sebenarnya Raden Ajeng Tien telah mencurigainya jika ia adalah Raden Mas
Sutanta. Namun keahlian menyembunyikan rahasianya membuat Raden Ajeng
Tien mempercayai alasannya tersebut. Seperti terlihat pada kutipan berikut:
“Anu kok Rap, Ibu kuwi mentas tampa lajang saka bu gede Sala kana.
Ibu-gede kuwi lagi sekel banget penggalihe, djalaran putrane sidji tur
kakung, wis kurang luwih pitung sasi iki lunga saka Sala tanpa pamit,
nganti seprene ora ana kabare” (hlm. 82).

Terjemahan:
‘Begini Rap, Ibu baru saja menerima surat dari bibi di Solo. Bibi itu
sedang menderita, sedang bersedih, karena anak lelaki satu-satunya
sudah tujuh bulan pergi dari Solo tanpa pamit, hingga saat ini tidak ada
kabar.’

”Ing batos Raden Adjeng Tien radi eram sumerep pasemonipun


Rapingun, boten punapa-punapa. Rumaos tuna panggrajanipun. Ingkang
salebetipun manah Raden Adjeng Tien ngunandika, apa saking pintere
nutupi, saka wis bisa ngereh atine dewe, apa saka ora ana gegajutaning
bab babar-pisan” (hlm. 83).

Terjemahan:
‘Di dalam hati Raden Ajeng Tien agak curiga melihat raut muka
Rapingun, bukan apa-apa. Merasa
commit kurang memperhatikan. Raden Ajeng
to user
Tien berbicara dalam hati, apa karena pandainya dia menutupi, dari
perpustakaan.uns.ac.id 117
digilib.uns.ac.id

kepandainya mengatur hatinya sendiri, atau karena memang tidak ada


hubungannya dengan masalah ini.’

Berdasarkan segi watak dan karakternya yang mengacu pada keinginan,


emosi, dan moral yang membentuk tokoh. Tokoh Raden Ajeng Tien
merupakan tokoh yang kompleks. Karena perjalanan kehidupannya
diceritakan oleh pengarang mulai dari pekerjaannya, sikap budi pekertinya,
serta pada akhir cerita ia menjadi istri dari Raden Mas Sutanta. Hal itu dapat
dilihat pada kutipan berikut:
“Rak inggih sami wiludjeng ta Njah?”
“Pangestu pandjenengan wiludjeng, Den Bei.”
“Anakipun gentos mbagekaken:
“Sugeng Njah?”
“Wiludjeng Den Adjeng. Lo Den Adjeng Tien (tjekakan saking
Soepartinah) kok wonten dalem. Menapa mboten mulang? (hlm. 16).

Terjemahan:
‘Sehat kan Nyah?’
‘Atas doa anda sehat, Den Bei.’
‘Anaknya bergantian menyapa:
‘Sehat Nyah?’
‘Sehat Den Ajeng. Lho Den Ajeng Tien (kependekan dari Soepartinah)
kok di rumah. Apa tidak mengajar?’

“Dinten sebtu djam gangsal sonten ing ngadjeng Kamantren guron


Parakan wonten oto Overland kendel, tendanipun kabikak. Inggih ing
ngriku punika pondokanipun Raden Adjeng Supartinah. Raden Adjeng
Supartinah punika dados guru H.C.S partikelir ing Parakan” (hlm. 43).

Terjemahan:
‘Hari Sabtu pukul lima sore di depan dinas pendidikan Parakan ada mobil
Overland berhenti, tendanya dibuka. Disanalah tempat tinggal Raden
Ajeng Supartinah. Raden Ajeng Supartinah menjadi guru di H.C.S
Partikelir (sekolah swasta) di Parakan.’

Sikap yang menunjukkan keluhuran budi pekerti Raden Ajeng Tien


adalah ketika ia rela melepas kain stagen-nya untuk digunakan menolong
Rapingun karena saat itu keduanya sedang kejugrugan gunung artinya sedang
menemui kesusahan yang besar. Tanpa perasaan apapun ia tulus memberikan
bantuan kepada Rapingun sebagai balas
commit budinya karena telah ditolong oleh
to user
perpustakaan.uns.ac.id 118
digilib.uns.ac.id

Rapingun. Terlihat pada kutipan di bawah ini:


“O kelingan aku saiki.”
“Kadospundi?”
“Setagen rak kena kanggo mblebed ta?
“Kangge pitulungan ingguh kenging, nanging pundi ingkang wonten?”
“Iki setagenku”(hlm. 68)

Terjemahan:
‘Oh aku teringat.’
‘Bagaimana?’
‘Apa setagen bisa untuk membalut?’
‘Untuk pertolongan sementara bisa, tetapi dimana mendapatkan setagen?’
‘ini setagen-ku’

“Raden Adjeng Tien ngertos jen Rapingun anggenipun boten purun


kablebed setagenipun punika namung saking pekewed. Sampun ngantos
nama, murang tata, minggahipun nerak kasusilan, mila milih bade
kablebed tjatokipun tjutjal kemawon” (hlm. 69).

Terjemahan:
‘Raden Ajeng Tien mengerti alasan Rapingun tidak ingin dibalut dengan
stagen karena sungkan. Jangan sampai melanggar kesusilaan dan tata
krama, oleh karena itu ia memilih dibalut dengan ikat pinggangnya saja’

“Manahipun Raden Adjeng Tien boten mekaten. Ing wekdal wonten


kasangsaran ingkang mekaten wau perlu tetulung dados kajengipun
ingkang semanten wau nama mboten bade tjengkah kalijan kasusilan”
(hlm. 69).

Terjemahan:
‘Menurut Raden Ajeng Tien tidak demikian. Saat dalam keadaan susah
dan membutuhkan pertolongan yang demikian itu bukan berarti tidak
mematuhi norma kesusilaan yang ada’

Pada akhir cerita Raden Adjeng Tien telah diperistri oleh Raden Mas
Sutanta atau Rapingun kemudian tokoh tersebut disebut sebagai Raden Ayu
Tanta karena nama dan gelar itu dipakai oleh orang yang telah menikah,
pengarang juga memberikan nama tokoh ini menjadi Raden Ayu Seter nama
itu sesuai dengan pekerjaan suaminnya. Hal itu terdapat pada kutipan berikut
ini:
“Wah Ndara Adjeng ki, e kesupen, Ndara Den Aju Seter, dumeh manten
anjar ndur sija-sija”(hlm. commit
106). to user
perpustakaan.uns.ac.id 119
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘Wah Ndara Ajeng ini, e lupa, Ndara Ayu Seter, mentang-mentang
pengantin baru lalu semena-mena’

“Raden Aju wedana taken dateng Raden Aju Tanta:”


“Kowe kok rada putjet Tien!”(hlm. 107).

Terjemahan:
‘Raden Ayu Wedana bertanya pada Raden Ayu Tanta:’
‘Kamu kok agak pucat Tien!’

1) Analitik
Penggambaran fisik Raden Ajeng Tien tidak disebutkan diawal cerita
namun berada di akhir cerita saat tokoh tersebut telah menikah dengan tokoh
Raden Mas Sutanta. Tokoh Raden Ajeng Tien digambarkan sebagai wanita
muda berumur kurang dari delapan belas tahun, tinggi, dan langsing. Seperti
terlihat pada kutipan berikut:
“Dinten Sebtu djam wolu endjing wonten oto Ostin sedan dipunsetiri
prijantun neneman, bregas, umur-umuranipun kirang langkung 25 tahun.
Tjlananipun idjem, ngangge setiwel sawo mateng, sawitan kalijan
sepatunipun, rangkepanipun rasukan sutra lurik, kawingkis dumugi sikut,
rambutipun pating prentel mewahi wenesing tjahja. Dene ingkang linggih
ing kiwanipun, prijantun estri, umur-umuranipun dereng langkung saking
wolulasan taun, pasemonipun mbranjak, pantes lan badanipun lendjang
kepara alit sekedik” (hlm. 105).

Terjemahan:
‘Hari Sabtu pukul delapan pagi ada mobil sedan Ostin dikendarai oleh
lelaki muda, gagah, umurnya kurang lebih 25 tahun. Celananya hijau,
memakai kaus kaki sawo matang, serasi dengan sepatunya, pakaiannya
sutra lurik, dilipat sampai siku, rambutnya ikal. Sedangkan yang berada di
sisi kirinya, seorang wanita umurnya belum lebih dari delapan belas
tahun, raut wajahnya ceria, bahagia, dan badannya tinggi agak kecil.’

2) Dramatik
Analisis dramatik terhadap tokoh Raden Ajeng Tien dapat dilihat dari
nama yang digunakan tokoh, cara tokoh lain berdialog dengan tokoh ini, cara
berpakaian serta kegiatan lain yang dilakukan oleh tokoh yanga memperkuat
commit
data bahwa tokoh Raden Ajeng Tientomerupakan
user tokoh yang baik, ramah,
perpustakaan.uns.ac.id 120
digilib.uns.ac.id

senang bergurau, serta berpakaian dengan menggunakan setagen yang


umumnya merupakan pakaian wanita Jawa zaman itu. Berikut kutipannya:
“Wah Ndara Adjeng ki, e kesupen, Ndara Den Aju Seter, dumeh manten
anjar ndur sija-sija”(hlm. 106).

Terjemahan:
‘Wah Ndara Ajeng ini, e lupa, Ndara Ayu Seter, mentang-mentang
pengantin baru lalu semena-mena’

“Raden Aju wedana taken dateng Raden Aju Tanta:”


“Kowe kok rada putjet Tien!”(hlm. 107).

Terjemahan:
‘Raden Ayu Wedana bertanya pada Raden Ayu Tanta:’
‘Kamu kok agak pucat Tien!’

“Wiludjeng Den Adjeng. Lo Den Adjeng Tien (tjekakan saking


Soepartinah) kok wonten dalem. Menapa mboten mulang? (hlm. 16).

Terjemahan:
‘Sehat Den Ajeng. Lho Den Ajeng Tien (kependekan dari Soepartinah)
kok di rumah. Apa tidak mengajar?’

“Bu,bu. Nuwun sewu nggih bu! Ibu kok ngendika klesak-klesik menika
ngendika kalijan sinten ta, bu? Menapa saweg ndonga?” Anggenipun
pitaken mekaten wau kalijan gumudjeng sarwi nutupi lambenipun mawi
katju....”

Terjemahan:
‘Bu, Bu, maaf ya Bu, ibu kok berbicara berbisik-bisik, ibu itu berbicara
sama siapa? Apa ibu sedang berdoa? Pertanyaan itu terlontar dengan gelak
tawa sambil menutupi mulutnya dengan sapu tangan.’

“Jen boten tumut, kuwatos manawi Mas Tanta minggat malih


kok”(hlm.106)

Terjemahan:
‘Kalau saya tidak ikut, saya khawatir Mas Tanta pergi lagi Bu’

“O kelingan aku saiki.”


“Kadospundi?”
“Setagen rak kena kanggo mblebed ta?
“Kangge pitulungan ingguh kenging, nanging pundi ingkang wonten?”
“Iki setagenku”(hlm. 68) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 121
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘Oh aku teringat.’
‘Bagaimana?’
‘Apa setagen bisa untuk membalut?’
‘Untuk pertolongan sementara bisa, tetapi dimana mendapatkan setagen?’
‘ini setagen-ku’

e. Nyonyah Oei Wat Hien.


Tokoh Nyonyah Oei Wat Hien digambarkan oleh pengarang sebagai
seorang Tiong Hoa yang berumur belum mencapai tiga puluh tahun. Nyonyah
Hien merupakan majikan Rapingun sebelum Rapingun mengabdikan diri pada
Den Bei. Dari hal tersebut maka tokoh Nyonyah Hien dapat digolongkan
kedalam tokoh protagonis. Berikut kutipannya:
“Keleres dinten Minggu, wetawis djam wolu endjing, ing ngadjeng
ngasistenan Ngadiredja wonten oto. Boten dangu njonjah Tiong Hoa
ingkang umur-umuranipun dereng langkung saking tigang dasan taun.
Mandap saking oto, terus dateng ngasistenan. Lampahipun medal
ngiringan grija, terus dateng ngiringan. Dene otonipun kaputer balik terus
kendel wonten ngadjeng pasar” (hlm. 15).

Terjemahan:
‘Kebetulan hari Minggu, antara pukul delapan pagi, di depan gedung
asisten Ngadireja ada mobil. Tidak lama Nyonyah Tiong Hoa yang kira-
kira umurnya belum lebih dari tigapuluhan tahun. Turun dari mobil, lalu
pergi ke gedung asisten. Jalannya lewat samping gedung. Sedangkan
mobinya berputar balik lalu berhenti di depan pasar.’

“Mila kasinggihan dawuh pandjengan. Nanging atur kula minangka boten


lelamisan. Salebetipun wulan Pebruari angsal-angsalan kula Rp. 150,
wulan April angsal Rp. 176, wulan Mei Rp. 209 pantjen sopir kula enggal
menika peng-pengan saestu kok!”(hlm. 20).

Terjemahan:
‘Maka dari itu terserah anda saja. Tetapi saya tidak omong kosong. Selama
bulan Februari pendapatan saya Rp. 150, bulan April dapat Rp. 176, bulan
Mei Rp. 209 supir saya yang baru ini memang rajin.’

Meskipun tokoh ini digambarkan seorang Tiong Hoa namun ia begitu


fasih dalam berbahasa Jawa sebagaimana undha-usuk basa yang benar. Tokoh
Nyonyah Oei Wat Hien melakukan sesuatu yang sesuai dengan budaya tempat
ia tinggal. Ia menghormati commit to userJawa sebagai budaya tempat ia
kebudayaan
perpustakaan.uns.ac.id 122
digilib.uns.ac.id

bernaung. Hal ini sesuai dengan pepatah Jawa desa mawa cara negara mawa
tata setiap tempat memiliki aturan sendiri, haruslah dihormati meski tidak
sesuai dengan kebiasaan yang dianut. Seperti dalam kutipan berikut:
“Rak inggih sami wiludjeng ta Njah?”
“Pangestu pandjenengan wiludjeng, Den Bei.”
Anakipun gentos mbagekaken:
“Sugeng Njah?”
“Wiludjeng Den Adjeng. Lo Den Adjeng Tien (tjekakan saking
Soepartinah) kok wonten dalem. Menapa mboten mulang? (hlm. 16).

Terjemahan:
‘Sehat kan Nyah?’
‘Atas doa anda sehat, Den Bei.’
‘Anaknya bergantian menyapa:
‘Sehat Nyah?’
‘Sehat Den Ajeng. Lho Den Ajeng Tien (kependekan dari Soepartinah)
kok di rumah. Apa tidak mengajar?’

Ditinjau dari segi keterlibatannya dalam cerita tokoh Nyonyah Oei Wat
Hien merupakan tokoh peripheral dimana tokoh ini merupakan tokoh yang
membantu tokoh utama daam menyampaikan maksud cerita. Dalam hal ini
Nyonyah Oei Wat Hien memberikan penguatan informasi bahwa Rapingun
merupakan tokoh yang berwatak halus, tekun, pandai, dan memperhatikan
mobil dengan baik. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
“Boten saestu kok Den Aju. Tijang kula samenika menika boten kados
sopir sanes-sanesipun. Watakipun alus, temen, prigel, gematosipun dateng
oto inggih boten djamak. Mila oto wau ketingalipun inggih kintjlong-
kintjlong adjegan. Lengganan mindak katah. Dalah para lengganan
kemawon sami ngalem. Pantjen pijambakipun saged nudju manahipun
lengganan” (hlm. 20).

Terjemahan:
‘Tidak, sungguh Den Ayu. Si Rapingun itu tidak seperti supir lainnya.
Wataknya halus, tekun, pandai, dan perhatian dengan mobilnya. Oleh
karena itu mobil saya terlihat kinclong sekali. Langganan semakin banyak.
Para langganan saya selalu memujinya kok. Dia memang pandai
mengambil hati pelanggan.’

Tokoh Nyonyah Oei Wat Hien merupakan tokoh sederhana karena tokoh
tersebut hanya mengambil sedikit bagian dalam cerita setelah itu tidak
commit to user
diceritakan lagi. Kemunculan tokoh Nyonyah Oei Wat Hien hanya pada sub
perpustakaan.uns.ac.id 123
digilib.uns.ac.id

judul 3 yang mengenalkan tokoh Rapingun pada Den Bei. Secara kebetulan
supir Nyonyah Hien merupakan supir yang menolong Den Bei saat dalam
kesusahan. Sehingga Den Bei ingin melanjutkan niatanya memberi imbalan
kepada Rapingun namun ia menolaknya. Rapingun justru diminta menjadi
supir pribadi Raden Bei Asisten Wedana. Berikut kutipannya:
“Kados pundi Den Bei? Sadjak kok le ngedeg-ngedegi kuwi!”
“Boten punapa-punapa. Sampun kuwatos. Mekaten inggih. Kala semanten
kula dateng Purwokerto, punika wangulipun sareng dumugi Kledung oto
kula ladjeng mogok wiwit djam gansal dumugi djam sedasa dalu. Malah
samuna sopiripun Njah Hien dateng, terkadang kula tetiga mboten saged
wangsul. Lah dumugi sepriki dereng kula perseni (hlm. 21).

Terjemahan:
‘Bagaimana Den Bei? Saya khawatir lho ini, ada apa?’
‘Tidak apa-apa Nyah. Tidak usah khawatir. Begini, saat saya perjalanan
pulang dari Purwokerto sesampainya di Kledung mobil saya ini rusak dari
pukul lima sampai pukul sepuluh malam. Kalau supir Nyah Hien tidak
datang, kami bertiga tidak bisa pulang. Nah sampai sekarang belum saya
kasih imbalan.’

1) Analitik
Tokoh Nyonyah Oei Wat Hien digambarkan secara langsung oleh
pengarang sebagai wanita Tiong Hoa yang berumur kurang dari tiga puluh
tahun yang datang ke gedung asisten dengan mengendarai mobil. Seperti
terlihat dalam kutipan berikut ini:
“Keleres dinten Minggu, wetawis djam wolu endjing, ing ngadjeng
ngasistenan Ngadiredja wonten oto. Boten dangu njonjah Tiong Hoa
ingkang umur-umuranipun dereng langkung saking tigang dasan taun.
Mandap saking oto, terus dateng ngasistenan. Lampahipun medal
ngiringan grija, terus dateng ngiringan. Dene otonipun kaputer balik terus
kendel wonten ngadjeng pasar” (hlm. 15).

Terjemahan:
‘Kebetulan hari Minggu, antara pukul delapan pagi, di depan gedung
asisten Ngadireja ada mobil. Tidak lama Nyonyah Tiong Hoa yang kira-
kira umurnya belum lebih dari tigapuluhan tahun. Turun dari mobil, lalu
pergi ke gedung asisten. Jalannya lewat samping gedung. Sedangkan
mobinya berputar balik lalu berhenti di depan pasar.’

Tokoh ini juga digambarkan oleh pengarang telah menjalin hubungan


commit to user
baik dengan keluarga Den Bei. Terbukti bagaimana suasana akrab tercipta
perpustakaan.uns.ac.id 124
digilib.uns.ac.id

ketika Nyonyah Hien datang. Ia langsung disambut dengan baik oleh Raden
Ayu dengan suara yang bergembira pertanda tamunya memang sudah sangat
akrab dengannya. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini:
“Boten dangu tamunipun dateng, kanti esem ingkang mratandani dateng
supeketing tetepangan. Mekaten ugi Den Bei Asisten wedana kakung putri
tuwin putranipun, lajeng sami menjat mapagaken, kairing gumrapjaking
tembung.”

Terjemahan:
‘Tidak lama datanglah tamunya dengan senyuman yang menandakan
kedekatan hubungan. Demikian pula dengan Den Bei Asisten Wedana
beserta istri dan anaknya seketika berdiri menyambut kedatangan tamu itu
dengan ramah.’

2) Dramatik
Penggambaran tokoh Nyonyah Oei Wat Hien secara dramatik terlihat dari
penggunaan nama yang jelas digunakan bukan oleh orang Jawa. Tokoh ini
digambarkan ialah seorang pedagang dari Parakan yang mengambil setoran
untuk hutang Den Bei. Ia juga berwatak ramah dan pandai dalam berkata-kata
seprti ketika tokoh ini membujuk Raden Ayu untuk mau membeli dagangan
miliknya. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
Raden Aju Asisten njambeti:
“Ngantena menika rak tokonipun pijambak ta!”
“Inggih”
”Jen ngono besuk utang karo bah Hien bae adja karo toko Hien?”
(hlm. 17).

Terjemahan:
‘Raden Ayu Asisten menyahut:
‘Berarti itu tokonya sendiri’
‘Iya’
‘Kalau begitu besok kita hutang pada Bah Hien saja jangan pada toko
Hien?’

“Senadjan kula menika bakul, nanging tjaranipun boten saged kuwadean,


anggenipun ngalem daganganipun ngantos mremen-mremen dateng
ingkang bade tumbas. Menawi kula namung blejed menapa wontenipun
kemawon” (hlm. 18).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 125
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘Walaupun saya ini pedagang, tetapi cara saya bukan seperti pedagang
lain, yang memuji barang dagangannya secara berlebihan. Saya hanya
mengatakan apa adanya kepada pembeli.’

“Ambak wong sugih rembug ora kaja Njah Hien!”


“Amargi sugih sambutan. Sampun kepareng”(hlm. 25-26).

Terjemahan:
‘Tidak ada orang kaya seperti Nyah Hien!’
‘Kaya hutang, sudah sudah mari’

f. Raden Aju Mantri Guru


Tokoh Raden Ayu Mantri guru merupakan tokoh protagonis. Dalam cerita
digambarkan bahwa Raden Ayu Mantri guru merupakan istri yang sangat setia,
sebenarnya ia kan pergi ke Magelang bersama Raden Ajeng Tien, namun ia
tidak pergi ke Magelang bersama Raden Ajeng Tien karena suaminya Raden
Nganten guru sedang sakit dan ingin menjaga suaminya di rumah. Hal itu dapat
dilihat pada kutipan di bawah ini:
“Mangga ta kalijan Ibu”
“Djeng Tien ki kok ya aneh, genah keng Bapak saweg gerah ngaten kok.
Upami keng Bapak boten saweg sakit, kua inggih ndherek. Malah keng
Bapak pijambak terkadang inggih klaju.”(hlm.44)

Terjemahan:
‘Ayolah dengan Ibu’
‘Djeng Tien ini kok aneh, jelas-jelas Bapak sedang sakit kok. Kalau Bapak
tidak sakit tentu Ibu akan ikut. Malah kadang bapak sendiri yang
berangkat.’

