Anda di halaman 1dari 9

Novel “Negeri 5 Menara” Karya Ahmad Fuadi

Novel negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi yang merupakan novel best seller ini, menceritakan
kisah lima orang sahabat yang mondok di sebuah pesantren yaitu Pondok Madani (PM). Novel best
seller ini merupakan novel pertama dari trilogi yang secara apik bercerita tentang dunia pendidikan khas
pesantren, lengkap dengan segala pernak-pernik kehidupan para santrinya.

Tokoh utama pada cerita ini adalah Alif Fikri berasal dari Maninjau, Bukittinggi, Sumatra barat,
adalah seorang anak laki-laki desa yang sangat pintar. Ia dan teman baiknya Randai memiliki mimpi yang
sama yaitu masuk ke SMA terbaik di Bukittinggi dan melanjutkan studi di ITB, universitas yang bergengsi
itu. Selama ini Alif bersekolah di madrasah atau sekolah agama Islam. Alif merasa sudah cukup
menerima ajaran Islam dan ingin menikmati masa remajanya seperti anak-anak remaja lainnya di SMA.
Dengan berbekal nilai ujian yang lumayan bagus membuatnya merasa akan terbuka kesempatan untuk
Amak (ibu) memperbolehkannya untuk masuk sekolah umum. Namun mimpinya seakan sirna, musnah
tak berbekas, karena Amak tidak mengijinkan. Beliau menginginkan anaknya mewarisi keulamaan Buya
Hamka, ulama yang terkenal di tanah kelahiran Alif. Dengan keputusan setengah hati Alif menuruti
keinginan Amak. Namun Alif ingin bersekolah di Pondok Madani yang di Jawa Timur sesuai saran yang di
tuliskan melalui surat oleh pamannya Pak Etek Gondo yang sedang berkuliah di Kairo. Dengan
keterpaksaan kedua orang tuanya memperbolehkan Alif untuk melanjutkan sekolahnya di Pondok
Madani, Gontor, Jawa Timur.

Besok pagi Alif di antar ayahnya ke Jawa dengan menaiki bus. Sebelum meninggalkan rumah,
Alif mencium tangan Amak sambil meminta doa dan minta ampun atas kesalahannya. Selama tiga hari
dalam perjalanan ke Jawa akhirnya sampai juga di terminal Ponorogo. Di terminal tersebut mereka telah
disambut oleh panitia penerimaan siswa baru di Pondok Madani. Kemudian mereka langsung diajak
menaiki bus untuk berangkat ke Pondok Madani yang tidak jauh dari terminal tersebut. Sampainya di
pondok, Alif mengisi folmulir sebagai calon siswa. Setelah seluruh calon siswa mengisi folmulir, mereka
diajak oleh panitia untuk berkeliling di Pondok Madani. Di hari H Alif dan calon siswa lainnya
melaksanakan ujian tulis. Hanya satu hari setelah ujian, tepat tengah malam, sepuluh papan
pengumuman hasil ujian berjejer di kantor panitia. Alif dan ayahnya merasa sangat senang karena Alif
lulus ujian tulis di Pondok Madani.

Pada hari pertama di Pondok Madani, ustad Salman sebagai wali kelas Alif meneriakkan sebuah
kalimat mutiara sederhana dan kuat yakni “Siapa yang bersungguh-sungguh akan behasil”. Di kelas 1 A
Alif bersahabat akrab dengan Atang berasal dari Bandung, Raja berasal dari Medan, Dulmajid berasal
dari Madura, Said berasal dari Surabaya, dan Baso berasal dari Sulawesi. “Sahibul Menara” sebuah
sebutan penghuni Pondok Madani terhadap Alif dan kelima sahabatnya yang selalu berkumpul di bawah
menara tertinggi di Pondok Madani saat menunggu shalat magrib berjama’ah atau hanya menghabiskan
waktu senggangnya untuk belajar bersama-sama, mendiskusikan tentang impian mereka, mengagumi
kisah-kisah islami, semuanya dilakukan di tempat yang sama yaitu menara. Suatu ketika Sahibul Menara
menunggu maghrib sambil menatap awan berarak pulang ke ufuk. Di mata mereka awan-awan itu
menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian membawa mereka?
Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah “Jangan pernah meremehkan impian walau setinggi langit.
Sesungguhnya Tuhan Maha Mendengar”.

