Anda di halaman 1dari 35

Joko Pinurbo

Celana, 1

Ia ingin membeli celana baru


buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.

Ia telah mencoba seratus model celana


di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.

Bahkan di depan pramuniaga


yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.

“Kalian tidak tahu ya,


aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan?”

Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan,
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”

Joko Pinurbo
Kopi Koplo

Kamu yakin
yang kamu minum
dari cangkir cantik itu
kopi?
Itu racun rindu
yang mengandung aku.

(Jokpin, 2018)
Joko Pinurbo
Belajar Berdoa

Enggak usah crigis.


Mingkem saja dulu,
bereskan hatimu
yang amburadul.

(Jokpin, 2018)

Acep Zamzam Noor


Aku Merindukan Wajahmu

Aku merindukan wajahmu seperti halnya putik bungur


Menanti datangnya pagi. Di pematang aku memetik kecapi
Ketika burung-burung berkicau bersama hangat matahari
Siang bergerak menapaki gunung yang memanjang ke barat

Aku mengenangkan wajahmu seperti halnya bunga kemboja


Rindu pada gundukan tanah. Bukankah cinta dan kematian
Ibarat saudara kembar? Sebelum rembang petang menutup
Rumbai-rumbai kabut mengambang di atas perkebunan teh

Kadang aku melukiskan wajahmu seperti halnya bulir embun


Memberikan tekstur pada daun. Aku menyusuri ladang tomat
Membayangkan segala kesegaran di bumi adalah rona pipimu

Kadang aku melupakan wajahmu seperti halnya kelelawar


Memilih pohon besar. Berbulan-bulan sembunyi di kuburan
Sambil merumuskan bahwa aku sesungguhnya kembaranmu

2016

Acep Zamzam Noor


Amanat Galunggung

Kuikuti langkah kabut yang samar di antara deretan pinus


Daun-daun yang runcing nampak berserakan di atas tanah
Siang terasa lain dengan bulir-bulir embun yang masih lekat
Pada kulit pohon. Galunggung bagai lemari es yang terbuka

Dinding-dinding di sekeliling kepundan gunung seakan


Menunjukkan bahwa magma adalah rindu yang disimpan
Dan akan terus disimpan waktu. Ketika menengok ke bawah
Permukaan telaga nampak hijau di tengah putihnya belerang
Di sini aku ingin belajar pada kelembutan kabut yang bergerak
Tanpa mengusik. Aku ingin berguru pada gunung yang tahan
Menyimpan dan merawat kerinduannya bertahun-tahun

Aku ingin belajar pada kesabaran magma yang tahu kapan


Saatnya harus bicara. Aku ingin berguru pada ketulusan rindu
Yang tak pernah berontak pada waktu yang memendamnya

2016

Afrizal Malna
Apartemen Identitas

Aku ingin bisa melihat angin. Melihatnya. Menggenggamnya.


Menatapnya. Menghembuskan setiap pecahan aku ke aku yang
lain. Biji-biji bahasa berjatuhan. Seseorang melihatku melalui
mata sebuah bangsa dari jendela apartemennya, di jalan Eugene
Sue, telah berlalu meninggalkan yang telah berlalu. Empat
kelompok angin besar, kelabu, bergerak. Membuat perempatan
angin di langit. Kelompok awan putih dibaliknya, menyimpan
perpustakaan Utara dan Selatan. Bergerak dari empat arah. Biji-
biji bahasa memecah identitas, kamus-kamus tercabik, setelah
Perancis dan Afrika. Malam datang bersama suara
ambulan. Kita belajar sendiri-sendiri ketika bersama. Udara dari
tubuhmu membuat biji-biji bahasa tumbuh di atas debu-debu
yang berkumpul di balkon apartemen. Asap tembakau
menjemput seorang penyair yang bermukin dalam tas kopernya.
Burung-burung, anak-anak musim yang setia, menjaganya
dengan cerita-cerita botanikal. Penggaris yang mengukur
kematian, dan pidato seorang pengangguran di kreta metro,
melintasi stasiun Stalingrad.

Apartemen itu berisi:


-Pemberontakan tali sepatu daerah kubusmu
-Slide cincin pernikahan di atas lidah
-Tarian tak selesai Henri Matisse
-Bung-bunga bunuh diri di Saint Muchel, Notre-Dame
-Seorang tua berkulit hitam bicara dengan dua tas besarnya di
Stasiun metro, Duroc
-Kematian post-modernisme dalam aliran keuangan
internasional.

Alarm apartemen merontokkan semua bunyi di dinding, minyak


goreng yang hangus di kompor elektrik. Asapnya mengumpal,
tak bisa kulihat, tak bisa kugenggam, tak bisa kutatap,
menjemput identitas dalam tas koper yang terus bergerak tanpa
rekening bank. Membuat perempatan angin untuk potret-potret
luka setiap bangsa.

Lupakan aku. Lupakan aku, setelah semua kultur membisu.

