Anda di halaman 1dari 15

1.ANALISIS PUISI W.

S RENDRA KUPANGGIL NAMAMU

Kupanggil Namamu

sambil menyeberangi sepi


kupanggil namamu wanitaku
apakah kau tak mendengarku

malam yang berkeluh kesah


memeluk jiwaku yang payah
yang resah
karena memberontak terhadap rumah
memberontak adat yang latah
dan akhirnya terkoda cakrawala

sia-sia kucari pancaran sinar matamu


ingin ku ingat bau tubuhmu
yang kini sudah ku lupa
sia-sia
tak ada yang bisa kujangkau
sempurnalah kesepianku

angin pemberontakan
menyerang langit dan bumi
dan dua belas ekor srigala
muncul dari masa silam
merobek hatiku yang celaka

berulang kali kupanggil namamu


dimana engkau wanitaku
apakah engkau menjadi maa silamku
kupanggil namamu
kupanggil namamu
karena engkau rumah di lembah
dan Tuhan?
Tuhan adalah seniman tak terduga
yang selalu sebagai sedia kala
hanya memperdulikan hal yang besar saja

seribu jari dari masa silam


menuding kepadaku
tidak
aku tak bisa kembali
sambil terus memeanggil namamu
amarah pemberontakan yang suci
bangkit dengan perkasa malam ini
dan menghamburkan diri kecakrawala
yang sebagai gadis telanjang
membukakan diri padaku
penuh dan perawan

keheningan sesudah itu


sebegai telaga yang beku dan akupun beku ditepinya
wajahku lihatlah wajahku
terkaca dikeheningan
berdarah dan luka-luka'
dicakar masa silamku

A. Struktur lahir
1. Tipografi
Perwajahan puisi berupa baris-baris yang tidak memenuhi permukaan kertas. Penyusunan baris
teratur, berawal dari batas kiri yang rata tanpa ada bait atau baris yang menjotok ke dalam.
2. Citraan
a. Citraan gerakan
sambil menyeberangi sepi, memeluk jiwaku yang payah,
sia-sia kucari pancaran sinar matamu, tak ada yang bisa kujangkau
menyerang langit dan bumi, bangkit dengan perkasa malam ini,
dan menghamburkan diri kecakrawala, dicakar masa silamku
kata-kata menyebrangi, memeluk, kucari,kujangkau,menyerang,bangkit, dan menghamburkan
merupakan kata yang jika bayangkan menimbulkan suatu yang bergerak.
b. Citraan penglihatan
sia-sia kucari pancaran sinar matamu,muncul dari masa silam,
amarah pemberontakan yang suci, yang sebagai gadis telanjang
wajahku lihatlah wajahku
c. Citraan pendengaran
kupanggil namamu wanitaku
d. Citraan perabaan
merobek hatiku yang celaka
e. Citraan penciuman
ingin ku ingat bau tubuhmu
3. Enjabemen (pemenggalan)
Pemenggalan bait sudah sesuai, karena setiap satu bait telah membuahkan satu makna namun
tetap berkesinambungan dengan bait-bait lainnya.
4. Diksi
sambil menyeberangi sepi
kupanggil namamu wanitaku
...
dicakar masa silamku
Diksi puisi Ws. Rendra “ Kupanggi Namamu” sudah menggunakan diksi yang sesuai, misal
pada baris pertama pada kata “Menyebrangi” lebih mampu mendukung curahan isi hati penulis
dibandingkan jika memakai kata “Melewati/merasakan”. Lalu pada baris terakhir pada kata “
Dicakar” lebih mendukung dibanding dengan kata “Dihampiri”.
5. Kata Kongkret
sambil menyeberangi sepi
memeluk jiwaku yang payah
yang resah
ingin ku ingat bau tubuhmu
sempurnalah kesepianku
Kata kongkret merupakan kata –kata yang dapat ditangkap oleh indra manusia (menimulkan
imaji) sehingga para penikmat sastra akan mengganggap bahwa mereka benar-benar melihat,
mendengar, merasakan dan mengalami segala sesuatu yang dialami penyair, misal pada baris
sempurnalah kesunyianku.Kata sempurna mengonkretkan sesuatu yang benar-benar utuh,
komplit, dan lengkap segalanya, sehingga dapat menggambarkan bahwa yang dirasakan si aku
adalah benar-benar kesunyian yang utuh/lengkap.
6. Majas
a. Metafora
Pemakaian kata atau kelompok kata bukan arti sebenarnya.
sambil menyeberangi sepi, malam yang berkeluh kesah, dan menghamburkan diri kecakrawala
b. Personifikasi
Membandingkan benda-benda tak bernyawa seolah-olah mempunyai sifat seperti manusia.,
angin pemberontak, seribu jari dari masa silam
menuding kepadaku
c. Hiperbola
wajahku lihatlah wajahku
terkaca dikeheningan
berdarah dan luka-luka'
dicakar masa silamku

