Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS CERPEN SENJA-SENJA YANG LAMPAU

A. Analisis Unsur Intrinsik


Analisis unsur-unsur intrinsik
dalam cerpen “ Senja-Senja Yang
Lampau (dari kumpulan cerpen
Germis Senja di Sebuah Desa )
Karya Arafat Nur.

a. Tema
Tema dalam cerpen Senja – Senja yang Lampau di atas bertemakan tentang
kerinduan. Seperti halnya dapat diketahui dari kalimat “Matahari senja
menyemburatkan warna jingganya. Deburan ombak seperti berdeburan dalam
dadaku. Semilir angina mendesirkan daun-daun ketapang. Melahirkan puisi-puisi
alam, sangat menyentuh perasaan. Begitu syahdu terdengar , membangkitkan
kerinduan yang lama terpendam”.

b. Plot/Alur
Alur yang dipakai dalam cerpen ini adalah alur gabungan.

Alur maju
Penulis merindukan desa yang sudah sepuluh tahun ditinggalkannya. Namun tak ada
perubahan dari desa itu.
“Sesudah sepuluh tahun ku tinggalkan, tidak banyak yang berubah dari desa ini.
Semua itu dapat ku saksikan dari tumpangan ojek di sepanjang jalan menuju
rumahku. Tentu saja, dapat ku mengerti desa pantai ini termasuk desa yang paling
terpelosok. Desa terpencil yang tak tercantum dalam peta. Keadaan iitu
mengesankan kehidupan di sini terpisah dari dunia luar”.
Alur mundur
Penulis mengenang masa kanak-kanak ketika ia masih polos dan lugu. Ketika ia
masih bersama Yanti sahabat kecilnya.
• Permulaan : Persahabatan antara penulis dan Yanti sejak mereka masih
kecil.
• Perumitan : Penulis dan Yanti terpisah sejak penulis memutuskan
pergi ke kota
• Pertikaian konflik : Penulis memberikan cincin kepada Yanti , kemudian
penulis mencium pipinya dengan polosnya.
• Klimaks : Sebulan yang lalu Yanti datang bersama anak-anaknya, ia
menitipkan cincin yang pernah diberikan oleh Penulis saat
dia masih kanak-kanak.
• Akhir : Penulis memutuskan pergi ke kota untuk membuka usaha.

Alur maju
Matahari nyaris tenggelam, penulis pun memutuskan untuk pulang ke rumah.
“Dalam kamar aku hanya termenung. Termenung memandangi bintang-bintang dari
balik jendela yang sengaja ku buka. Alangkah indahnya bila Yanti ada di sisiku, juga
menatap bintang-bintang itu. Tapi, yang ku rasakan saat ini adalah perihnya luka yang
begitu dalam menusuk –nusuk ke jantungku”.

c. Latar
Latar tempat
Di pantai : “Begitulah nyaris di setiap senja kami bermain di pantai walau orang tua
kami sudah melarang berkali-kali”.
Di kamar : “Di dalam kamar aku hanya termenung memandangi bintang-bintang
dari balik jendela yang sengaja ku buka”.
Latar waktu
Senja : “Matahari senja menyumbaratkan warna jingganya. Deburan ombak
seperti berdeburan dalam dadaku”.

d. Penokohan
Penulis : - tokoh sentral yang menggambarkan seseorang yang merindukan
pedesaan dengan wanita yang ia cintai.
“Aku menarik napas kembali, menahan kerinduan yang begitu sesak”
- tokoh ini pula bersifat romantis, polos, dan peduli.
“Aku pun mencium pipinya”. (romantis)
“Aku pun mencium pipinya tanpa mengerti tanpa perasaan apa-apa atau mungkin ada
perasaan yang belum sanggup ku cerna”. (polos)
“Begitu pula kalau Yanti sakit, aku merasa sedih”. (peduli)

Yanti : - tokoh sentral yang bersifat penakut dan manja.