Afrizal Malna
Mesin Jahit Bayangan

Hello Ulrike Draesner

Malam, sebelum agak malam. Buku-buku mengaborsi suami,


setelah suami mulai kehilangan lelaki. Radius yang tidak pernah
berubah antara daftar surat masuk dan surat keluar. Pisau bedah
di ujung bahasa, botol infus dari balik gerbang Berlin,
mengaborsi lampu-lampu malam. Ukuran kemeja yang tidak bisa
memperbesar bayangan lelaki di luar rumah. Apakah puisi,
tanyamu: di antara kursus-kursus bahasa, memindahkan kultur
kota dari mural East Side Gallery ke tembok yang lain, dan bau
mentega yang menciptakan lidah di antara pisau. Dekontruksi
memori dari rahim ke bekas reruntuhan pesawat. Lebih turun
lagi ke rasa berantakan. Kau rasakan, puisi mengambil jiwaku
untuk mendapatkan bayangan bahasa, ruangnya yang tak punya
luar dan tak punya dalam. Gravitasi cinta yang melampaui benua,
menyentuh seorang anak India dalam pelukanmu. Lebih naik
lagi, kata yang meruntuhkan setiap representasi. Agak malam
setelah malam. Kau rasakan dinding-dinding rumah masih
merasakan setiap memori yang melepaskan diri dari sejarah,
dengan membaca, melalui dan mengalami membaca, jembatan-
jembatan yang mengantar cerita. Apakah puisi, tanyaku: sebuah
potongan tiket kereta di stasiun Beusselstrasse, menciptakan
bayangan angin ke Rosenthaler Platz. Memindahkan puisi antar
benua dari perangkap kata, dari setiap terjemahan yang mencium
bau luka. Aku masukkan lenganku ke dalam bahasa, kau tanam
musim berwarna putih dalam senyummu. Aku masih bisa
mencium rempah-rempah yang melangkah di belakangku,
memunggungi waktu, merayuku antara dekorasi Jawa dan aku
yang diperbanyak dalam mesin foto copy. Malam, setelah
melalui malam. Apakah puisi. Kita potret bahasa. Banyangan
mengelupas. Mengaborsi cahaya dari setiap rahim yang ingin
melahirkannya. Apakah puisi: mesin jahit yang terus menjahit
bayangan antara tubuh dan setelah tubuh. Membuat kobaran
sunyi dalam pakaian yang telah ditinggalkan. Malam, setelah
malam tak lagi di sini.
Aan Mansyur
Barmain Petak Umpet

Kututup mata di depan, atau barangkali di belakang, pohon


mangga dan menghitung satu dua tiga empat lambat hingga
sepuluh. Kubiarkan kau berlari, menemukan jarak dan
tempat sembunyi. Kutahu, di suatu tempat, kau cemas
menunggu.

Rasanya baru dua tiga bulan, bukan sepuluh, anak-anak


belum sempat menggalkan diri dari kita. Tapi, di antara
pohon mangga tempatku terpejam menghitung dan sunyi
tempatmu bersembunyi, telah dibentangkan jalanan. Di

dadanya, orang-orang asing dan mesin-mesin lalu-lalang


lebih cepat dari waktu, saling kejar mencari dan mencari
dan mencari dan mencair jadi apa dan kenapa dan kapan.
Kau, meski tak lagi bersembunyi, tidak juga kutemukan.

Barangkali kau suntuk menunggu, dan aku mulai cemas


kehabisan lagu yang untuk kunyanyikan.

Aan Mansyur
Siput atau Bayi atau Aku yang Tidur

Satu-satunya rumah yang tersisa adalah tidurku. Di luar itu,


badai – dan bayangan-bayangan yang mengejar diri sendiri.
Aku tidak lagi menunggu. Jendela telah kehilangan cahaya.
Langit-langit dan atap dan langit dipenuhi perjalanan dan
ketakutan dan bandara.

Kuinginkan ini: selimut warisan ibuku adalah cangkang


dan aku melunak jadi bayi. Sudah lama aku jatuh cinta
pada hal-hal yang bisa mengajariku mengerti dan berhenti.
Telingaku tersumbat dan lamat-lamat cuma kudengar
kalimat selamat tidur dari dalam diriku yang baru kembali.

Aku siput dan aku bayi dan aku diselaputi tidur yang
damai. Kumakan mimpi-mimpiku: kita ada perih lain yang
kita kira masa depan dan semua yang cuma andai.

Kubiarkan semua bayangan di luar rumahku berlari dan


jatuh menabrak diri sendiri. Ikutlah berlari jika kau tak
ingin ke mana-mana lagi. Di dalam cangkang ini, aku riang
bermain. Alamat-alamat yang tidak pernah kudatangi,
pulau-pulau yang pernah menjauh, pulang satu demi satu
menempatiku.
Kelak ketika bayangan-bayangan itu, dan kau, menyerah
atau mengalah atau gagal mengalahkan diri sendiri, aku
bangkit. Mataku adalah pintu. Bahkan batu-batu akan
memasukiku sebagai bunga atau matahari terbit.

Mardi Luhung
Gresik: Telur Bebek dan Leher

Ada amsal tentang kenangan awal. Kenangan pada jajaran rumah yang
berubin tebal dan bertembok tinggi. Serta patung kilin yang bersiaga di
tempat ibadah. Patung kilin yang menyimpan wujud mustika di delapan-
belas bagian tubuhnya. Juga tentang telur-telur bebek yang tergeletak di
sepanjang got kering sebelah trotoar. Telur-telur bebek yang dipunguti oleh
tangan si kanak. Tangan yang kini telah dewasa. Yang diam-diam juga ingin
memetik matahari sebelum lingsir. Atau mewarnai kulit delima agar tetap
merona. Semerona ibu yang telah jadi bidadari. Bidadari yang setiap bersedih,
berziarah ke makam Tuan Maulana. Dengan air mata berlinang.
Juga dengan kerudung yang berjuntai menawan.

Dan ada amsal tentang kenangan berikutnya. Kenangan pada aroma yang
memberat. seberat napas yang membau sengak. Yang mengingatkan bau
asap yang mengepul dari sekian cerobong. Sekian cerobong, yang jika
gerhana tiba, bergerak dan berjalan tegap. Seperti seregu sedadu yang
berbaris-baris. Berderap. Berderap. Berderap. Dan sesekali memeragakan
kerancakan jalan di tempat. Kerancakan yang membuat permukaan pantai
jadi bergoyang. Sampai tiga ikan buntal yang berenang, pun seketika
membuntalkan perutnya. Sebab menganggap, ada musuh yang akan
menyergap. Musuh yang mungkin terang. Mungkin gelap. Atau malah
mungkin samar. Tapi amat dekat. Sedekat urat leher.