Sehabis isya, siswa-siswa berbondong-bondong memenuhi aula. Untuk menghadiri “Pekan Perkenalan
Siswa Pondok Madani. Kiai Rais selaku pemimpin Pondok Madani memberikan sambutan dan semangat
kepada siswa baru di Pondok Madani. Setelah itu, acara tersebut ditutupnya dengan doa.

Al-Barq nama asrama dimana tempat Alif beristirahat. Sebelum tidur Kak Is membacakan Qanun (aturan
tidak tertulis yang tidak boleh dilanggar). Bila aturan dilanggar ganjarannya tidak main-main. Bila tidak
digunduli, sekurang-kurangnya dapat jeweran berantai. Bahkan, bila pelanggarannya berat santri bisa
dipulangkan. Pagi harinya Sahibul Menara bersama-sama belanja kebutuhan siswa baru di Pondok
Madani. Saat jam menunjukkan 16.50, mereka masih bingung memilih lemari. Lonceng waktu ke mesjid
sudah berbunyi mereka kebingungan mencari cara supaya cepat membawa lemari mereka di asrama.
Tiba-tiba datang seorang dari bagian keamanan yang menghentikan langkah mereka. Sahibul Menara
terkena hukuman jewer berantai karena terlambat lima menit ke mesjid untuk melaksanakan shalat
maghrib berjama’ah. Setelah melakukan shalat maghrib Kak Sofyan mengumumkan siswa yang
mendapatkan wesel (kiriman dari keluarga atau orang yang dikenalnya)l dan siswa yang harus
menghadap ke mahkamah keamanan (orang yang melakukan kesalahan dan dihukum sesuai
kesalahannya). Said merupakan siswa yang beruntung mendapatkan wesel pada hari itu. Namun, Alif
dan Sahibul menara lainnya termasuk Said juga mendapatkan panggilan untuk menghadap ke
mahkamah keamanan karena kesalahan tadi sore. Setiap Sahibul Menara mendapat hukuman menjadi
jasus (mata-mata) dan diberikannya 1 kartujasus untuk 2 kesalahan siswa. Dalam waktu 24 jam di mulai
saat itu mereka harus mencari siswa lain yang melanggar aturan di Pondok madani serta mencatat
namanya (semua siswa di PM memakai identitas diri mereka masing-masing sesuai ketentuan). Apabila
mereka tidak mendapatkan siswa yang melanggar aturan dalam waktu 24 jam ke depan maka akan
ditambahkan 2 kartu jasus kepada mereka. Waktu tersisa 3 jam, kartu jasus Sahibul Menara terisi semua
dan mereka terbebas dari hukuman tersebut.
Surat dari seberang pulau, Alif menerima surat dari Randai yang menceritakan masa-masa perkenalan di
SMA bukittinggi. Kedatangan surat dari Randai itu membuat Alif jadi bersedih dan malas bicara. Alif
membayangkan keindahan masa-masa berseragam putih abu-abu. Said dan Raja Mencoba menghibur
Alif tapi tidak ada hasilnya. Malam harinya ada tambahan kelas malam. “Malam ini kita akan
menghabiskan waktu keliling dunia” kata ustad Salman saat masuk di dalam kelas 1 A. Beliau
membacakan potongan mutiara dari tokoh-tokoh ini, “BJ Habibie, Mutiara dari Timur” , “Bung Hatta,
Pribadinya dalam Kenangan”, “Marthin Luther King, Jr: Stride Toward Freedom”, dan “Mohammed, The
Man of Allah” yang membuat Alif cukup terhibur.