Tokoh ini juga digambarkan sangat mengkhawatirkan keselamatan


Raden Ajeng Tien karena saat akan naik mobil tidak sengaja terpeleset dan
hampir jatuh untunglah ada Rapingun yang menolongnya. Rapingun dengan
sigap menangkap tubuh Raden Ajeng Tien yang hampir terjatuh. Tidak ingin
Rapingun menjadi susah maka Raden Ajeng Tien diminta untuk duduk di
depan saja. Berikut kutipannya:
“Sukur ta sukur! Samenika lenggah wonten ngajeng kemawon, sampun
lenggah wingking. Ingkang momong boten marengaken.
“Menapa inggih ta Bu?” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 126
digilib.uns.ac.id

“E, nggegaa kemawon dateng tijang sepuh. Lan malih wonten wingking
menika anginipun sumribid. Jen wonten ngajeng rak boten” (hlm. 45)

Terjemahan:
‘Syukurlah, syukur! Sekarang duduk di depan saja, jangan duduk di
belakang, yang menjaga tidak memperbolehkan’
‘Apakah demikian Bu?’
‘E, menurut sajalah pada orang tua. Dan lagi di belakang anginnya dingin.
Kalau di depan kan tidak.’

Tokoh Raden Mantri guru merupakan tokoh peripheral. Dikarenakan


tokoh tersebut mendukung jalannya cerita dan tidak menentang tokoh utama.
Terlihat dari pembicaraannya dengan Rapingun mengenai keadaan Raden Ayu
Asisten Wedana yang tidak jadi berangkat ke Magelang. Berikut kutipannya:
Saking salebeting dalem wonten swantenipun prijantun taken dateng
sopir:
“Rap?”
“Nun”
“Lo Ibu endi?”
“Boten tindak, amargi radi pujeng”
“Dawuhe keprije?”
“Dawuhipun, menawi pandjenengan estu badhe tindak Magelang,
kedawuhan tindak pijambak. Menawi boten, inggih kedawuhan kondur.”
(hlm. 44).

Terjemahan:
‘Dari dalam rumah terdengar seseorang bertanya pada supir:
‘Rap?’
‘Iya’
‘Lho Ibu dimana?’
‘Tidak berangkat, karena agak pusing tadi’
‘Beliau berpesan apa?’
‘Beliau berpesan jika Ibu Mantri guru sungguh ingin pergi ke Magelang,
Ibu berpesan untuk dapat pergi sendiri. Kalau tidak, saya diperintahkan
pulang.

Ditinjau dari segi watak dan karakternya tokoh Raden Ayu Mantri guru
merupakan tokoh sederhana karena tokoh ini hanya ditunjukan sebagian kecil
kehidupannya yaitu sebagai pamomong Raden Ajeng Tien selama menjadi guru di
Parakan. Selebihnya tokoh tersebut tidak muncul kembali.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 127
digilib.uns.ac.id

1) Analitik
Tidak ditemukan data mengenai analisis penokohan secara analitik.
Pengarang tidak menyebutkan perwatakan dan tingkah laku tokoh Raden Ayu
Mantri guru secara langsung karena tokoh ini hanya sebagai tokoh peripheral
dan sederhana yang sifatnya hanya mendukung cerita.
2) Dramatik
Ditemukan data mengenai penokohan secara dramatik yaitu melalui dialog
tokoh Raden Ayu Mantri guru dengan Raden Ajeng Tien, yang menunjukkan
sifatnya yang setia pada suami dan bertanggung jawab pada anak asuhnya,
seperti terlihat pada kutipan berikut:
“Mangga ta kalijan Ibu”
“Djeng Tien ki kok ya aneh, genah keng Bapak saweg gerah ngaten kok.
Upami keng Bapak boten saweg sakit, kua inggih ndherek. Malah keng
Bapak pijambak terkadang inggih klaju.”(hlm.44)

Terjemahan:
‘Ayolah dengan Ibu’
‘Djeng Tien ini kok aneh, jelas-jelas Bapak sedang sakit kok. Kalau Bapak
tidak sakit tentu Ibu akan ikut. Malah kadang bapak sendiri yang
berangkat.’

“Sukur ta sukur! Samenika lenggah wonten ngajeng kemawon, sampun


lenggah wingking. Ingkang momong boten marengaken.
“Menapa inggih ta Bu?”
“E, nggegaa kemawon dateng tijang sepuh. Lan malih wonten wingking
menika anginipun sumribid. Jen wonten ngajeng rak boten” (hlm. 45)

Terjemahan:
‘Syukur, syukur! Sekarang duduk di depan saja, jangan duduk di belakang,
yang menjaga tidak memperbolehkan’
‘Apakah demikian Bu?’
‘E, menurut sajalah pada orang tua. Dan lagi di belakang anginnya dingin.
Kalau di depan kan tidak.’

g. Raden Nganten Guru


Tokoh Raden Nganten guru merupakan suami dari tokoh Raden Ayu
Mantri guru. Berdasarkan ketelibatannya dalam cerita tokoh ini merupakan
tokoh protagonis. Terlihat ketika Raden Ajeng Tien hampir terjatuh dari mobil ia
commit
sangat khawatir kepada anak asuhnya itu.toBerikut
user kutipannya:
perpustakaan.uns.ac.id 128
digilib.uns.ac.id

“Aduh ngger! Tudjune diparingi slamet. Dospundi ta Djeng kok le ora


ngati-ati kuwi!” Tjrijosan mekaten kala wae kalijan megap-megap,
kabekta saking kaget lan uwasing manah” (hlm. 45)

Terjemahan:
‘Aduh nak, untung masih diberi selamat. Bagaimana ta Djeng kok tidak
hati-hati’ berkata demikian sambil terbata-bata karena masih kaget dan
khawatir.’

Tokoh ini merupakan tokoh peripheral sekaligus tokoh sederhana karena


tokoh Raden Nganten guru hanya muncul dalam satu bab itupun tidak dijelaskan
bagaimana watak dan karakternya. Tokoh ini merupakan suami dari Raden Ayu
Mantri guru yang sedang sakit sehingga tidak dapat ikut ke Magelang. Berikut
temuan tersebut:
“Djeng Tien ki kok ya aneh, genah keng Bapak saweg gerah ngaten kok.
Upami keng Bapak boten saweg sakit, kua inggih ndherek. Malah keng
Bapak pijambak terkadang inggih klaju.”(hlm.44)

Terjemahan:
‘Djeng Tien ini kok aneh, jelas-jelas Bapak sedang sakit kok. Kalau
Bapak tidak sakit tentu Ibu akan ikut. Malah kadang bapak sendiri yang
berangkat.’

1) Analitik
Tidak ditemukan data mengenai analisis penokohan secara analitik.
Pengarang tidak menyebutkan perwatakan dan tingkah laku tokoh Raden
Nganten guru secara langsung karena tokoh ini hanya sebagai tokoh peripheral
dan sederhana yang sifatnya hanya mendukung cerita.
2) Dramatik
Hasi analisis secara dramatik pada toko Raden Nganten guru didapatkan
data bahwa tokoh ini merupakan tokoh yang perhatian terhadap Raden Ajeng
Tien, dan saat itu kondisinya sedang sakit. Berikut kutipannya:
“Aduh ngger! Tudjune diparingi slamet. Dospundi ta Djeng kok le ora
ngati-ati kuwi!” Tjrijosan mekaten kala wae kalijan megap-megap,
kabekta saking kaget lan uwasing manah” (hlm. 45)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 129
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘Aduh nak, untung masih diberi selamat. Bagaimana ta Djeng kok tidak
hati-hati’ berkata demikian sambil terbata-bata karena masih kaget dan
khawatir.’

“Djeng Tien ki kok ya aneh, genah keng Bapak saweg gerah ngaten kok.
Upami keng Bapak boten saweg sakit, kua inggih ndherek. Malah keng
Bapak pijambak terkadang inggih klaju.”(hlm.44)

Terjemahan:
‘Djeng Tien ini kok aneh, jelas-jelas Bapak sedang sakit kok. Kalau
Bapak tidak sakit tentu Ibu akan ikut. Malah kadang bapak sendiri yang
berangkat.’

h. Kasna
Tokoh Kasna adalah tokoh protagonis. Hal tersebut berdasarkan temuan
peneliti bahwa tokoh Kasna merupakan teman Rapingun saat bekerja pada
Nyonyah Oei Wat Hien sebagai supir taksi, tokoh Kasna digambarkan sebagai
seorang yang patuh, apapun yang diperintahkan oleh Rapingun ia kerjakan
dengan baik. Berikut kutipannya:
“Na, Na, Kasna!”
“Kula”
“Hara djajal iki kabeh bukana”
“Enggih”(hlm. 9)

Terjemahan:
‘Na, Na, Kasna!”
‘Saya’
‘Coba ini dibuka semua’
‘Iya’

“Na, slinger kae jupuken!”


“Enggih”(hlm. 10)

Terjemahan:
‘Na, ambilkan slinger itu!’
‘Iya’

“Wis Na, puteren sing ajeg ja, Na.”


“Enggih” (hlm. 10)

Terjemahan: commit to user


‘Sudah Na, tolong diputar yang teratur’
perpustakaan.uns.ac.id 130
digilib.uns.ac.id

‘Iya’

“Na, padangana nganggo rek ja Na!”


“Enggih”

Terjemahan:
‘Na, tolong terangi ini pakai korek api ya’
‘Iya’

“Na, ndjupuka gombal”


“Enggih” (hlm. 11)

Terjemahan:
‘Na, ambilah kain’
‘Iya’

Kasna merupakan tokoh peripheral karena ia hanya mengambil bagian


kecil dalam cerita dan lagi tokoh ini hanya muncul satu kali yaitu pada bab I
yang berjudul oto mogok setelah itu tidak muncul lagi. Sifat kemunculan tokoh
Kasna dalam bab tersebut adalah untuk menguatkan profesi Rapingun sebagai
supir taksi karena Kasna berperan sebagai kondektur. Berikut kutipan yang
membuktikan:
Kenekipun oto mandap rumijin, nggandjel roda wingking awit wonten
margi sumengka....(hlm. 8)

Terjemahan:
‘Kondektur mobil turun lebih dulu, mengganjal roda belakang karena di
jalan menurun....’

Tokoh sederhana juga disandang oleh tokoh Kasna sebab ia merupakan


tokoh yang kurang menampilkan personalitas secara utuh dan tidak di kisahkan
secara utuh dalam cerita. Dalam cerita ia hanya digambarkan dengan watak yang
patuh dan sedikit pamrih. Seperti terlihat pada kutipan dibawah ini:
“....Mangka sajektosipun sampun kumetjer sumerep tanganipun prijantun
wau isi arta. Mila semu gela sanget, dene mlesed pangadjeng-adjengipun
tampi panduman....” (hlm. 12)

Terjemahan:
‘....Padahal sebenarnya sudah bernafsu melihat tangan orang itu berisi
uang. Karena itulah dia kecewa sekali, keinginannya untuk mendapat
imbalan gagal.’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 131
digilib.uns.ac.id

1) Analitik
Penggambaran tokoh Kasna secara analitik dapat dilihat dari
penggambaran tokoh Kasna yang pamrih oleh pengarang. Kasna sangat ingin
menerima uang itu, namun melihat Rapingun menolaknya ia menjadi kecewa.
Seperti terlihat pada kutipan berikut ini:
“....Sopir terus murugi otonipun pijambak ladjeng njambak rambutipun
Kasna, awit Kasna mlongo dening lurahipun boten purun nampeni arta.
Mangka sajektosipun sampun kumetjer sumerep tanganipun prijantun wau
isi arta. Mila semu gela sanget, dene mlesed pangadjeng-adjengipun
tampi panduman. Nanging dereng ngantos kasumerepan dening ingkang
bade suka ganjaran kesesa dipunsered sopiripun” (hlm. 12)

Terjemahan:
‘....Supir lalu kembali ke mobil dan menjambak rambut Kasna, karena
Kasna terkesima atasannya tidak mau menerima uang. Padahal sebenarnya
sudah bernafsu melihat tangan orang itu berisi uang. Karena itulah dia
kecewa sekali, karena keinginannya untuk mendapat hasil gagal. Belum
sampai orang yang ingin memberi tahu ia sudah diseret supir’

2) Dramatik
Hasil temuan peneliti berdasarkan analisis dramatik diperoleh data bahwa
tokoh Kasna merupakan tokoh yang patuh dan juga senang bergurau, terlihat
dari cara pengarang menggambarkan dengan dialog antara Rapingun yang
memerintahkan Kasna dan Kasna selalu menjawab enggih ‘iya’ dilanjutkan
dengan lagak Kasna yang seperti orang kaya membuat suasana penceritaan lebih
segar. Berikut kutipannya:
“Na, Na, Kasna!”
“Kula”
“Hara djajal iki kabeh bukana”
“Enggih”(hlm. 9)

Terjemahan:
‘Na, Na, Kasna!”
‘Saya’
‘Coba ini dibuka semua’
‘Iya’

“Na, slinger kae jupuken!”


“Enggih”(hlm. 10) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 132
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘Na, ambilkan slinger itu!’
‘Iya’

“Wis Na, puteren sing ajeg ja, Na.”


“Enggih” (hlm. 10)

Terjemahan:
‘Sudah Na, tolong diputar yang teratur’
‘Iya’

“Na, padangana nganggo rek ja Na!”


“Enggih”

Terjemahan:
‘Na, tolong terangi ini pakai korek api ya’
‘Iya’

“Na, ndjupuka gombal”


“Enggih” (hlm. 11)

Terjemahan:
‘Na, ambilah kain’
‘Iya’

“Pundi, ngriki adjeng kula engge kudung, wong teksih gremis. Kula niki
sok mumet nek kegrimisan.”
“Pambekanmu kaja ndara menggung, wis iki busine pasangen sing
kentjeng ya Na!”(hlm. 11)

Terjemahan:
‘Mana, sini mau saya pakai kerudung, masih gerimis ini. Saya ini pusing
kalau terkena gerimis’
‘lagakmu itu seperti ndara menggung, sudah ini businya dipasang yang
kuat ya’

i. Kreta/Kerta
Tokoh Kerta merupakan pembantu rumah tangga yang mengabdi pada
tokoh Raden Bei Asisten Wedana. Tokoh Kerta merupakan tokoh protagonis
karena dalam penggambarannya ia digambarkan sebagai seorang yang patuh
dan senang membantu, seperti terlihat pada kutipan berikut:
“Wis genah kuwi pak.” commit to user
“Wis terang.”Ladjeng ngundang rentjangipun, “Ta, Ta, Kerta!”
perpustakaan.uns.ac.id 133
digilib.uns.ac.id

“Kae sopiri nyah Hien undangen mrene. Kandaa aku sing ngundang ja”
“Nun inggih”(hlm. 21).

Terjemahan:
‘Sudah pasti itu Pak’
‘Sudah jelas’ lalu memanggil pembantunya. ‘Ta, Ta, Kerta!’
‘Itu supir Nyah Hien undang kemari, bilang aku yang mengundang’
‘Iya”

Kreta dateng, ngrentjangi Rapingun. Kreta punika samangke prasasat


dados kenekipun Rapingun ing samukawis padamelan (hlm. 31)

Terjemahan:
‘Kreta datang, membantu Rapingun. Kreta seperti menjadi asisten
Rapingun di semua pekerjaan’

Tokoh Kreta merupakan tokoh peripheral karena keberadaannya hanya


bersifat mendukung tokoh utama yaitu Rapingun. Ia membantu menunjukan
sifat-sifat Rapingun, seperti saat melatih kuda Rapingun terlihat sangat berani
memegangi kuda sedangkan Kreta sangat penakut ia hanya berjaga-jaga diluar
kandang. Berikut kutipannya:
“Patrap sampejan sing dereng kebeneran. Wong sampejan niku djirihe
boten djamak. Ngresiki gedogan mawon seking njaba. Bareng karo wedus
kendele ora djamak. Wong wedus adjeng sampejan tunggangi. Betjike
djeneng sampejan niku Kreta wedus mawon, ampun Kreta djaran”
(hlm. 32).

Terjemahan:
‘Tingkah laku kamu saja yang belum benar. Kamu itu sangat penakut.
Membersihkan kandang saja dari luar. Kalau sama kambing saja berani.
Apa kambing mau kamu tunggangi. Baiknya namamu itu Kreta kambing
saja, jangan Kreta Kuda’

Analisis dari segi keterlibatannya dalam cerita menunjukkan tokoh ini


merupakan tokoh sederhana karena kurang mewakili keutuhan personalitas
manusia. Tokoh tersebut selain digambarkan seorang yang patuh dan suka
membantu, oleh pengarang juga digambarkan senang bergurau. Seperti
terdapat pada kutipan dibawah ini:
Hus, hus Ta adja gemblung lo!”
“Boten Ndara Rap e kesupen Ndara Seter.”
commitmbambung.”
“Kerta angger di-elikake malah to user
perpustakaan.uns.ac.id 134
digilib.uns.ac.id

“Kula kengetan saweg wonten Ngadiredja, kok Ndara.”


(hlm. 106).

Terjemahan:
‘Eh Ta jangan gila ya!’
‘Tidak Tuan Rap, e lupa Tuan Seter.’
‘Kerta jika diinggatkan semakin menjadi-jadi.’
‘Saya teringat saat di Ngadireja kok Tuan.’
“Wah Ndara Adjeng ki, e kesupen, Ndara Den Aju Seter, dumeh manten
anjar ndur sija-sija”(hlm. 106).

Terjemahan:
‘Wah Ndara Ajeng ini, e lupa, Ndara Ayu Seter, mentang-mentang
pengantin baru lalu semena-mena’

1) Analitik
Penggambaran tokoh Kerta secara analitik disampaikan oleh pengarang
bahwa Kerta merupakan tokoh yang penakut. Telihat ketika Kreta melihat
Rapingun menunggangi Hel yang hampir jatuh karena Hel bertingkah tidak
terkendali. Berikut kutipannya:
“Kreta sumerep Rapingun kabekta nglumba-lumba Hel manahipun geter,
badanipun ngoplok, kuwatos mbok bilih Rapingun katjilakan. Sarehning
mboten saged nulungi, tur Rapingun inggih boten betah dipuntulungi,
Kreta namung ngetut wingking saking katebihan kemawon” (hlm. 37).

Terjemahan:
‘Kreta melihat Rapingun menunggangi Hel yang diluar kendali jantungnya
deg-degan, badannya lemas, khawatir jika Rapingun mendapat celaka.
Karena tidak dapat menolong, dan Rapingun juga tidak ingin ditolong,
Kreta hanya melihat dari kejauhan saja.’

2) Dramatik
Penggambaran tokoh Kreta secara dramatik ditemukan data bahwa Kreta
merupakan abdi Raden Bei Asisten Wedana, yang patuh pada atasan serta
suka membantu temannya, terlihat dari kesenangannya membantu Rapingun.
Namun selain itu Kreta juga merupakan tokoh yang penakut sangat
mengkhawatirkan Rapingun. Berikut kutipannya:
“Wis genah kuwi pak.”
“Wis terang.”Ladjeng ngundang rentjangipun, “Ta, Ta, Kerta!”
commit to user
“Kae sopiri nyah Hien undangen mrene. Kandaa aku sing ngundang ja”
perpustakaan.uns.ac.id 135
digilib.uns.ac.id

“Nun inggih”(hlm. 21).

Terjemahan:
‘Sudah pasti itu Pak’
‘Sudah jelas’ lalu memanggil pembantunya. ‘Ta, Ta, Kerta!’
‘Itu supir Nyah Hien undang kemari, bilang aku yang memanggil ya’
‘Iya”

“Patrap sampejan sing dereng kebeneran. Wong sampejan niku djirihe


boten djamak. Ngresiki gedogan mawon seking njaba. Bareng karo wedus
kendele ora djamak. Wong wedus adjeng sampejan tunggangi. Betjike
djeneng sampejan niku Kreta wedus mawon, ampun Kreta
djaran”(hlm.32)

Terjemahan:
‘Tingkah laku kamu saja yang belum benar. Kamu itu sangat penakut.
Membersihkan kandang saja dari luar. Kalau sama kambing saja berani.
Apa kambing mau kamu tunggangi. Baiknya namamu itu Kreta kambing
saja, jangan Kreta Kuda’

j. Salijem
Tokoh Salijem merupakan tokoh yang tidak banyak muncul tokoh ini
hanya tiga kali muncul dalam penceritaan yaitu pada saat memberi tahu Raden
Ayu Asisten Wedana bila ada tamu yaitu Nyonjah Oei Wat Hien, saat
Rapingun bertanya keberadaan Den Bei dan ketika membuatkan es nangka
untuk Rapingun. Sehingga peneliti menggolongkan Salijem sebagai tokoh
protagonis, karena tidak ditemukan data yang menunjukan tokoh Salijem
menyimpang atau menentang tokoh utama. Tokoh Salijem juga merupakan
tokoh peripheral dan tokoh sederhana karena tidak memiliki waktu khusus
dalam penceritaannya. Berikut bukti kemunculan tokoh Salijem:
Saweg kepjek anggenipun sami tjetjriosan, kasaru datengipun rentjang
estri, matur:
“Menika wonten tamu, Ndara.”
Bendaranipun estri taken:
“sapa?”
“njonjah Hien Temanggung” (hlm. 15-16).

Terjemahan:
‘Asik bercerita, terhenti oleh datangnya pembantu wanita, berkata:
‘Ada tamu, Nyonya.”
commit to user
‘Majikan perempuannya bertanya:
perpustakaan.uns.ac.id 136
digilib.uns.ac.id

‘Siapa’
‘Nyonyah Hien Temanggung’

.... Lajeng ngungak dateng margi ageng, Den Bei Asisten Wedana sampun
mboten ketingal. Enggal-enggal madosi rentjang estri pun salijem. Sareng
pinanggih, saweg njapu wonten emper wingking (hlm. 32)

Terjemahan:
‘.... Lalu melihat ke jalan besar, Den Bei Asisten Wedana sudah tidak
terlihat. Buru-buru mencari pembantu wanita yang bernama Salijem.
Setelah bertemu, ternyata ia sedang menyapu di pakarangan belakang’

“Maneh apa? Jen maneh si jem tak kon nggawekake maneh.”(hlm. 43).