(Gresik, 2016)

Mardi Luhung
Nyala

Di laptop ada yang selalu memanggil nama kita. Dan suara


panggilannya seperti denah rabun. Kadang lurus. Kadang
tebal. Dan kadang tak jelas. Apakah itu garis untuk rel
kereta, arah sungai atau halte bis. Dan di laptop,
sepertinya ada wajah yang nongol. Wajah yang penuh
warna. Dengan rambut kelimis tipis. Terus menyela: Apa
kalian mau menjawab balik atau tidak. Dan menambah:
Sehat juga kan? Memang, ada sebatang lorong. Dan
Wajah yang penuh warna itu berlagak di tengahnya.
Sesekali kukuh berkacak pinggang. Dan sesekali yang lain
pun berlarian ke sana ke mari. Tak lelah menaburkan
noktah pelangi di layar monitor. Agar yang pintar menata
pun dapat menatanya untuk jadi siapa saja. Juga apa saja
yang senantiasa mengawasi tanpa henti. Tanpa kedip. Dan
di laptop, memang ada yang selalu memanggil nama kita.
Dan kita pun jadi terpana, ketika pusat listrik dimatikan.
Tapi layar monitor tetap saja menyala. Dan sebentang
lorong yang ada tadi pun tiba-tiba menyeruak. Gesit, lincah
dan tangkas. Seperti ketangkasan sang tafsir atas
bergulirnya telur-telur unduh yang tak pernah terduga
begitu adanya. Bagaimana ini semua nanti direhatkan?

(Gresik, 2014)

Sapardi Djoko Damonono


Nuh

Nuh bilang, kita harus membuat perahu.


Mimpi kita muntah: banjir besar itu
apa sudah direncanakan sejak lama?
Ambil beberapa huruf yang cekung,

agar kita semua bisa terapung.


Persiapkan juga beberapa yang tegak
dan miring, dan sebuah titik.
Ke mana kita terbawa muntahan ini?

Susun dalam sebuah kalimat yang kedap air


agar kita bisa sampai ke sebuah bukit.
Mimpikah sebenarnya muntahan ini?
Agar kita bisa menelan masa lalu.

Sapardi Djoko Damono


Senyap Penghujan

:Rendra

/1/
Senyap mengendap-endap dan hinggap
di ranting itu. Seekor burung mematuknya –
ia terdengar menyanyikan aroma panda
sepanjang musim penghujan.
/2/
Seekor burung menukik dan hinggap
di ranting itu. Sunyi sembunyi di senyapnya –
terlelap di antara bulu-bulunya.

/3/
Senyap, burung, sunyi, dan juga hujan
melesat bersama aroma yang kebiru-biruan.

Sitok Srengenge
Kata Hati

Kata-kata ini, cintaku, sangat santun memintamu,


sudi mengantar mereka kepadamu
karena rindu dan percaya betapa
hatimu senantiasa terbuka

Sesungguhnya mereka milikmu


bagian paling indah yang, karena malu,
begitu lama sembunyi dan berdiam diri
hingga kaulupa dan muskil kaukenali

Sebagai bunyi dan gambar samar


mereka selalu gusar dan gemetar
gugup-gagu, tiap kali hendak menyentuhmu
tepat di selaput lembut paling peka itu

Sekian lama menanti


berharap datang saat terbaik, ketika kau sedang sendiri,
membentang kalbu sebagai langit yang telak teduh
bagi segugus planet yang menolak luruh

Mereka ingin kembali, turut serta merasai sedihmu


menyentuh yang melepuh, mengelus yang ngilu,
merekatkan yang retak, merawat yang tersayat,
meringankan yang berat

Mereka kadang berkhayal sebagai hujan pertama


yang dengan senang hati menjatuhkan diri dini hari
ketika kau kemarau mengerang dahaga
di antara akar dan sumur mati

Alangkah ingin mereka melihat


tubuhmu yang likat bangkit menggeliat
bersama pucuk-pucuk daun berseri seusai mandi
kuncup-kuncup kembang berganti gaun warna-warni
Sesemarak gelak dan gerak para pencinta
di babak pembuka pesta bulan pernama
di mana nestapa terkapar tak berdaya
dihajar pijar harapan dan cahaya cinta

Maka maklumlah jika kepadaku


(penyair daif ini) mereka minta diantar ke hatimu
Sebab, mereka percaya, keindahan bersemanyan di hati yang terbuka
dan puisi adalah jalan sederhana untuk mencapainya

Sitok Srengenge
Penyihir

Sejauh kau pergi, di mana pun kau kini,


kita berada di bawah lengkung langit yang sama
Riak rinduku melurubi seluruh samudera dera

Tidakkah kau tahu, dalam buku batinku terguris namamu?


Huruf-huruf pucat yang merembaka sebagai nubuat

Kadang, ketika halaman putihku penuh olehmu,


aku ingin meniru pohon yang gugur daun,
mendamba hujan yang meluruhkan kenangan

Sampai jiwaku kuyup, kelopakku kuncup


Sedang kau menjelma gema, menggelimang
kesepianku yang menggeliat gamang

Kata-katamu, kau tahu, kadang bunga biru rumpun perdu,


sesekali belati yang membelai belikat hati
Membuatku mekar, gemetar

Dan bungaku luruh saat belatimu menyentuh


Layu. Luka. Di hatiku kau terpahat, mungkin tak kekal,
tapi biarlah kuingat tanpa sesal