B. Struktur batin
1. Tema
Tema puisi Kupanggil Namamu adalah ungkapan kerinduan mendalam seseorang kepada sang
kekasih. Akan tetapi sang kekasih telah bersama orang lain dan itu membuat si Aku menjadi
sangat terluka dan mengingatkan nya kembali pada masa silam.
2. Rasa
Sang penyair menyikapi kerinduan nya dengan penuh rasa sakit dan menusuk perasaan.
3. Nada
Sikap penyair tehadap si pembaca adalah acuh tak acuh, penyair hanya menceritakan atau
menulis puisi ini seolah-olah utuk kekasihnya, tamba menggurui, menasehati ataupun memarahi
pembaca.
4. Suasana
Suasana yang dirimbulkan dari puisi ini adalah rasa iba dan kasihan kepada si aku.
2. ANALISIS PUISI D. ZAWAWI IMRON OLEH CHASIM CASICO

IBU

Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau


Sumur-sumur kering, daunpun gugur bersama ranting
Hanya mata air airmatamu, ibu, yang tetap lancer mengalir

Bila aku merantau


Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanmu
Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

Ibu adalah gua pertapaanku


Dan ibulah yang meletakkan aku di sini
Saat bunga kembang menyemerbak bau saying
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku mengangguk meskipun kurang mengerti

Bila kasihmu ibarat samudera


Sempit lautan teduh
Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
Tempatku berlayar, menebar pukat dan melebar sauh
Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu
Engkau ibu dan aku anakmu

Bila aku berlayar lalu datang angin sakal


Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala


Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru
Dengan sajakku.
A. Unsur Batin :

1. Suasana
Haru
2. Tema
Kecintaan seorang ibu akan anaknya.
3. Nada
Penghimbau, mengingatkan kepada kita pembaca agar tidak melupakan ibu, dan tahu betapa
banyaknya jasa yang telah diberikan ibu ke kita.
4. Amanat
Ibu adalah seorang yang sangat berjasa di kehidupan kita dengan segala hal yang diberikan
olehnya, dan bagaimana seorang anak yang telah hidup berpisah dari ibunya harus tetap
mengingat dan berbakti kepada orang tuanya.

B. Unsur-unsur batin tersebut dapat dibuktikan dengan unsur-unsur fisik sebagai berikut :
1) Diksi
a. Kemarau
Ø Berarti kekeringan; gagal panen; bencana
b. Hanya mata air air matamu ibu
Ø Sang ibu menangis; karena kesusahan saat kemarau tiba.
c. Mayang siwalan
Ø Kerinduan; kenangan indah
d. Gua pertapaanku
Ø Dalam kandungan/rahim; tempat berlindung; tempat bernaung; mencari petunjuk.
e. Berlayar
Ø Menghadapi kehidupan
f. Pahlawan
Ø Sosok yang berjasa besar
g. Samudra
Ø Sangat luas
h. Lautan teduh
Ø Samudra pasifik; samudra terluas
i. Angin sakal
Ø Masalah; cobaan; hambatan
j. Bianglala
Ø Pelangi; indah
k. Langit biru
Ø Indah

2) Kata konkret
a. Sumur-sumur kering
Dedaunan pun gugur bersama reranting
Ø Kemarau; kekeringan; gersang; tandus
b. Sedap kopyor susumu
Dan ronta kenakalanmu
Ø Mengingat tentang masa kehidupan
c. Ibu adalah gua pertapaanku
Ø tempat mencari petunjuk kehidupan
d. Kasihmu ibarat samudra, sempit lautan teduh
Ø Kasih ibu sangatlah luas; besar
e. Mencuci lumut pada diri
Ø Membersihkan diri dari kesalahan; dosa
f. Tempatku berlayar, menebar pukat & melempar tanah
Ø Tempat mencari penghidupanku
g. Bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Ø Jika dalam mengahadapi hidup diterpa cobaan

3) Imaji
a. Pendengaran
· -
b. Penglihatan
· Sumur-sumur kering
· Daunan pun gugur bersama reranting
· Hanya mata air air mata mu ibu
· Saat bunga kembang
· Menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
c. Sentuhan
· -
d. Penciuman
· Semerbak bau sayang
e. Perasaan
· Di hati ada mayang siwalan
· Memutikkan sari-sari kerinduan
f. Perasa
Ø Sedap kopyor susumu

4) Majas
a. Ibu adalah gua pertapaanku
Ø Metafora
b. Kasihmu ibarat samudra
Ø Simile

c. Bidadari berselendang bianglala


Ø Metaofra
d. Menulis langit biru
Ø Metafora

5) Rima
Banyak menggunakan akhiran dengan vokal (dari yang tersering) “u”, “a” dan “i”
Ø Vokal lumayan berat
(kesedihan sekaligus kegembiraan dan kental akan rasa haru)
6) Tipografi
a. Penggunaan tanda baca
1. Koma
Ø Pemenggalan kata
2. Titik
Ø Mengakhiri kalimat
b. Penggunaan huruf kapital
1. Di awal puisi
2. Untuk mengawali kata “Tuhan”

3. ANALISIS PUISI (Sebuah Puisi Karya KH. Mustofa Bisri)

IBU
Ibu, Kaulah gua teduh

Tempatku bertapa bersamamu sekian lama

Kaulah kawah,

Darimana aku meluncur dengan perkasa

Kaulah bumi, yang tergelar lembut bagiku melepas lelah dan nestapa

Gunung yang menjaga mimpiku siang dan malam

Mata air yang tak brenti mengalir

Membasahi dahagaku

Telaga tempatku bermain

Berenang dan menyelam

Kaulah, ibu, laut dan langit

Yang menjaga lurus horisonku


Kaulah, ibu, mentari dan rembulan

Yang mengawal perjalananku

Mencari jejak surge di telapak kakimu

(Tuhan, aku bersaksi

Ibuku telah melaksanakan amanatMu

Menyampaikan kasih sayangMu

Maka kasihilah ibuku

Seperti Engkau mengasihi kekasih-kekasihmu

Amin)

Sajak “ibu” mengusung gagasan akan sosok ibu yang sangat berarti dan berperan aktif
bagi ‘aku’ lirik. Lewat ruang kontemplasi, aku lirik hendak menggambarkan bagaimana sosok
ibu yang selama ini begitu telan menempanya. Selain itu sajak ‘ibu’ tidak hanya berbicara sosok
‘ibu’ yang terlepas dari dirinya. Tapi ibu dalam sajak ‘ibu’ yang dihayati kehadirannya secara
utuh.

Ibu, dalam pemahaman si aku lirik, dalam sajak “ibu” adalah gua teduh, adalah tempat
yang nyaman bertapa, tempat untuk memeroleh ketenangan sekaligus kesaktian, yang dijalaninya
bersamanya dalam rentang waktu yang cukup lama (Ibu// Kaulah gua teduh// Tempatku bertapa
bersamamu// Sekian lama//). Si aku hendak menggambarkan peranan ibu sejak si aku lirik berada
dalam rahim. Ibu yang diibaratkan gua tempat bertapa, merupakan sebentuk simbol akan diri ibu
yang menempa diri si aku lirik sepanjang waktu. Pengasosian ibu dengan gua teduh, telah
menghadirkan sosok ibu yang meruang yang tidak hanya tempat berproses, tapi juga tempat
untuk melepas lelah dan penat.

Ya, membandingkan ‘ibu’ dan gua yang teduh, yang ditegaskan dengan tempat bertapa
bersama untuk sekian waktu yang lama, tidak hanya sekadar menghadirkan efek akan sosok ibu
yang penuh welas –asih semata. Tapi ibu meruapakan untuk mencari ketenangan dan mungkin
bekal kesaktian bagi si aku. Seperti kita tahu, gua yang ditegaskan tempat beratapa dalam tradisi
masyarakat kita merupakan proses pencarian diri lewat keheningan. Pemcarian untuk
mendapatkan ketenangan, petunjuk mungkin wangsit dari yang maha kuasa.

Bahkan totalitas sosok ibu dalam sajak ‘ibu’ tidak berhenti pada ruang gua yang teduh,
tapi dengan kesadaran penuh, ibu dihadirkannya sebagai Kaulah kawah, tempat Dari mana aku
meluncur dengan perkasa, aku menatap langit tualang dengan keyakinan dan kesejatian diri
manusia. Si aku lirik mengaskan bahwa dari sisi ibunya, atau dari pangkuan ibunya ia tumbuh
sebagai sosok yang perkasa. Sosok yang mampu berlaga di medan hidup.

Ibu, sekali lagi dihadirkannya sebagai Kaulah bumi, padang Yang tergelar lembut bagiku,
tempat melepas lelah dan nestapa. Ya ibu tidak hanya tempat bertapa atau kawah yang membuat
si aku lirik dewasa, Ibu juga menjelma bumi yang dengan sabar akan memberikan senyum dan
sapanya untuk menghapus, melepas lelah dan nestapa si aku lirik. Bait ini hendak
menggambarkan peranan ibu ketika si aku lirik mendapati halangan atau rintangan. Dengan
kasih sayangnya, ibu memapah dan membuang segala rasa lelah dan nestapa si aku lirik. Lebih
jauh, perjalanan si aku lirik pun, dengan segala riak keinginan dan cita-citanya, di pangkuan ibu
begitu tenang menjalaninya. Sehingga si ibu pun hadir dalam kesadarannya sebagai // Gunung
yang menjaga mimpiku//yang di sepanjang waktu, Siang dan malam. Ibu juga telah menjelma
Mata air yang tidak akan berhenti mengalir, memercikkan air kasihnya// Membasahi dahagaku//.
Bahkan ibu adalah Telaga tempatku bermain// tempat belajar Berenang dan menyelam. Sosok
ibu begitu komplek memasuki dan mengisi ruang-waktu hidup si aku lirik. Muasal segala angan
dan ruang untuk tumbuh, untuk mengerti hidup.

Lebih jauh, ibu tidak hanya menyedia tempat untuk berbagi, ladang menyemai mimpi.
Tapi ibu juga sosok yang akan terus mengawal dan memantau keberadaan si aku lirik. Bahkan
segala pencarian hakikat dan arti hidup ini kembali pada sosok ibu. Sikap ibu inilah yang
digambarkannya Kaulah, ibu, sebagai laut dan langit yang membentang, sepasang keteguhan
dan keluasan yang menjaga lurus horisonku// Kaulah, ibu, sebagai mentari dan rembulan//
sepasang mata Yang akan mengawal perjalananku//, sebagai pemandu yang menuntunku sampai
aku akan kembali akgi kepangkuanmu, untuk Mencari jejak sorgaNya// yang berada Di telapak
kakimu.
Pada akhirnya, kehadiran totalitas ibu dalam hidup si aku lirik pun diterimanya tidak
hanya dalam komunikasi manusia. Totalitas ibu ini pun diyakini sebagai tugas dari Tuhan yang
maha kuasa. Ia, ibu telah dipanjatkannya, diserukannya sebagai sosok yang mampu
melaksanakan tugas atau amanat dengan baik. (tuhan,// aku bersaksi// ibuku telah melaksanakan
amanatmu//. Untuk itu, atas segala welas asih, jerih payahnya yang luar biasa, maka si aku lirik
pun memohon kasihilah ibuku// seperti Kau mengasihi// kekasih-kekasihMu// amin).

Kehadiran sajak ‘ibu’ yang total dan cermat menggambarkan sosok ibu, tidak terlepas
dari sarana kebahasaan yang dipakai aku lirik. Lewat apersonofikasi, yaitu pengandaian benda
hidup ibu ke benda-benda mati semisal gua, kawah, bumi. Bulan, matahari, mata air, dan
sebagainya menandaskan ketabahan, kesabaran si ibu menempa si aku. Benda-benda mati di sini
(gua, bumi, bulan, mata air dan sebagainya) merupakan simbol atau pun penanda akan eksistensi
si ibu yang anggun dengan ketabahannya, kediam-diriannya menrima si aku.

Sarana kebahasaan apersonofikasi ini pun semakin menunjukkan totalitas penggambaran


si aku ketika dihidupkan kembali, atau dipersonikasikan kembali dengan sifat atau
pendeskripsian benda-benda mati yang berperan bagi si aku. Bumi yang diberi sifat lembut,
gunung yang menjaga mimpi, laut dan langit yang dihadirkan seperti satpam yang dapat menjaga
lurus horisonku, maupun mentari dan rembulan yang diibaratkan dapat mengawal perjalananku,
telah menjelmakan tense pemahaman totalitas ibu. Kediam-dirian ibu dengan a personofikasi
pada benda-benda mati semisal mentari, rembulan, laut, kawah adalah usaha si aku lirik
menangkap keanggunan sifat dan jati diri ibu bagi si aku lirik. Sebaliknya, personifikasi mentari,
rembulan, laut, langit yang bergerak aktif di sekitar si aku lirik, adalah gambaran akan sikap dan
peranan ibu dalam menopang, mendukung si aku lirik menjalani hidup.

Lebih jauh, seperti pemahaman akan karya sastra yang alhir dari realitas masyarakatnya,
penggambaran sosok ibu dengan totalitas kesadaran si aku lirik tidak terlepas dari kultur budaya
kita. Seperti kita ketahui, ibu dalam keseharian merupakan sosok yang paling dekat dengan si
aku. Sejak kecil, ibu selalu mempunyai porsi lebih untuk bercakap dengan si aku lirik. Selain
kesadaran akan realitas kehidupan si aku lirik dengan ibu, sajak ‘ibu’ ini juga didasari akan
pengalaman spritual atau religiuisitas si aku lirik. Seperti kita, tahu sebagai seorang beragama
isla, yang hidup di lingkungan pesantrean K. H. Mustofa Bisri paham betul akan anjuran ajaran
agamanya untuk menghormati sosok ibu.

Dengan kata lain, latar sosial yang melahirkan sajak ‘ibu’ ini adalah kultur budaya
masyarakat kita yang menempatkan ibu sebagai sosok yang patut dihormati. Sebab sosok ibulah
yang paling bersusah payah, paling sering berkomunikasi, paling merasakan keluh-kesah-tangis
anaknya, seyogyanya untuk membalas pengorbanan dan segala kasihnya kita mesti
menghormatinya. Selain kesadaran kultur ini, kesadaran agama atau religi juga mendukung si
aku lirik, si anak, untuk berbakti dan menghormati ibu. Dalam agama (:islam) ibu juga
merupakan sosok yang paling berjerih payah mengemban amanat Tuhan, yang berupa anak, si
aku lirik. Sehingga dengan demikian sosok ibu merupakan tempat pertama dan utama bagi
kelansungan eksistensi si aku.

4. ANALISIS PUISI DARI BENTANGAN LANGIT(karya :Emha Ainun Najib)

DARI BENTANGAN LANGIT

Dari bentangan langit yang semu


Ia, kemarau itu,datang kepadamu Tumbuh perlahan.
Berhembus amat panjang Menyapu lautan.

Mengekal tanah berbongkahan menyapu hutan !


Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu,Ia,kemarau itu dari Tuhan yang senantia diam dari tangan-Nya.

Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa yang senyap.


Yang tak menoleh barang sekejap.
Dikaitkan dengan latar belakang penulis, Cak Nun, yang rajin melakukan aktivitas-
aktivitas yang memadukan dinamika kesenian dengan agama, politik, dan ekonomi, puisi ini
dapat dikatakan sebagai suatu puisi yang cukup agamis. Cak Nun berhasil mengemas pesan-
pesannya dalam metafora yang sebenarnya cukup umum, akan tetapi tetap membuat pembacanya
terhisap ke dalam proses berfikir yang Cak Nun coba tampilkan di dalam puisi ini.

Setelah mempelajari arti metaforis dari baris-baris puisi ini, dapat disimpulkan bahwa
puisi mengilustrasikan tentang seseorang yang berusaha untuk mengingatkan sesamanya akan
cobaan yang akan datang dari Tuhan, betapa besar, lama, dan menyiksa cobaan itu hingga
manusia akan menderita. Cobaan yang diwakilkan oleh ‘kemarau’ yang akan datang ini kelak
akan ‘meyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan’ dan ‘menyapu hutan’. Begitu dahsyatnya
cobaan ini hingga segala hal yang tadinya dipandang sebelah mata oleh manusia karena
keberlimpahannya, kini hilang, musnah, binasa. Kali ini pun, Tuhan tak akan ragu-ragu dalam
memberikan cobaan ini kepada manusia.

Puisi ini termasuk puisi kontemporer sebab puisi ini membahas hal berkaitan dengan Ketuhanan
yang dampaknya langsung dirasakan dan dimaknai oleh satu orang saja, tidak untuk secara
keseluruhan.

 Gaya Bahasa Puisi Dari Bentangan Langit Karya Emha Ainun Nadjib
o Sudut pandang

Sudut pandang yang digunakan di puisi ini adalah orang kedua. Penulis seakan-akan berbicara
kepada pembacanya saat ia menyapa pembaca dengan menggunakan kata ‘kepadamu’.

 Simbolisme
Banyak simbolisme di dalam puisi ini yang dapat dikaitkan dengan aspek-aspek kehidupan
manusia. Beberapa yang paling menonjol adalah simbolisasi yang tergambar di dalam kata-kata
yang berkaitan dengan alam, seperti kemarau, lautan, hutan, dan tanah berbongkahan.

Seperti yang kita ketahui, kemarau adalah salah satu musim di daerah tropis, dimana
frekuensi hujan berkurang drastis pada saat ini. Beberapa daerah bahkan mungkin saja
mengalami kekeringan di musim ini. Oleh karenanya, kata ‘kemarau’ di dalam puisi ini dapat
dikatakan sebagai simbol dari cobaan yang datang di hidup manusia, sebab kemarau identik
dengan kekeringan, kelangkaan, dan kesulitan-kesulitan lain yang terjadi.

Kata-kata lain seperti lautan, hutan, dan tanah berbongkahan melambangkan segala sumber
daya alam, segala harta yang kita miliki. Hal ini dapat direfleksikan dari kegiatan manusia
sehari-hari yang selalu membutuhkan air dari laut, hasil-hasil hutan, dan tanah untuk berpijak
juga bermukim. Laut, hutan, dan tanah begitu berarti bagi manusia, begitu berlimpah hingga
manusia lupa akan betapa berharganya hal-hal itu di kehidupan mereka.

 Majas

Majas metafora: Banyak sekali metafora yang digunakan di dalam puisi ini. Contohnya
kemarau yang mewakilkan cobaan di dalam hidup, kemudian lautan, hutan dan tanah yang
mewakilkan segala kenikmatan dunia yang diberikan Tuhan.

Majas personifikasi: Majas personifikasi adalah majas yang megatributkan perilaku manusia
pada objek yang bukan manusia. Salah satu contoh majas personifikasi yang ada di puisi ini
adalah ‘kemarau itu, datang kepadamu’. Padahal pada kenyataannya kemarau tidak bisa ‘datang’
seperti datangnya manusia ke suatu tempat. Kemarau disini juga digambarkan dapat ‘menyapu’
dan juga ‘mengekal/memegang’ padahal kemarau tak punya tangan sebab kemarau bukan
manusia, kemarau –secara harfiah− adalah musim.

Majas pars pro toto: Majas pars pro toto adalah majas yang menggunakan sebagian dari
objek/unsur untuk mewakilkan keseluruhan objek tersebut. Majas ini dapat ditemukan pada kata
‘Tangan’ di 2 baris terakhir. Cak Nun sengaja menulis kata ‘Tangan’ dengan huruf kapital untuk
menggambarkan bahwa ‘Tangan’ yang dimaksud adalah ‘tangan Tuhan’. ‘Tangan’ yang
berusaha menggapai manusia dengan cara-Nya sendiri. Dengan demikian, ‘Tangan’ disini
mewakili Tuhan.

 Latar Belakang

Latar tempat: Latar tempat yang tersirat di dalam puisi ini adalah di alam terbuka. Tampak jelas
dari penggunaan kata-kata ‘langit’, ‘lautan’, dan ‘tanah bongkah’ yang begitu terbuka di alam
bebas.

Anda mungkin juga menyukai