Pelajaran wajib yang selalu ada setiap hari, enam kali dalam seminggu adalah lughah Arabiah (bahasa
Arab) yang diajarkan oleh ustad Salman. Alif dan teman yang lain, pelajaran yang paling ditunggu adalah
taarikh (sejarah dunia) yang diajarkan oleh ustad Surur. Mata pelajaran Al-Qur’an dan Hadits juga
dibawakan amat menarik oleh ustad Faris. Alif sangat menyukai pelajaran Khatul Arabi (kaligrafi Arab)
yang diajarkan oleh ustad Jamil. Pelajaran yang Alif suka tapi selalu berkeringat dingin saat
menghadapinya adalah Mahfuzhat yang diajarkan oleh ustad Badil. Tapi dari semua pelajaran, bahasa
Inggris adalah favorit Alif yang diajarkan oleh ustad Karim. Selain kelas pagi sampai jam 6, mereka juga
mengikuti tambahan kelas sore untuk mendalami pelajaran pokok, khususnya bahasa Arab dan bahasa
Inggris. Tambahan kelas malam yang dibimbing oleh wali kelas. Sementara kamis sore tidak ada
pelajaran, tapi diisi dengan pelatihan pramuka. Tapi dari semua hari, hari yang paling mulia bagi kami
dalah hari jum’at. Sebab, hari mulia ini adalah hari libur mingguan kami di Pondok Madani. Jum’at
artinya bebas melakukan berbagai aktivitas yang tidak menyalahi aturan. Hari jum’at juga mereka boleh
keluar dari Pondok Madani asal bisa kembali pada hari itu juga.

Hari jum’at ini, Said mengajak Sahibul Menara ke Ponorogo. Dengan berbagai macam alasan satu-
persatu dari Sahibul Menara mendapatkan izin dari ustad Torik yang sedang piket saat itu. Mereka
menyewa sepeda ontel dari rumah penduduk. Setelah keluar dari Pondok Madani, pertama yang
mereka lakukan yaitu ingin memperbaiki gizi dan makan sate di warung Cak Tohir, membeli berbagai
kebutuhan sekolah di pasar Ponorogo. Kedua, ingin melewati Ar-Rasyidah pesantren khusus putri yang
terkenal. Yang ketiga agak beresiko, melewati bioskop. Said ingin melihat spanduk film yang di perankan
oleh idolanya Arnold Schwarzenegger. Hujan turun sangat lebat, membuat Sahibul Menara terlambat 5
menit dari waktu yang ditentukan yakni jam 17.00. Karena keadaan tersebut mereka terbebas dari
hukuman.
Begitu pula siasat Dulmajid yang memengaruhi ustad Torik agar boleh izin nonton bareng pertandingan
final bulu tangkis di lingkungan Pondok Madani, padahal qanun (aturan pondok) menegaskan santri
Pondok Madani di larang menonton TV. “Ustad, lob antum itu mirip sekali dengan Icuk dan smash atum
mirip Liem Swie King. Kalau nggak percaya, kita nonton siaran langsung besok malam.” Kata Dulmajid.
Ustad Torik langsung takhluk dan terjadilah peristiwa bersejarah itu : TV masuk Pondok Madani.

Dalam waktu 3 bulan, siswa tahun pertama Pondok Madani masih boleh menggunakan bahasa
Indonesia maupun bahasa daerah mereka sendiri. Namun setelah itu mereka harus menguasai bahasa
resmi di Pondok Madani yakni bahasa Arab dan bahasa Inggris. Itu merupakan tantangan terbesar buat
mereka. Setiap selesai shalat subuh seorang kakak penggerak bahasa masuk ke setiap kamar dengan
membawa papan tulis kecil. Mereka diminta mengulangi bersama-sama dan satu persatu apa yang
kakak tersebut katakan. Setelah itu diberikan sebuah kalimat sempurna dengan menggunakan kosa kata
yang telah mereka ucapkan bersama-sama tadi. Lalu, giliran mereka membuat kalimat lain dengan
menggunakan kosa kata ini. Sebelum di tutup, mereka disuruh meneriakkan kembali kosa kata tadi
bersama-sama. Dan mereka diberikan tugas untuk menyalin kosa kata tadi dan membuat 3 contoh
penggunaanya dalam kalimat. Itu semua dilakukan setiap hari, 7 kali seminggu. Sebuah metode
sederhana yang sangat kuat dan mampu melekatkan bahasa baru ke dalam alam bawah sadar untuk
tidak lepas lagi selamanya.