Jika kelak kau kembali,


tiap kata telah memilih maknanya sendiri
Mungkin tak lagi kaukenali

Kau bukan penyair culas, kekasih


Cuma penyihir yang melintas ketika aku ringkih

Atau, kau pengembara yang gampang terkesima


Menyusur lintang bibir bagai alur sungai di padang pasir
Hanyut aku dalam arusmu

Lalu bersama kita menguap sebagai fatamorgana,


mendekap harap sungguhpun fana
Atau terberai jadi kerikil, meratapi yang mustahil
Kiki Sulistyo
Melihat Komet

kukira ia telah yang menempuh separuh jalan


dari tempat keramat ke pusat keramaian
yang kalau siang banyak orang bersaing saling serang
dan malamnya cuma udara bau cuka

saat itu dianjurkan pada siapa saja untuk meminta


agar ekornya yang cemerlang tak tersesat sembarangan tempat
sebab bisa jadi besok pagi ada yang ditemukan mati
tanpa musabab, jadi pengganggu waktu istirahat

kukira ia seperti orang alim, yang lintas sebentar lantas hilang


lalu setiap kami akan bercerita dan merasa paling dekat dengannya
meski di belakang, kami paham setiap bibir punya tabir
selubung rahasia yang terbentang bagai ruang tempatnya sirna

aku melihatnya kini, lagi atau untuk pertama kali


tak ada bedanya, ia sepenuhnya dekat dengan detak nyawa
meluncur di ketenangan yang dalam, masuk ke ceruk rusuk
melingkar di sana bagai ular yang ingkar dari kitab ajar

(Bakarti, 2014)

Kiki Sulistyo
Ajimat Kuku Mayat

mata batu, lenyapkan semua penjuru


burung malam, kurung tiap pejam
ini setapak, buat jadi lunak
ringanlah langkah, pecahlah tulah
penjaga makam, makan malam datang
bunyi kalajengking, denging pucuk duri
sampai, telah sampai
tanah lapis bawah, decis cacing merah
kuku-kuku hitam, ibu kunang-kunang
keruk kian dalam, galian dingin nian
jari pencuri, tergenggam jari penggali
dapat, telah dapat
kentungan sayup, pucuk api meletup
lalu anjing, hijau mata anjing
memanggil, orang-orang memanggil

(Bakarti, 2014)
Riki Dhamparan Putra
Tugu-tugu Kota Bau-Bau

Nanas palsu. Kota Bau-Bau menjelang pilkada


Kalau bersisik katakan ikan, berpayung katakan raja
Jangan kau bungkus dengan umpama
Sebab kalau kau sobek tapi tak menitik darah
Atau bila tampukmu patah tapi tak menitik getah
Siapa yang menanggung rahasianya
Tugu berlumut
Ataukah muka yang masam?

Aku juga heran kenapa pintu bandar


harus dijaga seekor naga
mengapa bukan ubur-ubur
Mengapa tidak membuat bantal untuk mengapung
di atas ombak yang tak pernah tidur

Mimpi pulang ke negeri asal


Melabuh pada terowongan-terowongan runtuh
berisi manyat aspal
penakar logam
kepingan gerabah
lembaran uang kain terselip di antara tumpukan silsilah
di loteng rumah

Silsilah palsu. Di dalamnya hanya ada satu singgasana kosong


Itu pun sebuah tiruan
Agar sesiapa yang duduk di atasnya
Tidak mangkir dari perjanjian yang disurat pada tulang manusia
Disahkan dengan sebuah cap biru dari kapal karam
yang diselamatkan dari perairan Kabaena

Bukan cap yang mengada-ada


Seratus tahun setelah tembok keraton dibangun
La Karambau yang gagah berusaha merebutnya
Tapi ia terusir
Pengikutnya diburu
Satu-satunya yang selamat hanyalah tempat lari
Tersembunyi di balik gua-gua keramat
di bukit Siontapina yang sunyi

Ke situlah sajak ini diantarkan


Orang-orang mendaki tanpa alas kaki
Pondok-pondok dibersihkan
Para tetua mengaruh
di rahim batu yang telah melahirkan raja-raja
dari sebatang bambu di kesunyian hutan
Sajak palsu. Kota Bau-Bau menjelang pilkada
Ratusan tahun lalu aku pernah tersesat
di tengah pesta yang sama

Ngibing semalam suntuk


Kendi perak penuh arak dituang
ke gelas tamu-tamu yang sudah oleng
karena mabuk

2012

Riki Dhamparan Putra


Aroma Dendeng Kotoklema di Rantang Opu Sidiq

Ampunilah aroma belalang di rantang Opu Sidiq


Sebab ia mengandung candu laki-laki
darah laut yang panas
jantung matahari
mata lamafa yang awas membunuh buih
hingga ke batas yang paling jauh

Ampunilah bukit-bukit yang melepuh


gurun-gurun bugil
jalan kampung yang rusak
arwah-arwah yang memberkahi persabungan
dengan ludah sirih dan tuak kecut

Dan di atas semua itu ampunilah garam


Ampunilah buah asam
Ampunilah golok yang mencincang daging di tatakan kayu
Tangan yang melumat bumbu dengan sebuah penggiling batu

Ampunilah menu makan siang kami yang sederhana


Dendeng paus musim lefa

Juli 2013
Inggit Putria Marga
Pengayuh Rakit

sebab segala yang mendatanginya selalu pergi setelah beberapa puluh hari sambil duduk mendekap
lutut di tepian rakit, kepada air sungai yang penuh wajah matahari, pengayuh rakit meratapi
perannya di kelahiran kali ini yang baginya, serupa sepetak tanah yang hanya layak ditanami sawi:
tanah gembur dan berhumus di lapisan pertama, keras dan berbatu di lapis-lapis lainnya.

tak ada tanaman tahunan yang dapat subur di tanah seperti itu. mereka hidup tapi hidup seperti
payung terkatup. pokok jati di belakang rumahnya semacam bukti: belasan tahun akar menjalar,
tubuh hanya mampu setinggi lembu, daun kalah lebar dengan daun telinga anak gajah, lingkar
batang lebih ramping daripada lingkar pinggang atlet renang. jati yang tumbuh terhambat kerap
membuatnya ingat pada pohon cita-cita yang sejak kecil tertanam di ladang dada: batang kerdil,
daun mungil, tiada buah meski sepentil.