Terjemahan:
‘Lagi? Kalau mau nambah biar saya suruh si Jem untuk membuatkan lagi.’

k. Den Ayu Mantri Gudang/ Raden Ayu Mantri


Tokoh Raden Ayu Mantri gudang merupakan tokoh protagonis. Hal ini
telihat dari caranya memperlakukan Rapingun, walaupun Rapingun seorang
supir tokoh ini tidak membeda-bedakan pekerjaan orang lain. Tokoh ini
membawa pesan bahwa sebaiknya tidak memandang seseorang dari status
sosialnya namun dari budi pekerti dan tingkah laku. Berikut kutipannya:
Raden Aju Mantri ladjeng njambeti:
“Ampun sing sopir, nadyan nak Rap niku kere upamane, wong kula
kepingin nganggep anak, djandji nak Rap boten nampik rak kena-kena
mawon ta” (hlm. 50).

Terjemahan:
‘Raden Ayu Mantri melanjutkan:
‘Jangankan supir, walaupun kamu itu gelandangan, kalau saya ingin
mengangkat anak kan tidak masalah asal kamu tidak menolak’

Tokoh ini merupakan tokoh peripheral karena tidak banyak diceritakan


dalam cerita. Tokoh ini hanya dikisahkan mengantarkan Raden Ajeng Tien ke
pasar malam di Magelang. Seperti telihat pada kutipan di bawah ini:
“Jah bapakne ki kok aneh, olehe alot kuwi, rak padune digondeli gong.
Saiki rak lagi momong botjah lah kok nganggo senenge dhewe” (hlm. 53)

Terjemahan:
‘Bapak ini kok aneh, tidakcommit
mauto user
pergi karena senang gamelan kan.
Sekarang itu kita sedang mengantar lha kok malah mencari senang sendiri’
perpustakaan.uns.ac.id 137
digilib.uns.ac.id

Selanjutnya tokoh Raden Ayu Mantri merupakan tokoh sederhana karena


dalam penggambarannya kurang menunjukan secara jelas keseluruhan
kehidupan tokoh. Dalam cerita ditemukan data yang menunjukkan tokoh ini
merupakan tokoh yang ramah, perhatian, dan tanggung jawab. Hal itu dapat
dilihat pada kutipan berikut:
“Nak Rap!”
“Nun”
“Ngriki mawon sing rada padhang!”
“Sampun ngriki kemawon, Ndara”
Raden Aju Mantri gudang ladjeng murugi Rapingun tanganipun
dipungerd. Rapingun kapeksa boten saged suwala (hlm. 49).

Terjemahan:
‘Nak Rap!’
‘Saya’
‘Di sini saja yang terang’
‘Sudah di sini saja Ndara’
‘Raden Ayu Mantri gudang lalu menghampirinya dan menggandheng
tangan Rapingun. Rapingun tidak dapat menolak’

“Jah bapakne ki kok aneh, olehe alot kuwi, rak padune digondeli gong.
Saiki rak lagi momong botjah lah kok nganggo senenge dhewe” (hlm. 53)

Terjemahan:
‘Bapak ini kok aneh, tidak mau pergi karena senang gamelan kan.
Sekarang itu kita sedang mengantar lha kok malah mencari senang sendiri’

1) Analitik
Analisis penggambaran tokoh secara analitik pada tokoh Raden Ayu
Mantri gudang tidak ditemukan. Pengarang tidak menggambakan watak dan
karakter tokoh Raden Ayu Mantri gudang secara langsung.
2) Dramatik
Analisis penggambaran tokoh secara dramatik pada tokok Raden Ayu
Mantri gudang dapat dilihat pada pemberian nama oleh pengarang dengan
gelar Raden Ayu Mantri, hal ini telah menandakan bahwa tokoh ini adalah
priyayi. Penggambaran lain adalah melalui dialog antar tokoh yang
menunjukkan bahwa watak dari tokoh ini adalah ramah, perhatian, tanggung
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 138
digilib.uns.ac.id

jawab, dan tidak membeda-bedakan status sosial seseorang. seperti kutipan di


bawah ini:
“Nak Rap!”
“Nun”
“Ngriki mawon sing rada padhang!”
“Sampun ngriki kemawon, Ndara”
Raden Aju Mantri gudang ladjeng murugi Rapingun tanganipun
dipungerd. Rapingun kapeksa boten saged suwala (hlm. 49).

Terjemahan:
‘Nak Rap!’
‘Saya’
‘Di sini saja yang terang’
‘Sudah di sini saja Ndara’
‘Raden Ayu Mantri gudang lalu menghampirinya dan menggandheng
tangan Rapingun. Rapingun tidak dapat menolak’

“Jah bapakne ki kok aneh, olehe alot kuwi, rak padune digondeli gong.
Saiki rak lagi momong botjah lah kok nganggo senenge dhewe” (hlm. 53)

Terjemahan:
‘Bapak ini kok aneh, tidak mau pergi karena senang gamelan kan.
Sekarang itu kita sedang mengantar lha kok malah mencari senang sendiri’

Raden Aju Mantri ladjeng njambeti:


“Ampun sing sopir, nadyan nak Rap niku kere upamane, wong kula
kepingin nganggep anak, djandji nak Rap boten nampik rak kena-kena
mawon ta” (hlm. 50).

Terjemahan:
‘Raden Ayu Mantri melanjutkan:
‘Jangankan supir, walaupun kamu itu gelandangan, kalau saya ingin
mengangkat anak kan tidak masalah asal kamu tidak menolak’

l. Raden Bei Mantri gudang


Tokoh Raden Bei Mantri gudang merupakan tokoh protagonis. Hal ini
terlihat dari caranya memperlakukan Rapingun, walaupun Rapingun seorang
supir tokoh ini tidak membeda-bedakan pekerjaan orang lain. Tokoh ini
membawa pesan bahwa sebaiknya tidak memandang seseorang dari status
sosialnya namun dari budi pekerti dan tingkah laku. Berikut kutipannya:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 139
digilib.uns.ac.id

“Isin ta, dumeh sopir! Ampun ngoten nak Rap. Adjining wong nuku boten
dumunung teng pangkat mawon. Tindak-tanduk lan luhuring budi, niku
saged ndjundjung adji”(hlm. 50).

Terjemahan:
‘Malu, karena kamu supir! Jangan begitu Rap. Harga diri seseorang itu
tidak hanya dilihat dari pangkat seseorang. Tingkah laku dan budi luhur
itulah yang dapat menjunjung martabat seseorang.’

Tokoh Raden Bei Mantri merupakan tokoh peripheral karena tidak


banyak diceritakan dalam cerita. Tokoh ini hanya dikisahkan mengantarkan
Raden Ajeng Tien ke pasar malam di Magelang. Seperti telihat pada kutipan di
bawah ini:
Sadaja ladjeng sami mlebet ing peken malem. Ing peken malem ngriku
sampun rame sanget. Sadaja tetingalan sampun sami wiwit. Bango-bango
sesadean lan mainan sampun katah ingkanag sami ngrubung. Sadaja
tiyang sami ketingal bingah lan gembira....(hlm. 51-52)

Terjemahan:
‘Kemudian mereka bersama-sama masuk ke pasar malam. Di pasar malam
sangat ramai. Terlihat sudah mulai. Tenda-tenda pedagang dan permainan
sudah banyak yang mengerumuni. Semua orang terlihat bahagia dan
senang....’

Selanjutnya tokoh Raden Bei Mantri merupakan tokoh sederhana karena


dalam penggambarannya kurang menunjukan secara jelas keseluruhan
kehidupan tokoh. Dalam cerita ditemukan data yang menunjukkan tokoh ini
merupakan tokoh yang sangat menyukai gamelan. Hal itu dapat dilihat pada
kutipan berikut:
“Wong swara kok sae, nek aku sing ngarani ja kepenak.”mangsuli
mekaten wau kalijan mesem-mesem, dening manahipun kepranan dateng
swantening klenengan. Mila anggenipun mirengaken dipunmataken saestu
(hlm. 52).

Terjemahan:
‘Suara kok bagus, kalau aku yang mendengakan ya enak’ menjawab
demikian itu dengan tersenyum, hatinya terpesona pada suara gemelan.
Oleh karena itu ia mendengarkan dengan baik.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 140
digilib.uns.ac.id

1) Analitik
Analisis penggambaran tokoh secara analitik pada tokoh Raden Bei Mantri
gudang tidak ditemukan. Pengarang tidak menggambakan watak dan karakter
tokoh Raden Bei Mantri gudang secara langsung.
2) Dramatik
Analisis penggambaran tokoh secara dramatik pada tokok Raden Bei
Mantri gudang dapat dilihat pada pemberian nama oleh pengarang dengan
gelar Raden Bei Mantri, hal ini telah menandakan bahwa tokoh ini adalah
priyayi. Penggambaran lain adalah memalui dialog antar tokoh yang
menunjukkan bahwa watak dari tokoh ini adalah ramah, tidak membeda-
bedakan status sosial seseorang dan ia juga menyukai gamelan. Seperti kutipan
di bawah ini:
“Isin ta, dumeh sopir! Ampun ngoten nak Rap. Adjining wong nuku boten
dumunung teng pangkat mawon. Tindak-tanduk lan luhuring budi, niku
saged ndjundjung adji”(hlm. 50).

Terjemahan:
‘Malu, karena kamu supir! Jangan demikian Rap. Harga diri seseorang itu
tidak hanya dilihat dari pangkat seseorang. Tingkah laku dan budi luhur
itulah yang dapat menjunjung martabat seseorang.’

“Wong swara kok sae, nek aku sing ngarani ja kepenak.”mangsuli


mekaten wau kalijan mesem-mesem, dening manahipun kepranan dateng
swantening klenengan. Mila anggenipun mirengaken dipunmataken saestu
(hlm. 52).

Terjemahan:
‘Suara kok bagus, kalau aku yang mendengakan ya enak’ menjawab
demikian itu dengan tersenyum, hatinya terpesona pada suara gemelan.
Oleh karena itu ia mendengarkan dengan baik.

l. Hardjana
Tokoh Hardjana merupakan tokoh antagonis dalam cerita novel
Ngulandara dikarenakan tokoh tersebut mengambil bagian penentang tokoh
utama dalam cerita dan lagi sifat-sifat yang diberikan pengarang kepada tokoh
Hardjana menimbukan rasa benci dan antipati pembaca terhadap tokoh
commit topemuda
tersebut. Tokoh Hardjana merupakan user yang tidak tahu tata krama,
perpustakaan.uns.ac.id 141
digilib.uns.ac.id

meskipun ia sebenarnya mengetahui aturan-aturan yang berlaku namun tokoh


Hardjana tidak menghiraukannya. Sifat sifat yang terdapat pada tokoh
Hardjana seperti pepatah Jawa yaitu adigang, adigung, adiguna maksudnya
seseorang yang mengandalkan kekuatan, kekuasaan dan kepandaiannya. Hal
tersebut sesuai dengan kutipan di bawah ini:
“....Tijang estri ingkang linggih satjelakipun Raden Adjeng Tien ladjeng
grenengan:”nitik wong lan panganggone mono kaja prijaji, nanging
kelakuane kok kaja mengkono. Wiwit mau gembar-gembor kaja wong
edan”(hlm. 55).

Terjemahan:
‘ .... Wanita yang duduk di dekat Raden Adjeng Tien menggumam, jika di
lihat dari orang dan pakaiannya mirip seperti priyayi, tapi kelakuannya
dari tadi berteriak-teriak seperti orang gila saja’

“Djejaka kalih punika kedjawi patrap lan swantenipun gembar-gembor


mekaten wau, tansah nolah-noleh ngiwa-nengen lan dateng wingking.
Kala Raden Adjeng Tien saweg maspadakaken dununging swanten,
dilalah djaka ingkang prakosa punika noleh dateng wingking, plek gatuk
panjawangipun. Sanalika Raden Adjeng Tien tumungkul, ketingal bijas
pasemonipun. Getering manah kados tinubruk ing sima lepat.” (hlm. 56).

Terjemahan:
‘Dua pemuda itu selain memiliki tingkah laku dan suara yang keras, selalu
menoleh ke kanan-kiri dan ke belakang. Saat Raden Ajeng Tien sedang
mencari datangnya sumber suara, kebetulan pemuda yang gagah itu
menoleh ke belakang, bertemulah pandangan keduanya. Saat itu pula
Raden Ajeng Tien berpaling, terlihat pucat wajahnya.

Dilihat dari segi keterlibatannya dalam cerita tokoh Hardjana merupakan


tokoh peripheral dikarenakan Hardjana hanya sebagai pendukung tokoh utama
dalam menyampaikan pesan jikalau tokoh utama merupakan pribadi yang
selalu waspada. Tokoh Hardjana yang telah menunjukkan gelagat kurang baik
sejak di pasar malam di Magelang, membuat Rapingun waspada jika terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan dan benar saja ternyata Hardjana memiliki niat
jahat terhadap momongane yaitu Raden Ajeng Tien. Berikut kutipannya:
“Dadi wose kowe pantjen ora demen karo aku, amarga kowe wis njanding
karo botjah bregas kuwi!”Tjariyos mekaten wau kalijan nuding dateng
Rapingun.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 142
digilib.uns.ac.id

Raden Adjeng Tien prempeng, ladjeng mangsuli:”wah semono kurang


adjarmu, Hardjana. Pantjene kowe rak takon disik, utamane tetepungan,
dadi ngerti kuwi sapa. Kuwi sedulurku nak-sanak ngerti!” (hlm. 65).

Terjemahan:
‘Jadi intinya kamu memang tidak menyukaiku, karena kamu telah bersama
pemuda tampan itu! berkata seperti itu tadi sambil menunjuk ke arah
Rapingun.’
Raden Ajeng Tien berkaca-kaca, kemudian menjawab: kurang ajar sekali
kamu, Hardjana. Sebaiknya kamu bertanya dulu, atau berkenalan, sehingga
tahu dengan siapa kamu bicara. Dia saudaraku mengerti!’

Hardjana ngembat tosanipun gligen kaangkahaken ing sirahipun


Rapingun. Sarehning Rapingun sampun mboten saged mingser malih,
tanganipun tengen ingkang saweg njepeng setir kepeksa kangge anjagi
sirah, setir kapepet dada, oto mampah, pres, tanganipun Rapingun
kagebag saking wingking dening Hardjana. (hlm. 66).

Terjemahan:
Hardjana mengambil besi diarahkan ke kepala Rapingun. Karena
Rapingun tidak dapat menghindar lagi, tangan kanannya yang harusnya
memegang kemudi terpaksa ia gunakan untuk melindungi kepala, dadanya
ia gunakan untuk menjaga kemudi, mobil berjalan dan tangan Rapingun
terkena pukulan Hardjana dari belakang.

Segi perwatakan dan karakternya tokoh Hardjana merupakan tokoh


sederhana, dikarenakan tokoh ini kurang mewakili keutuhan personalitas
manusia hanya sisi tertentu saja yang diperlihatkan. Hal yang menyebabkan
Hardjana bertindak kasar adalah saat mengetahui perasaannya kepada Raden
Ajeng Tien bertepuk sebelah tangan. Terlihat pada kutipan di bawah ini:
“Keprije ta, kok kowe gawe sengasaraning awakku?”
“Aku ora rumangsa gawe sengsaramu.”
“Genea saiki kowe nampik aku?”(hlm. 63).

Terjemahan:
‘Bagaimana, kok kamu sampai tega membuat aku sengsara?’
‘Aku tidak merasa begitu’
‘Kenapa sekarang kamu menolakku’

Hardjana juga merupakan tokoh yang tempramen dan mudah emosi. Dengan
mudah ia tersulut kemarahan ketika Raden Ajeng Tien tidak menanggapinya,
commit to
hal tersebut mendorong ia melakukan user yang tidak pantas. Namun pada
hal-hal
perpustakaan.uns.ac.id 143
digilib.uns.ac.id

akhirnya seseorang yang memiliki niat jahat akan kalah kepada kebaikan sesuai
dengan falsafah Jawa becik ketitik ala ketara. Seperti kutipan di bawah ini:
“Sarehning Raden Adjeng Tien boten nanggapi, Hardjana ladjeng
minggah dateng treeplank tanganipun badhe nggajuh tanganipun Raden
Ajeng Tien....”(hlm. 66).

Terjemahan:
‘Karena Raden Ajeng Tien tidak menanggapi, Hardjana lalu naik ke
treeplank ingin memengang tangan Raden Ajeng Tien....’

1) Analitik
Penggambaran tokoh secara analitik dapat dilihat ketika pengarang
menggambarkan bentuk fisik tokoh Hardjana sebagai pemuda gagah dan
terlihat garang sesuai dengan badannya yang besar, seperti tergambar pada
kutipan di bawah ini:
“Djejaka kalih punika, ingkang setunggal tjekapan ageng inggilipun,
pakulitanipun abrit asat, pasemon ketingal kereng, sembada kalijan
sentosaning badanipun...”.(hlm. 56).

Terjemahan:
‘Dua pemuda tadi yang satu seimbang antara besar dan tingginya, kulitnya
merah, terlihat garang, cocok dengan badannya yang besar....’

“Djejaka ingkang prakosa ladjeng pitaken dateng Raden Adjeng Tien


kanti taklim lan ulat sumeh. Gineman kanthi tembung Welandi” (hlm. 63).

Terjemahan:
‘Pemuda yang gagah lalu bertanya kepada Raden Ajeng Tien dengan
sopan dan ramah menggunakan bahasa Belanda’

2) Dramatik
Analisis dramatik tokoh Hardjana dapat dilihat dari dialog tokoh lain, dari
dialog tersebut diketahui bahwa nama tokoh yang berbadan besar dan gagah
bernama Hardjana. Hardjana adalah seorang diploma dan Hardjana juga
seorang yang mudah emosi. Kutipannya sebagai berikut:
“Samangke Rapingun mangertos jen djejaka ingkang prakosa wau
namanipun Hardjana, manut panjebuting Raden Adjeng Tien punika”
(hlm. 63).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 144
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘Rapingun akhirnya tahu pemuda yang gagah itu bernama Hardjana,
seperti Raden Ajeng Tien memanggillnya’

“O tjetek temen budimu iku Hardjana? Diplomamu saka Mulo rak kena
kanggo ular-ular nglaras sawijining bab (hlm. 64).

Terjemahan:
‘O, dangkal sekali pemikiranmu Hardjana? Gelar diploma yang kamu
peroleh dari Mulo seharusnya bisa kamu jadikan dasar menganalisis suatu
perkara’

“Hardjana medot ginemipun Raden Adjeng Tien.”


“Kok obong apa kok suwek-suwek potretku, Tien!” (hlm. 65).

Terjemahan:
‘Hardjana memotong pembicaraan.’
‘Kamu bakar atau kamu robek fotoku, Tien!’

Hardjana juga menggunakan bahasa Belanda untuk memanggil Raden Adjeng


Tien saat itu, seperti berikut:
“Slamet bengi, juffrouw Supartinah!”
“Slamet bengi, meneer Hardjana” (hlm. 63).

Terjemahan:
‘Selamat malam, Ibu Supartinah!’
‘Selamat malam, Bapak Hardjana’

Tokoh Hardjana digambarkan memiliki sikap yang kurang baik karena ia


menghadang perjalanan Raden Ajeng Tien ditengah hutan. Seharusnya ia
membicarakan permasalahan seperti itu dengan jalan yang baik dan terhormat
dan tentunya dengan tata cara yang sesuai peraturan di masyarakat. Seperti
halnya kurang menghargai seseorang, tidak menghormati seseorang berbicara,
ia juga terkesan memaksakan perasaannya kepada Raden Ajeng Tien. Berikut
kutipannya:
“Dadi wose kowe pantjen ora demen karo aku, amarga kowe wis njanding
karo botjah bregas kuwi!”Tjariyos mekaten wau kalijan nuding dateng
Rapingun.
Raden Adjeng Tien prempeng, ladjeng mangsuli:”wah semono kurang
adjarmu, Hardjana. Pantjene kowe rak takon disik, utamane tetepungan,
commit
dadi ngerti kuwi sapa. Kuwi to user
sedulurku nak-sanak ngerti!” (hlm. 65).
perpustakaan.uns.ac.id 145
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘Jadi intinya kamu memang tidak menyukaiku, karena kamu telah bersama
pemuda tampan itu! berkata seperti itu tadi sambil menunjuk ke arah
Rapingun.’
Raden Ajeng Tien berkaca-kaca, kemudian menjawab: Kurang ajar sekali
kamu, Hardjana. Seharusnya kamu bertanya dulu, atau berkenalan,
sehingga kamu tahu dengan siapa kamu bicara. Dia saudaraku mengerti!’

“O Tien sanadjan jagad iki djembar, nanging mung kowe sing dadi
gantilaning atiku. Jen aku ora bisa oleh kowe, uripku ing donja iki ora ana
tegese babar pisan, mulane tampanana salamku”(hlm. 66).

Terjemahan:
‘ Oh Tien walaupun dunia ini luas, tetapi hanya kamu yang menjadi wanita
pujaan hatiku. Kalau aku tidak bisa memiliki kamu, hidupku di dunia ini
tidak ada artinya, oleh karena itu Tien terimalah cintaku’

n. Suratna
Tokoh Suratna merupakan tokoh antagonis. Tokoh Suratna adalah tokoh
yang membantu Hardjana dalam menghadang mobil Rapingun bersama Raden
Ajeng Tien. Dalam cerita bahwa tokoh Suratna tidak begitu banyak dijelaskan
namun tokoh tersebut bertugas menodongkan pistol ke arah Rapingun selagi
Hardjana berbicara dengan Raden Ajeng Tien. Tokoh Suratna sebenarnya tidak
memiliki masalah namun seperti halnya cedhak kebo gupak maka ia terseret
dalam masalah Hardjana. Seperti pada kutipan di bawah ini:
“Sareng oto sampun kendel, djaka ingkang prakosa ladjeng njelaki Raden
Adjeng Tien, dene ingkang putjet minggah treeplank njelaki Rapingun,
tanganipun kiwa njepeng tenda, ingkang tengen ngagag-agak pistul.
Sanalika Rapingun ketingal njekukruk, adjrih sanget, tanganipun kalih
ontjat saking setir, dipun kempit ing pangkonipun” (hlm. 63).

