Celana, 1
Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan,
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
Joko Pinurbo
Kopi Koplo
Kamu yakin
yang kamu minum
dari cangkir cantik itu
kopi?
Itu racun rindu
yang mengandung aku.
(Jokpin, 2018)
Joko Pinurbo
Belajar Berdoa
(Jokpin, 2018)
2016
2016
Afrizal Malna
Apartemen Identitas
Afrizal Malna
Mesin Jahit Bayangan
Aan Mansyur
Siput atau Bayi atau Aku yang Tidur
Aku siput dan aku bayi dan aku diselaputi tidur yang
damai. Kumakan mimpi-mimpiku: kita ada perih lain yang
kita kira masa depan dan semua yang cuma andai.
Mardi Luhung
Gresik: Telur Bebek dan Leher
Ada amsal tentang kenangan awal. Kenangan pada jajaran rumah yang
berubin tebal dan bertembok tinggi. Serta patung kilin yang bersiaga di
tempat ibadah. Patung kilin yang menyimpan wujud mustika di delapan-
belas bagian tubuhnya. Juga tentang telur-telur bebek yang tergeletak di
sepanjang got kering sebelah trotoar. Telur-telur bebek yang dipunguti oleh
tangan si kanak. Tangan yang kini telah dewasa. Yang diam-diam juga ingin
memetik matahari sebelum lingsir. Atau mewarnai kulit delima agar tetap
merona. Semerona ibu yang telah jadi bidadari. Bidadari yang setiap bersedih,
berziarah ke makam Tuan Maulana. Dengan air mata berlinang.
Juga dengan kerudung yang berjuntai menawan.
Dan ada amsal tentang kenangan berikutnya. Kenangan pada aroma yang
memberat. seberat napas yang membau sengak. Yang mengingatkan bau
asap yang mengepul dari sekian cerobong. Sekian cerobong, yang jika
gerhana tiba, bergerak dan berjalan tegap. Seperti seregu sedadu yang
berbaris-baris. Berderap. Berderap. Berderap. Dan sesekali memeragakan
kerancakan jalan di tempat. Kerancakan yang membuat permukaan pantai
jadi bergoyang. Sampai tiga ikan buntal yang berenang, pun seketika
membuntalkan perutnya. Sebab menganggap, ada musuh yang akan
menyergap. Musuh yang mungkin terang. Mungkin gelap. Atau malah
mungkin samar. Tapi amat dekat. Sedekat urat leher.
(Gresik, 2016)
Mardi Luhung
Nyala
(Gresik, 2014)
:Rendra
/1/
Senyap mengendap-endap dan hinggap
di ranting itu. Seekor burung mematuknya –
ia terdengar menyanyikan aroma panda
sepanjang musim penghujan.
/2/
Seekor burung menukik dan hinggap
di ranting itu. Sunyi sembunyi di senyapnya –
terlelap di antara bulu-bulunya.
/3/
Senyap, burung, sunyi, dan juga hujan
melesat bersama aroma yang kebiru-biruan.
Sitok Srengenge
Kata Hati
Sitok Srengenge
Penyihir
(Bakarti, 2014)
Kiki Sulistyo
Ajimat Kuku Mayat
(Bakarti, 2014)
Riki Dhamparan Putra
Tugu-tugu Kota Bau-Bau
2012
Juli 2013
Inggit Putria Marga
Pengayuh Rakit
sebab segala yang mendatanginya selalu pergi setelah beberapa puluh hari sambil duduk mendekap
lutut di tepian rakit, kepada air sungai yang penuh wajah matahari, pengayuh rakit meratapi
perannya di kelahiran kali ini yang baginya, serupa sepetak tanah yang hanya layak ditanami sawi:
tanah gembur dan berhumus di lapisan pertama, keras dan berbatu di lapis-lapis lainnya.