sementara para sawi, di tanah itu, dengan panjang akar hanya beberapa senti mampu mencapai
puncak hidup dalam puluhan hari. daun-daun muda tengadah seperti tangan berdoa. daun-daun tua
rebah di tanah bagai petualang istirah. sayang, sebelum kembang-kembang sawi lahir, hubungan
tanah dan tumbuhan berakhir. sawi dicerabut. tanah melompong ditertawai kabut. melompong
serupa wajahnya saat segala yang mendatangi hanya singgah beberapa puluh hari, lalu pergi: hewan
atau manusia, malaikat atau hantu, bahagia atau pilu.

alih-alih menjemput penumpang


di tepi sungai untuk diantar menyeberang
pengayuh rakit terus-menerus meratap
buaya menyembul dengan mulut mangap

2018

Inggit Putria Marga


Minggu Berdinding Ungu

buah busuk pohon hujan yang rontok di semua jalan


menghalangi langkah kami pergi ke taman hiburan.
namun, anakku bukanlah makhluk yang gemar mengubah
hatinya jadi kolam bagi ikan-ikan kesedihan.
tak jadi ke taman hiburan, tidak sama dengan
tidak dapat hiburan.

dengan krayon putih, di keping ungu dinding kamar


anakku menggambar pesawat. setelahnya,
ia menggambar awan, truk tanpa spion dan lampu,
bebek tak bermata tak bermulut, angka 1 sampai 25
bus bertingkat empat, sebilah tangga, serta
jalan naik-turun panjang dan berliku.

dia tidak menggambar ayam, botol susu,


labu siam, kembang kol, klakson mobil
atau palang pintu rel kereta api. sebagaimana
ia tak ingin melihat, mendengar, menyentuh,
dan menelan semua itu
di semua tempat termasuk dinding ungu
di semua hari termasuk minggu.

“aku hanya ingin menggambar yang kusuka saja.”

ia berikan jawaban itu, saat padanya hatiku bertanya


mengapa, bahkan dengan goresan paling semu
tak ada gambar diriku di situ,
tapi mulutku hanya sanggup bertanya
mengapa dia menggambar bebek
bukan menggambar ayam.

2018

Esha Tegar Putra


Tentang Mangkuto

Kota lama, kota hitam, malam selalu naik serupa bulan sempatbelas
kita memandang harilalu dari balik jatuhan kersik daun ampelas
ah, lambungku Mangkuto, di dalamnya serasa asam terus diperam.

Tapi aku serupa orang kena tenung, gerabah-gerabah berjatuhan dari


Pagu kepalaku, segala api dilarikan jauh dari mataku, siapa kaum yang
Membenamkan tinggam ke dalam ususku! Ah, lambungku Mangkuto
tuah siapa pula yang membuat nasi dingin ditelan serasa sekam tajam.

Kota lama, kota hitam, orang-orang berabad memasang perangkap


untuk menjatuhkan kida jantan, menggali lubang untuk merubuhkan
induk harimau, membangun kapal-kapal gadang buat menunggangi
air gila; tapi jantung-hati mereka terus dibuat remuk cerlang suasa.

Kandangpadati, 2013

Esha Tegar Putra


Ombak Laut Sailan

Ombak laut sailan, sibakkan gerbang gelombang


sebab kibaran selempangku akan membuat langit gelap.
Dari pusar arus telah aku tunggangi belasan mambang, telah
aku suruh mereka memanggil segala angin segala dingin, aku
seraya mereka meruntuhkan tebing runcing segala pulau.

Dari gelanggang penyabungan ayam di Sungai Geringging


aku datang buat merompak urat jantung seseorang dari kaum
penggila selawat, kaum penggila nubuat.

“Nan Tongga, aku inginkan seekor nuri pandai bernyanyi


juga sehelai kain cindai berjambul kuning yang tak basah
direndam air, kain yang jika dikembangkan akan selebar
alam, yang jika dilipat seukuran kuku kelingkingku.”

“Tapi Gondoriah, telur burung di sarang manakah yang


telah menyembunyikan cindai seperti itu?”

Ombak laut Sailan, sibakkan pintu gelombang, berilah jalan


bagi para mambang. Maka aku akan tunai sebagai petualang.

Kandangpadati, 2013

Nukila Amal
Naga Pop-UP

Yang paling mencekam di antara para naga seram


adalah naga merah di halaman lima
Di atas kertas ia bangkit
menjulang setegak arca petapa
sendiri di tebing curam tinggi, tanah bertatah
batu-batu mulia bling bling berlian emas nilam

Mestinya telah ia rasakan langit di atasnya


terbuka, namun bukan langit berangin miliknya
saat ia melayang di atas jurang-jurang
melintasi ngarai-ngarai bersungai

Dan tiba-tiba campur tangan ini


Bernafas api, ia maju menatapku
yang menatapnya tak berkedip
Mestinya aku semacam dewa aneh,
monster, gergasi surgawi di akanan
tengkurap mengayun-ayunkan kaki
pulang di ujung sebuah malam
melantur, manis memabukkan

kepayang, kuelus setelapak tangan


sisik taring misai perapian
kutepuk-tepuk menenangkan
betapa kupahami cemasmu
merasakan tekanan langit tiba-tiba
pada ubun-ubun, pada tengkuk,
dipelototi dewa-dewi mengantuk –
monster modern kami

Nukila Amal
Naga Spektra

Di awal tiba, ia cuma sebuah nokttah


(tak penting – satu kata, sekalimat,
Sebelah dagu, tiba-tiba lenyap)
Noktah yang mulai membuka
gulungan dan lipatan, menghamblur
limas pada limas, garis patah zigzag
pendar-pendar perak
kristalin dalam gerak

menjelma
seekor naga megah
merambah medan tatap mata
memanjanglebar, ragi dan getar
menebar pupa kelabu buta
dari perutnya – penumbra
yang menerakan
ketiadaan sesuatu
dalam segala
(Retak dalam matriks?
Realitas tercabik, tiba-tiba
tampil teramat cacat)