Terjemaahan:
‘Setelah mobil berhenti pemuda yang gagah lalu mendekati Raden Ajeng
Tien, sedangkan yang pucat naik ke treeplank mendekati Rapingun,
tangan kirinya memegang tenda, tangan kanannya menodongkan pistol.
Seketika Rapingun terlihat ketakutan tangannya hanya sembunyikan
diantara pahanya saja.’

Tokoh Suratna menurut segi watak dan karakternya dalam cerita


merupakan tokoh sederhana karena tokoh ini tidak digambarkan secara jelas
commit to
dan hanya muncul saat penghadangan userRapingun dan Raden Ajeng Tien.
mobil
perpustakaan.uns.ac.id 146
digilib.uns.ac.id

Dijelaskan bahwa Suratna memiliki wajah yang pucat, berkulit kuning, tinggi
dan berwajah sinis. Kutipannya sebagai berikut:
....Dene ingkang setunggal pakulitanipun djene, dedegipun lentjir,
pasemonipun njluring, ulatipun putjet, nelakaken jen awon manahipun
(hlm. 56).

Terjemahan:
‘....Sedangkan yang satunya berkulit kuning, bertubuh tinggi, wajahnya
sinis dan dingin, menunjukkan bahwa hatinya buruk’

1) Analitik
Analisis penggambaran tokoh Suratna digambarkan secara tersirat terlebih
dahulu ditandai dengan penggunaan kata djejaka kalih ‘dua pemuda’ yaitu
Hardjana dan Suratna Dijelaskan bahwa Suratna memiliki wajah yang pucat,
berkulit kuning, tinggi dan berwajah sinis. Perhatikan kutipan dibawah ini:
“Djejaka kalih punika, ingkang setunggal tjekapan ageng inggilipun,
pakulitanipun abrit asat, pasemon ketingal kereng, sembada kalijan
sentosaning badanipun. Dene ingkang setunggal pakulitanipun djene,
dedegipun lentjir, pasemonipun njluring, ulatipun putjet, nelakaken jen
awon manahipun” (hlm. 56).

Terjemahan:
‘Dua pemuda tadi yang satu seimbang antara besar dan tingginya, kulitnya
merah padam, terlihat garang, cocok dengan badannya yang besar.
Sedangkan yang satunya berkulit kuning, bertubuh tinggi, wajahnya sinis
dan dingin, menunjukkan bahwa hatinya buruk’

2) Dramatik
Analisis secara dramatik disebutkan bahwa djejaka kalih merupakan
priyayi, namun bertingkah seperti orang gila dan lagi dari dialog Raden Ajeng
Tien yang menjelaskan bahwa tokoh berwajah pucat adalah Suratna.
Kutipannya sebagai berikut:
“....Tijang estri ingkang linggih satjelakipun Raden Adjeng Tien ladjeng
grenengan:”nitik wong lan panganggone mono kaja prijaji, nanging
kelakuane kok kaja mengkono. Wiwit mau gembar-gembor kaja wong
edan”(hlm. 55).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 147
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘ .... Wanita yang duduk di dekat Raden Adjeng Tien menggumam,”jika
dilihat dari orang dan pakaiannya mirip seperti priyayi, tapi kelakuannya
dari tadi berteriak-teriak seperti orang gila saja’

“Sing ko-anggo ngantem Hardjana karo Suratna mau apa?”


“Sendok ban. Menapa ingkang setunggal wau namanipun Suratna?”
“Ija. Nanging aku gumun, dene kowe kok oleh sendok ban.”
“Tijang sampun sedija wiwit pangkat saking Magelang”
“Dadi kowe wis nyedijani wiwit ana Magelang?”
“Inggih” (hlm. 72).

Terjemahan:
‘Apa yang kamu gunakan untuk menghantam Hardjana dan Suratna tadi?’
‘Sendok ban. Apa yang satunya tadi bernama Suratna?’
‘Iya. Tapi saya bingung, darimana kamu mendapat sendok ban.’
‘Saya sudah menyiapkan sejak berangkat dari Magelang’
‘Jadi kamu sudah menyiapkan mulai dari Magelang?’
‘Iya’

o. Raden Bei Mantri Guru Kedungwuni


Tokoh Mantri guru Kedungwuni merupakan tokoh protagonis.
Dikarenakan tokoh ini tidak menentang tokoh utama dan menyampaikan pesan
moral dimana setiap ada yang datang bertamu kerumah sebagai orang Jawa
harus ewuh, suguh lan lungguh. Berikut kutipannya:
“Mangga .... mangga lenggah Den Mas!”
“Inggih Pak.”
“Mentas tindak pundi menika wau?”
“Namung mubeng-mubeng kemewon”(hlm. 100).

Terjemahan:
‘Silakan...silakan duduk Den Mas!’
‘Iya Pak’
‘Dari mana tadi’
‘Hanya berputar-putar saja’

Tokoh Raden Bei Mantri guru Kedungwuni merupakan tokoh peripheral


karena tidak banyak diceritakan dalam cerita. Tokoh ini hanya dikisahkan
seorang mantri yang berada di Kwijen. Seperti telihat pada kutipan di bawah
ini:
commit toing
“Keleres ing dinten Minggu, user kampung Kwidjen sawingking
Pekalongan, wonten tijang neneman numpak sepeda motor Norton 6
perpustakaan.uns.ac.id 148
digilib.uns.ac.id

P.K model enggal, ladjeng kendel ing ngadjeng grijanipun mantri guru”
(hlm. 100).

Terjemahan:
‘Bertepatan dengan hari Minggu, di kampung Kwijen belakang
Pekalongan, ada seorang pemuda mengendarai sepeda motor Norton 6
P.K model baru, lalu berhenti di depan rumah mantri guru.’

Tokoh Raden Bei Mantri merupakan tokoh sederhana karena dalam


penggambarannya kurang menunjukan secara jelas keseluruhan kehidupan
tokoh. Dalam cerita ditemukan data yang menunjukkan tokoh ini merupakan
tokoh yang ramah. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Den Bei Mantri guru mbageaken:
“Rak inggih sugeng ta dimas?”
“Pangestunipun kangmas sekalijan inggih wiludjeng”
“Di Adjeng lan Tien rak ja sugeng ta!”
“Pangestunipun kangmas wiludjeng”(hlm. 102)

Terjemahan:
‘Den Bei Mantri guru mempersilakan:’
‘Sehat kan dimas’
‘Atas doa kangmas semuanya sehat’
‘Diajeng dan Tien sehat’
‘Atas doa kangmas sehat

1) Analitik
Analisis penggambaran tokoh Raden Bei Mantri Guru digambarkan
sebagai tokoh yang bisa membimbing siapa saja yang berbicara dengannya
akan merasa cocok dan sampai lupa waktu, ia juga seorang penyabar.
Perhatikan kutipan dibawah ini:
“Den Bei Mantri guru pantjen saged momong kantja nem sepuh, tur
jembar memanahipun tjutjut tjetjerijosanipun
Para prijantun ingkang sami dhateng ngriku adjeg ladjeng kesupen
dateng wantji, amargi keremenen mirengaken tjetjerijosanipun. Mila
sadaja prijantun, ageng alit sami kumraket dateng Den Bei Mantri guru”
(hlm. 102).

Terjemahan:
‘Den Bei Mantri Guru memang bisa momong teman muda atau tua, dan
lagi penyabar dan menyenangkan’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 149
digilib.uns.ac.id

‘Orang yang datang sampai lupa waktu karena senang mendengar


ceritanya. Maka semua orang tua muda dapat akrab dengan Den Bei
Mantri guru’

2) Dramatik
Analisis penggambaran tokoh secara dramatik pada tokok Raden Bei
Mantri guru dapat dilihat pada pemberian nama oleh pengarang dengan gelar
Raden Bei Mantri, hal ini telah menandakan bahwa tokoh ini adalah priyayi.
Penggambaran lain adalah memalui dialog antar tokoh yang menunjukkan
bahwa watak dari tokoh ini adalah ramah. Seperti kutipan di bawah ini:
“Mangga .... mangga lenggah Den Mas!”
“Inggih Pak.”
“Mentas tindak pundi menika wau?”
“Namung mubeng-mubeng kemewon”(hlm. 100).

Terjemahan:
‘Silakan...silakan duduk Den Mas!’
‘Iya Pak’
‘Dari mana tadi’
‘Hanya berkeliling saja’

“Den Bei Mantri guru mbageaken:


“Rak inggih sugeng ta dimas?”
“Pangestunipun kangmas sekalijan inggih wiludjeng”
“Di Adjeng lan Tien rak ja sugeng ta!”
“Pangestunipun kangmas wiludjeng”(hlm. 102)

Terjemahan:
‘Den Bei Mantri guru mempersilakan:’
‘Sehat kan dimas’
‘Atas doa kangmas semuanya sehat’
‘Diajeng dan Tien sehat’
‘Atas doa kangmas sehat

o. Prijantun Estri Setengah Sepuh/ Den Ayu Mantri guru


Tokoh Prijantun Estri Setengah Sepuh merupakan tokoh yang tidak
banyak muncul tokoh ini hanya satu kali muncul dalam penceritaan yaitu
pada saat menyambut kedatangan Rapingun ke rumahnya, ia digambarkan
sangat menyukai Rapingun. Sehingga peneliti menggolongkan Prijantun Estri
commit
Setengah Sepuh sebagai tokoh to userkarena tidak ditemukan data yang
protagonis,
perpustakaan.uns.ac.id 150
digilib.uns.ac.id

menunjukan tokoh Prijantun Estri Setengah Sepuh menyimpang atau


menentang tokoh utama. Tokoh Prijantun Estri Setengah Sepuh juga
merupakan tokoh peripheral dan tokoh sederhana karena tidak memiliki
waktu khusus dalam penceritaannya. Berikut bukti kemunculan tokoh
Prijantun Estri Setengah Sepuh:
“Saking nglebet wonten swantenipun prijantun estri setengah sepuh
gumrapjak sadjak supaket:
“E,e toblas ana kamadjaja tumurun”
“Ibu ki angger-angger kok ngono”
“Pancen ngono kok pak. Anaa dalan kane angger aku kepethuk Den Mas,
tukku ngaturi nek ora Pamadi ja Abimanju. Saiki tak elih Kamadjaja ngeja
wantah. Arep mrengut ja ben.”(hlm. 101)

Terjemahan:
‘Dari dalam terdengar suara seorang wanita setengah tua ramah seperti
sudah kenal:
‘E,e ada Kamajaya turun’
‘Ibu ini kok pasti begitu’
‘Memang demikian kok pak, di jalan pun kalau bertemu Den Mas ini, aku
selalu memanggilnya Pamadi atau Abimanyu, sekarang tak ganti
Kamajaya turun ke bumi. Biarkan saja.’

2. Analisis Nilai pendidikan Budi Pekerti pada novel Ngulandara karya


Margana Djajaatmadja.
Munculnya pendidikan budi pekerti bukanlah hal yang baru dalam
dunia pendidikan di Indonesia sebab pendidikan budi pekerti telah ada sejak
dahulu yang terintergrasi kedalam mata pelajaran atau berdiri sendiri, saat ini
pemerintah tengah mengupayakan kembali penanaman nilai-nilai pendidikan
budi pekerti yang dikenal dengan istilah pendidikan karakter.
Peneliti dalam analisis nilai budi pekerti merujuk pada pendapat
Suparno dkk. (2003) dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Budi Pekerti
untuk SMU-SMK menjelaskan 10 nilai budi pekerti yang mewakili empat
sikap yaitu sikap terhadap Tuhan, sikap terhadap sesama, sikap terhadap diri
sendiri dan sikap terhadap alam semesta. Kesepuluh nilai budi pekerti tersebut
antara lain: 1) religiositas, 2) sosialitas, 3) gender, 4) keadailan, 5) demokrasi,
6) kejujuran, 7) kemandirian, 8) daya juang, 9) tanggung jawab,
commit to user
10) penghargaan terhadap lingkungan. Selanjutnya Endraswara (2003: 24)
perpustakaan.uns.ac.id 151
digilib.uns.ac.id

menyatakan bahwa sumber dari nilai budi pekerti bersumber dari kearifan
tradisonal Jawa. Kearifan tersebut berasal dari para pendahulu yang terucap
dengan penuh kesederhanaan dan penuh suasana prihatin.
a) Nilai Religiusitas
Religiusitas adalah sikap dan kesadaran manusia bahwa dalam hidup
ini ada kekuatan atau kekuasaan yang jauh melampaui kekuatan dan
kekuasaan manusia. Manusia terdiri atas dua dimensi yaitu lahiriah dan
batiniah. Dimensi batin inilah yang menyadarkan bahwa manusia
merupakan makhluk yang lemah dan masih ada kekuatan dan kekuasaan
yang mutlak. Dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja
terdapat nilai religiusitas yang menunjukkan kepasrahan seorang manusia
kepada yang Maha Mengatur Kehidupan, hal tersebut terbukti ketika tokoh
Raden Ayu Asisten Wedana berdoa ketika ia dalam kesusahan karena
mobilnya rusak di tengah hutan dan tidak ada pertolongan.
Sikap religius juga ditunjukkan oleh tokoh Raden Ayu Asisten
Wedana, hal itu terjadi ketika berada di dalam kesusahan ia berdoa kepada
yang Maha Membuat Hidup agar diberi keselamatan. Perilaku yang
ditunjukkan oleh tokoh Raden Ayu Asisten wedana sesuai dengan syair
yang terdapat pada tembang macapat dhandhanggula yang berbunyi
kawruhana sejating urip, manungsa urip ana ing donya, prasasat mung
mampir ngombe, umpamakna manuk mabur, oncat saking kurunganeki,
ngendi pencokan benjang, ywa kongsi kaleru,umpama wong lunga sanja,
njan-sinanjan nora wurung bakal mulih, mulih mula mulanira, maknanya
bahwa orang hidup di dunia ini hanya seperti orang minum yang tak
seberapa lama, diibaratkan juga dengan seekor burung yang lepas dari
sangkarnya, kemanapun ia terbang pada akhirnya harus kembali ke tempat
asalnya, andaikan orang pergi berkunjung, suatu saat pasti akan pulang,
pulang pada asalnya’. Raden Ayu Asisten Wedana menyadari bahwa
kekuasaan tertinggi terletak di tangan Tuhan oleh karena itu setiap makhluk
wajib meminta pertolongan padanya. Seperti pada kutipan berikut:
“Nengna we rak uwiscommit to Ibumu
ta Tien! user kuwi lagi mudja semadi kok”
perpustakaan.uns.ac.id 152
digilib.uns.ac.id

“Kowe mono Tien, botjah ora Djawa, wong kuwi rak ija sabisa-
bisane nenuwun marang sing Gawe Urip ta! (hlm. 8).

Terjemahan:
‘Biarkan sajalah Tien, ibumu itu sedang berdoa.’
‘Kamu itu Tien, kamu kan tidak tahu, orang itu seharusnya meminta
kepada Yang Maha Membuat Hidup!’

Dari kutipan diatas menggambarkan tokoh Raden Ayu Asisten wedana


sebagai seorang yang menjunjung tinggi nilai religiusitas karena dalam
kesusahan tokoh tersebut menyadari bahwa ada ekuasaan yang melebihi
kekuasaan manusia yaitu kekuasaan Tuhan, sudah sepantasnya berpasrah
diri kepada Yang Maha Kuasa.
b. Nilai Sosialitas
Nilai sosialitas adalah sikap yang perlu dikembangkan manusia dalam
kehidupan bersama dan dijadikan sebagai nilai hidup. Manusia pada
hakikatnya hidup dalam masyarakat yang mana dalam masyarakat tersebut
terdapat nilai yang dijunjung tinggi atas kesepakatan bersama. Nilai yang
menyangkut kepentingan orang lain dalam masyarakat.
Nilai yang dijunjung tinggi sesuai latar waktu pada novel Ngulandara
karya Margana Djajaatmadja adalah bahwa masih terdapat sistem kasta
dalam masyarakat dimana seseorang yang berstatus sosial rendah haruslah
menghormati seseorang dengan status sosial tinggi. Sesuai dengan pepatah
Jawa desa mawa cara negara mawa tata bahwasannya setiap lapisan
masyarakat memiliki aturan atau norma yang harus ditaati, karena norma
itu telah menjadi kesepakatan yang disetujui bersama. Ungkapan lain
adalah ingkang pantes dhawah ing sambhawa kaliyan sembada ‘yang
pantas sesuai keadaan dan mumpuni’. Maknanya bertindak dengan
mempertimbangkan empan papan atau suasana, waktu, dan tempat agar
pantas. Dalam filsafat Jawa seseorang dituntut untuk bertanggung jawab
dam memperhatikan desa’tempat’, kala’waktu’ dan patra’suasana’. Seperti
tercermin dari panggilan Bendara/ndara, dan nyonyah kedua kata sapaan
tersebut digunakan oleh orang yang berstrata lebih rendah untuk
commit to user
memanggil seseorang dengan status sosial lebih tinggi atau disebut priyayi.
perpustakaan.uns.ac.id 153
digilib.uns.ac.id

Kutipan sebagai berikut:


“Sarehning taksih gremis, mangga ndara lenggah ngelebet
kemawon”
“Boten dadi napa”
“Boten ndara, mangga lenggah kemawon kula sampun kulina
dhateng djawah lan benter, panjenengan kirang prayogi”
(hlm. 10).

Terjemahan:
‘Karena masih gerimis, silakan tuan duduk di dalam saja’
‘Tidak apa-apa’
‘Tidak Tuan, silahkan duduk saja saya sudah terbiasa terkena panas
dan hujan, kurang baik untuk Tuan’

Tokoh Rapingun yang saat itu menyamar menjadi seorang supir


memanggil nama tokoh yang menjadi lawan dialognya dengan sebutan
Ndara karena tokoh tersebut menyadarai bahwa ia hanya sebagai supir yang
berpangkat lebih rendah daripada seorang Asisten Wedana. Hal tersebut
juga terjadi kepada tokoh Nyonyah Oei Wat Hien karena ia lebih tinggi atau
sama dengan tokoh Den Bei maka memanggil tokoh Oei Wat Hien dengan
sebutan Nyonyah Hien. Berikut kutipannya:
“Saweg kepjek anggenipun sami tjetjriosan, kasaru datengipun
rentjang estri, matur:
“Menika wonten tamu, Ndara.”
“Bendaranipun estri taken:
“Sapa?”
“Njonjah Hien Temanggung” (hlm. 15-16).

Terjemahan:
‘Asik bercerita, terhenti oleh datangnya pembantu wanita, Berkata:
‘Ada tamu Nyonya.’
‘Majikan perempuannya bertanya:
‘Siapa”
‘Nyonyah Hien Temanggung”

c. Nilai Gender
Nilai gender merupakan nilai yang mengajak memahami bahwasannya
baik laki-laki atau wanita pada hakikatnya adalah ciptaan Tuhan yang diberi
kesempatan hidup yang sama, dalam masyarakat pun memiliki kewajiban
commit
dan hak tersendiri yang sama to user
dalam konteks tertentu. Nilai gender yang
perpustakaan.uns.ac.id 154
digilib.uns.ac.id

terdapat pada novel Ngulandara adalah adanya persamaan hak antara pria
dan wanita dalam bidang pendidikan. Novel Ngulandara mencoba
memberikan pola pikir yang baru pada masyarakan zaman itu bahwa wanita
yang biasanya hanya disebut sebagai kanca wingking atau suarga nunut
neraka katut, juga berhak memperoleh pendidikan yang setara dengan pria.
Dan lagi wanita juga berhak memiliki pekerjaan yang sesuai dengan tingkat
pendidikannya. Digambarkan dalam novel Ngulandara tokoh Raden Ajeng
Tien seorang wanita juga memperoleh pendidikan sampai sarjana dan
akhirnya menjadi pengajar di H.C.S partikelir di Parakan, bahkan tokoh ini
didapati bersekolah bersama teman laki-laki dan wanita lainnya disatu
tempat yaitu Yogyakarta. Berikut kutipannya:
“Dinten sebtu djam gangsal sonten ing ngadjeng Kamantren
guron Parakan wonten oto Overland kendel, tendanipun kabikak.
Inggih ing ngriku punika pondokanipun Raden Adjeng Supartinah.
Raden Adjeng Supartinah punika dados guru H.C.S partikelir ing
Parakan” (hlm. 43).

Terjemahan:
‘Hari Sabtu pukul lima sore di depan dinas pendidikan Parakan
ada mobil Overland berhenti, tendanya dibuka. Disanalah tempat
tinggal Raden Ajeng Supartinah. Raden Ajeng Supartinah menjadi
guru di H.C.S Partikelir (sekolah swasta) di Parakan.’

“Pangrasamu keprije ta, Hardjana. Kowe tawa buku, mangka aku


butuh sabab ana gandenge karo pasinaonku, mesti bae tak
tampani. Adja sing kowe, sapa-sapaa pantes tak aturi panuwun
sing gede banget. Dek semana kowe nawani buku-buku roman
karangane sardjana Zola, nanging aku nampik, awit buku-buku
kuwi ora pantes dadi watjane botjah kang lagi sinau kaja aku iki,
awit sisip sembire bakal gawe rusaking budiku. Ija wiwit nalika
kuwi aku duwe pangira jen atimu ora djujur” (hlm. 64).

