Anda di halaman 1dari 7

Hatiku Selembar Daun

Sapardi Djoko Damono

Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput


Nanti dulu, biarkan aku sejenak berbaring di sini
Ada yang masih ingin ku pandang
Yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
Sebelum kau sapu taman setiap pagi

Sapardi Djoko Damono ada seorang sastrawan nasional, yang cukup terkenal. Karya-karyanya telah banyak
dipulikasikan aaupun diterbitkan. Salah satunya adalah puisi Hatiku Selembar Daun. Para pembaca puisi pun ikut
menginterpretasikan puisi ini menurut pemahamannya masing-masing.

Makna puisi ini menurut para pembaca ataupun penikmat puisi berbeda-beda. Salah satu pembaca atau
penikmat puisi memaknai puisi Hatiku Selembar Daun karya Sapardi Djoko Damono ini tentang seseorang yang
sedang mencari jati dirinya yang telah hilang. Ada pula yang menyebutkan sang penyair memaknai seorang yang
telah menemukan akhir hidupnya. Karena penyair terbaring mengenang segala masa lalunya yang ia sesali sebelum
nyawanya terenggut. Pembaca lainnya pun memberikan makna puisi ini tentang seseorang yang merindukan
kematian, puisi ini menggambarkan bahwa merindukan kematian begitu indah.

Adapun pembaca lain juga memaknai puisi ini dengan kalimat berbeda namun hampir serupa intinya yaitu
pengarang menggambarkan bahwa ia hanyalah selembar daun yang dengan mudahnya lepas dari rantingnya
walaupun hanya terkena angin. Dan akhirnya sadar bahwa ia tidak ada apa-apanya di dunia ini. Dia berharap agar
diberi waktu untuk memikirkan apa yang dulu sering dia tinggalkan, walaupun sebentar cukup untuk memikirkan
semuanya. Meskipun dia tidak menggambarkan penyesalan sebelum yang maha kuasa yang digambarkan dengan
pembersih taman yang melakukan aktifitasnya membersihkan daun-daun yang berserakan.

Pembaca lain juga menyebutkan makna puisi ini tentang sesulit-sulitnya sesuatu itu, pasti ada sesuatu yang
mudah kita lakukan. Selain itu ada pula yang menyebutkan puisi ini tentang menunjukkan seseorang yang rapuh dan
lemah dan berharap belas kasihan dari orang lain. Seorang pembaca lain juga mengatakan pusi ini tentang seseorang
yang menanti kematiannya. Ia menanti kematiannya dengan berbuat banyak hal yang belum sempat ia lakukan
sebelumnya.

Seorang pembaca puisi ini pun mengatakan bahwa puisi ini bercerita atau bermakna tentang mengingatkan
kepada kita akan kecilnya kita di mata Tuhan, dan untuk itu gunakanlah waktu sebaik mungkin di dunia ini,
bersyukur atas rahmat dari Tuhan dan selalu beribadah dan berbuat baik.

Makna puis ini yaitu tentang sesorang yang mencoba meratapi nasib dan sikapnya selama ia hidup. Karena
ia telah di ujung tanduk atau di detik-detik akhir hidupnya. Ia menyadari bahwa kehidupannya akan abadi walau
hanya sesaat karena, semua yang ia lakukan tak akan terulang. Ia mencoba menyesali apa yang telah ia lakukan
selama ia hidup. Ia mencoba merubah semua sikap buruknya namun waktunya hampir habis, sehingga ia mencoba
melakukan yang terbaik sebelum kematiannya tiba walau hanya sebentar.
Penulis Mengubah Sejarah Hidup Dengan Madre