Aku memata-matai seisi duniaku


genting gerhana di mata
lengkung naga, masih perak elektrik

Secara agung, ia menyisih


ke cakrawalan paling sepi
mengumpulkan tubuhnya
menggeliat kenyang
dan pergi

Aku memata-matai seisi duniaku


segala sesuatu kembali utuh
pada menit kedua puluh
Heru Joni Putra
Kedatangan Ahmed Kamiel

Akan ada zamannya, ketika diketahui


Bahwa penyair Yori Kayama
Hanya fiktif belaka: ia bahkan tak ada dalam
Sesuatu yang Tak Akan Terlihat.

Lalu orang-orang, dengan menyumpah dalam hati,


Menghapus silsilah
Yang telah dirangkai dijalin-jalin untuknya,
Serta membiarkan Ahli Sejarah meragukan
Catatan tentang dirinya,

Dan dengan tabah, membirukan setiap bait puisi


Yang kata orang ditulis olehnya,
Agar tak lagi terbaca pada langit di pagi manapun.

Lalu akan datang seorang lelaki mengumumkan diri,


“Namaku Ahmad Kamiel. Aku adalah lelaki pengagum jibril;
Kata-kataku, setidaknya, akan separuh benar.”

Orang-orang mengerubuinya, seperti mengerubungi


Panglima perang yang mati-berdiri di medan laga.
“Pada suatu zaman nanti, akan ada sebuah negeri,
Yang mana dalam kitab mereka,
Aku disebutkan sebagai penyair.
Kata-kata dalam diriku bergerak bebas
Berkeliaran tak menentu. Getaran dalam diri kalian
Akan menyusunnya menjadi sebuah doa untuk kita bersama.”
Ahmed bersabda.

Sayang sekali Ahmed Kamiel tak mengendarai kuda,


Sehingga siapapun tak akan membayangkan bahwa ia
Datang seperti seorang ksatria yang tersisa
Dari perang bertahun-tahun lamanya.
Ahmed juga tidak berjalan jauh layaknya musafir,
Sehingga siapapun akan termasuk ke golongan
Orang-orang yang berlebihan
Bila mengutamakan pertolongan padanya.

Lalu padanya, orang-orang segera berkisah


Tentang Penyair Yori Kayama.

“Sesungguhnya ia adalah penyair yang dirajam


Dalam goa Tak ada dan ia adalah pengembara
Yang berasal dari lembah Barangkali.”

Ahmed mendengarkan; dalam mengangguk


Ia menggeleng.
Sekali lagi, tentang Kayama, “Sebenarnya ia hanyalah
Tokoh utama dari sebuah hikayat yang, atas izin Tuhan,
Tak akan sempat tercipta.”

Ahmed mendengarkan; dalam menatap


Ia tertawa.

Kuranji, 2013

Heru Joni Putra


Ahmed Kamiel Jatuh Cinta Lagi

Orang-orang telanjur percaya,


Setelah Mardhatillah atau Ummul, tak akan ada lagi
Yang begitu dicintai Ahmed Kameil.

Tetapi Tuhan mengubah takdirnya sendiri-


Kini Ahmed Kameil mencintai
Batang pisang.

Ahmed mencintai jantung pisang yang busuk di dalam.


Ahmed mencintai buah pisang yang masak di peram.

Ahmed mencintai anak pisang yang ditebas sebelum bertunas.


Ahmed mencintai kelopak batang pisang yang terus meranggas.

Padang, 2013

Fitri Yani
Sebuah Pengakuan

benar, bahwa aku yang lebih dulu menggodamu di bawah pohon


itu. sebab kau musafir kelaparan yang hampir mati berperang
melawan cuaca. dadamu berlubang, aku bisa melihat lorong gelap
sepanjang perjalananmu. aku tak tahu, mengapa persimpangan ini
diciptakan sehingga kita berjumpa dan semuanya bermula,
mengapa aku merayumu berhenti dan berteduh di bawah pohon
rindang. mengapa kau tergoda sehingga tumbuhlah kata-kata yang
menjalar di mata, telinga dan bibirmu. kau sendiri tahu, seberapa
jauh jalan yang telah kau tempuh dan kau memerlukan sesosok
tubuh, untuk sekedar mengusap bulir peluh di keningmu, bahkan
lebih dari itu. aku tertegun heran karena setelah itu kau selalu
kembali mencari-cari tubuh yang pernah memelukmu begitu erat
dan matamu menjadi kian sekarat.

2012

Fitri Yani
Malam di Jalan Ali Pitchay

keramaian yang menarikku dalam alam bahasa yang sukar kuterka


ketika kudatangi kotamu, akan menjadi satu-satunya ingatan yang
membuat dunia, bagiku, menjadi lebih luas dari yang kuketahui.
sudut-sudut kota yang lengang itu akan memulangkan ingatanku di
suatu malam yang lampu-lampunya berwarna biru. juga percakapan
tentang masa lalu usai makan malam di sebuah restoran melayu,
yang kemudian membuat kita sama-sama menyimpan rasa haru
seakan malam panjang tak akan pernah membuat kita kembali
bertemu

lantas kurekam semua lekuk jalan dan kita beranjak meninggalkan


sisa-sisa makan yang membuat perasaan kita kembali menjadi
lengkap satu sama lain. bukit-bukit kapur diterangi cahaya ungu,
jalan-jalan hidup dan ramai dikunjungi tamu, cerita-cerita saudagar
cina dan india tentang negeri perak tersusun si dinding-dinding rumah-
rumah batu. di kejauhan, cameroun highland menghembuskan
aroma daun teh sepanjang higway utara dan selatan. aku
terkesima, kubayangkangetar pertemuan seperti sebuah kebetulan
yang kadang-kadang membuat kita menangis di atas tangan-
tangan takdir

hingga akhhirnya kita akan dipisahkan oleh jalan-jalan dan harapan-


harapan yang membuat kita saling mengingat atau barangkali
perlahan melupakan. maka apa yang tengah kukatakan melalui
sajak ini, barangkali hanya akan menjadi gema di antara ruang
yang terbentang begitu panjang, yang membuatmu sejenak terdiam
sebelum akhirnya rindu menjadi patut diucapkan.