Terjemahan:
‘Perkiraanmu bagaimana Hardjana. Kamu menawarkan buku,
padahal buku itu ada kaitannya dengan yang ku pelajari, pasti aku
terima. Jangankan kamu, aku bisa berterima kasih kepada siapa
saja. Saat itu kamu menawarkan buku-buku roman karangan
sarjana Zola, aku menolak, karena buku-buku itu tidak pantas
menjadi bacaan orang yang sedang belajar sepertiku, karena
commit to
sebabnya akan membuat user karakterku. Mulai saat itu aku
rusak
perpustakaan.uns.ac.id 155
digilib.uns.ac.id

mengira kamu memang tidak baik.’

d. Nilai Keadilan
Nilai keadilan adalah perlakuan yang sama terhadap semua orang
dalam situasi yang sama dan untuk menghormati setiap hak semua orang
yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan falsafah orang Jawa crah agawe
bubrah, rukun agawe santosa maksudnya lebih pada menciptakan
kerukunan antar manusia jika semua mendapatkan perlakuan yang sama
maka kerukunan akan tercipta dengan sendirinya. Jika kita dihormati oleh
orang lain maka harus menghormati orang lain pula.
Novel Ngulandara memberika pelajaran bahwa tidak benar jika
memperlakukan orang secara tidak adil apalagi hanya melihat dari drajat
dan pangkatnya. Memperlakukan seseorang tidak boleh emban cindhe
emban siladan yang maknanya memperlakukan seseorang secara berbeda
yang satu diperlakuan bagai emas yang merupakan barang yang sangat
berharga. Sedangkan yang satunya seperti sisa-sisa bilahan bambu yang
biasanya tidak diperdulikan dan hanya merupakan barang sisa yang tidak
berguna.
Penggambaran nilai keadilan pada novel Ngulandara sesuai konteks di
atas terdapat pada kisah kesopanan tokoh Rapingun kepada Tokoh Den Bei
membuat tokoh Den Bei bingung untuk mrenahke ‘memposisikan’ diri
harus berbahasa krama alus atau ngoko. Akhirnya tokoh Den Bei
menggunakan bahasa krama madya karena menghargai kesopanan
Rapingun yang sedari pertama berbicara tokoh Rapingun amat
menghormati tokoh Den Bei.
Hal di atas sesuai dengan falsafah orang Jawa ajining dhiri dumunung
aneng lathi, ajining raga dumunung aneng busana yang artinya harga diri
seseorang berada pada kemampuannya menghargai orang lain dan
seseorang akan dihargai sesuai dengan pakaiannya. Pakaian disini bukan
hanya pakaian yang berwujud kain yang melekat pada badan namun juga
pakaian yang berupa ilmu pengetahuan. Berikut kutipannya:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 156
digilib.uns.ac.id

“Punapa ndara, kendel wonten ngriki?”


Prijantun djaler wau ladjeng mandap saking oto lan
maspadakaken dateng tijang ingkang taken. Ing manah kewedan
anggenipun bade mangsuli, awit ingkang taken wau radi
ngodengaken manah. Sababipun tijangipun bregas,
tatakramanipun djangkep (hlm. 9).

Terjemahan:
‘Kenapa Tuan berhenti di sini?’
‘Lelaki itu lalu turun dari mobil memperhatikan orang yang
bertanya. Di hati sedikit bingung bagaimana akan menjawab,
karena yang bertanya tadi orangnya agak membingungkan. Sebab
orangnya baik, dan sopan santunnya bagus.’

“Ingkang risak menika menapanipun ta Pak? Mangke gek dipaeka


sopir ingkang mentas medal menika.”
“Mempere ya ngono Tien, nanging bapakmu ora priksa.”
“Hara ibune kuwi rak tanduk meneh olehe nutuh...(hlm. 6).

Terjemahan:
‘Yang rusak bagian apa Pak? Jangan jangan direkayasa oleh supir
yang baru saja keluar itu.’
‘Sepertinya begitu Tien tapi bapakmu tidak tau’
‘Ibu ini menuduh lagi kan...’

e. Nilai Demokrasi
Nilai demokrasi dapat diwujudkan dalam beberapa tindakan yaitu
menghargai pendapat, memperlakukan orang dengan cara yang sama tanpa
diskriminatif tanpa memandang agama, suku, derajat, tingkat ekonomi,
menerima kekalahan dan berani mengungkapkan gagasan. Dalam novel
Ngulandara terdapat nilai demokrasi yang beragam, diantaranya adalah
menghargai pendapat. Hal ini dilakukan oleh tokoh Raden Bei Asisten
Wedana yang menghargai pendapat istrinya jika tokoh Rapingun dibawa ke
rumah sakit di Parakan saja karena lebih dekat dengan tempat tinggal
Raden Ajeng Tien. Berikut kutipannya:
“Dilebokake rumah sakit ngendi ta, Pak?”
“Rumah sakit Magelang bae.”
“Ora pak betjike ana Parakan bae, bab pangane bisa dikirim saka
Kemantren guron, Tien rak isa ngubetake ta?”
“Saged Bu”(hlm. 78).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 157
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘Dibawa ke rumah sakit mana Pak?’
‘Rumah sakit Magelang saja’
‘Tidak Pak lebih baik di Parakan saja, soal makanan bisa dikirim
dari dinas pendidikan, apa Tien bisa mengusahakan?’
‘Bisa, Bu’

Selanjutnya adalah menghargai orang lain tanpa memandang suku,


agama atau derajat atau tingkat ekonomi. Hal itu tercermin pada cara
keluarga tokoh Den Bei terhadap tokoh Nyonyah Hien. Keduanya berasal
dari dua kebangsaan yang berbeda, adat, budaya, kebiasaan yang berbeda
pula namun dapat saling menghargai satu sama lain tanpa ada perbedaan
yang menjadi masalah. Pada falsafah orang Jawa terdapat pitutur luhur
yaitu aja mbedakake marang sapadha-padha maknanya setiap orang perlu
mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang sama, karena
sesungguhnya perbedaan yang ada akan melahirkan dinamika hidup
bersama dalam rangka terwujudnya rasa sejahtera bersama. Pada dialog
dibawah ini ditunjukkan betapa fasihnya tokoh Nyonyah Hien dalam
berbahasa Jawa, hal ini semata-mata karena Nyah Hien menghargai adat
Jawa yang dipegang oleh keluarga tokoh Den Bei. Berikut kutipan yang
menunjukkan nilai demokrasi tersebut:
“Boten Den Aju! Sowan kula menawi kedjawi tuwi kasugengan,
inggih perlu badhe nglajengaken rembag betah. Kula njuwun tulung
Den Aju”(hlm. 17).

Terjemahan:
‘Tidak Den Ayu! Kedatangan saya kemari selain untuk berkunjung,
memang karena ada perlu. Saya mau minta tolong Den Ayu.’

“Kados pundi Den Bei? Sadjak kok le ngedeg-ngedegi kuwi!”


“Boten punapa-punapa. Sampun kuwatos. Mekaten inggih. Kala
semanten kula dateng Purwokerto, punika wangulipun sareng
dumugi Kledung oto kula ladjeng mogok wiwit djam gansal dumugi
djam sedasa dalu. Malah samuna sopiripun Njah Hien dateng,
terkadang kula tetiga mboten saged wangsul. Lah dumugi sepriki
dereng kula perseni (hlm. 21).

Terjemahan:
commit to user
‘Bagaimana Den Bei? Saya khawatir lho ini, ada apa?’
perpustakaan.uns.ac.id 158
digilib.uns.ac.id

‘Tidak apa-apa Nyah. Tidak usah khawatir. Begini, saat saya


perjalanan pulang dari Purwokerto sesampainya di Kledung mobil
saya ini rusak dari pukul lima sampai pukul sepuluh malam. Kalau
supir Nyah Hien tidak datang, kami bertiga tidak bisa pulang. Nah
sampai sekarang belum saya kasih imbalan.’

f. Nilai Kejujuran
Kejujuran merupakan segala sesuatu yang dilakukan seseorang sesuai
dengan hati nurani dan norma peraturan yang ada, jujur berart menepati
janji atau kesanggupan. Sikap kejujuran perlu ditanamkan secara terus
menerus baik menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri,
ataupun masyarakat. Sikap jujur memang tidak diperlihatkan secara
langsung pada novel Ngulandara karena dalam novel ini tokoh utama
memang sengaja untuk menyembunyikan jati dirinya, bukan untuk berbuat
yang tidak baik namun karena ada tujuan lain yaitu mencari jati dirinya.
Namun dalam novel Ngulandara diperlihatkan konsekuensi atas
ketidakjujuran, seseorang yang tidak jujur akan merasa gelisah dan tidak
tenang dalam dirinya.
Konsekuensi seseorang yang tidak jujur oleh Sri Pakubuwana IV dalam
serat Wulang Reh ditunjukkan dalam pupuh gambuh yaitu: aja nganti
kabanjur, sabarang polah kang nora jujur, yen kabanjur sayekti kojur tan
becik, becik ngupayaa iku, pitutur kang sayektos. Maknanya segala hal yang
yang tidak jujur bila terlanjur benar-benar akan tidak baik, lebih baik
utamakan kejujuran karena itu adalah nasehat yang sejati. Tokoh Rapingun
merasa gelisah karena ketidakjujurannya akan jati dirinya kepada keluarga
tokoh Den Bei, padahal keluarga itu telah memberikan kasih sayang yang
tulus kepadanya sebagai Rapingun bukan Raden Mas Sutanta. Berikut
kutipannya:
“Let setengah wulan sawangsulipun saking grija sakit, Rapingun
jen pinudju pijambakan asring ketingal susah, kala-kala ketingal
klintjutan, kados tiyang ngandut wewados ingkang bade
kewiyak....” (hlm. 90-91).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 159
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘Setengah bulan setelah kepulanganya dari rumah sakit, Rapingun
saat sendirian sering terlihat susah, kadang-kadang terlihat gelisah,
seperti orang menyembunyikan rahasia yang akan terbongkar....’

“Sampun kalih dinten Raden Bei Asisten sumerep Rapingun


ketingal suntrut pasemonipun, badanipun ketingal sadjak
lungkrah, nanging dereng purun pitaken sabebipun. Sareng tigang
dintenipun, wantji djam sekawan sonten, Raden Aju asisten bade
nuweni Rapingun wonten kamaripun, awit wiwit bibar neda sijang
ladjeng kemawon terus mapan tilem, boten kados adat saben. Mila
kakinten pijambakipun sakit” (hlm. 91).

Terjemahan:
‘Sudah dua hari Raden Bei Asisten mengetahui Rapingun terlihat
sedih, badannya terlihat kurang sehat, tetapi belum bertanya
sebabnya. Setelah tiga hari, saat jam empat sore, Raden Ayu
asisten ingin menjenguk Rapingun di kamarnya, karena setelah
makan siang langsung tidur, tidak seperti biasanya. Mungkin ia
sakit.’

g. Nilai Kemandirian
Nilai kemandirian yang dimaksud merupakan sikap penuh kepercayaan
dan dapat dipercaya, sikap penuh tanggung jawab terhadap keputusan,
keberanian untuk menghadapi masalahnya sendiri, kemampuan berinisiatif,
tidak gampang terpengaruh dan mengambil keputusan secara sadar. Sikap
penuh percaya diri dan keberanian dalam mengambil keputusan merupakan
sifat yang harus dikembangkan. Dalam novel Ngulandara sikap tersebut
berada pada pengkisahan Rapingun yang ngulandara ‘mengembara’ tanpa
membawa sepeserpun harta milik orang tuanya kecuali baju yang melekat
di badannya. Hal ini ia lakukan untuk berjuang mencari jati dirinya dan
dalam rangka lelaku ‘tirakat’ atas musibah yang menimpanya.
Ajaran Jawa melalui pitutur luhur menyebutkan yen wani aja wedi
wedi, yen wedi aja wani-wani. Falsafah orang Jawa yang demikian itu
mengandung makna bahwa dalam mengambil keputusan jangan sekalipun
ada ragu di dalam hati jika tidak katakan tidak. Demikian juga terdapat
pada perwatakan tokoh Rapingun yang mengambil keputusan pergi dari
commitsana
rumah. Apa yang terjadi diluar to user
akan menjadi pelajaran hidup yang
perpustakaan.uns.ac.id 160
digilib.uns.ac.id

berarti baginya. Ketegasan diperlukan dalam mengambil keputusan hal ini


sesuai dengan salah satu ajaran astha brata yaitu laku hambeging dahana
dimana seseorang harus tegas seperti api yang sedang membakar. Namun
pertimbangannya berdasarkan akal sehat yang bisa dipertanggung
jawabkan sehingga tidak membawa kerusakan.
Berikut kutipan dari novel Ngulandara yang menunjukkan hal
tersebut:
“O, ngger , sanadyan kowe ora njambut gawe, rak ora kurang
apa-apa ta. Duwit saka sewan omah sesasine, kuwi rak wis cukup
ko-anggo nuruti keseneganmu. Saja keranta-ranta maneh atiku,
dene lungamu ora sangu dhuwit lan nggawa salin salembar-
lembara.” (hlm. 85)

Terjemahan:
‘O, anakku, walaupun kamu tidak bekerja, tidak kekurangan suatu
apapun kan. Uang sewa rumah setiap bulan, itu sudah cukup untuk
menuruti keinginanmu. Semakin menderita hatiku, karena
kepergianmu tanpa uang atau pakaian walau hanya sepotong.’

h. Nilai Daya Juang


Suatu sikap untuk tidak mudah menyerah, tidak gampang putus asa,
memiliki daya kemauan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, serta
keyakinan bahwa segala sesuatu membutuhkan proses dan usaha. Di dunia
ini tidak ada segala sesuatu yang tercipta demikian saja namun selalu ada
proses yang mendahului sebelum terciptanya sebuah hasil yang diinginkan
yang tentu saja hasil yang baik. Proses menuju baik tidaklah mudah pasti
terhadap cobaan dan rintangan yang hanya akan teratasi jika memiliki sikap
tidak mudah putus asa dan tidak mudah menyerah pada keadaan.
Hal tersebut di atas tercermin dalam sebuah pitutur luhur orang Jawa
yang berbunyi sepira gedhening sengasara yen tinampa amung dadi coba
artinya seberapa besar kesengsaraan yang di alami jika ikhlas hal itu hanya
akan menjadi sebuah cobaan. Keikhlasan menjadi kunci untuk menerima
apa yang digariskan oleh Tuhan seperti falsafah Jawa narima ing pandum.
Konsepsi ini tidak lantas dijadikan alasan untuk bermalas-malasan namun
narima ing pandum berarticommit to user
menerima apa yang diberikan Tuhan dengan
perpustakaan.uns.ac.id 161
digilib.uns.ac.id

apa yang telah diusahakan, karena pengeran iku kuwasa dening manungsa
iku bisa maksudnya manusia bisa berusaha namun semuanya kembali harus
dipasrahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Rapingun yang dipecat dari
pekerjaannya tidak putus asa karena menganggap hal itu adalah cobaan. Ia
menyikapinya dengan lelaku ngulandara ‘mengembara’ mencari
keutamaan hidup. Tidak mudah bagi Rapingun yang seorang bangsawan
harus hidup di kerasnya dunia. Dan proses yang dijalani Rapingun
membuahkan hasil manis, ia kembali mendapatkan pekerjaannya. Berikut
kutipannya:
“Kula aturi nepangaken dimas, menika momongan kula R.M
Sutanta, Opseter Kabupaten ngriki.”
“Den Bei Wedana boten mangsuli, namung tansah matitisaken
dateng Raden Mas Sutanta.”
“Mekaten ugi Raden Aju Wedana, anggenipun ngawasaken akedep
tesmak. Sareng ampun tjeta, terus madjeng. Raden Mas Sutanta
dipun-rangkul kalijan ndjerit nangis”
“ O, anakku ngger!” (hlm. 103).

Terjemahan:
‘Saya perkenalkan Dimas, ini anak saya R.M Sutanta, pengawas di
Kabupaten ini.’
‘Den Bei Wedana tidak menjawab, hanya memperhatikan R.M
Sutanta.’
‘Begitu juga dengan Raden Ayu Wedana, melihat tanpa berkedip.’
‘Setelah jelas, lalu berjalan. Raden mas Sutanta dipeluk dan
menjerit menangis:’
“Oh, anakku”

i. Nilai Tanggung Jawab


Nilai tanggung jawab berarti keberanian, kesiapan, keteguhan hati
untuk menerima konsekuensi atas segala keputusan dan tindakan yang telah
dipilih. Seorang yang bertanggung jawab akan secara sadar mengambil
keputusan, menjalankan keputusan tersebut dan menerima konsekuensi atas
keputusan tersebut. Tokoh Rapingun yang merasa bertanggung jawab atas
keselamatan dan harga diri Raden Ajeng Tien memutuskan untuk
berbohong pada Den Bei hal itu semata-mata dilakukan untuk menjaga
martabat Raden Ajeng tiencommit
dimatatokedua
user orang tuanya. Dalam khasanah
perpustakaan.uns.ac.id 162
digilib.uns.ac.id

kebudayaan Jawa penjelasan mengenai hal tersebut terdapat dalam pepatah


mikul dhuwur mendhen jero. Selain pepatah tersebut ada falsafah Jawa
yang terkenal dengan sebutan Trilogi Mangkunegaran yaitu rumangsa melu
handarbedi, rumangsa wajib hangrungkepi, mulat sarira hangrasa wani.
Rumangsa melu handarbeni ’merasa ikut memiliki’ makna kata simbolis
tersebut adalah seseorang harus bertanggung jawab atas tugas-tugas yang
ada padanya, tugas itu harus dirasakan, disadari sebagai miliknya.
Rumangsa wajib hangrungkepi ‘siap berkorban untuk melindungi’
maknanya seseorang harus siap berkorban dalam melaksanakan tanggung
jawab yang dibebankan padanya. Selanjutnya mulat sarira hangrasa wani
‘berani melihat diri sendiri’ menjadi seseorang yang bertanggung jawab
harus dapat melihat ke dalam dirinya sendiri bagaimana menyikapi
tanggung jawab itu.
Pepatah di atas mengisyaratkan bahwa segala sesuatu yang bersifat
rahasia harus benar-benar dijaga agar orang lain tidak mengetahuinya.
Rapingun menjaga rahasia akan kejadian yang menimpa Raden Ajeng Tien
walaupun ia harus berbohong, namun ia berbohong untuk kebaikan Raden
Ajeng Tien yang khawatir pada anggapan orang tuanya jika tau ia dihadang
dua pemuda temannya semasa sekolah di Yogyakarta. Saat itu hubungan
antara wanita dan pria belum seluwes saat ini, karena masih menganut
paham Jawa bahwa hubungan antara pria dan wanita benar-benar harus
diawasi. Berikut kutipannya:
“Mangke dumugi ndalem, pandjenengan matur dateng ingkang
rama saha ingkang ibu, bilih tangan kula tengen kenging slinger”
“O, ja talah Rapingun, pantes kowe dadi sedulurku, semono
anggonmu ngajomi menjang awakku. Nanging keprije, wong
slinger kok ngenani tangan?”(hlm. 72).

Terjemahan:
‘Nanti sesampainya dirumah, katakan saja kepada Bapak dan Ibu,
kalau tangan saya terkena slinger.’
‘O, Rapingun, pantas kamu menjadi saudaraku, begitu dalam
olehmu menjagaku. Tetapi bagaiman, slinger bisa mengenai
tangan?’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 163
digilib.uns.ac.id

j. Nilai Penghargaan terhadap Lingkungan


Nilai penghargaan terhadap lingkungan adalah sikap untuk mencintai
kehidupan. Perlu adanya kecintaan terhadap kehidupan untuk
mengungkapkan kecintaan terhadap alam. Dalam novel Ngulandara
terlihat kecintaan Rapingun pada Hel kuda milik Den Bei, dengan sabar ia
melatih kuda yang liar itu. Modal Rapingun hanya ketekunan dan
keyakinan bahwa sesuatu hal pasti akan tercapai jika kita mau dan mampu
untuk berusaha, sapa sing tekun bakal tekan atau sapa tekun bakal tinemu
yang berarti siapa saja yang tekun akan mencapai keinginannya. Ketekunan
Rapingun dalam mencintai alam dikarenakan filsafat Jawa pangeran iku
kuwasa tanpa piranti, akarya alam sakisine kang katon lan ora kasat mata
‘Tuhan itu berkuasa tanpa alat, menciptakan alam dan seluruh isinya baik
yag terlihat atau tidak terlihat’ dari hal itu dapat dijelaskan bahwa alam dan
segala isinya adalah milik Tuhan manusia, hewan, tumbuhan dan segala
yang ada di alam ini harus dipelihara karena bukanlah milik kita.
Berikut kutipan yang menunjukkan kecintaan Rapingun kepada Hel:
“.... Den Bei Asisten Wedana dawuh supados Rapingun terus
wangsul. Lis ladjeng kadedet, Hel mlampah, ngentrag, sontan-
santun kalijan matjan nubruk. Tijang-tijang sami tjingak dene
Rapingun saged wangsul kanti wiludjeng. Punapa malih sumerep
lampahipun Hel sadjak gumagus. Mangka lampah makaten wau
namung tumrap kapal ingkang sampun mbangun-turut lan sampun
dipun-adjari.” (hlm. 39-40).

Terjemahan:
‘.... Den Bei Asisten Wedana menyuruh Rapingun agar langsung
pulang. Kendali kembali ditarik, Hel berjalan. Orang-orang merasa
lega Rapingun pulang dengan selamat. Apalagi tahu jalannya Hel
yang nampak gagah. Padahal cara berjalan yang demikian tersebut
hanya dapat dilakukan oleh kuda yang penurut dan telah terlatih.’

“Jektosipun, meh sadaja kapal Sandel ingkang wanter manahipun,


temtu saged lampah mekaten punika, uger ingkang numpaki prigel
anggenipun ngolahaken kendalinipun, saged andjumbuhaken
kalijan panggraitaning kapal.” (hlm. 40).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 164
digilib.uns.ac.id

Terjemahan:
‘Sebenarnya, hampir semua kuda yang jinak, tentu dapat berjalan
demikian, asalkan ditunggangi oleh orang yang pandai dalam
mengolah kendali dan dapat mengerti keingginan si kuda itu
sendiri.’

“Hel sampun wanuh dateng Rapingun. Mila sareng Rapingun


dateng ladjeng gereng-gereng, endasipun dipun-angluhaken ing
slarak kalijan ngambus-ambus tanganipun Rapingun, dene pisang
dereng dipun-tedakaken. Rapingun ladjeng mepet ing gedogan.
Sirah lan badanipun dipun-ambus-ambus sajada, kados adat sabet.
Hel gentos dipun-elus-elus saking tjitak ngantos dumugi
djalakipun. Samangke tjeta bilih Hel boten namung wanuh kalijan
piyambakpun, nanging kenging dipun-wastani sampun andjilma”
(hlm. 33).

Terjemahan:
‘Hel sudah menurut pada Rapingun. Saat Rapingun datang Hel
mendengus-dengus, meringkik kepalanya dijulurkan keluar dan
menciumi tangan Rapingun, tetapi pisang belum diberikan.
Rapingun lalu mendekat ke kandang. Kepala dan badannya diciumi
oleh Hel seperti biasa. Hel kemudian dielus-elus dari leher hingga
punggung. Demikian itu jelas menunjukkan bahwa Hel bukan
hanya menurut tetapi sudah jinak.’