“Enggak mau. Airnya dalam”. (penakut)
“Ajari aku berenang di sini saja , Kang!” (manja)
- tokoh ini bersifat romantis,dan perhatian.
“Kita tunangan,” kata Yanti tiba-tiba”.(romantis)
“Kalau aku sakit, Yanti kelihatan sedih”. (perhatian)

Emak : -tokoh pembantu yang bersifat perhatian


“Emak agak mengkhawatirkanmu”.(perhatian)

e. Gaya Penulisan
Gaya penulisan Arafat Nur menggunakan gaya penulisan yang sederhana dan juga
mudah dicerna. Penulis mengajak para pembaca ikut berandai-andai melalui gaya
bahasa yang dimiliki penulis. Pesan yang ingin disampaikan penulis dapat diterima
dengan baik oleh pembaca.
f. Gaya Bahasa / Majas
Berikut adalah gaya bahasa yang ada dalam cerpen :
1. “Matahari senja menyumburatkan warna jingganya”. (simile)
2. “Demburan obak seperti berdeburan dalam dadaku”. (simile)
3. “Semilir angin mendesirkan daun-daun ketapang, melahirkan puisi-puisi alam”.
(personifikasi)
4. “Angin menerpa wajahku, membuyarkan semua itu”. (personifikasi)
5. “Aku menarik napas panjang dan menghembuskan kesesakkan yang menindih
dadaku”.(hiperbola)
6. “Cahaya buram menyumburati langit”.(personifikasi)
7. “Aku merasa seperti pengembara yang berjalan sendiri ”. (simile)
8. “Seperti pengembara yang berjalan sunyi ”. (simile)
9. “Perihnya luka yang begitu dalam menusuk-nusuk jantungku ”. (hiperbola)
10. “Terasa kerinduan itu semakin mendera, jiwaku meronta”. (hiperbola)
11. “Aku berlari-lari ke laut seperti orang kesetanan, lalu menceburkan diri ke
dalamnya ”. (simile)

g. Sudut Pandang
Disini penulis menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu aku. Dapat dilihat
dari awal kalimat paragraf pertama, Sesudah sepuluh tahun ku tinggalkan, tidak
banyak yang berubah dari desa ini. Semua itu dapat ku saksikan dari tumpangan
ojek di sepanjang jalan menuju rumahku. Tentu saja, dapat ku mengerti desa pantai
ini termasuk desa yang paling terpelosok. Desa terpencil yang tak tercantum dalam
peta. Keadaan iitu mengesankan kehidupan di sini terpisah dari dunia luar”.

h. Amanat
Arafat Nur mengungkapkan amanatnya yang mungkin tidak terlau dimengerti
bagi pembaca. Amanat dari cerpen ini merupakan amanat yang tersirat. Amanat yang
terkandung dalam cerpen senja-senja yang lampau adalah bahwa cinta itu tidak harus
memiliki tetapi cukup dengan hati dan cara seseorang mencintai. Mencintai bukan
berarti harus berupa sebuah ikatan melainkan timbul rasa kasih sayang yang selalu
ada di dalam diri masing-masing baik dimanapun, kapanpun dan untuk siapapun.
Selain itu dari cerpen ini juga memiliki amanat yaitu jangan sesali apa yang telah
terjadi, baik atau buruk yang kita terima, semua sudah diatur oleh Tuhan. Yakinlah
bahwa Tuhan telah memberikan yang terbaik untuk kita.
B. Analisis Unsur Ekstrinsik Cerpen

` Arafat nur lahir di Lubuk Pakam, Sumatra


Utara, 22 Desember 1974. Mulai serius mendalami
bidang sastra terutama puisi dan cerita pendek
sekitar tahun 1997, tapi sebelumnya sudah mulai
menulis berupa puisi dan cerpen anak-anak.
Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di
Peureulak dan SLTP di Idi Rayeuk. Kelas tiga SLTP
pindah ke Meureudu dan menamatkan SMA di
Meureudu. Pernah jadi tenaga pengajar di Dayah
Babussalam (1992-1999) dan menjadi pegawai
honorer SMU Meureudu-Aceh Pidie (1994-1999).
Lalu pindah ke Lhokseumawe bekerja sebagai jurnalis. Dia dipercaya sebagai Ketua
Devisi Sastra pada Yayasan Ranub Aceh (KRA). Menulis puisi, cerpen dan artikel di
berbagai media massa.

