Anda di halaman 1dari 12

DATA BUKU

Judul buku : Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen)

Pengarang : Kuntowijoyo

Penerbit : Pustaka Firdaus

Tahun terbit : 1992

Jumlah cerpen : 10 cerpen

Jumlah halaman : 202 halaman


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah


Menurut bentuk fiksinya, cerita pendek (disingkat menjadi cerpen) adalah cerita yang
pendek.Tetapi dengan hanya melihat fiksinya yang pendek saja, orang belum dapat
menetapkan sebuah cerita yang pendek adalah sebuah cerpen.1
Cerita pendek juga memiliki ciri yang mendasar, yakni bersifat rekaan fiction.Cerpen
bukan merupakan kejadian yang terjadi tidak dalam konteks sebenarnya, hanya rekaan atau
imajinasi semata dari pengarangnya.Namun, cerpen juga muncul berdasarkan pengalaman
atau pemikiran pengarang yang diperoleh dari kehidupan nyata.Dan hal tersebut yang banyak
membuat orang cenderung membaca karangan naratif yang fiksi ini, karena mereka
menganggap detail-detail dalam cerpen memang nyata terjadi dalam kehidupan, sehingga
banyak orang yang mudah terhanyut menghayati ke dalam cerita cerpen tersebut.
Dikemukakan Abrams dalam buku wahyudi siswanto bahwa empat pendekatan pada
karya sastra yaitu pendekatan (1) mimetik yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam
(kehidupan) (2) pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu adaah alat untuk
mencapai tujuan tertentu; (3) pendekatan ekspresif, yang menganggap karya sastra sebagai
ekspresi perasaa, pikiran, pengalaman penyair (sastrawan); dan (4) pendekatan objektif yang
menganggap karya sastra sebagai suatu otonom, terlepas dari alam sekitarnya dan
pengarang.2

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana kehadiran unsur-unsur pembangun dalam cerpen ?
2. Bagaimana perjalanan hidup Kuntowijiyo?
3. Bagaimana analisis cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” dengan menggunakan
pendekatan objektif?

1Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm 36
2Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008) hlm 180
1.3 Tujuan masalah
1. Dapat mengetahui unsur-unsur pembangun dalam cerpen.
2. Dapat mengetahui riwayat hidup Kuntowijoyo.
3. Dapat mengetahui analisis cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Unsur Pembangun Cerpen


Keutuhan atau kelengkapan sebuah cerpen dapat dilihat dari segi-segi unsur yang
membentuknya.Adapun unsur-unsur itu adalah peristiwa cerita (alur atau plot), tokoh
cerita (karakter), tema cerita, suasana cerita (mood and atmosfer cerita), latar cerita
(setting), sudut pandangan cerita (point of view).3Dan berdasarkan tuntutan ekonomis
serta efek satu kesan pada pembacanya, maka biasanya penulis cerpen hanya
mementingkan salah satu unsurnya saja dalam cerpennya, misalnya cerpen yang
mementingkan unsur alur atau karakter saja. Dalam hal ini bukan berarti meniadakan
unsur-unsur lain. Sebuah cerpen harus lengkap dan utuh, yang kemudian pengarang dapat
memusatkan (fokus) pada satu unsurnya saja yang mendominasi cerpennya.

2.2. Biografi Kuntowijoyo


Kuntowijoyo lahir di Yogyakarta 18 September 1943.Kemudian menamatkan
sarjana di FSB UGM tahun 1869, dan setelah itu beliau mengajar di universitas tersebut
sebagai dosen.Tahun 1973 beliau mendapat tugas belajar di Univertsitas Connectitut dan
setahun kemudian memperoleh gelar M.A. Gelar Ph.d nya beliau peroleh di Universitas
Columbia.Karya-karyanya beliau muncul di cerpen, artikel, dan novel muncul dalam
majalah Sastra,Budaya Jaya, Horison, dan harian Kompas. Karya cerbungnya: “ Kereta
Api yang berangkat pagi hari” dimuat dalam harian jihad (1966) ; sedang karya yang

3Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm 37
berjudul “ Chotbah di atas Bukit” di muat sebgai cerbung dalam harian Kompas yang
kemudian diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1976.