tak ada tanaman tahunan yang dapat subur di tanah seperti itu. mereka hidup tapi hidup seperti
payung terkatup. pokok jati di belakang rumahnya semacam bukti: belasan tahun akar menjalar,
tubuh hanya mampu setinggi lembu, daun kalah lebar dengan daun telinga anak gajah, lingkar
batang lebih ramping daripada lingkar pinggang atlet renang. jati yang tumbuh terhambat kerap
membuatnya ingat pada pohon cita-cita yang sejak kecil tertanam di ladang dada: batang kerdil,
daun mungil, tiada buah meski sepentil.
sementara para sawi, di tanah itu, dengan panjang akar hanya beberapa senti mampu mencapai
puncak hidup dalam puluhan hari. daun-daun muda tengadah seperti tangan berdoa. daun-daun tua
rebah di tanah bagai petualang istirah. sayang, sebelum kembang-kembang sawi lahir, hubungan
tanah dan tumbuhan berakhir. sawi dicerabut. tanah melompong ditertawai kabut. melompong
serupa wajahnya saat segala yang mendatangi hanya singgah beberapa puluh hari, lalu pergi: hewan
atau manusia, malaikat atau hantu, bahagia atau pilu.
2018
2018
Kota lama, kota hitam, malam selalu naik serupa bulan sempatbelas
kita memandang harilalu dari balik jatuhan kersik daun ampelas
ah, lambungku Mangkuto, di dalamnya serasa asam terus diperam.
Kandangpadati, 2013
Kandangpadati, 2013
Nukila Amal
Naga Pop-UP
Nukila Amal
Naga Spektra
menjelma
seekor naga megah
merambah medan tatap mata
memanjanglebar, ragi dan getar
menebar pupa kelabu buta
dari perutnya – penumbra
yang menerakan
ketiadaan sesuatu
dalam segala
(Retak dalam matriks?
Realitas tercabik, tiba-tiba
tampil teramat cacat)
Kuranji, 2013
Padang, 2013
Fitri Yani
Sebuah Pengakuan
2012
Fitri Yani
Malam di Jalan Ali Pitchay
Deddy Arsya
Mengundang Makan
Padang, 2014
Yetti AKA
Kehilangan Langit
Padang, 2014
Fricsha Aswarini
Di Kepala Lima
Fricsha Aswarini
Di Katyn
: Lech Kaczynski
Layangkan sayapmu
di keluasan Smolensk
hingga kabut lenyap
melesat ke hutan
atau larilah ke kapel
mencari pengharapan
Di Katyn
setiap kisah punya makam
di mana kupu-kupu istirah
menunggu kabut lenyap
atau sarang laba-laba penjerat
dan wajahMu
berpendaran
di telaga sukma
Hanna Fransisca
Menunggu Ayah
Singkawang, 2016
Hanna Fransisca
Kangen
: Hian Ho
Jakarta, 2016
Laksmi Pamuntjak
Cerita Perjalanan
Laksmi Pamuntjak
Tentang Cahaya
Asrina Novianti
Ruang Tunggu
hanya igau
radang kenangan
seperti sayap waktu
lungkrah di telapakku
mungkin perlu kusimpan
salur ingatan
kau yang meriang
menembusku
dan pintu ruangan
belum juga terbuka
/2013
Asrina Novianti
Lorong Lelaki
di sana
aku berdiam diri
mengobati kelammu
dan belajar dari setiap gemetaranmu
/plawad, 2013
Gus Tf
Susi Kulit, Susi Nalar
2009
Kurnia Effendi
Pengembara dan Sekuntum Bunga
2019
Kurnia Effendi
Seorang Tamu
2019
Seraya melihat laut yang kayau. Angin bertiup meronai seluruh dadanya. Akar-
akar pandan yang kekar, berluruhan melagukan nyanyian laut yang berhembus
lembut. Selembut pasir pantai yang menyimpan jejak-jejak sepi. Sang puan
melepas kelompangnya dan menyempal menjadi semerbak hibiskus. Tumbuh dan
gugur. Meminang ciuman-ciuman kekasihnya yang asin. Sedang sepasang
kakinya berlarian menuruni bukit, menuju kaki langit.