Ipoh-Perak-Malaysia, 17 Desember 2012


Deddy Arsya
Kepak Alir ke Hilir

Menyelam ruku-ruku, asam kandis, jahe, kunyit


kardamanggu, serai, segala bumbu
bertempuk, bersorak…
berpadu dalam gelegak belangamu.

Ikan-ikan merapat di situ, mata jala mengikat, telah kupaku


setiap pintu air, dan gerak kepak ke hilir
telah kuselami setia[ lekukmu
telah kucicipi palung hasratmu

berenang aku di lubuk paling dangkal dan paling dalammu


merentak aku di bukit paling mangkal dan paling curammu

telah menegang kuncupmu


telah menyepak kelambitku.

Menyelam ruku-ruku, asam kandis, jahe, kunyit


kardamanggu, serai, segala bumbu
bertempik, bersorak…
berpadu dalam rubuh-gemeretak dapurmu.

Deddy Arsya
Mengundang Makan

Jadi bagaimana, nasi telah beku di atas bejana


kata-kata telah terkebat bagai buhul di ujung kain

kita masih akan bersiasat dengan lidah yang makin lama


makin terasa majal, dan lutut yang ngilu lagi padat-pedar?

Jadi bagaimana, sendok-sendok telah jadi dingin


dan tikar telah kusut, gorden direnggut-renggut

kita masih akan bersitatap dengan mata yang makin lama


makin penuh pasir, dan kepala yang makin berat lagi pengap?
Yetti AKA
Ingatan

betapa benci aku pada sebuah ingatan


kupikir kalau ingatan sebuah kotak,
aku hanya ingin mengisinya saja dengan macam-macam buah;
stroberi, sawo, apel, ceri, mangga
tapi kau ada di dalamnya
seperti seekor serangga
dengan sayap berdengung-dengung

ah, betapa bencinya aku


membayangkan matamu yang mirip cermin itu
aku berdiri di depannya, diam

Padang, 2014

Yetti AKA
Kehilangan Langit

di sini, kami kehilangan langit


burung-burung terbang dengan kaki kuningnya yang gemetar
menjauh, lalu samar
mungkin mereka tak akan pernah sampai

Padang, 2014

Fricsha Aswarini
Di Kepala Lima

Malam di Kepala Lima


laut bertukar tegur dengan laut gamal
daunnya jatuh pada gelas minumanmu

Kau yang urung menyelesaikan cerita


tentang seorang pria
menghitung hujan di negeri timur
dan bocah yang tertidur
setelah mengingat lambai ayah di perbatasan

Malam di Kelapa Lima


tergenang cahaya kota Kupang
dan tarian yang meniru angin
meniru getir kisahmu
Bayang-bayang pohon gamal
tampak dalam gelas kita
bunga-bunganya terbang
di antara nyanyi seorang nona

Ceritalah, ujarkan segala ingatan


seperti penari kataga
tak ragu dengan parangnya
Di Kepala Lima
Tuanglah riang dalam gelasmu
dan bayangkan diri sebagai pohon tinggi
kelak tumbuh di atas karang terpilih

Fricsha Aswarini
Di Katyn
: Lech Kaczynski

Layangkan sayapmu
di keluasan Smolensk
hingga kabut lenyap
melesat ke hutan
atau larilah ke kapel
mencari pengharapan

Seperti laba-laba meluncur dari sarang


melilit tangan sebuah patung,
mengintai kupu-kupu liar
terbang sendiri di hutan sunyi

Apa yang tersulut dalam benakmu


menuju angkasa Rusia
untuk 70 tahun sejarah kelam
sementara di awan tak tertera tanda bahaya
dan setiap nujum terabaikan?

Apa yang tersisa dari ingatan


menjelang datangnya kematian?
Kenangan klasik di waktu kanak,
masa gemilang saat dewasa
atau ribuan ruh rakyat
yang hendak kau akrabi kini?

Seekor laba-laba tersengat lebah yang mabuk


keduanya mati
tak sempat mengingat pohon pertama
tempatnya dulu dilahirkan
Pada batu dan tebing
tersirat segala kisah
juga senyap suara senapan
dan desing waktu

Melaju di keluasan Smolensk


Kau dengar suara sungai dari kejauhan
Seperti ribuan tawanan perang
menyaksikan cahaya pagi
tanpa rasa sakit
tanpa luapan harapan

Di Katyn
setiap kisah punya makam
di mana kupu-kupu istirah
menunggu kabut lenyap
atau sarang laba-laba penjerat

Wayan Jengki Sunarta


Kampung Kongsi

di belakang Rex Bioscoop


di pusat Kota Sabang
sehampar kampung kumuh
merayakan hidupnya

kuli pelabuhan dari berbagai penjuru


mengadu peruntungan di situ
merajut harapan menebar jala

jalan sempit dan rusak


lorong-lorong usang
menjadi napas sesak
memberkati kampung

angin garam mengibarkan pakaian


bergelantungan di loteng-loteng papan
lelaki tua bermain catur di beranda
perempuan menjemur ikan asin

Kampung Kongsi seperti petak catur


prajurit dan raja seolah tampak sama
mengarungi hidup yang tak terduga
Wayan Jengki Sunarta
Klenteng Hock Siu Kiong

asap dupa menari di udara


mengiringi sepasang naga
mengarungi langit
bertabur cahaya lampion

namun, selalu saja


doa hamba belum tiba
di istanaMu

sepasang patung singa


menjaga gapura
betapa usia
tak sepenuh sempurna
di jalan kembara

doa hamba begitu rupa


berpadu waktu
menjalari bangunan merah

dan wajahMu
berpendaran
di telaga sukma

Hanna Fransisca
Menunggu Ayah

Kecipir tumbuh di pagar, belimbing manis


di tangan gadis. Langit sore turun di dahan,
pohon manggis memanggil angin.