Dewi Lestari, yang juga dikenal dengan nama pena Dee, lahir di Bandung, 20 Januari 1976.
Sepanjang kiprahnya sebagai penulis sejak tahun 2001, Dee telah memepereoleh berbagai
penghargaan karya sastra dan semua bukunya selalu menjadi bestseller. Beberapa bahkan telah
diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Namun baginya, hadiah terbesar sebagai penulis ada ketika
karyanya dapat menyentuh, bahkan mengubah, hidup pembacanya.
Madre merupakan buku Dee yang ketujuh sekaligus kumpulan fiksi ketiganya
setelah Filosofi Kopi (2006) dan Rectoverso (2008). Ia tinggal di pinggir kota Jakarta yang tenang
bersama suami dan dua anaknya tercinta.
Madre yang menceritakan kisah hidup seorang bernama Tansen tiba-tiba mendapat warisan
dari orang yang sangat belum dia kenal. Bernama Tan Sie Gie, orang yang mencantumkan
namanya dalam daftar warisan di surat wasiatnya. Seketika itu Tansen bingung karena merasa
dimasukkan ke dalam cerita yang dia tidak mengetahui sama sekali apa yang sedang terjadi.
Suatu hari, Tansen bersama seorang pengacara yang ditunjuk Pak Tan menuju sebuah toko
tua tanpa plang. Masuklah kedua orang itu dan di dalam disambut oleh Pak Hadi, penjaga toko tua
itu. Rupanya penjaga rumah itu sangat menantikan sekali kedatngan Tansen ke tempat yang mati
itu. Sempat Tansen menolak dan ingin memberikan warisan yang menjadi hak nya itu untuk
diberikan kepada Pak Hadi. Namun seiring berjalannya waktu, saat Pak Hadi menceritakan silsialh
dah cerita asal muasal kenapa nama Tansen disebut dalam surat wasiatnya. Namun pada akhirnya
Tansen mau menerima harta warisan itu dari pak Hadi. Dikeluarkannya amplop dan diberikan
kepada Tansen. Ternyata isi amplop itu adalah kunci untuk membuka bankas yang saat dibuka
berisi sebuah biang yang disebut Madre.
Sejak itu, kehidupan Tansen yang semula tak teratur, hidup bebas hari demi hari mulai
berubah. Pekerjaan yang ia geluti kini adalah untuk menghidupkan kembali toko yang telah lama
mati. Padahal dulu toko roti itu merupakan yang terlaris di Jakarta. Mulai saat itu, Tansen mulai
serius menggarap pekerjaan besarnya itu sesuai dengan jiwa pemudanya hingga sukses dan
berjaya seperti dulu kala.
Sebagaimana karya-karya Dewi Lestari ada pada isi dan bentuk ceritanya. Gaya bercerita
Dee yang pandai menciptakan cerita-cerita yang tidak begitu berat untuk dibaca. Kekuatan antar
kalimat yang mengalir ringan dan selalu membuat penasaran namun tidak asalan, selalu ditunjukkan
dari setiap karya-karya Dewi Lestari. Dalam gaya bercerita yang sangat imajinatif, mengutamakan
sesuatu yang sangat luar biasa menjadi ciri khas Dewi Lestari. Konflik yang berat dibuat ringan
menurut gaya pemikiran Dewi Lestari.
Madre, memiliki tema yang bisa dikatakan lain. Dia mampu membuat cerita yang
mengangkat sesuatu yang ada dimasyarakat walaupun dari sesuatu yang kecil menjadi karya yang
bagus. Keseimbangan antara isi dan bentuk membuat berbeda dengan yang biasa dijumpai dari
pengarang-pengarang yang lain. Selain itu gaya bahasa yang digunakan tidak monoton.
KRITIK SASTRA
Judul :Katak Hendak Menjadi Lembu
Penulis : Nur Sultan Iskandar
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun Terbit :1978

A. KELEBIHAN
Jalan ceritanya menarik.
Cara menggambarkan latar tentang kehidupan di Jawa Barat sebelum perang dunia ke-2 terasa
sangat kental sehingga seakan-akan pembaca ikut merasakannya.
Pengarang menyampaikan pesan tentang perlunya keseimbangan dalam keuangan, menghargai
orang lain dan sindiran untuk kaum priayi yang selalu hidup dengan membon sehingga selalu
boros.

B. KEKURANGAN
Komposisi cerita biasa dan mendatar.
Pengarang terasa lebih banyak berkata-kata dibandingkan buah pikiran dari tokoh sendiri.
Bahasanya menggunakan bahasa melayu dan terlalu banyak menggunakan peribahasa sehingga
kurang sesuai dengan daerah Priangan karena berpepatah hanya kebiasaan orang Melayu.
Kritik Sastra Karya Chairil Anwar

AKU
Kalau sampai waktuku
’Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang


Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku


Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari


Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli


Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943
Kritik Sastra:
Dalam puisi ”Aku” sisi perjuangan ditekankan pada perjuangan yang pribadi atau
individu. Hal ini di tunjukkan dalam pemilihan diksi puisi tersebut yang tergambar dalam
larik Biar peluru menembus kulitku (bait 4 larik ke-1) dan Aku tetap meradang menerjang (bait 5
larik ke-2). Selain itu semangat perjuangan untuk mendapatkan apa yang diinginkan dan
mencapai tujuan hidup seorang individu yang dalam hal ini adalah Chairil Anwar sendiri.
Sedangkan dalam puisi ”Aku” gaya bahasa yang diberikan oleh Chairil Anwar juga
hiperbola seperti yang tergambar dalam larik. Hal ini jelas hiperbola tersebut merupakan
penonjolan pribadi Chairil Anwar, ia mencoba untuk nyata berada di dalan dunianya.
Sementara itu, dalam puisi “Aku” Chairil Anwar memberikan pencitraan gerak dan
perasaan. Citraan gerak merupakan gambaran tentang sesuatu yang seolah-olah dapat bergerak.
Dapat juga gambaran gerak pada umumnya. Citraan gerak dalam puisi ini tergambar dalam
larik Luka dan bisa kubawa berlari (bait 5 larik ke-1). Sementara citraan perasaan tergambar
dalam larik Hingga hilang pedih peri (bait 5 larik ke-3).
Chairil Anwar memberikan pesan secara tersurat yang terdiri dari:
 Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun rintangan menghadang.
 Manusia harus berani mengakui keburukan dirinya, tidak hanya menonjolkan kelebihannya saja.
 Manusia harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya agar pikiran dan semangatnya
itu dapat hidup selama-lamanya.
Kritik Sastra Karya Chairil Anwar

SENJA DI PELABUHAN KECIL

Ini kali tidak ada yang mencari cinta


di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang


menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan


menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

1946

Kritik menurut unsur intrinsik:


1. Diksi (Pilihan kata) dalam puisi ini terlihat biasa dan terkesan kata-kata yang digunakan dalam
kesehariaannya. Tetapi arti katanya bukan arti yang sebenarnya. Kata “mempercaya mau
berpaut” itu sebenarnya juga berarti harapan Chairil akan kekasihnya. Pilihan kata seperti kelam
dan muram juga memberi kesan pada makna kesedihan yang dirasakan
2. Efoni dan Irama gabungan beberapa unsur bunyi yang terpola tersebut menimbulkan irama yang
panjang, lembut dan rendah. Karena irama tersebut menggambarkan kesedihan yang ada pada
puisi terbut. Karena irama sajak juga merupakan gambaran akan suasana puisi tersebut.
3. Bahasa Kiasan dari kata-kata itu terlihat adanya metafora yang memperdalam rasa duka yang
dirasakan. Harapannya kandas bagai kapal dan perahu yang tidak melaut karena
mennghempaskan diri di pantai saja. Serta kebekuan hati bagai air dan tanah yang tidur dan tidak
bergerak.
4. Citran yang ada dalam puisi adalah penglihatan “imagery”.Dengan khayalan yang sudah
tergambar Chairil mencoba lagi membawa pembaca lewat puisinya ke dunianya tersebut agar
bisa merasahan kesedihan yang dia rasakan.
5. Pemikiran dalam sajak sajak ini merupakan luapan hati penyair yang sedih setelah ditinggal
kekasihnya Sri Ayati menikah dengan seorang perwira. Hal ini merupakan pukulan bagi Chairil
karena kekasih yang sangat disayanginya harus menikah dengan orang lain.Kesedihan ini
mungkin dirasakan Chairil terlalu mendalam sehingga semua yang ada disekitarnya dirasakan
sunyi , kareena larut dalam kesunyian hatinya. Sehingga kedukaan karena cinta tersebut dibuat
penyair dengan sangat plastis. Sehingga seakan-akan semua harapan dan keinginan itu hanya
malah membuatnya sakit. Karena harapan untuk menjalin cinta dengan Sri Ayati itu akhirnya
kandas juga. Sehingga keseluruhan cerita ini merupakan luapan kesedihan penyair.Chairil
biasanya orang yang tegar dan selalu optimis dalam segala hal tetapi dalam puisi ini dia merasa
pesimis karena cintanya sudah kandas. Sehingga puisi ini seakan-akan menjadi melankolis
karena sajaknya berisi tentang ratapan dan kesedihan Chairil dalam memikirkan nasib yang
benar-benar sudah tak bisa lagi dirubah. Tetapi emosi Chairil yang menguasai puisi ini
menyebabkan sajaknya tidak terlalu terlihat sedih

Anda mungkin juga menyukai