Ia pernah mengikuti pertemuan sastrawan sesumatra yang diselenggarakan


DKA/Lempa di Banda Aceh (1999). Pernah mendapatkan penghargaan terbaik lomba
penulisan cerpen Taman Budaya Aceh (1999), harapan I lomba cerpen telkom online
dalam rangka menyambut hari Kartini (2005), juara III Nasional lomba penulisan novel
Forum Lingkar Pena (2005). Puisinya ikut dalam antologi Keranda-Keranda (DKB,
2000), Aceh Dalam Puisi (Assy-syaamil, 2003), Mahaduka Aceh (PDS HB. Jassin,
2005), Lagu Kelu (ASA-Japan Aceh Net, 2005). Sedangkan karyanya dalam bentuk
cerpen dimuat dalam antologi Remuk (DKB, 2000). Novelnya yang sudah terbit adalah
Meutia Lon Sayang (dar! Mizan, 2005), Cinta Mahasunyi (dar! Mizan, 2005) dan
Percikan Darah di Bunga (Zikrul Hakim, 2005).

Apa yang melatarbelakangi Arafat Nur menerbitkan kumpulan cerpen Gerimis


Senja di Sebuah Desa ?
Lingkungan sosial menjadi tempat yang luas bagi timbulnya berbagai masalah,
baik masalah kecil, sederhana, dan masalah yang besar. Selalu saja ada yang menarik
untuk diamati, dibahas atau sekedar menjadi bahan pembicaraan. Maka warung-warung
minuman di Aceh hidup dengan tradisi ngerumpi.
“Saya selaku orang yang tinggal di lingkungan sosial masyarakat juga tidak bisa
melepaskan berbagai hal yang terjadi dalam masyarakat. Baik yang menyangkut masalah
besar, ataupun masalah-masalah yang sifatnya lebih pribadi yang dialami seseorang”.
“Sebagaimana halnya buku kumpulan cerpen Gerimis Senja di Sebuah Desa juga
berangkat dari masalah-masalah yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat yang
biasa. Ada pula beberapa cerpen yang belatarkan perang, yang masalahnya tidak
sesederhana terjadi pada suatu lingkungan sosila biasa”.
Buku ini memiliki beragam tema, dan permasalahan yang beraneka rupa pula,
yang cerita-ceritanya pula berangkat dari ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat.
Masyarakat yang hanya menampakkan sisi kulit yang relejius, tapi dalamnya keropos.
Malah kemaksiatan berlangsung begitu saja, dengan bandelnya, sehingga si tokoh ini
berbicara sendiri, menangis sendiri, dan tertawa sendiri, dan orang mengatakan dia gila.
Lingkungan seperti itu memang akan membuat gila orang yang waras.
Senja-Senja Yang Lampau, dan Yang Melintas di Senja adalah sederetan kisah
cinta yang tak luput dari harapan-harapan dan kekecewaan. Cinta yang kuat serta
pengorbanan tanpa pamrih tidak selamanya berakhir kebahagiaan. Begitulah dinamika
kehidupan, membuka banyak peluang yang kadang melampau batas kesadaran. Kecuali
cerita Taman Cinta Hijau yang berakhir pada makna cinta yang lain.
Begitulah berbagai dinamika hidup yang terekam dalam kumpulan cerita ini yang
cukup mewaliki dinamika problematika persoalan yang sedang berkembang di dalam
masyarakat kita, dari masalah agama, sosial, hingga perang. Kiranya bisa memberi
mamfaat bagi kita semua.