3. Relevansi Penokohan dan Nilai Pendidikan Budi Pekerti sebagai Materi


Ajar Apresiasi Sastra Jawa di SMA
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003
pasal 1 butir 19 menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu. Jika demikian kurikulum merupakan satu kesatuan
fungsi antara rencana, tujuan, isi, bahan, dan pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Sehubungan dengan undang-undang tersebut maka kurikulum harus
mengikuti perkembangan zaman dan merumuskan apa yang harus dikuasai oleh
peserta didik. Kurikulum merupakan perangkat mata pelajaran dan program
pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggaraa pendidikan yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 165
digilib.uns.ac.id

berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik dalam satu
periode jenjang pendidikan.
Pembelajaran bahasa Jawa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan
peserta didik untuk dapat memahami dan berkomunikasi menggunakan bahasa
Jawa yang baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan
apresiasi terhadap hasil karya kesusastraan Jawa. Pembelajaran yang demikian
tersebut disusun pula dengan cara disesuaikan kurikulum yang berlaku yaitu
kurikulum 2013. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum berbasis kompetensi
yang dirancang untuk mengantisipasi kebutuhan kompetensi Abad 21. Pada abad
ini kreativitas dan komunikasi amatlah penting. Atas dasar itu, maka rumusan
kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan dipergunakan dalam
kurikulum ini. hal tersebut tercantum dalam silabus.
Pengembangan kurikulum yang diterapkan pada Kurikulum 2013
mengacu pada Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) yang terdapat
pada kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skill), dan pengetahuan
(knowledge). Silabus merupakan penjabaran Kompetensi Inti dan Kompetensi
Dasar ke dalam materi pokok pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan indikator
pencapaian kompetensi untuk penilaian.
Konsep tersebut memberikan peluang sekolah merumuskan dan menyusup
silabusnya. Tetapi tidak berarti Kurikulum 2013 menekankan hanya pada
pencapaian tujuan pendidikan saja. Penekanan tersebut berlaku pada standar
kompetensi, pemerintah memberikan peraturan untuk menyusun materi
pembelajaran sedangkan guru menentukan silabus yang sesuai dengan tujuan dan
karakter sekolah. Dengan demikian, guru dan sekolah diberi kebebasan untuk
menjabarkan materi dan mengembangkan indikator-indikator sehingga materi
pembelajaran yang diajarkan selaras dengan karakteristik siswa dan potensi
daerah setempat dengan tetap mempertimbangkan peraturan pemerintah. Dari sini
maka guru dituntut untuk memahami kurikulum dan mampu menyajikan bahan
pembelajaran yang menarik minat peserta didik.
Kurikulum 2013 untuk bahasa Jawa di SMA mencantumkan apresiasi
commit
novel Jawa berupa petikan teks novel to user
Jawa sebagai materi pembelajaran kelas XI
perpustakaan.uns.ac.id 166
digilib.uns.ac.id

semester ganjil apresiasi sastra Jawa siswa dituntut untuk dapat menganalisis
unsur pembangun novel dan nilai-nilai pitutur luhur. Penjelasannya, siswa tidak
hanya mampu membaca petikan novel Jawa tetapi lebih mendalam siswa mampu
memahami nilai-nilai budi pekerti yang terdapat di dalamnya. Pada bagian materi
ajar guru diberi kebebasan untuk menentukan bahan ajar yang berkualitas, sesuai
dengan kebutuhan siswa dan mampu menjadi sarana penanaman nilai pendidikan
budi pekerti. Hal ini selaras dengan harus adannya pembentukan sikap siswa
dalam proses pembelajaran. Nilai pendidikan budi pekerti dalam novel
Ngulandara dapat menjadi contoh oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini terlihat pada kutipan silabus Kurikulum 2013 berikut.
Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar untuk SMA kelas XI semester
ganjil berkenaan dengan apresiasi karya sastra Jawa yaitu novel. Dalam silabus
disebutkan pembelajaran novel Jawa berupa petikan teks novel Jawa. Maka novel
Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dapat menjadi materi novel karena
sudah terbagi atas beberapa bab, dengan penceritaan yang menarik akan mampu
menarik peserta didik untuk mempelajarinya.
Kelas XI semester ganjil Kompetensi Inti 3 yaitu Kompetensi Dasar
pengetahuan memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi
pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa
ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora
dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait
penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada
bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan
masalah. Kompetensi Dasar yaitu menganalisis unsur-unsur pembangun,
menyimpulkan nilai-nilai yang terkandung di dalam dan mengevaluasi relevansi
pitutur luhur dengan kondisi masyarakat saat ini petikan teks novel secara lisan
atau tulisan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 167
digilib.uns.ac.id

a. Kompetensi dasar menganalisis unsur-unsur pembangun, menyimpulkan


nilai-nilai yang terkandung di dalam dan mengevaluasi relevansi pitutur
luhur dengan kondisi masyarakat saat ini petikan teks novel secara lisan
atau tulisan.
Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dapat dijadikan sebagai
novel yang dapat dianalisis siswa. Novel ini dapat disampaikan dengan media
cetak berupa petikan teks novel Ngulandara. Unsur-unsur yang dimiliki novel
Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dapat dipahami siswa dan sesuai
dengan kebutuhan siswa SMA, sebagai contoh pada bab 1 novel Ngulandara
karya Margana Djajaatmadja yang berjudul oto mogok. Bab ini memiliki
unsur-unsur yang lengkap dan mengandung nilai pendidikan budi pekerti yang
layak untuk dikaji. Siswa diajak untuk menganalisis unsur-unsur dan
menyimpulkan nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang terdapat novel
Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dan dalam menganalisis nilai budi
pekerti dapat dilihat salah satunya dari penokohan.
Analisis unsur-unsur pembangun dan nilai-nilai pendidikan dapat
dideskripsikan dalam kajian berikut ini: 1) tema, 2) alur, 3) latar, 4) sudut
pandang, 5) amanat 6) penokohan dan 7) nilai pendidikan budi pekerti dalam
novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Ahmad Nugraha (dosen sastra
nusantara UGM dan pakar sastra) yang menyebutkan bahwa novel Ngulandara
karya Margana Djajaatmadja sangat kaya dengan nilai budi pekerti dan untuk
anak SMA novel ini dalam pembelajarannya harus didampingi oleh guru.
Nugraheni Eko Wardani (dosen FKIP UNS dan pakar sastra) memiliki
pendapat yang hampir sama bahwa novel Ngulandara karya Margana
Djajaatmadja memang membutuhkan bimbingan guru karena ada beberapa
kata yang sekarang tidak familiar di kalangan pembaca.
b. Kompetensi dasar menginterpretasi isi dan menceritakan kembali petikan
novel yang dibacanya.
Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dapat dijadikan sebuah
commit tooleh
contoh novel yang akan diinterpretasi usersiswa. Untuk dapat menceritakan
perpustakaan.uns.ac.id 168
digilib.uns.ac.id

kembali petikan novel yang dibaca maka perlu memahami struktur dan nilai
pendidikan terlebih dahulu. Dalam novel Ngulandara karya Margana
Djajaatmadja memiliki nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang tercermin dari
penokohan di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Ngatiyem (Guru
bahasa Jawa SMA Negeri 1 Karanganyar) yang menyatakan bahwa novel
Ngulandara karya Margana Djajaatmadja merupakan novel yang memiliki
nilai pendidikan yang baik untuk membentuk karakter siswa dan lagi dalam
satu bab dapat dijelaskan hal apa saja yang mampu dijadikan pembelajaran
untuk siswa baik dari segi struktur novel ataupun nilai yang dapat digunakan
sebagai pemicu pendidikan karakter siswa. Selaras dengan pendapat tersebut
Vitalia Magistra (Guru bahasa Jawa SMA Batik 2 Surakarta) yang
menyebutkan dalam menyajikan materi ajar berupa petikan novel dapat
mengambil novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja sebagai alternatif
karena sudah terdiri dari beberapa bab yang masing-masing bab memiliki
struktur dan nilai-nilai pendidikan yang baik sehingga siswapun akan tertarik
mempelajari. Walaupun bahasa yang digunakan adalah bahasa krama namun
hal ini tidak akan menjadi terkendala karena guru akan membimbing siswa
dalam belajar.
Berdasarkan kedua kompetensi dasar mengenai memahami dan
menginterpretasi petikan teks novel Jawa memerlukan proses pemahaman
untuk menyerap gagasan, pengalaman dan pesan yang ditulis pengarang.
Penggunaan materi ajar novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dalam
pembelajaran apresiasi sastra Jawa merupakan pemilihan materi ajar yang
dapat digunakan untuk memahami isi novel.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa novel Ngulandara
karya Margana Djajaatmadja dapat dijadikan materi ajar bahasa Jawa di SMA.
Hal tersebut dikarenakan novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja
mengandung nilai-nilai pendidikan budi pekerti dan unsur pembangun yang
dapat dipahami. Dengan demikian Kompetensi Inti mata pelajaran bahasa Jawa
yang meliputi kompetensi dasar seperti telah diuraikan diatas, guru dapat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 169
digilib.uns.ac.id

merelevankan antara materi yang akan diajarkan kepada peserta didiknya


terhadap Kompetensi dasar yang diinginkan dalam Kompetensi Inti.
Kelayakan novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja sebagai materi
pembelajaran diperkuat dengan wawancara yang dilakukan pada siswa sebagai
subjek pembelajaran, guru sebagai pembimbing pengajaran serta para pakar
sastra dan pakar linguistik yang telah membaca novel Ngulandara karya
Margana Djajaatmadja. Peserta didik dapat memahami unsur pembangun dan
nilai-nilai pendidikan budi pekerti serta menginterpretasi novel dengan
menggunakan novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja melalui
penokohan di dalamnya. Novel tersebut layak dijadikan materi pembelajaran
mengingat materi yang dipilih hendaknya valid untuk mencapai tujuan
pengajaran sastra, materi tersebut harus bermakna dan bermanfaat bagi peserta
didik, serta berada dalam batas keterbacaan dan intelektual peserta didik. Hal
itu sesuai dengan pendapat Semi (1993: 13) bahwa ciri materi ajar yang baik
salah satunya adalah bahan atau materi berada dalam batas keterbacaan dan
intelektual pesera didik, artinya bahan tersebut dapat dipahami, ditanggapi dan
diproses peserta didik sehingga mereka merasa pengajaran sastra merupakan
pengajaran yang menarik, bukan pengajaran yang berat. Secara terperinci
materi pembelajaran terdiri dari keterampilan sikap religius dan sosoal,
pengetahuan dan keterampilan. Novel Ngulandara karya Margana
Djajaatmadja mudah dipahami oleh siswa walaupun menggunakan bahasa
krama. Seperti yang dikatakan oleh Ahmad Nugraha,

Novel ini memiliki keunikan karena bahasanya yang menggunakan


bahasa krama namun untuk anak SMA bahasa yang digunakan dalam
novel ini tidak terlalu sulit mengingat tingkat pembelajaran sastra
semakin tinggi jenjang pendidikan tentunya kesulitannya akan
disesuaikan (Nugraha: 4)

Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja layak dijadikan materi


pembelajaran karena di dalamnya mengandung unsur pembangun diantarannya
adalah penokohan yang mana dalam penokohan tersebut dianalisis berdasarkan
commit
jenis tokoh, keterlibatannya dalam to user
cerita serta penggambaran tokoh. Hal itu
perpustakaan.uns.ac.id 170
digilib.uns.ac.id

akan merangsang imajinasi peserta didik dalam mewujudkan tokoh tersebut,


seuai dengan ciri materi ajar bahwa materi ajar haruslah dapat mengembangkan
insting estetis dan daya imajinasi siswa. Uraian tersebut selaras dengan
pendapat Winkel (1996: 297) bahwa materi ajar yang baik haruslah dapat
memotivasi siswa untuk dapat berpikir sendiri maupun melakukan berbagai
kegiatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nugraheni Eko Wardani,

Penokohan dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja


dapat dijadikan refleksi peserta didik bagaimana cara memahami
karakter orang lain dan juga dalam hal ini pengarannya
menggambarkan penokohan dengan lengkap baik car berpakaian,
atau tingkah laku semuanya di gambarkan dengan baik. (Wardani: 3)

Dasar pemilihan bahan ajar yang baik menurut Semi bahan ajar harus
bermakna dan bermanfaat jika ditinjau dari segi kebutuhan peserta didik yang
meliputi kebutuhan pengembangan insting estetis dan etis, imajinasi dan daya
kritis (Semi, 1993: 13). Keunggulan novel Ngulandara karya Margana
Djajaatmadja daripada novel-novel jawa saat ini adalah keindahan bahasanya
dan juga nilai-nilai yang sangat relevan dan diperlukan peserta didik untuk
menyikapi kondisi sosial saat ini. hal ini sesuai dengan pernyataan Vitalia
Magistra,

Selain bahasanya yang indah dalam menggambarkan tokoh, keadaan latar,


dan pesan di dalamnya, nilai-nilai yang ada di dalam novel Ngulandara
karya Margana Djajaatmadja sangat baik untuk menumbuh kembangkan
karakter siswa. (Magistra: 6)

Materi pembelajaran yang baik dan tepat perlu mendapat dukungan dari
tenaga pendidik. Bagaimanapun juga dua hal itu tidak bisa dipisahkan. Sebaik
apapun atau setepat apapun materi yang ingin disampaikan tetapi apabila
tenaga pendidiknya tidak ada minat di dalamnya tentu akan mengalami
pengabaian tujuan yang harusnya dapat dicapai. Guru memiliki pekerjaan yang
tidak hanya sebagai fasilitator saja melainkkan juga sebagai motivator dan
evaluator siswa dalam belajar. Jika guru memiliki minat sastra yang tinggi
commit to sastra
maka kemungkinan besar pembelajaran user novel tidak akan diabaikan atau
perpustakaan.uns.ac.id 171
digilib.uns.ac.id

diajarkan sembarangan. Ditambah dengan dukungan sistem yang jelas, akan


memudahkan guru dalam mencapai tujuan pembelajaran sastra di SMA. Hal ini
didasarkan pada pendapat Sani dan Kurniasih (2014: 25-26) bahwa materi
pembelajaran yang baik harus sesuai dengan kurikulum dan kebutuhan siswa
tentunya. Pendapat tersebut diperjelas dengan pemaparan Ngatiyem bahwa,

Selama ini pembelajaran novel cenderung monoton tidak ada


pembaruan materi yang digunakan pun hanya itu-itu saja. Perlu
adannya inovasi menegani materi novel agar siswa lebih tertarik dan
mau mempelajarinya.(Ngatiyem: 5)

Kondisi materi pembelajaran juga berpengaruh terhadap pencapaian


Kompetensi dasar apresiasi sastra Jawa. Kondisi tersebut dipertegas dengan
pendapat Vitalia bahwa,

Pembelajaran novel memang sulit untuk menemukan materi novel


yang cocok dengan kebutuhan peserta didik, banyak novel saat ini
yang menyimpang dari kriteria materi yang baik. Novel saat ini
terkadang memuat hal yang tidak pantas seperti perselingkuhan atau
kehidupan rumah tangga yang berantakan. Hal tersebut harus
dihindari oleh guru, pemilihan materi harus dapat dikemas denga
sopan dan baik. (Magistra: 7)

Kondisi demikian dapat terjadi pada bahasa novel. Bahasa memang


tergantung seberapa banyak kosa kata yang dikuasai oleh siswa. Apalagi yang
bersangkutan menggunakan bahasa krama. Tetapi jika guru bisa mengarahkan
keinginan belajar siswa maka tidak akan terjadi yang namanya malas
melainkan keinginan yang tinggi untuk mempelajari hal baru. Pendapat
tersebut diperjelas dengan pemaparan Ngatiyem bahwa,

Kata-kata yang sulit atau sudah tidak relevan saat ini dapat
dibimbing oleh guru untuk memahaminya, karena memang bahasa
zaman novel itu dibuat berbeda dengan saat ini. (Ngatiyem: 6)

Novel Ngulandara dilihat dari segi keterbacaan, dinilai siswa mudah


karena bahasa yang digunakan walaupun menggunakan bahasa Jawa ragam
krama. Karena merupakan percakapan sehari-hari sehingga siswa tidak terlalu
commit toFirda
sulit untuk memahami seperti pendapat userNurul Fauziyah,
perpustakaan.uns.ac.id 172
digilib.uns.ac.id

Kata-katanya lumayan dapat dipahami, ada yang sulit tapi guru


memberi penjelasan arti dan maknanya sehingga tidak mengalami
kesulitan dalam memahami maksud ceritanya. (Fauziyah: 4)

Cerita yang dikisahkan dalam novel ini pun menarik dan mampu memberi
motivasi siswa untuk belajar dan memahami lebih dalam mengenai novel
Ngulandara. Novel tersebut menceritakan mengenai seseorang yang
mengembara mencari jati diri dalam perjalanannya mengalami kesulitan dan
kesusahan namun akhirnya menemukan kebahagiaan. Seperti yang dikatakan
Alfiani,

Ceritanya bagus ingin sekali membaca inginnya membaca


selanjutnya, penasaran ceritanya bagaimana. Tokoh Rapingun ini
kasihan sekali ia harus menderita karena mengembara, namun
akhirnya ia bahagia dengen menikahi Raden Ajeng Tien.
(Alfiani 6)
Penelitian mengenai unsur penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti
dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja serta relevansinya
sebagai materi ajar dapat membantu siswa dalam mengidentifikasi unsur
pembangun novel seperti tema, alur, latar, sudut pandang, amanat dan
penokohan. Penelitian ini akan memberikan informasi pada siswa tentang
analisis penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti pada lirik lagu dan
relevansinya sebagai materi ajar merupakan hal yang penting untuk diteliti.
Penelitian ini digagas untuk mengetahui dari hasil analisis tentang variasi
pembelajaran yang nantinya dapat membantu guru sebagai cara
membangkitkan motivasi, keingintahuan, dan minat dari peserta didik. Hal
tersebut terkait dengan novel Jawa yang tidak familiar dikalangan peserta
didik. Tinggal bagaimana guru dapat mengarahkannya ke jalur yang positif.
Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari sikap religius,
pengetahuan dan keterampilan. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa novel
Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dapat digunakan sebagai materi
pembelajaran bahasa Jawa.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 173
digilib.uns.ac.id

B. Pembahasan
Penelitian ini berjudul Analisis Penokohan dan Nilai Pendidikan Budi
Pekerti dalam Novel Ngulandara Karya Margana Djajaatmadja serta
Relevansinya sebagai Materi Ajar Apresiasi Sastra Jawa di SMA dengan rumusan
masalah yang pertama berkaitan dengan unsur penokohan dalam novel
Ngulandara karya Margana Djajaatmadja. Temuan yang didapatkan akan
dianalisis dengan teori Abrams yakni A Glossary of Literary Terms, Semi
mengenai Penokohan Karya Fiksi dan Sayuti yakni Berkenalan dengan Prosa
Fiksi. Rumusan masalah yang kedua mengenai nilai pendidikan budi pekerti yang
terdapat dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja yang selanjutnya
dianalisis menggunakan teori Suparno dkk. yakni Nilai Pendidikan Budi Pekerti
untuk SMU/SMK. Setelah memaparkan temuan tentang penokohan dan nilai
pendidikan budi pekerti, pembahasan selanjutnya akan berkenaan dengan
relevansinya sebagai materi ajar apresiasi sastra Jawa di SMA
1. Unsur Intrinsik Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja.
a. Tema
Pengertian tema untuk penelitian ini merujuk pada pendapat Waluyo
(2011: 8) yang menyatakan bahwa tema adalah makna cerita, gagasan
sentral, atau dasar cerita yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Tema
merupakan gagasan dasar bagi terciptanya sebuah karya sastra, sebagai
sebuah gagasan dasar tema merupakan sesuatu yang netral, tidak memihak.
Selanjutnya melengkapi pendapat di atas Fananie (2000: 84) menyatakan
tema dapat berupa apa saja, persoalan moral, etika, agama, sosial budaya,
teknologi, masalah tradisi atau apa saja yang erat kaitannya dalam
kehidupan yang disesuaikan dengan zamannya. Novel Ngulandara terdiri
atas empat belas bagian, setiap bab memiliki tema tersendiri. Berikut
merupakan tema temuan peneliti yang berkaitan dengan persoalan etika,
moral, tradisi, sosial budaya pada zaman novel tersebut dibuat.
Berdasarkan teori di atas dan temuan peneliti tema novel Ngulandara
karya Margana Djajaatmadja adalah perjuangan hidup dan pencarian jati
commit
diri. Tema tersebut didukung to user
dengan penemuan sub tema pada setiap sub
perpustakaan.uns.ac.id 174
digilib.uns.ac.id

judulnya yaitu, tolong menolong, menolong tanpa pamrih, saling


menghargai keberagaman, pengabdian tulus tanpa pamrih, ketekunan, tata
krama, tanggung jawab, pengabdian, rela berkorban, balas budi, perhatian
atasan terhadap bawahannya, kesedihan, sesuatu akan indah pada saatnya,
dan kebahagiaan.
Hal yang dilakukan Raden Mas Sutanta tersebut seperti tersirat dalam
tembang macapat pocung karya Pakubuwana IV dalam serat Wulang Reh
yang berbunyi, ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese
kas nyantosani, setya budya pangekesing dur angkara yang bermakna
bahwa orang mencari ilmu atau jati diri dengan sarana berusaha
mempertahankan jati diri agar terhindar dari bahaya.
b. Alur
Merujuk pada pendapat Stanton alur adalah jalinan cerita yang disusun
dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan
memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan
datang. Pengertian alur diartikan sebagai cerita yang berisi urutan kejadian,
tetpi setiap kejadian itu dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa satu
menyebabkan peristiwa yang lainnya (2012: 144).
Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja memiliki alur utama
karena dalam penceritaannya digambarkan secara runtut tidak menggunakan
alur ganda atau alur sampingan yang menceritakan kisah lain dalam cerita,
denan tahapan alur meliputi tahap Rangkaian kejadian yang menjalin alur
meliputi: (1) eksposition; (2) inciting moment; (3) ricing action;
(4) compication; (5) climax; (6) falling action; dan (7) denouement
(Waluyo dan Wardani, 2009: 10).
Tahap eksposition pada novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja
ini adalah tahap pengarang memaparkan, memperkenalkan latar cerita,
tokoh, waktu, dan beberapa sumber konflik yang dialami oleh tokoh-tokoh
dalam cerita. Awal mula diceritakan Den Bei Asisiten Wedana, istri dan
anaknya saat perjalanan pulang menuju Ngadireja mobilnya mengalami
commitsetelah
kerusakan di tengah hutan daerah to userdusun Kledung terletak di lembah
perpustakaan.uns.ac.id 175
digilib.uns.ac.id

gunung Sumbing dan Sundara yang termasuk dalam dua wilayah yaitu
Parakan (Temanggung) dan Kreteg (Wanasaba).
Tahap inciting moment pengarang mulai memunculkan problem-
problem yang ditampilkan kemudian ditingkatkan dan dikembangkan.
Diceritakan Rapingun yang telah menolong Den Bei memperbaiki mobilnya
yang rusak tidak mau diberi imbalan. Den Bei merasa berhutang budi pada
Rapingun ia ingin membalasnya suatu saat nanti, ia menghafal nomor mobil
yang dikendarai Rapingun dengan harapan jika bertemu lagi ia ingin
memberikan hak Rapingun.
Tahap ricing action diceritakan permasalahan yang semakin kompleks
yaitu saat Rapingun mengantar putri Den Bei satu-satunya Raden Ajeng
Supartienah yang pergi ke Magelang di jalan dihadang oleh Hardjana.
Rapingun terluka tangannya karena terkena pukulan Hardjana dan harus
dirawat di rumah sakit. Rapingun merasa bingung karena ia telah merasa
keluarga Den Bei begitu baik padanya, dalam dirinya ia merasa bersalah
karena ia tidak akan dapat menetap di satu tempat. Ia harus tetap
mengembara.
Tahap complication merupakan tahap sebelum klimaks sehingga
pemicu konflik lebih ditingkatkan lagi. Diceritakan saat dirumah sakit
Raden Ajeng Tien memberikan surat yang ia temukan diantara barang-
barang milik Rapingun. Surat itu tak lain adalah surat dari Ibu Rapingun
atau R.M Sutanta dalam surat itu tersirat kerinduan mendalam Ibunya, tetapi
Rapingun masih ingin mengembara. Sebenarnya Raden Ajeng Tien telah
curiga bila Rapingun adalah Raden Mas Sutanta. Ia tetap menyembunyikan
jati dirinya dari Raden Ajeng Tien. Hal ini membuatnya bingung mengenai
apa yang harus ia lakukan, karena ia juga tidak tega meninggalkan keluarga
Den Bei yang sangat baik padanya, namun disisi lain mungkin Ibu dan
Bapaknya akan mati dalam kesengsaraan karena menahan rindu padanya, ia
memutuskan untuk pergi dari rumah Den Bei dengan alasan mengunjungi
orang tuanya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 176
digilib.uns.ac.id