Gresik, 2018
Bening Siti Aisyah
Otobiografi
Kepada Indah: aku ingin bersua denganmu. Tentu bukan di sebuah tempat yang
indah serupa muara pada matamu. Bukan pula di sebuah tempat yang lebih
nyaman ketimbang pelukanmu. Melainkan di sebuah pawon yang selalu
sederhana dan selalu kita sebut jantung rumah. Kita akan bercengkerama dengan
satuan ayam, belasan daging yang sudah diasapkan, ratusan kacang-kacangan,
hingga ribuan ikan. Tapi ribuan ikanlah yang lebih mengingatkanku padamu.
Ribuan ikan yang habis kau geledah isinya. Ribuan ikan yang tergeletak karena
kalah perang. Mereka harus rela menanggalkan sisik besinya untuk akhirnya
hidup kembali. Kau meriwayatkan padaku: Ikan-ikan itu dulunya pejuang yang
mati sebagai pahlawan di tangan seorang pemukat. Tapi ia tetap berenang bahagia
pada kedalamanmu. Mencari sisa-sisa saat yang kurang dan mendiaminya dengan
bumbu yang selalu mengingatkanmu pada cabai, jahe, bawang, dan daun jeruk.
Mereka bersatu membentuk suatu kesatuan. Mendobrak fluktuasi pada luar
angkasaku. Berpendar dengan aroma yang selalu membuatku lena. Jika kita
membahas ikan tentu aku akan teringat pada pohon waru yang perdu sepertimu.
Kepada Mardi yang selalu lihai dalam beraksara. Aku ingin bercerita padamu
dengan cerita yang tak akan terputus. Cerita tentang seorang anak perempuan
dengan rambut ikal yang mengendarai naga agar dapat mencapai kerinduannya
pada sang rembulan. Kita dapat menebak cerita selanjutnya tentang sang
rembulan yang tak lain adalah ibu kandungnya. Begitu cerita tersebut berlanjut.
Cerita yang tak pernah kita ketahui awal dan akhirnya. Cerita yang akan selalu
kau penggal. Lalu kau kumpulkan beberapa tagmem subjek, predikat, dan
objeknya. Kau kuliti satu per satu dan memberikannya padaku sembari tertawa,
“Hahaha ini dia. Kau lihat. Kau kalah. Kau tak bisa. Kau harus menyerah karena
tak akan menemukan jawabannya.” Kemudian aku mengeja lebih dalam dengan
otak yang mendidih. Lalu kita berdua pun menjadi kera. Aku sebagai kera yang
kalah akan memilih untuk menggaruk punggungmu. Punggung yang luas dan
kuat. Aku pernah mengukur pungungmu dengan jariku. Mungkin aku perlu seribu
jari atau bahkan sepuluh ribu jari. Ah, aku sudah tidak tahu lagi. Karena yang aku
tahu hanya tentang bercerita padamu dengan suara yang keras.
Dan untuk Indah dan Mardi: dapatkah aku tetap mengenang kalian dengan
keterbatasan. Dengan rindu yang selalu mengaksara. Atau dengan cinta yang
selalu beraroma?
Jember, 2018
Mutia Sukma
Pada Tubuh Perempuanmu
Seperti jembatan
Tulang punggungmu yang menonjol
Membelah permukaan tubuhmu
Mutia Sukma
Celan
di rumpun perdu
mimpi sebutir batu
warna jernih pagi
datang kepada tepi
tak berkata,
tercerap cuaca
Iswadi Pratama
Jalan Setapak
di minggu pagi,
orang-orang, sebagian kecil orang di kota ini
merayakan akhir pekan, melintasimu sambil menduga-duga
1 Agustus 2012
Mario F Lawi
Collegio del Verbo Divino
“Siapa gembalamu?”
2017-2018
Mario F Lawi
Seperti Kartago
2018