Senja-senja yang lampau merupakan sebuah cerpen yang mengisahkan kisah


cinta. Kisah cinta yang berawal dari persahabatan tetapi akhirnya terpisah karena waktu.
Yanti dan penulis terpisah sejak penulis
memutuskan untuk merantau ke kota. Sepuluh
tahun kemudian penulis kembali lagi ke desa dan
merasakan kerinduan yang amat dalam pada desa
dan orang yang dicintainya. Tetapi penulis
mendapatkan kabar yang mengejutkan dari emak ,
kalau Yanti sudah menikah dan memiliki dua anak.
Dari sinilah dapat kita simpulkan bahwasannya
jika kita mencintai seseorang, tak selamanya kita
memiliki seseorang tersebut secara utuh. Dari cerpen ini pula kita dapat meniru sifat yang
dimiliki penulis dan Yanti yaitu saling bersahabat dan saling melengkapi satu sama lain.
Sinopsis
Sesudah sepuluh tahun ku tinggalkan desa ini tetapi tak banyak yang berubah.
Terlihat dari tumpangan ojek di sepanjang jalan menuju rumahku.
Aku datang dan disambut dengan bahagia oleh keluargaku. Kucium tangan emak
dan bapak, lalu kami berpeluk-pelukan. Dan kami larut dalam suasana keakraban.
Namun, aku tidak bisa merasakan kebahagiaan seutuhnya. Ku rasakan kerinduan yang
telah lama terpendam.
Aku mulai menikmati semua ini. Terutama waktu aku dan Yanti masih kanak-
kanak. Yanti adalah sahabat kecilku, kami sering bermain di pantai sambil
mengumpulkan kulit kerang. Kulit kerang itu biasanya kami berikan kepada kak Ina
untuk membuat kerajinan. Aku dan yanti sahabat dekat . Kemana – mana kami selalu
berdua . Pergi ke sekolah, ke langgar, bahkan pergi ke pasar ketika membeli baju baru.
Aku rindu dengan semua kebiasaan yang ku lakukan bersama Yanti sewaktu di
pantai. Aku menyiprati diriku sendiri dengan air asin. Berenang seperti orang gila. Aku
tak akan peduli jikapun ada orang yang melihatnya. Setelah lelah aku munuju batang
kayu, aku duduk sambil tak henti menatap laut.aku mengingat kembali peristiwa itu.
Peristiwa di mana Yanti mengajakku tunangan. Yanti memperlihatkan cincin pemberian
emak di jari manisku. “Dulu, waktu Kak Ina tunangan, abang iparku memakaikan cincin
di jari kakakku,” lanjutnya polos.
Perlahan-lahan ku pakaikan cincin itu ke jari manisnya. Lalu aku menciumnya
dengan polos dan lugu. Aku tak mengerti apa yang terjadi denganku saat itu. Aku selalu
ingin bersamanya. Namun, kini semuanya telah berlalu. Semua itu jadi keperihan.
Keperihan yang telah menggores palung hatiku.
Aku memutuskan pulang ke rumah ketika matahari hampir tenggelam. Tiba
dirumah, kutemui emak sedang menantiku. Emak adalah salah satu orang yang ingin
menahanku ketika aku ingin pergi ke kota. Namun, aku tetap bersikeras untuk pergi, dan
juga gadis yang bernama Yanti Kumala Sariyang banyak menumpahkan air mata saat itu.
”Sebulan yang lalu Yanti kemari bersama anak-anaknya. Dia menitipkan cincin
ini untukmu. Katanya sudah tak muat lagi, “Kata Emak”. Aku mengambil cincin itu dari
tangan emakku, yang tak lain adalah cincin yang pernah kuberikan pada nya dulu. Aku
menatap wajah emak. Dia pura-pura tidak memperhatikanku. Lalu aku bangkit menuju ke
kamar.
Dalam kamar aku hanya termenung memandangi bintang-bintang dari balik
jendela. Alangkah indahnya jika ada Yanti disisiku. Bila Yanti juga ikut memandang
indahnya malam. Tapi, yang ku rasa saat ini adalah perihnya luka yang menusuk-nusuk
jantungku. Luka itu sakit , tapi aku yakin luka itu pasti sembuh dan hilang dengan
sendirinya.

Anda mungkin juga menyukai