Climax merupakan puncak dari keseluruhan cerita. Semua kisah atau


peristiwa yang sebelumnya ditahan untuk ditonjolkan, pada tahap ini
semuanya dikisahkan. Peneliti menemukan climax pada bagian
terbongkarnya rahasia Rapingun bahwa ia sebenarnya adalah Raden Mas
Sutanta anak dari Raden Mas Gandaatmadja yang pergi dari rumah untuk
mengembara. Terbongkarnya identitas Rapingun yang sebenarnya ketika ia
berkunjung ke rumah Mantri guru Kedungwuni karena ia bekerja sebagai
pengawas di daerah itu. Secara kebetulan Den Bei Asisten Wedana, Raden
Ayu Asisten Wedana, dan Raden Ajeng Tien juga berkunjung karena ia
adalah Wedana baru di daerah Kedungwuni, pertemuan mereka disambut
tangis haru.
Tahap falling action merupakan tahap ketegangan konfik telah menurun
karena telah mencapai climax. Setelah mengetahui kebenaran yang selama
ini disembunyikan Raden Mas Sutanta dan mengapa ia berbohong, Den Bei
mengerti keadaan Raden Mas Sutanta. Selama menjadi pengawas Raden
Mas Sutanta telah memiliki rumah yang baru dan meminta agar Den Bei
sekeluarga menginap ditempatnya dan mereka menyetujuinya. Selanjutnya
tahap denoument ini berarti penyelesaian dari semua cerita yang berupa
akhir cerita. Diceritakan akhir dari novel Ngulandara Raden Mas Sutanta
akhirnya menikah dan hidup rukun serta bahagia.
c. Sudut Pandang
Analisis sudut pandang menggunakan teori menurut Abrams bahwa
sudut pandang adalah cara dan atau pandangan yang dipergunakan
pengarang sebagi sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan
berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi
kepada pembaca (1981: 101). Minderop berpendapat bahwa sudut pandang
terbagi menjadi empat golongan yaitu, sudut pandang persona ketiga, sudut
pandang persona pertama, sudut pandang campuran, dan sudut pandang
dramatik (2005: 31).
Novel Ngulandara gaya penceritaannya menggunakan sudut pandang
commit tocerita
persona ketiga yaitu pengisahan user yang memposisikan pengarang
perpustakaan.uns.ac.id 177
digilib.uns.ac.id

sebagai yang maha tahu dan pengamat. Sudut pandang persona ketiga dalam
menampilkan tokoh-tokoh ceritanya, yaitu dengan menyebut nama seperti
Rapingun, Raden Ayu Supartinah, Den Bei Asisten Wedana, Den Ayu
Asisten Wedana, Nyonyah Oei Wat Hien, Kerta, Kasna, Salijem, Raden
Mantri guru ing Parakan, Raden Ayu Mantri guru, Den Bei Mantri gudang,
Den Ayu Mantri gudang, Hardjana, Suratna, Mantri guru Kedungwuni, Istri
mantri Guru.
d. Latar
Latar adalah lingkungan kejadian atau dunia dekat tempat kejadian itu
berlangsung. Latar dapat memberikan pijakan cerita secara konkret dan
jelas, untuk memberikan kesan realitas kepada pembaca, menciptakan
suasana seolah-olah sungguh-sungguh terjadi (Stanton, 2012: 35). Dengan
demikian, pembaca dapat dengan mudah mengoperasikan daya
imajinasinya dan memungkinkan dapat berperan serta secara kritis
dengan pengetahuan mengenai latar dalam cerita. Selanjutnya untuk lebih
memahami latar terbagi atas tiga yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar
sosial (Sayuti, 2000: 126-127).
Latar tempat pada novel Ngulandara terjadi ditengah hutan tepat di
bawah dusun Kledung, rumah sakit Parakan, gedung asisten Ngadireja,
Kwijen, Pekalongan, pasar malam di Magelang dan rumah mantri
Kedungwuni. Latar waktu digambarkan pada waktu pagi, malam, siang dan
sore. Selain itu juga ditemukan latar waktu yang menyebutkan nama hari
seperti hari Minggu, hari Sabtu, hari Senin ataupun sebulan kemudian.
Pengarang juga menyebutkan keterangan waktu menggunakan djam
setengah enem, let seprasekawan jam, setengah kalih welas, dan djam tiga.
Latar sosial dalam novel ini adalah kehidupan para priyayi karena novel
Ngulandara terbit dengan latar waktu tahun 1936 yang masih menganut
sistem priyayi.
e. Amanat
Amanat adalah pesan yang akan disampaikan melalui cerita.
commit
Selanjutnya dijelaskan bahwa to userbiasanya berupa nilai-nilai yang
amanat
perpustakaan.uns.ac.id 178
digilib.uns.ac.id

dititipkan penulis cerita kepada pembacanya. Amanat adalah ajaran moral


yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya. Pendapat tersebut
peneliti gunakan sesuai dengan pendapat Ismawati (2013:73).
1) Ajining Dhiri Dumunung ing Lathi, Ajining Raga Dumunung ing
Busana
Pitutur luhur Jawa ajining dhiri dumunung ing lathi, ajining raga
dumunung ing busana maksudnya seseorang akan dihargai berdasarkan
apa yang melekat pada tubuh dan jiwanya. Pada tubuh misalkan
pakaian. Pakaian pada manusia terdiri atas dua yaitu pakaian lahir dan
batin. Pakaian lahir berwujud kain, seseorang tidak harus berpakaian
mewah namun cukup sederhana bersih dan sopan, sedangkan pakaian
lahir berupa ilmu dan keluhuran budi yang mampu membawa seseorang
dihormati. Hendaknya setiap manusia memiliki kedua pakaian tersebut.
2) Sepi Ing Pamrih Rame ing Gawe
Sepi ing pamrih rame ing gawe maksudnya sesuatu haruslah
dikerjakan dengan ikhlas tanpa mengarap imbalan. Jika diperlukan
harus rela berkorban demi tanggung jawab yang yang diberikan. Dalam
novel ini disampaikan pula pengabdian yang tanpa pamrih. Saat kita
mengabdikan diri kita harus rela berkorban. Seperti yang dilakukan
Rapingun saat menjaga Raden Ajeng Tien dari ulah Hardjana. Tokoh
Rapingun memberikan teladan rela berkorban demi keselamatan
majikannya.
3) Sepira Gedhening Sengsara yen Tinampa amung dadi Coba
Pengarang melalui tokoh Raden Mas Sutanta ingin menunjukkan
bahwasannya saat mengalami kegagalan jangan hanya duduk meratapi
kegagalan tersebut, bangkit dan carilah ilmu agar kesalahan yang lalu
tidak terulang kembali, karena Tuhan pasti memiliki rencana yang lebih
baik untuk kita. Raden Mas Sutanta yang dipecat dari pekerjaannya
memilih pergi dari rumah untuk mengembara mencari ketenangan dan
ilmu-ilmu kehidupan banyak kesusahan dan kebahagiaan ia alami
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 179
digilib.uns.ac.id

hingga akhirnya ia menemukan kebahagiaan yaitu dengan mendapatkan


pekerjaannya kembali dan menikah dengan Raden Ajeng Tien.
2. Analisis Penokohan dari Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja.
Tokoh cerita (karakter) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki
kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam
ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abrams, 1981: 20). Di antara
tokoh dan kualitas pribadinya berkaitan erat dengan penerimaan pembaca.
Perbedaan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya lebih ditentukan oleh
kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik. Sebagai karya fiksi, novel
merupakan suatu bentuk karya kreatif, maka pengarang dapat mewujudkan
dan mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak terlepas dari kebebasan
kreativitasnya.
Penokohan terbagi atas beberapa jenis yaitu tokoh protagonis, antagonis,
sentral, peripheral, kompleks dan sederhana (Sayuti, 2000: 67). Penggambaran
tokoh dapat dianalisis menggunakan metode analitik dan metode dramatik.
metode analitik pengarang langsung memaparkan tentang watak tokoh atau
karakter tokoh. Sedangkan metode dramatis pengarang tidak menggambarkan
watak tokoh secara langsung tetapi dapat disampaikan dengan cara: (1) pilihan
nama tokoh, (2) melalui penggambaran fisik tokoh, cara berpakaian, tingkah
laku, dan sikap-sikapnya terhadap tokoh lain, (3) melalui dialog, baik dialog
tokoh dengan tokoh-tokoh lain atau dengan dirinya sendiri (Semi, 1993: 38).
Tokoh dalam novel Ngulandara 16 tokoh. Tokoh-tokoh tersebut secara
garis besar menjadi subjek dan pencerita yang diceritakan. Tokoh sentral
dalam cerita ini adalah Raden Mas Sutanta. Sedangkan tokoh pembantu Raden
Ayu Supartinah, Den Bei Asisten Wedana, Den Ayu Asisten Wedana,
Nyonyah Oei Wat Hien, Kerta, Kasna, Salijem, Raden Mantri guru ing
Parakan, Raden Ayu Mantri guru, Den Bei Mantri gudang, Den Ayu Mantri
gudang, Hardjana, Suratna, Mantri guru Kedungwuni, Istri Mantri guru.
Selanjutnya akan dianalisis berdasarkan jenis dan teknik penggambaran tokoh
dalam cerita. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 180
digilib.uns.ac.id

a. Tokoh Protagonis
Tokoh protagonis dalam novel Ngulandara karya Margana
Djajaatmadja adalah Rapingun, Raden Ajeng Supartienah, Raden Bei
Asisten wedana, Raden Ayu Asisten wedana, Nyonyah Oei Wat Hien,
Raden Mantri guru ing Parakan, Raden Ayu Mantri guru, Den Bei Mantri
gudang, Den Ayu Mantri gudang, Mantri guru Kedungwuni, Istri Mantri
guru, Kerta, Kasna dan Salijem. Hal ini sesuai dengan pendapat Waluyo
(2011: 24) bahwa tokoh protagonis merupakan tokoh yang mendukung
jalannya cerita dan tokoh yang mengundang atau mendatangkan simpati
atau tokoh baik. Penentuan tokoh-tokoh tersebut sebagai tokoh protagonis
dianalisis dengan metode analitik dan dramatik menurut Sayuti (2000: 112)
sehingga dapat digolongkan ke dalam jenis tokoh tersebut.
b. Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis dalam novel Ngulandara adalah Hardjana dan
Suratna. Hal ini karena kedua tokoh tersebut menimbulkan perasaan benci,
antipati kepada pembaca karena tindakannya yang tidak baik dan tidak
sesuai dengan norma yang berlaku. Tokoh tersebut juga diciptakan untuk
mengimbangi tokoh utama dalam menyampaikan cerita. Selaras dengan
pendapat Budianta (2003: 83) bahwa tokoh antagonis merupakan tokoh
yang brtugas mengimbangi utama.
c. Tokoh Sentral
Tokoh sentral dalam novel Ngulandara adalah tokoh Rapingun hal ini
merujuk pada keterlibatan tokoh ini dalam keseluruhan cerita. Tokoh
Rapingun mengambil bagian terbesar dalam peristiwa cerita. Pada novel
Ngulandara mengisahkan perjalanan pengembaraan Rapingundalam
usahanya menjari jati diri dan merenungi kegagalannya. Berdasarkan
analisis dengan teori Sayuti (2000: 67) Tokoh Rapingun mewakili
keseluruhan tema dan makna atau amanat, selanjutnya tokoh Rapingun
paling banyak berinteraksi dengan tokoh lain, terbukti pada keseluruhan sub
bab tokoh Rapingun pasti muncul sebagai pusat penceritaan sehingga tokoh
Rapingun memerlukan banyakcommit to dalam
waktu user penceritaan.
perpustakaan.uns.ac.id 181
digilib.uns.ac.id

d. Tokoh Peripheral
Tokoh peripheral merupakan tokoh yang mendukung tokoh sentral
dalam menjalankan cerita. Pada novel Ngulandara yang termasuk tokoh
peripheral adalah Raden Ajeng Supartienah, Raden Bei Asisten Wedana,
Raden Ayu Asisten Wedana, Nyonyah Oei Wat Hien, Raden Mantri guru
ing Parakan, Raden Ayu Mantri guru, Den Bei Mantri gudang, Den Ayu
Mantri gudang, Mantri guru Kedungwuni, Istri Mantri guru, Kerta, Kasna
dan Salijem. Tokoh-tokoh tersebut membantu tokoh sentral dalam
menjalankan cerita sebagai contoh adalah tokoh Den Bei Asisten Wedana
membanti tokoh Rapingun dalam pencapaian cerita, jikalau tokoh Den Bei
tidak menghendaki tokoh Rapingun sebagai supirnya maka jalan ceritanya
akan lain.
e. Tokoh Kompleks
Tokoh kompleks merupakan tokoh yang dalam segi watak dan
karakternya disebutkan secara rinci dan dapat dilihat dari semua sisi
kehidupannya yang termasuk dalam tokoh kompleks adalah tokoh
Rapingun, Raden Ajeng Supartienah, Raden Bei Asisten Wedana, Raden
Ayu Asisten Wedana dan Nyonyah Oei Wat Hien. Tokoh-tokoh tersebut
lebih terlihat watak dan karakternya serta kebiasaan kehidupannya
dibandingkan dengan tokoh yang lain. Tokoh-tokoh yang tergabung di
dalam tokoh kompleks membutuhan waktu penceritaan yang lebih banyak
daripada tokoh yang lain.
f. Tokoh Sederhana
Tokoh sederhana lebih merujuk pada tokoh yang kurang mewakili
personalitas manusia atau hanya satu sisi saja yang ditunjukkan. Tokoh
sederhana dalam novel Ngulandara adalah Raden Mantri guru ing Parakan,
Raden Ayu Mantri guru, Den Bei mantri gudang, Den Ayu Mantri gudang,
Mantri guru Kedungwuni, Istri Mantri guru, Kerta, Kasna dan Salijem.
Tokoh-tokoh ini tidak mewakili secara utuh kehidupan manusia, karena
dalam penceritaannya baik digambarkan dengan analitik atau dramatik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 182
digilib.uns.ac.id

kurang mewakili perwatakan seseorang. Dalam cerita pun intensitas


kemunculan juga sangat sedikit dibandingkan dengan tokoh kompleks.
3. Nilai pendidikan Budi Pekerti dalam Novel Ngulandara Karya Margana
Djajaatmadja.
Analisis nilai budi pekerti pada penelitian ini mengacu pada pendapat
Suparno dkk. yang membagi nilai budi pekerti untuk SMA/SMK ke dalam
sepuluh nilai budi pekerti yaitu: 1) religiusitas, 2) sosialitas, 3) gender, 4)
keadilan, 5) demokrasi, 6) kejujuran, 7) kemandirian, 8) daya juang, 9)
tanggung jawab, dan 10) penghargaan terhadap lingkungan. Selanjutnya
Endraswara (2003: 24) menyatakan bahwa sumber dari nilai budi pekerti
bersumber dari kearifan tradisonal Jawa. Kearifan tersebut berasal dari para
pendahulu yang terucap dengan penuh kesederhanaan dan penuh suasana
prihatin.
a. Nilai Religiusitas
Religiusitas adalah sikap dan kesadaran manusia bahwa dalam hidup ini
ada kekuatan atau kekuasaan yang jauh melampaui kekuatan dan kekuasaan
manusia. Manusia terdiri atas dua dimensi yaitu lahiriah dan batiniah.
Dimensi batin inilah yang menyadarkan bahwa manusia merupakan
makhluk yang lemah dan masih ada kekuatan dan kekuasaan yang mutlak.
Dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja terdapat nilai
religiusitas yang menunjukkan kepasrahan seorang manusia kepada yang
Maha Mengatur Kehidupan. Hal itu sesuai dengan syair yang terdapat pada
tembang macapat dhandhanggula yaitu kawruhana sejating urip, manungsa
urip ana ing donya, prasasat mung mampir ngombe, umpamakna manuk
mabur, oncat saking kurunganeki, ngendi pencokan benjang, ywa kongsi
kaleru, umpama wong lunga sanja, njan sinanjan nora wurung bakal mulih,
mulih mula mulanira.
Makna tembang macapat tersebut ialah hakikat hidup di dunia ini
tidaklah lama sehingga diibaratkan seperti orang yang sedang minum. Dan
manusia itu pada akhirnya akan kembali lagi kepada penciptanya sehingga
commityang
diibaratkan seperti seekor burung to user
lepas dari sangkar ia akan hinggap
perpustakaan.uns.ac.id 183
digilib.uns.ac.id

dimana saja yang disukai namun harus diingat bahwa semuanya akan
kembali kepada tempat asalnya yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa.
Novel Ngulandara mengajarkan nilai religiusitas melalui tokoh Raden
Ayu Asisten Wedana, di dalam kesulitan kesusahan dan kesengsaraan tokoh
tersebut mengisyaratkan bahwa manusia itu adalah makhluk yang lemah,
masih ada kekuatan mutlak yang tidak mampu ditandingi oleh kekuatan
manusia manapun yaitu kekuatan Tuhan. Maka, sudah sepantasnya jika
dalam kesulitan atau kesusahan memohon dan meminta pertolongan kepada
yang Maha Mengatur Kehidupan.
b. Nilai Sosialitas
Nilai sosialitas adalah sikap yang perlu dikembangkan manusia dalam
kehidupan bersama dan dijadikan sebagai nilai hidup. Manusia pada
hakikatnya hidup dalam masyarakat yang mana dalam masyarakat tersebut
terdapat nilai yang dijunjung tinggi atas kesepakatan bersama. Nilai yang
menyangkut kepentingan orang lain dalam masyarakat.
Nilai yang dijunjung tinggi sesuai latar waktu pada novel Ngulandara
karya Margana Djajaatmadja adalah bahwa masih terdapat sistem kasta
dalam masyarakat dimana seseorang yang berstatus sosial rendah haruslah
menghormati seseorang dengan status sosial tinggi. Sesuai dengan pepatah
Jawa desa mawa cara negara mawa tata bahwasannya setiap lapisan
masyarakat memiliki aturan atau norma yang harus ditaati, karena norma
itu telah menjadi kesepakatan yang disetujui bersama. Ungkapan lain
adalah ingkang pantes dhawah ing sambhawa kaliyan sembada ‘yang
pantas sesuai keadaan dan mumpuni’. Maknanya bertindak dengan
mempertimbangkan empan papan atau suasana, waktu, dan tempat agar
pantas. Dalam filsafat Jawa seseorang dituntut untuk bertanggung jawab
dam memperhatikan desa’tempat’, kala’waktu’ dan patra’suasana’.
Tokoh Nyonyah Oei Wat Hien telah menunjukkan bagaimana cara
menghormati adat budaya dan kebiasaan dimana tempat tinggalnya sesuai
dengan pepatah di atas. Tokoh ini merupakan tokoh Tiong Hoa yang telah
lama hidup di Jawa bahkancommit to user
tergolong sebagai kaum priyayi pada saat itu.
perpustakaan.uns.ac.id 184
digilib.uns.ac.id