Sementara 2 kali seminggu, setelah shalat subuh, mereka membuat 2 barisan panjang di lapangan dan
melakukan percakapan dengan teman yang ada di depannya menggunakan suara yang keras. Kakak para
penggerak bahasa akan mondar-mandir mendengar, mengoreksi, memberi kalimat yang baik. Mereka
diajarkan untuk berani mencoba dan tidak takut salah. Sampai pada suatu jum’at, jam 4 subuh. Kak Is
menggelitik ujung-ujung sajadah ke hidung Alif, tapi yang keluar dari mulut Alif secara otomatis ucapan :
“Maaziltu an’as kak, ayyatu saa’atin haaza?”(masih ngantuk banget kak, jam berapa sih?). Ajaib, dalam
posisi setengah sadar Alif menggunakan kalimat lengkap berbahasa Arab. Sejak saat itu Alif dan kawan-
kawannya yang lain merasakan perubahan yang sama. Pesan Kiai Rais “Pasang niat kuat, berusaha keras
dan berdoa khusyuk, lambat laun, apa yang kalian perjuangkan akan berhasil. Ini sanatullah-hukum
Tuhan”.
Sudah beberapa bulan Alif sengaja tidak menghubungi Amak sebagai protes tidak boleh masuk SMA.
Cerita Kiai Rais berputar di kepalanya tentang susahnya menjadi seorang ibu. Karena Alif tidak mau
menjadi seperti Malin Kundang maka Alif memohon ampun kepada Allah SWT. Malam itu juga, Alif
menuliskan surat untuk mengabari keadaannya di Pondok Madani kedapa Amak. Sejak itulah Alif teratur
menulis surat ke Amak. Satu sampai dua kali sebulan.

Berbagai macam aktivitas dilakukan oleh Alif dan Sahibul Menara lainnya, Sampailah saatnya mereka
melaksanakan ujian. Bertempelan dimana-mana spanduk yang bertuliskan “Ma’an najah” (Semoga
sukses dalam ujian). Pembukaan ujian oleh Kiai Rais seakan-akan ujian adalah sebuah hari besar keramat
ketiga setelah Idul Fitri dan Idul Adha. Dan dari kejauhan, bunyi lonceng besar berdentang keras.
Menandakan 15 hari ujian berakhir. Alhamdulillah. . . . . . . . . . . . . . .

Tiga tahun kemudian, hari pertama imtihan nihai datang juga. Warga Pondok Madani Menyebutnya
“ujian di atas ujian”. Berbeda dengan ujian selama ini, untuk ujian kelas enam kami harus berpakaian
rapi layaknya seorang penguji. Di awali dengan ujian lisan selama sepuluh hari, kemudian siswa
diberikan waktu istirahat beberapa hari untuk mempersiapkan diri untuk ujian tulis. Selang beberapa
hari kemudian, mereka masuk ke babak akhir perjuangan thalabul ilmi mereka di Pondok Madani : ujian
tulis. Malam hari, mereka berkumpul di aula. Kebiasaan di Pondok Madani, sebuah ujian dibuka dan
ditutup dengan pertemuan yang dipimpin oleh Kiai Rais. Inilah Malam Syukuran Ujian Akhir.

Sudah dua minggu berlalu sejak mereka merayakan selesainya ujian. Tiba saatnya, “Pengumuman
kelulusan kita sudah ada, bisa di lihat di aula” seru Said sebagai ketua angkatan mereka berteriak-teriak
setelah subuh.Alhamdulillah, Alif serta Sahibul Menara dan teman lainnya LULUS. Menurut
pengumuman, hanya kurang dari sepuluh orang yang tidak lulus dan mereka dapat kesempatan untuk
mengulang setahun lagi. Malamnya, diadakan yudisium dan khutbatul wada’ (Khutbah perpisahan) yang
dipimpin oleh Kiai Rais. Kemudian siswa kelas enam berjabat tangan dengan Kiai Rais dan para guru.
Selanjutnya, giliran adik kelas mereka memberikan selamat dan jabat tangan. Esok paginya, para alumni
sudah siap dengan koper masing-masing. Beberapa bus dengan tujuan masing-masing sudah menunggu
di depan aula. Ditengah kabut yang tipis, mereka sekali lagi bersalaman dan berangkulan dan berjanji
akan saling berkirim surat. Entah kapan Alif akan melihat Sahibul Menara lainnya sebagai kawan-kawan
terbaiknya lagi.