Karangan-karangannya mengenai berbagai persoalan budaya dan seni dihhimpun


dalam satu buku budaya masyarakat oleh Tiara Wacana pada tahun 1987. Dua buah
kumpulan puisi telah dihasilkannya, yakni: Suluk, Awang-Awung (budaya Jaya, 1975)
dan Isyarat (Pustaka Jaya, 1976).

Selain itu, beliau telah memperoleh hadiah berkali-kali: cerpenya “Dilarang


Mencintai Bunga-Bunga” memperoleh hadiah pertama dari majalah Sastra(1968),
dramanya “Rumput-rumput Danau Bento” mendapat hadiah harapan dari BPTNI (1968);
dramanya yang lain “Tidak Ada Waktu Bagi Nyonya Fatma”, “Barda”, “Cartas”, dan
“Topeng Kayu” (1973) memperoleh hadiah ke dua dari Dewan Kesenian Jakarta.

2.3. Unsur-Unsur Instrinsik Pembangun Cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-


Bunga”

2.3.1 Tema

Tema adalah ide sebuah cerita.Pengarang dalam menulis ceritanya bukan hanya
sekedar hendak bercerita, tapi hendak mengatakan sesautu kepada pembacanya.Sesuatu
yang hendak dikatakanya itu bisa suatu masalah kehidupan, pandangan hidupnya tentang
kehidupan ini atau komentar terhadap kehidupan ini.Kejadian dan perbuatan tokoh cerita,
semuanya didasari oleh ide pengarang tersebut. Sebuah cerpen selalu harus mengatakan
sesatu, yaitu pendapat pengarang tentang hidup ini sehingga orang lain dapat mengeri
hidup ini lebih baik.

Dalam cerpen yang berhasil, tema justru tersirat dalam seluruh elemen.Pengarang
mempergunakan dialog-dialog tokoh-tokohnya, jalan pikirannya, perasaanya, kejadian-
kejadian, seting cerita untuk mempertegas atau menyarankan isi temanya.Seluruh unsur
cerita menjadi mempunyai satu arti saja, satu tujuan.Dan yang mempersatukan segalanya
itu adalah tema.
Dalam cerpen “Dilarang mencintai Bunga-Bunga” karangan kuntowijoyo, tema
yang ingin disajikan adalah pandangan penulis terhadap filosofi kehidupan. Hal itu
tampak dalam kutipan cerpen menjelang akhir, yakni “ Malam hari aku pergi tidur
dengan kenangan-kenangan di kepala. Kakek ketenangan jiwa-kebun bunga, ayah kerja –
bengkel, ibu mengaji – masjid.Terasa aku harus memutuskan sesuatu.Sampai jauh malam
baru akan tidur”.4Sehingga tampak penulis hendak menyampaikan pandangan filosofis
dalam suatu kehidupan.

2.3.2. Alur (Plot)

Merupakan jalan cerita yang menjadi roh dalam berdirinya suatu cerpen, karena
kehadirannya begitu tersirat dan memberikan dinamika tersendiri kepada berdirinya
cerpen. Dan di dalam alur tersebut di klasifiksikan untuk menjadi suatu cerita yang
berwarna, dengan pentahapan alur klasik sebagai berikut:

1. Pengenalan
2. Timbulnya konflik
3. Konflik memuncak
4. Anti Klimak
5. Peleraian atau penyelesaian5

Dalam cerita pendek “Dilarang Mencintai Bunga-bunga” tahap alur pengenalan


yakni ketika tokoh Buyung mulai diusik perasaan yang begitu penasaran kepada rumah
yang berada tepat di samping rumahnya yang didiami kakek tua seorang diri. Kutipan
pada cerpen sebagai berikut “ kabarnya yang tinggal di rumah tua berpagar tembok tinggi
ialah seorang kakek yang hidup sendiri. Rumah itu terletak di samping rumahku.Pagar
tembok tinggi tinggi menutup rumahnya dari pandangan luar.Hanya ada satu pintu masuk
dari muka, ditutup dengan anyaman bamboo yang rapat. Aku belum pernah melihat
kakek itu… “.

4Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), Hal 22
5Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm 49
Kemudian pada tahap berikutnya tertera pada kutipan “…aku terkejut.Seorang
lalki-laki tua dengan rambut putih dan piyama.Ia tersenyum padaku.”Kemudian maih
dalam tahap yang sama dilanjutkan dengan kutipan “Jangan sedih, cucu. Hidup adalah
permainan layang-layang.Setiap orang suka pada laying-layang.Setiap orang suka
hidup.Tidak seorang pun lebih suka mati.Layang-layang bisa putus.Engkau bisa
sedih.Engkau bisa sengsara. Tetapi engkau akan terus memainkan layang-layang. Tetapi
engkau akan terus mengharap hidup. Katakanlah, hidup itu permainan.Tersenyumlah,
cucu “.6Begitulah yang menjadikan timbulnya konflik, dikarenakan dengan ucapan kakek
tersebut sembari memberikan seikat bunga kepada Buyung.

Selanjutnya tahap puncak konflik atau klimaks dalam cerita tersurat pada kutipan
” “ Untuk apa Bungan ini, hehh”. Aku tidak tahu apa aku telah mencintai bunga di
tanganku ini. Ayah meraih dan merenggutnya dari tanganku… “ . kemudian dilanjutkan
pada kutipan “… laki-laki tidak perlu bunga Buyung. Kalau perempuan bolehlah.Tetapi
engkau laki-laki”. “ayah melemparkan bunga itu. Aku menjerit. Ayah pergi. Ibu masih
berdiri.Aku membungkuk, mengambil bunga itu, membawanya ke kamar.”7Tampak
sekali perasaan yang berkecamuk yang tengah dihadapi Buyung sebagai tokoh
protagonist.

Tahap alur berikutnya adalah anti klimaks, pada cerpen tersurat pada kutipan
berikut “Ayo, buang jauh-jauh bunga-bunga itu, heh!” aku membungkuk, memunguti
bunga-bunga itu.Dari mataku keluar air mata.Aku ingin menangis, bukan karena takut
ayah. Tetapi bunga-bunga itu! Aku harus membuangnya jauh-jauh dengan tanganku!
Bunga-bunga itu penuh di tanganku. “mana”. Aku mengulurkan padanya.Diremasnya
bunga-bunga itu.Jantungku tersirap.Menahan untuk tenang.”Pada tahap tersebut
menggambarkan perasaan Buyung yang tak terhingga hancurnya.Namun, pada tahap ini
menjadi turunan setelah klimaks.

Tahap final yaitu pada peleraian atau penyelesaian yang terdapat pada kutipan
berikut, “Engkau mesti bekerja, sungai perlu jembatan.Tanur untuk besi perlu
didirikan.Terowongan musti digali.Dam dibangun.Gedung didirikan.Sungai

6Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), Hal 4
7Ibid hal 15
dialirkan.Tanah tandus musti disuburkan, mesti, mesti.Buyung.Lihat tanganmu”.Kutipan
tersebut seakan membuat Buyung terbangun dari tidurnya atau menjadi tersadar karena
hal yang telah dilakukannya selama ini sia-sia.

2.3.3 Tokoh dan Penokohan

Tokoh yang terdapat pada cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”


dimaksudkan untuk menyampaikan ide cerita yang hendak disampaikan penulis, yakni:
Buyung, Ayah, Ibu, dan Kakek.

a. Buyung pada cerpen tersebut diceritakan sebagai anak yang haus


pengetahuan serta penuh dihinggapi rasa penasaran, yang menggambarkan
watak penokohan pada cerpen tersebut, yaitu “… aku belum pernah melihat
kakek itu. Setelah kucoba naik ke pagar tembok, melalui pohon kates di
pekaranganku, terbentang lah sebuah pemandangan: sebuah rumah Jawa,
bersih seperti baru saja disapu, dan alangkah banyak bunga-bunga ditanam! “8
b. Ayah diceritakan sebagai presentatif tokoh laki-laki yang kasar, serta keras
kemauannya. Namun, ia juga penyayang yang tampak pada kutipan “… Ia
menampar pipiku keras. Mengguncang tubuhku. Ku lihat wajah hitam
bergemuk itu memanarkan kesegaran. Aku menyaksikan seorang laki-laki
perkasa. Menciumi aku. Ia adalah ayahku.”9
c. Kakek, pada diceritakan sebagai tokoh baik hati, ramah, penyayang anak
dilukiskan oleh tokoh Buyung serta dialog kakek, yaitu : “… ia berdiri
dibawah dekat tempat ku di atas ku, tersenyum. Ia seorang yang ramah, baik
hati, penyayang anak.”
d. Ibu, pada cerpen tersebut digambarkan sebagai sosok baik serta penyayang,
“tentu saja kau boleh saja memelihara bunga. Bagus sekali bunga mu itu. Itu
berwarna violet. Bunga ini anggrek namanya. Aku suka bunga. Kuambil vas,
engkau boleh mengisinya dengan air…”

8Ibid, hal 2
9Ibid, hal 22
Selain itu, juga pembagian karakter tokoh juga dibedakan peran tokoh
protagonist, antagonis, serta tirtagonis. Protagonist adalah tokoh utama atau tokoh sentral
yang dicerikan paling dominan dalam cerpen tersebut ialah Buyung atau aku, kemudian
tokoh antagonis adalah tokoh yang menghalangi tujuan dari tokoh utama dan begitu
bertentangan dari tokoh utama atau dengan kata lain pemikiran tpkoh ini sangat
mempengaruih pemikiran tokoh protagonist, yang digambarkan sebagai sosok ayah dan
kakek. Yang terakhir yakni tokoh tirtagonis adalah tokoh yang netra atau berperan
sebagai penengah dalam konflik yang dihadapi tokoh sentral, yang diperankan oleh ibu.

2.3.4 Latar Cerita

Latar cerita atau disebut juga setting.Dalam fiksi bukan hanya sekedar
background, artinya hanya bukan menunjukan tempat kejadian dan kapan
terjadinya.Sebuah cerpen atau novel memang harus terjadi di suatu tempat dan dalam
suatu waktu.Harus ada tempat dan ruang kejadian. 10Meliputi latar tempat, waktu dan
suasana.

1. Latar tempat
a. Pada kejadian, pada kutipan “…Setelah kucoba naik ke pagar tembok,
melalui pohon kates di pekaranganku, terbentang lah sebuah
pemandangan: sebuah rumah Jawa, “. Sehingga bisa disempulkan
kejadian berlangsung berada di Jawa.
2. Latar waktu
a. Terdapat pada kejadian “… tidak pernah seharian penuh aku di rumah,
ibuku menyuruh aku pergi sekolah pagi, dan sore hari harus mengaji”.
Hal tersebut menampakan kejadian waktu yang dialami tokoh utama.
3. Latar suasana
a. Terdapat pada kutipan “ayah melemparkan bunga itu. Aku menjerit.
Ayah pergi. Ibu masih berdiri. Aku membungkuk, mengambil bunga
itu, membawanya ke kamar.” Tampak sekali perasaan yang
berkecamuk yang tengah dihadapi Buyung.

10Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm 75
2.3.5 Sudut pandang (point of view)

Pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya sudut pandang yang diambil
pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita.Pada cerpen “Dilarang mencintai
Bunga-Bunga” ditampilkan sudut pandang orang pertama pelaku utama dengan
cuplikan “aku”.Terbukti pada kutipan “aku ditinggalkannya, berdiri dekat pagar
itu.Ketakutan mendesak-desak. Aku lari pontang-panting ke rumah… “.11

2.3.6 Amanat

Merupakan pesan tersirat yang baik, hendak dititipkan penulis melalui


kutipan dialog atau ide cerita dari penuturan tokoh.Pada cerpen “Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga” adalah semua orang memiliki presepsinya tersendiri
mengenai kehidupan, sehingga harus bertanggung jawab pada kehidupan kita.Dan
kehidupan dunia musti diselaraskan dengan bekal kehidupan untuk di akherat.