Namun dapat dilihat pada subbab Nyonyah Oei Wat Hien bagaimana tokoh
tersebut sudah menerapkan unggah-ungguh basa yang benar dan memiliki
tata cara bertamu yang sesuai dengan kebiasaan orang Jawa serta tokoh
tersebut menerapkan sistem orang Jawa yang tidak suka to the point namun
ada kalanya harus menyembunyikan maksudnya terlebih dahulu.
c. Nilai Gender
Nilai gender merupakan nilai yang mengajak memahami bahwasannya
baik laki-laki atau wanita pada hakikatnya adalah ciptaan Tuhan yang diberi
kesempatan hidup yang sama, dalam masyarakat pun memiliki kewajiban
dan hak tersendiri yang sama dalam konteks tertentu. Nilai gender yang
terdapat pada novel Ngulandara adalah adanya persamaan hak antara pria
dan wanita dalam bidang pendidikan. Novel Ngulandara mencoba
memberikan pola pikir yang baru pada masyarakan zaman itu bahwa wanita
yang biasanya hanya disebut sebagai kanca wingking atau suwarga nunut
neraka katut. Kanca wingking lebih mengarah kepada makna bahwa wanita
hanya sebagai pendukung saja sehingga tidak boleh ikut campur dalam
urusan tertentu sehingga melahirkan sebuah pepatah suwarga nunut neraka
katut maknanya lebih kepada perempuan yang penurut harus patuh kepada
laki-laki dan tidak berhak memperoleh kebebasan.
Praktiknya saat ini wanita juga berhak memperoleh pendidikan yang
setara dengan pria. Dan lagi wanita juga berhak memiliki pekerjaan yang
sesuai dengan tingkat pendidikannya. Seperti yang ditunjukkan oleh tokoh
Raden Ajeng Tien, sebagai wanita Jawa pada zaman itu ia sudah
menunjukan adanya emansipasi, ia bersekolah seperti anak laki-laki pada
umumnya dan ia juga memperoleh kebebasan untuk bekerja sehingga jika
wanita hanya sebagai kanca wingking atau suarga nunut neraka katut
tidaklah benar wanita pun dapat melakukan kewajiban atau pekerjaan yang
sama dengan laki-laki.
d. Nilai Keadilan
Nilai keadilan adalah perlakuan yang sama terhadap semua orang
commit
dalam situasi yang sama dan untuktomenghormati
user setiap hak semua orang
perpustakaan.uns.ac.id 185
digilib.uns.ac.id

yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan falsafah orang Jawa crah agawe
bubrah, rukun agawe santosa, maksudnya lebih pada menciptakan
kerukunan antar manusia jika semua mendapatkan perlakuan yang sama
maka kerukunan akan tercipta dengan sendirinya. Jika kita dihormati oleh
orang lain maka harus menghormati orang lain pula.
Novel Ngulandara memberika pelajaran bahwa tidak benar jika
memperlakukan orang secara tidak adil apalagi hanya melihat dari drajat
dan pangkatnya. Memperlakukan seseorang tidak boleh emban cindhe
emban siladan yang maknanya memperlakukan seseorang secara berbeda
yang satu diperlakuan bagai emas yang merupakan barang yang sangat
berharga. Sedangkan yang satunya seperti sisa-sisa bilahan bambu yang
biasanya tidak diperdulikan dan hanya merupakan barang sisa yang tidak
berguna.
Nilai keadilan ditunjukkan oleh tokoh Raden Bei Asisten Wedana
beserta keluarganya, hal itu terlihat dari bagaimana caranya
memperlakukan bawahan. Meskipun Rapingun, Kerta, dan Salijem adalah
pembantu namun ketiganya diperlakukan secara layak bahkan dianggap
seperti keluarga. Raden Bei juga menghormati hak-hak mereka sebagai
manusia, ketika Rapingun meminta izin untuk dapat pulang menemui
keluarganya Den Bei memberikan izin dan memberikan uang saku dari
hasil kerja Rapingun selama itu.
e. Nilai Demokrasi
Nilai demokrasi dapat diwujudkan dalam beberapa tindakan yaitu
menghargai pendapat, memperlakukan orang dengan cara yang sama tanpa
diskriminatif tanpa memandang agama, suku, derajat, tingkat ekonomi,
menerima kekalahan dan berani mengungkapkan gagasan. Dalam novel
Ngulandara terdapat nilai demokrasi yang beragam, diantaranya adalah
menghargai pendapat. Pada falsafah orang Jawa terdapat pitutur luhur yaitu
aja mbedakake marang sapadha-padha maknanya setiap orang perlu
mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang sama, karena
keberagaman yang berada commit to user maka hendaknya keberagaman
di masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id 186
digilib.uns.ac.id

tersebut tidak menjadi penghalang namun sebagai pemersatu kebhinekaan di


masyarakat. Karena sesungguhnya perbedaan yang ada akan melahirkan
dinamika hidup dalam rangka terwujudnya rasa sejahtera bersama.
Nilai demokrasi pada novel Ngulandara ditunjukkan oleh tokoh Den
Bei yang menghargai pendapat istrinya untuk membawa Rapingun ke rumah
sakit di Parakan saja karena di Magelang terlalu jauh. Tokoh Den Bei
menghormati pendapat istrinya tidak ada rasa kecewa karena kehendaknya
tidak terpenuhi. Sifat beran mengungkapkan gagasan juga ditunjukkan oleh
Rapingun ketika menyikapi ketakutan Raden Ajeng Tien jika orang tuannya
tau bahwa ia dihadang oleh Hardjana di tengah hutan, Rapingun
menyarankan agar Raden Ajeng Tien berkata kepada orang tuanya bahwa
luka di tangan Rapingun tersebut karena terkena slinger.
f. Nilai Kejujuran
Kejujuran merupakan segala sesuatu yang dilakukan seseorang sesuai
dengan hati nurani dan norma peraturan yang ada, jujur berart menepati
janji atau kesanggupan. Sikap kejujuran perlu ditanamkan secara terus
menerus baik menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri,
ataupun masyarakat. Sikap jujur memang tidak diperlihatkan secara
langsung pada novel Ngulandara karena dalam novel ini tokoh utama
memang sengaja untuk menyembunyikan jati dirinya, bukan untuk berbuat
yang tidak baik namun karena ada tujuan lain yaitu mencari jati dirinya.
Namun dalam novel Ngulandara diperlihatkan konsekuensi atas
ketidakjujuran, seseorang yang tidak jujur akan merasa gelisah dan tidak
tenang dalam dirinya.
Konsekuensi seseorang yang tidak jujur oleh Sri Pakubuwana IV dalam
serat Wulang Reh ditunjukkan dalam pupuh gambuh yaitu: aja nganti
kabanjur, sabarang polah kang nora jujur, yen kabanjur sayekti kojur tan
becik, becik ngupayaa iku, pitutur kang sayektos. Maknanya segala hal yang
yang tidak jujur bila terlanjur benar-benar akan tidak baik, lebih baik
utamakan kejujuran karena itu adalah nasehat yang sejati. Sebaik-baiknya
commit
ketidakjujuran masih lebih utama to user yang menyakitkan.
kejujuran
perpustakaan.uns.ac.id 187
digilib.uns.ac.id

Tokoh Rapingun memberikan gambaran ketidakjujurannya nyata


memberikan kesedihan kepada keluarga Den Bei. Rapingun berbohong
ingin mengunjungi orang tuanya di Pacitan namun nyatanya itu hanya
alasan agar ia dapat pergi dari rumah Den Bei. Keluarga Den Bei pun
merasa bersedih dan kehilangan akan kepergian Rapingun. Ketidakjujuran
Rapingun juga menyulitkan dirinya sendiri bagaimana tidak Rapingun harus
pandai menyembunyikan jati dirinya sehingga ketika Raden Ajeng Tien
menemukan surat dari ibunya perasaannnya merasa bingung dan serba salah
sehingga menyulitkan dirinya sendiri.
g. Nilai Kemandirian
Nilai kemandirian yang dimaksud merupakan sikap penuh kepercayaan
dan dapat dipercaya, sikap penuh tanggung jawab terhadap keputusan,
keberanian untuk menghadapi masalahnya sendiri, kemampuan berinisiatif,
tidak gampang terpengaruh dan mengambil keputusan secara sadar. Sikap
penuh percaya diri dan keberanian dalam mengambil keputusan merupakan
sifat yang harus dikembangkan. Dalam novel Ngulandara sikap tersebut
berada pada pengkisahan Rapingun yang ngulandara ‘mengembara’ tanpa
membawa sepeserpun harta milik orang tuanya kecuali baju yang melekat
di badannya. Hal ini ia lakukan untuk berjuang mencari jati dirinya dan
dalam rangka lelaku ‘tirakat’ atas musibah yang menimpanya. Ajaran Jawa
melalui pitutur luhur menyebutkan yen wani aja wedi wedi, yen wedi aja
wani-wani. Falsafah orang Jawa yang demikian itu mengandung makna
bahwa dalam mengambil keputusan jangan sekalipun ada ragu di dalam
hati jika tidak katakan tidak. Ketegasan diperlukan dalam mengambil
keputusan hal ini sesuai dengan salah satu ajaran astha brata yaitu laku
hambeging dahana dimana seseorang harus tegas seperti api yang sedang
membakar. Namun pertimbangannya berdasarkan akal sehat yang bisa
dipertanggung jawabkan sehingga tidak membawa kerusakan.
Nilai kemandirian ditunjukkan tokoh Rapingun dengan tegas
mengambil keputusan untuk lelaku ngulandara atau mengembara dalam
commit
rangka menyikapi kegagalan to user
yang sedang dialami. Tokoh Rapingun
perpustakaan.uns.ac.id 188
digilib.uns.ac.id

mengembara mencari apa sebenarnya yang menjadikan dirinya gagal dan


berniat untuk memperbaiki segala kekuragan yang ada pada dirinya dengan
mencari ilmu sebanyak-banyaknya, berbagai pekerjaan ia lakukan asalkan
tidak melanggar norma yang berlaku. Ajaran astha brata ia terapkan dalam
mengambil keputusan pergi dari rumah namun keputusan yang menyala-
nyala itu tidak lantas menjadikan dirinya buta akan norma dan tanggung
jawab. Tokoh Rapingun bertanggung jawab atas apa yang diputuskan.
h. Nilai Daya Juang
Suatu sikap untuk tidak mudah menyerah, tidak gampang putus asa,
memiliki daya kemauan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, serta
keyakinan bahwa segala sesuatu membutuhkan proses dan usaha. Di dunia
ini tidak ada segala sesuatu yang tercipta demikian saja namun selalu ada
proses yang mendahului sebelum terciptanya sebuah hasil yang diinginkan
yang tentu saja hasil yang baik. Proses menuju baik tidaklah mudah pasti
terhadap cobaan dan rintangan yang hanya akan teratasi jika memiliki sikap
tidak mudah putus asa dan tidak mudah menyerah pada keadaan. Di dalam
proses terdapat tantangan dan kegagalan yang tentunya harus disikapi
dengan ikhlas bangkit dan temukan apa yang diinginkan. Hal tersebut
tercermin dalam sebuah pitutur luhur orang Jawa yang berbunyi sepira
gedhening sengasara yen tinampa amung dadi coba artinya seberapa besar
kesengsaraan yang di alami jika ikhlas hal itu hanya akan menjadi sebuah
cobaan. Keikhlasan menjadi kunci untuk menerima apa yang digariskan
oleh Tuhan seperti falsafah Jawa narima ing pandum. Konsepsi ini tidak
lantas dijadikan alasan untuk bermalas-malasan namun narima ing pandum
berarti menerima apa yang diberikan Tuhan dengan apa yang telah
diusahakan, karena pengeran iku kuwasa dening manungsa iku bisa
maksudnya manusia bisa berusaha namun semuanya kempali harus
dipasrahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tokoh Rapingun memberikan pesan sepira gedhening sengsara yen
tinampa amug dadi coba kegagalan yang dialamunya karena dipecat dari
commit
pekerjaan tidak menjadikannya to user
lemah dan meratapi nasib. Namun harus
perpustakaan.uns.ac.id 189
digilib.uns.ac.id

bangkit menghadapi hidup ia menyadari bahwa ilmu dan pengalaman di


dunia sangatlah banyak. Rapingun memutuskan untuk pergi meninggalkan
orag tuanya yang bergelimang harta. Rapingun tidak mau hanya bergantung
kepada orang lain, ia harus berhasil atas usaha dan doanya sendiri.
Rapingun mengembara berusaha mencari panglaman dan jati dirinya
hingga akhirnya Tuhan menjawab usaha dan doanya, Rapingun kembali
memperoleh pekerjaan dan kebahagiaan dengan menikahi Raden Ajeng
Tien.
i. Nilai Tanggung Jawab
Nilai tanggung jawab berarti keberanian, kesiapan, keteguhan hati
untuk menerima konsekuensi atas segala keputusan dan tindakan yang telah
dipilih. Seorang yang bertanggung jawab akan secara sadar mengambil
keputusan, menjalankan keputusan tersebut dan menerima konsekuensi atas
keputusan tersebut. Dalam khasanah kebudayaan Jawa penjelasan
mengenai hal tersebut terdapat dalam pepatah mikul dhuwur mendhen jero.
Pepatah tersebut mengisyaratkan bahwa segala sesuatu yang bersifat
rahasia harus benar-benar dijaga agar orang lain tidak mengetahuinya.
Selain pepatah tersebut ada falsafah Jawa yang terkenal dengan sebutan
Trilogi Mangkunegaran yaitu rumangsa melu handarbedi, rumangsa wajib
hangrungkepi, mulat sarira hangrasa wani. Rumangsa melu handarbeni’
merasa ikut memiliki’ makna kata simbolis tersebut adalah seseorang harus
bertanggung jawab atas tugas-tugas yang ada padanya, tugas itu harus
dirasaka, disadari sebagai miliknya. Rumangsa wajib hangrungkepi ‘siap
berkorban untuk melindungi’ maknanya seseorang harus siap berkorban
dalam melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan padanya.
Selanjutnya mulat sarira hangrasa wani ‘berani melihat diri sendiri’
menjadi seseorang yang bertanggung jawab harus dapat melihat kedalam
dirinya sendiri bagaimana menyikapi tanggung jawab itu.
Nilai tanggung jawab dalam novel Ngulandara ditunjukkan oleh tokoh
Rapingun yang diberi tanggung jawab oleh Den Bei untuk menjaga
commit
purtinya yaitu Raden Ajeng Tien. toSaat
usermenjalankan amanah yang yang
perpustakaan.uns.ac.id 190
digilib.uns.ac.id

diberikan padanya terdapat halangan yaitu dihadang oleh Hardjana,


perkelahian untuk mempertahankan keselamatan Raden Ajeng Tien pun
harus dilakukan hingga tangan Rapingun mengalami cidera dengan kondisi
yang demikian Rapingun harus menyelesaikan tugasnya membawa Raden
Ajeng Tien sampai rumah. Menahan rasa sakit di lengannya Rapingun
berhasil membawa Raden Ajeng Tien kembali kerumah tanpa kekurangan
suatu apapun. Sikap Rapingun tersebut telah menunjukkan nilai tanggung
jawab atas tugas yang diberikan padanya, mengambil keputusan dengan
tepat serta menyelesaikannya dengan baik.
j. Nilai Penghargaan terhadap Lingkungan
Nilai penghargaan terhadap lingkungan adalah sikap untuk mencintai
kehidupan. Perlu adanya kecintaan terhadap kehidupan untuk
mengungkapkan kecintaan terhadap alam. Dalam novel Ngulandara
terlihat kecintaan Rapingun pada Hel kuda milik Den Bei, dengan sabar ia
melatih kuda yang liar itu. Modal Rapingun hanya ketekunan dan
keyakinan bahwa sesuatu hal pasti akan tercapai jika kita mau dan mampu
untuk berusaha, sapa sing tekun bakal tekan dan sapa tekun bakal tinemu
yang berarti siapa saja yang tekun akan mencapai keinginannya. Ketekunan
Rapingun dalam mencintai alam dikarenakan filsafat Jawa pangeran iku
kuwasa tanpa piranti, akarya alam saisine kang katon lan ora kasat mata
‘Tuhan itu berkuasa tanpa alat, menciptakan alam dan seluruh isinya baik
yag terlihat atau tidak terlihat’ dari hal itu dapat dijelaskan bahwa alam dan
segala isinya adalah milik Tuhan manusia, hewan, tumbuhan dan segala
yang ada di alam ini harus dipelihara karena bukanlah milik kita.
Tokoh Rapingun memberikan pesan untuk menghargai lingkungan
bukan hanya lingkungan alam saja namun juga lingkungan antara manusia
dengan manusia. Tokoh Rapingun sangat pandai dalam merawat kuda
tokoh ini dapat menjinakkan kuda yang sangat liar dengan kasih sayang
yang diberikan serta ketekunan yang ia miliki. Rapingun juga sangat
menjaga hubungan baik antar manusia karena keluhuran budinya ia disukai
commit
oleh banyak orang. Tidak ada to yang
orang user merasa tersakiti oleh perkataan
perpustakaan.uns.ac.id 191
digilib.uns.ac.id

ata perbuatannya.
3. Relevansi Penokohan dan Nilai Pendidikan Budi Pekerti dalam Novel
Ngulandara Karya Margana Djajaatmadja sebagai Materi Ajar Apresiasi
Sastra Jawa di SMA.
Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja selain sebagai bacaan
penikmat novel, ternyata juga dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran
bahasa Jawa di SMA. Mengingat sastra dalam pembelajaran bahasa Jawa di
SMA memiliki tempat dalam proses pembelajaran kelas XI. Di dalam
Kurikulum 2013, secara tertulis Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar
mengenai apresiasi karya sastra novel. Namun seperti yang diutarakan
Ngatiyem dan Vitalia Magistra bahwa pembelajaran novel cenderung monoton
dan membosankan karena materi yang digunakan hanya itu-itu saja. Hal itu
karena sulitnya mencari novel jawa yang memiliki nilai-nilai sesuai konteks
dan kebutuhan peserta didik. Dan lagi novel-novel kebanyakan memuat nilai-
nilai yang terlalu dewasa sehingga tidak cocok untuk diajarkan di SMA.
Kelayakan atau tidaknya sebagai alternatif materi pembelajaran juga
didasarkan pada pendapat Winkel (1996: 297) berpendapat materi atau bahan
ajar harus relevan terhadap tujuan instruksional yang harus dicapai, yaitu
dari segi isi maupun jenis perilaku yang dituntut siswa yang mencakup ranah
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Lebih lanjut materi pembelajaran harus
sesuai dengan taraf kesulitannya dengan kemampuan siswa untuk menerima
dan mengolah bahan itu. Materi ajar juga dapat menunjang motivasi siswa,
antara lain karena relevan dengan pengalaman hidup sehari-hari siswa,
sejauh hal itu mungkin dan harus sesuai dengan media pelajaran yang tersedia.
Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja mengandung nilai-nilai budi
pekerti yang dapat mencapai tujuan pembelajaran pembentukan sikap. Dari
novel tersebut juga memuat unsur-unsur pembangun novel yang lengkap
sebagai pemicu pengetahuan peserta didik.
Dasar pemilihan materi ajar yang baik juga perlu diperhatikan. Menurut
Semi (1993: 13) dasar pemilihan bahan ajar yang baik diantaranya adalah
commit
bahan atau materi tersebut valid to usertujuan pengajaran sastra, materi
dengan
perpustakaan.uns.ac.id 192
digilib.uns.ac.id

tersebut bermakna dan bermanfaat sesuai dengan kebutuhan siswa, materi


tersebut dalam batas keterbacaan dan intelektual siswa. Melengkapi pendapat
tersebut Sani dan Kurniasih (2014: 25-26) berpendapat bahwa materi ajar yang
baik harus sesuai dengan kurikulum dan kebutuhan siswa. Novel Ngulandara
sesuai dengan Kurikulum 2013 yang menekankan pada aspek sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. Dilihat dari aspek pembelajaran sikap, novel
Ngulandara memiliki nilai-nilai pendidikan yang baik dan dapat dijadikan
bahan renungan dan bahan pembelajaran peserta didik. Dari segi pengetahuan
dan keterampilan jelas bahwa novel Ngulandara dapat dijadikan materi
pembelajaran yang di dalamnya telah memenuhi permintaan kurikulum yang
disebutkan dalam silabus bahwa peserta didik dapat menemkukan unsur-unsur
pembangun novel serta menyebutkan nilai pitutur luhur yang terdapat pada
novel tersebut.
Isi dari novel Ngulandara memberikan wawasan kepada peserta didik
tentang bagaimana seharusnya seseorang menyikapi kegagalan. Peserta didik
akan mampu merenungkan hal itu, pemahaman peserta didik akan
mempengaruhi pola pikir peserta didik, sehingga seluruh tujuan dan
kompetensi yang harus dicapai dapat dikuasai oleh peserta didik. Hal ini sesuai
dengan pendapat Prastowo (2011: 17) bahwa bahan ajar merupakan segala
bahan yang disusun secara sistematis yang menampilkan segala kompetensi
yang akan dikuasai peserta didik dan digunakan daam proses pembelajaran
dengan tujuan dan penelaahan implementasi pembelajaran.
Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dapat dijadikan sebagai
alternatif materi ajar dilihat dari unsur pembangun yang memberikan informasi
lengkap kepada peserta didik. Peserta dapat mempelajari sastra dan budi
pekerti yang baik serta mampu mengetahui bagaimana kehidupan pada era
tahun 1936 melalui novel ini. Belajar sastra karena dalam novel Ngulandara
terdapat kata-kata yang dikemas secara halus, indah dan sesuai dengan undha-
usuk basa yang tepat. Dalam novel ini juga memuat nilai-nilai pendidikan budi
pekerti yang mana sesuai dengan khasanah budaya Jawa yang memuat pitutur
commitdalam
luhur sehingga dapat dipraktikan to usermenjalani kehidupan sehari-hari.
perpustakaan.uns.ac.id 193
digilib.uns.ac.id

Peserta didik juga mengetahui bahwa kehidupan pada tahun 1936 sangatlah
berbeda dengan saat ini peserta didik akan mampu membandingkan keduanya
dan merangsang daya pemahaman siswa untuk memilih dan memilah hal baik
dan buruk yang berguna bagi peserta didik sendiri.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas dapat disimpulkan
bahwa novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja merupakan novel yang
baik karena tidak hanya sebagai bacaan yang sifatnya menghibur namun juga
memberikan pengetahuan serta nilai-nilai budi pekerti di dalamnya. Novel
tersebut yang dapat digunakan sebagai alternatif materi ajar adalah isi novel
yang memiliki banyak nilai pendidikan budi pekerti. Novel Ngulandara juga
merupakan novel yang lengkap baik dari segi isi ataupun nilai pendidikan yang
relevan digunakan zaman ini, sebagai pembelajaran bagi peserta didik
mengenai sikap dan berperilaku yang baik. Novel ini dapat menjadi alternatif
materi ajar karena dalam novel Ngulandara memuat unsur pembangun yang
lengkap serta isinya tidak mengandung SARA, ataupun penceritaan yang
vulgar sehingga sesuai untuk kebutuhan di SMA. Novel Ngulandara karya
Margana Djajaatmadja dapat dijadikan materi ajar pembelajaran sastra Jawa
berbasis pendidikan budi pekerti sekaligus materi pembelajaran yang
terintegrasi dengan apresiasi sastra Jawa di SMA kelas XI.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai