Pengarang : Kuntowijoyo
1Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm 36
2Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008) hlm 180
1.3 Tujuan masalah
1. Dapat mengetahui unsur-unsur pembangun dalam cerpen.
2. Dapat mengetahui riwayat hidup Kuntowijoyo.
3. Dapat mengetahui analisis cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”.
BAB II
PEMBAHASAN
3Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm 37
berjudul “ Chotbah di atas Bukit” di muat sebgai cerbung dalam harian Kompas yang
kemudian diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1976.
2.3.1 Tema
Tema adalah ide sebuah cerita.Pengarang dalam menulis ceritanya bukan hanya
sekedar hendak bercerita, tapi hendak mengatakan sesautu kepada pembacanya.Sesuatu
yang hendak dikatakanya itu bisa suatu masalah kehidupan, pandangan hidupnya tentang
kehidupan ini atau komentar terhadap kehidupan ini.Kejadian dan perbuatan tokoh cerita,
semuanya didasari oleh ide pengarang tersebut. Sebuah cerpen selalu harus mengatakan
sesatu, yaitu pendapat pengarang tentang hidup ini sehingga orang lain dapat mengeri
hidup ini lebih baik.
Dalam cerpen yang berhasil, tema justru tersirat dalam seluruh elemen.Pengarang
mempergunakan dialog-dialog tokoh-tokohnya, jalan pikirannya, perasaanya, kejadian-
kejadian, seting cerita untuk mempertegas atau menyarankan isi temanya.Seluruh unsur
cerita menjadi mempunyai satu arti saja, satu tujuan.Dan yang mempersatukan segalanya
itu adalah tema.
Dalam cerpen “Dilarang mencintai Bunga-Bunga” karangan kuntowijoyo, tema
yang ingin disajikan adalah pandangan penulis terhadap filosofi kehidupan. Hal itu
tampak dalam kutipan cerpen menjelang akhir, yakni “ Malam hari aku pergi tidur
dengan kenangan-kenangan di kepala. Kakek ketenangan jiwa-kebun bunga, ayah kerja –
bengkel, ibu mengaji – masjid.Terasa aku harus memutuskan sesuatu.Sampai jauh malam
baru akan tidur”.4Sehingga tampak penulis hendak menyampaikan pandangan filosofis
dalam suatu kehidupan.
Merupakan jalan cerita yang menjadi roh dalam berdirinya suatu cerpen, karena
kehadirannya begitu tersirat dan memberikan dinamika tersendiri kepada berdirinya
cerpen. Dan di dalam alur tersebut di klasifiksikan untuk menjadi suatu cerita yang
berwarna, dengan pentahapan alur klasik sebagai berikut:
1. Pengenalan
2. Timbulnya konflik
3. Konflik memuncak
4. Anti Klimak
5. Peleraian atau penyelesaian5
4Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), Hal 22
5Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm 49
Kemudian pada tahap berikutnya tertera pada kutipan “…aku terkejut.Seorang
lalki-laki tua dengan rambut putih dan piyama.Ia tersenyum padaku.”Kemudian maih
dalam tahap yang sama dilanjutkan dengan kutipan “Jangan sedih, cucu. Hidup adalah
permainan layang-layang.Setiap orang suka pada laying-layang.Setiap orang suka
hidup.Tidak seorang pun lebih suka mati.Layang-layang bisa putus.Engkau bisa
sedih.Engkau bisa sengsara. Tetapi engkau akan terus memainkan layang-layang. Tetapi
engkau akan terus mengharap hidup. Katakanlah, hidup itu permainan.Tersenyumlah,
cucu “.6Begitulah yang menjadikan timbulnya konflik, dikarenakan dengan ucapan kakek
tersebut sembari memberikan seikat bunga kepada Buyung.
Selanjutnya tahap puncak konflik atau klimaks dalam cerita tersurat pada kutipan
” “ Untuk apa Bungan ini, hehh”. Aku tidak tahu apa aku telah mencintai bunga di
tanganku ini. Ayah meraih dan merenggutnya dari tanganku… “ . kemudian dilanjutkan
pada kutipan “… laki-laki tidak perlu bunga Buyung. Kalau perempuan bolehlah.Tetapi
engkau laki-laki”. “ayah melemparkan bunga itu. Aku menjerit. Ayah pergi. Ibu masih
berdiri.Aku membungkuk, mengambil bunga itu, membawanya ke kamar.”7Tampak
sekali perasaan yang berkecamuk yang tengah dihadapi Buyung sebagai tokoh
protagonist.
Tahap alur berikutnya adalah anti klimaks, pada cerpen tersurat pada kutipan
berikut “Ayo, buang jauh-jauh bunga-bunga itu, heh!” aku membungkuk, memunguti
bunga-bunga itu.Dari mataku keluar air mata.Aku ingin menangis, bukan karena takut
ayah. Tetapi bunga-bunga itu! Aku harus membuangnya jauh-jauh dengan tanganku!
Bunga-bunga itu penuh di tanganku. “mana”. Aku mengulurkan padanya.Diremasnya
bunga-bunga itu.Jantungku tersirap.Menahan untuk tenang.”Pada tahap tersebut
menggambarkan perasaan Buyung yang tak terhingga hancurnya.Namun, pada tahap ini
menjadi turunan setelah klimaks.
Tahap final yaitu pada peleraian atau penyelesaian yang terdapat pada kutipan
berikut, “Engkau mesti bekerja, sungai perlu jembatan.Tanur untuk besi perlu
didirikan.Terowongan musti digali.Dam dibangun.Gedung didirikan.Sungai
6Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), Hal 4
7Ibid hal 15
dialirkan.Tanah tandus musti disuburkan, mesti, mesti.Buyung.Lihat tanganmu”.Kutipan
tersebut seakan membuat Buyung terbangun dari tidurnya atau menjadi tersadar karena
hal yang telah dilakukannya selama ini sia-sia.
8Ibid, hal 2
9Ibid, hal 22
Selain itu, juga pembagian karakter tokoh juga dibedakan peran tokoh
protagonist, antagonis, serta tirtagonis. Protagonist adalah tokoh utama atau tokoh sentral
yang dicerikan paling dominan dalam cerpen tersebut ialah Buyung atau aku, kemudian
tokoh antagonis adalah tokoh yang menghalangi tujuan dari tokoh utama dan begitu
bertentangan dari tokoh utama atau dengan kata lain pemikiran tpkoh ini sangat
mempengaruih pemikiran tokoh protagonist, yang digambarkan sebagai sosok ayah dan
kakek. Yang terakhir yakni tokoh tirtagonis adalah tokoh yang netra atau berperan
sebagai penengah dalam konflik yang dihadapi tokoh sentral, yang diperankan oleh ibu.
Latar cerita atau disebut juga setting.Dalam fiksi bukan hanya sekedar
background, artinya hanya bukan menunjukan tempat kejadian dan kapan
terjadinya.Sebuah cerpen atau novel memang harus terjadi di suatu tempat dan dalam
suatu waktu.Harus ada tempat dan ruang kejadian. 10Meliputi latar tempat, waktu dan
suasana.
1. Latar tempat
a. Pada kejadian, pada kutipan “…Setelah kucoba naik ke pagar tembok,
melalui pohon kates di pekaranganku, terbentang lah sebuah
pemandangan: sebuah rumah Jawa, “. Sehingga bisa disempulkan
kejadian berlangsung berada di Jawa.
2. Latar waktu
a. Terdapat pada kejadian “… tidak pernah seharian penuh aku di rumah,
ibuku menyuruh aku pergi sekolah pagi, dan sore hari harus mengaji”.
Hal tersebut menampakan kejadian waktu yang dialami tokoh utama.
3. Latar suasana
a. Terdapat pada kutipan “ayah melemparkan bunga itu. Aku menjerit.
Ayah pergi. Ibu masih berdiri. Aku membungkuk, mengambil bunga
itu, membawanya ke kamar.” Tampak sekali perasaan yang
berkecamuk yang tengah dihadapi Buyung.
10Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm 75
2.3.5 Sudut pandang (point of view)
Pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya sudut pandang yang diambil
pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita.Pada cerpen “Dilarang mencintai
Bunga-Bunga” ditampilkan sudut pandang orang pertama pelaku utama dengan
cuplikan “aku”.Terbukti pada kutipan “aku ditinggalkannya, berdiri dekat pagar
itu.Ketakutan mendesak-desak. Aku lari pontang-panting ke rumah… “.11
2.3.6 Amanat
11Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), Hal 2
memberikan seikat bunga untuk Buyung. Dan mulai sejak itu Buyung sering datang
mengunjungi sang kakak tanpa sembunyi-sembunyi, mereka pun bersahabat.
Hati Buyung merasa tentram dan damai bila telah mendapati bunga-bunga yang
ada di kamarnya, namun kesukaaannya terhadap bunga-bunga itu ditentang oleh sang
ayah, yang lebih suka anaknya itu bermain di luar rumah sebagai mana mestinya seorang
anak laki-laki. Hati Buyung remuk redam perasaan yang berkecamuk yang
membelunggunya bila ayahnya datang menemuinya dan bunga-bunga itu, namun sang
ibu tetap menjadi penenang dan pelindung Buyung ketika hatinya sedang berkecamuk.
Menganalisis sastra atau mengkritik sastra (cerpen) itu adalah usaha menangkap makna
dn memberi makna pada teks karya sastra (cerpen) (Culler, 1997: VIII). Studi sastra bersifat
semiotic adalah usaha untuk menganalisis sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda apa yang
memungkinkan karya sastra mempunyai arti.
Pada cerpen tersebut dikisahkan seorang anak kecil yang tengah mencari pengertian
menikmati hidup secara filosofis, karena itu ia teramat penasaran pada hal yang baru ia
temuinya. Tanpa peduli aral yang melintang.Perlu disikapi kehidupan memiliki hakekat yang
nyata.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992.
Sumardjo, Jacob dan Saini K.M. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.