2.4 Synopsis cerita “Dilarang mencintai bunga-bunga”

Cerpen dilarang mencintai bunga-bunga mengisahkan suatu keluarga yang baru


pindah ke kota, dan memiliki seorang anak laki-laki bernama Buyung. Dan mereka pun
tinggal sebagaimana mestinya warga kotatinggal. Setiap pagi Buyung bersekolah,
kemudian di sore hari ia pergi mengaji. Dan ayahnya tetap sibuk dengan pekerjaannya
sehingga kurang umtuk bermasyarakat. Dan ibunya sebgaimana ibu-ibu rumahtangga
yang lain.

Kemudian didorong sikap penasaran yang teramat Buyung bersikeras untuk


mengintip rumah misterius yang berada di samping rumahnya, yang konon didiami oleh
kakek tua yang hidup seorang diri di rumah tersebut. Pada kesempatan pertama ia hanya
mendapati kebun bunga-bunga yang terhampar luas di halaman rumah kakek itu, namun
tidak mendapati kakek tersebut. Kemudian di sore hari ketika laying-layang Buyung
terputus, tanpa disadari Buyung ternyata sang kekek sudah berada di belakangnya dan

11Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), Hal 2
memberikan seikat bunga untuk Buyung. Dan mulai sejak itu Buyung sering datang
mengunjungi sang kakak tanpa sembunyi-sembunyi, mereka pun bersahabat.

Hati Buyung merasa tentram dan damai bila telah mendapati bunga-bunga yang
ada di kamarnya, namun kesukaaannya terhadap bunga-bunga itu ditentang oleh sang
ayah, yang lebih suka anaknya itu bermain di luar rumah sebagai mana mestinya seorang
anak laki-laki. Hati Buyung remuk redam perasaan yang berkecamuk yang
membelunggunya bila ayahnya datang menemuinya dan bunga-bunga itu, namun sang
ibu tetap menjadi penenang dan pelindung Buyung ketika hatinya sedang berkecamuk.

Kemudian sebelum berangkat ke sekolah Buyung berkesempatan untuk menemui


sang kakek sahabatnya, kakek itu sedang mencari hidup sempurna melalui bunga. Dan
setelah itu ia juga bertanya kepada sang ayah, kemudian ayahnya menjawab mencari
kehidupan yang sempurna melalui kerja.Dan ayah Buyung mengatakan bahwa “Engkau
mesti bekerja, sungai perlu jembatan.Tanur untuk besi perlu didirikan.Terowongan musti
digali.Dam dibangun.Gedung didirikan.Sungai dialirkan.Tanah tandus musti disuburkan,
mesti, mesti.Buyung.Lihat tanganmu”.Karena perkataan tersebut menlecutkan semangat
kerja Buyung yang tidak lagi memikirkan bunga-bunga.
BAB III
KESIMPULAN

Menganalisis sastra atau mengkritik sastra (cerpen) itu adalah usaha menangkap makna
dn memberi makna pada teks karya sastra (cerpen) (Culler, 1997: VIII). Studi sastra bersifat
semiotic adalah usaha untuk menganalisis sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda apa yang
memungkinkan karya sastra mempunyai arti.
Pada cerpen tersebut dikisahkan seorang anak kecil yang tengah mencari pengertian
menikmati hidup secara filosofis, karena itu ia teramat penasaran pada hal yang baru ia
temuinya. Tanpa peduli aral yang melintang.Perlu disikapi kehidupan memiliki hakekat yang
nyata.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992.

Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.

Sumardjo, Jacob dan Saini K.M. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Anda mungkin juga menyukai