Anda di halaman 1dari 8

Karawang - Bekasi

Karya: Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi


tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa


Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan


Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan


atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami


Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat


Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami


yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Pahlawan Tak Dikenal
Karya: Toto Sudarto Bachtiar

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring


Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang


Kedua lengannya memeluk senapan
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan untuk tidur sayang

Wajah sunyi setengah tengadah


Menangkap sepi pedang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun


Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajah sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring


Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata: “aku sangat muda”
Sajak Sebatang Lisong
Karya: WS Rendra
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata:
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
Indonesiaku
Karya: Hamid Jabbar

Jalan berliku-liku
tanah airku
penuh rambu-rambu
indonesiaku

Sehelai karcis di genggaman, hari senja dan kulihat engkau


terpampang dalam headline & tajuk rencana koran-koran ibukota.
Engkau tersenyum dan sakit gigi. Engkau malu-malu bagai kucing
(entah mengeong entah mengerang entah marah entah sayang) yang
terpendam dalam deretan kata-kata nusantara yang lalu-lalang
keluar-masuk dalam kedirianku. Engkau tegak dan tumbang sepanjang
hari : bengkalaian sajak-sajak para penyair yang sempat terbit, dicetak
dengan rasa sesal serta malu yang purba.
Dan Maghrib pun menggema dan bel berdering nyaring dan aku terdesak
ke tepi nian; namun masih sempat membayangkan engkau, kasihku,
meskipun dengan terbata-bata

jalan berliku-liku jalan berliku-liku


tanah airku tanah airku
penuh rambu-rambu penuh rambu-rambu
indonesiaku indonesiaku

Sebuah tas di pangkuan, terbentang malam dan kurasakan engkau


tunggang-langgang berpacu, bus tua yang tua-tua keladi (dipermak
ditimbun di kali berkali-kali) menangis dan bernyanyi seperti deretan
mimpi-mimpi. Engkau yang duduk terantuk-antuk dalam pasaran
dunia yang berdiri memaki-maki sepanjang jalanan gelombang
berliku-liku yang membadaikan tikaman hujan rambu-rambu hingga
aku terpelanting jauh ke belakang, namun masih sempat membayangkan
jarak yang telah & akan dilalui (suka tak suka mandi berenang
dalam telaga luka nanahmu o tanah airku), meskipun dengan terbata-
bata.

jalan berliku-liku
tanah airku
penuh rambu-rambu
indonesiaku

Sekujur tubuh di perjalanan, malam yang akan berdentang-dentang dan


kaulihat aku puntang-panting memburumu dari tikungan ke tikungan.
(Barangkali berjuta pohon telah tumbang dalam pacuanmu. Barangkali
berjuta mulut telah mengeringkan tanahmu o indonesiaku. Barangkali
berjuta ke mulut telah menguap-udarakan segala airmu pengap o
indonesiaku. O siapakah yang telah tercerabut, sayangku : engkau
tanah airku atau aku anak negerimu ?) Tetapi aku sungguh merasa
malu ketika kudengar engkau menyanyikan rasa tak berdaya
anak negerimu diancam ledakan-ledakan berangan akan purnama
sepanjang malam. Dan engkau pun menangis ketika malu kita jadi
malu semua : tertera dalam peta kita, luka-luka dan nyeri terbata-bata.

jalan berliku-liku
tanah airku
penuh rambu-rambu
indonesiaku

Sebibir duka tersangkut di bibir ngarai, anak negerimu terjaga dan


berhamburan ke jalanan. Bulan sepotong di atas luka o awan
mengelilinginya bagai nusantara

“Sebagai supir, saya tak begitu mahir," kata seorang yang mengaku
supir.
“Sebagai penumpang, kita tak begitu lapang," terdengar seseorang
mendengus.
“Huss!”
tulis kamus.
“Kita membutuhkan lapang !” teriak orang-orang. “Kita
memerlukan kebebasan, “ dengus rambu-rambu dan tiang-tiang.
“Tetapi perjalanan harus dilanjutkan”, tulis travel biro dalam iklan.
Orang-orang membeli karcis dan kursi
Orang-orang duduk menari hi-hi
Orang-orang menari sambil memaki-maki.
Orang-orang memaki sampai bosan.
Orang-orang bosan dan bosan
Bus-bus jalan.

“Itu Pulau Sumatera,” kata seseorang menunjuk awan di tepi-tepi


bulan.
“Bukan, itu Pulau Kalimantan,”bantah seseorang sambil makan
udang.
“Salah, yang tepat adalah Pulau Jawa,” kata kondektur sambil minum
bajigur.

jalan berliku-liku jalan berliku-liku


tanah airku tanah airku penuh
rambu-rambu penuh rambu-rambu
indonesiaku indonesiaku

Sepanjang jalanan sepanjang tikungan sepanjang tanjakan sepanjang


turunan rambu-rambu bermunculan.
Seribu tanda seru memendam berjuta tanda tanya. Seribu tanda
panah mencucuk luka indonesiaku. Seribu tanda sekolah memperbodoh
kearifan nenek moyangku. Seribu tanda jembatan menganga ngarai
wawasan si Badai si Badu. Seribu tanda sendok garpu adalah lapar dan
lapar yang senyum-senyum di luar menu. Seribu tanda gelombang
melambung hempaskan juang anak negerimu. Seribu tanda-tanda dijajakan
berjejal-jejal di mulutmu. Seribu tanda-tanda seribu jalanan seribu
tikungan seribu tanjakan seribu turunan liku-liku o luka tanah airku
dalam wajahmu indonesiaku.

jalan berliku-liku jalan berliku-liku


tanah airku tanah airku
penuh rambu-rambu penuh rambu-rambu
indonesiaku lukamu lukaku

STOP
Selamat Pagi, Indonesia
Karya: Sapardi Djoko Damono

Selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk


dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di bawah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukkan kejemuan,
merubahkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perempuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil
memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar: aku tak lain milikmu

Anda mungkin juga menyukai