Setelah 15 tahun masa-masa sulit di Pondok Madani berlalu. Alif (Washington DC), Atang (Kairo), dan
Raja (London) dipertemukan kembali di London setelan 11 tahun dipisahkan. Keberadaan Sahibul
Menara yang lain yakni : Said meneruskan bisnis batik keluarga Jufri d Pasar Ampel, Surabaya. Sesuai
cita-cita mereka dulu, Said dan Dulmajid mendirikan sebuah pondok dengan Semangat PM di Surabaya.
Baso yang brilian ini kuliah di Mekkah dengan modal hapal luar kepala segenap isi Al-Qur’an, dia
mendapat beasiswa penuh dari pemerintah Arab Saudi. Sedangkan, Atang telah delapan tahun
menuntut ilmu di Kairo dan sekarang menjadi mahasiswa program doktoral untuk ilmu hadits di
Universitas Al-Azhar. Sementara Raja telah 1 tahun tinggal di London, setelah menyelesaikan hukum
Islam dengan gelar License di Madinah. Dia akan berada di London selama 2 tahun memenuhi undangan
komunitas Muslim Indonesia di kota ini untuk menjadi pembina agama. Alif sebagai wartawan di
Independence Avenue.

Dulu mereka melukis langit dan membebaskan imajinasi itu lepas membumbung tinggi. Mereka tidak
takut bermimpi, walau sejujurnya juga mereka tidak tahu bagaimana merealisasikannya. Tapi lihatlah
hari ini. Setelah mereka mengerahkan segala ikhtiar dan menggenapkan dengan doa, Tuhan mengirim
benua impian ke pelukkan masing-masing. Mereka berenam teral berada di lima negara yang berbeda.
Di lima menara impian mereka. Jangan pernah meremehkan impian, walau setinggi apapun. Tuhan
sungguh Maha Mendengar. Man Jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.

Menurut saya, pada novel yang berjudul “Negeri 5 Menara” inilah Ahmad Fuadi mencoba
menggambarkan kehidupan pesantren berbekal dari kejelian seorang jurnalis dan pengalaman
pribadinya saat mendulang ilmu di Pondok Modern Darussalam Gontor (Jawa Timur), ia berhasil
menghidupkan hiruk-pikuk keseharian di pondok dan mendeskripsikannya dengan nyaris sempurna
seluk-beluk pesantren. Novel ini dapat dibaca oleh semua kalangan. Gaya bahasa yang digunakan dalam
novel ini sangat menarik dengan cara penulisan yang mengalir, jernih, lugas, ringan, deskriptif dan
mengalir serta mampu memperkaya kosakata dan wawasan berbagai macam daerah. Ciri khas tulisan
wartawan yang berusaha memberikan gambaran apa adanya tentang kejadian dimasa lampau.

Ahmad Fuadi berhasil menggambarkan suasana modern di dalam pesantren yang selama ini dianggap
kuno dan kaku serta tidak menarik. Paham mengenai pesantren yang hanya mengajarkan persoalan
agama juga seolah hendak dikikis sang penulis. Di dalam novel ini secara tersirat ia memperlihatkan sisi
modern pesantren dengan mengisahkan mereka belajar soal seni, bahasa daerah Maninjau, Medan,
Sunda dan juga kewajiban berbahasa Arab dan Inggris yang tak bisa ditolerir. Sang penulis juga dinilai
cerdas menitip kisah humor yang membuat novel berat ini agak sedikit ringan dan renyah untuk
dinikmati.

Terdapat catatan kaki di bagian bawah yang menjelaskan arti dari kata tersebut. Ungkapan-ungkapan
dan peribahasa juga terdapat dalam novel tersebut, salah satunya “Man Jadda Wajada” yang sering di
cantumkan sebagai mantra berbahasa arab ini sepertinya akan selalu diingat dan membuat novel ini
terkenang di hati pembaca setelah selesai membaca buku ini. Mantra yang memberikan penguatan
positif jika kita percaya dan bersungguh-sungguh.

Selain itu, alur dalam novel ini penulis menggunakan alur campuran, mungkin sedikit membuat bingung
para pembaca (termasuk saya). Mungkin penulis sengaja menggunakan alur campuran agar pembaca
tidak akan bosan membaca kehidupan di Pondok secara terus menerus dan merasa penasaran dengan
kelanjutan ceritanya sehingga pembaca ingin terus membaca dan mengetahui apa yang akan terjadi di
akhir ceritanya. Contohnya penulis mengambil setting Alif yang sudah bekerja lalu mulai masuk ke dalam
ingatan-ingatan Alif akan kehidupannya di Pondok Madani. Setelah cukup panjang menceritakan
tentang pondok, penulis beralih lagi ke kehidupan Alif sekarang.
Cerita dalam novel ini menurut saya bisa merubah pola pikir kita tentang kehidupan pondok yang
kebanyakan di dalam pikiran kita pasti hanya belajar tentang agama, agama, dan agama saja. tetapi,
dalam novel ini telah terbukti tidak semua pesantren itu hanya mengajarkan tentang agama saja.
karena, selain belajar ilmu agama, ternyata dalam pesantren Madani juga belajar ilmu-ilmu umum
seperti bahasa inggris, kesenian yang mencakup kehidupan dunia akhirat.

sayangnya, di dalam novel itu tidak digambarkan menara yang menjadi tempat berkumpulnya Alif dan
kelima sahabatnya untuk memperjelas bagaimana bentuk si tokoh dalam novel ini. Walaupun
sebenarna jarang novel yang memuat gambar para tokoh tapi ada juga yang novel di berikan di kulit
depan atau belakang novel gambar seperti novel surat kecil untuk tuhan dengan adanya gambar photo
si tokoh Keke. Terkadang apabila di teliti atau di bandingkan cerita Novel ini hampir sedikit mirip
dengan Novel Laskar Pelangi. Cara menyampaian Novel awalnya kurang dimengerti karena pada bab 1
“Pesan dari masa silam” pembahasan novelnya langung saja masuk ke dalam topik pada saat Alif sudah
berhasil mengapai ke suksesan. Bukannya memaparkan terlebih dahulu apa pesan dari masa silam itu,
baru kemudian masuk dalam pembahasan pada keberhasilan Alif. Disisi lain penulis kurang mampu
memperlihatkan dinamika dalam cerita. Klimaks cerita kurang menonjol sehingga para pembaca merasa
dinamika cerita sedikit datar. Setelah selesai membaca, pembaca merasa cerita belum selesai setuntas-
tuntasnya. Hal ini mungkin disebakan karena penulis mendasarkan ceritanya pada kisah nyata dan tidak
ingin melebih-lebihkannya.

Secara keseluruhan menurut saya, buku ini sangat inspiratif karena dapat membangkitkan semang juang
kepada siapa pun yang telah membacanya. Cita-cita, persahabatan dan semangat kuat untuk sukses
tidak membuat Alif dan teman-temannya menyerah untuk menggapai impian mereka. iIulah yang bisa
dijadikan motivasi yang dapat membangun para pembaca, sebagai panutan yang baik bagaimana cara
berteman, bermimpi dan meraih mimpi untuk mewujudkan cita-cita seperti yang telah dilakukan oleh
Alif dan teman-temannya. Karena, mereka yakin dengan ungkapan “MAN JADDA WAJADA” yang selalu
memotivasi mereka agar tetap terus berusaha dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi apapun
untuk sebuah impian setinggi apapun itu, karena mereka percaya Allah Maha mendengar doa dari
umatNya.

Anda mungkin juga menyukai