Ada capung bersayap emas, terbang serentak


dari ujung rumputan. Ilalang berbisik meniupkan sunyi,
pada telapak gadis yang kini menangis.

“Pakailah sandalmu, sayang,


sebelum ayahmu pulang.”

Ia menatap ke kejauhan, sayap elang mengitari padang,


menembus bukit di atas awan
mencari mangsa yang kesepian.

“Apakah elang jantan selalu terbang


tak pernah pulang?”
Langit sore kini temaram,
gadis melangkah menuju malam.
Ilalang berbisik bersama dahan,
memandang gadis di ujung jalan.

Singkawang, 2016

Hanna Fransisca
Kangen

: Hian Ho

Ada bau tubuhmu, antara pagar dan daun pintu.


Sebatang bunga liar mungkin tumbuh di situ, menjadi jembatan
musim hujan ke musim kemarau. Hamparan kerikil pasir
dalam ingatan, batu-batu, daun kering, serta angin yang terperangkap
di bawah teras, mungkin semua adalah
wajahmu yang pergi.

Di daun pintu ada cermin waktu yang lapuk,


sinar matahari mengantar sunyi setiap hari. Sejengkal
demi sejengkal jarak, di antara kayu dan paku-paku,
tertulis kalimat demi kalimat, yang bayangannya
memanjang dalam menuju senja.

Ada pemisah antara pagar dan pintu rumah.


Matahari terik, ranggasnya daun, dan perginya
burung-burung menuju jalan
sunyi tanpa suara.

Jakarta, 2016

Laksmi Pamuntjak
Cerita Perjalanan

Tiap perjalanan mungkin bermula


dari tangga

atau dari kaki yang terseret


sepanjang lorong

di rumah nenek yang tua, di mana


pintu terbuka, mungkin ke bayang

& bekas tinta. Ada pediangan dengan


sisa arang. Sering orang tak bisa tahu

mana ruh mana hantu, dan seperti kunci


yang jatuh ke pasir, kita tertegak
ke arah pusaran, tapi lupa seseorang
yang di sana. Nyanyi terjahit pada langit,

jauh sebelum kota-kota didirikan


dan tanda jalan dan jarak dipasang

Bisa saja angin khianat, ketika sinar


memilih celah,

mungkin kita puji Tuhan yang salah


dan hanya ingat apa yang membuat ladang bercahaya

bagian yang lekat pada peta. Kita tinjau bentangan


dari arah kerak bumi, seakan-akan planet ini

hanya tumpahan kosmis yang tak sengaja.


Gunung mengeriput di bawah matahari, dan laut

cuma air yang merembes de dalam ruang.


Tapi akhir-akhir ini panas jadi perak,

ketika pulau tenggelam dan ikan terengah


dalam liang hari yang hitam, yang meranggas tak biasa.

Apapun kisah yang kita bayangkan di jalan ini


terkubur di dada si mati, atau selamat karena bulan

dengan wajah sesat seorang dewi. Begitu rupa kiranya,


hingga halaman yang melompat dari kitab

terasa menyentak lembut, mengisyaratkan sesuatu


yang akrab ke kulitmu: sidik jari ibu, tetes peluh bapak

yang lepas dari leher yang menjulur di garis yang sama,


membawanya pergi ke sebuah tempat,

ke sebuah penjuru, di mana burung-burung


terbeliak, menatapmu.

Laksmi Pamuntjak
Tentang Cahaya

Yang ia percakapkan hanya cahaya.


Ketika ia berikan kepadaku buku tentang seorang penulis
yang mengucilkan diri di rumah rahib Cappadocia,
rasanya ia berharap aku juga akan berpikir
tentang cahaya yang jatuh ke batu-batu tertentu,
di pagi-pagi tertentu.
Baiklah, kataku, tapi warna putih
adalah malam. Bukan matahari yang
mengantarkannya, melainkan caha bulan
pada karang. Ia mendengarkan.

Lalu ia sarankan agar aku lebih menyimak pagi


Anatolia. Sebab di sana ada getar kecil
pada cahaya terang, pohon-pohon birka
berbercak kapur dan coklat muda
yang memangar tebing, burung air yang
meloncat-loncat.
Ketika si penulis di biara itu mati
belum sebulan semenjak ia berikan buku itu kepadaku,
diam-diam ia runtuh.
Lalu ia tulis semacam obituari
yang akan membuat yang mati,
bahkan Narcissus, tersipu-sipu.
Sementara ia menangis dalam kepedihan Virgilius,
aku datang kembali ke jajar sinar
yang jatuh ke dadaku siang itu.
Tiap kali pandangnya menatap sepasang lonceng
di kedua ujungnya, puncak yang lunak
dan menyerah itu,
aku tak tahu adakah ia tengah menikmati
warna jingga gardu-gardu yang menegaskan
pertigaan itu,
atau menjilatkan matanya
ke warna susu, warna bundaran pada menara
dongeng Rapunzel.
Aku tak tahu adakah
cahaya tubuhku yang ia tatap
atau cahaya sekitarku
yang tak ada hubungannya
dengan diriku.

Asrina Novianti
Ruang Tunggu

hanya igau
radang kenangan
seperti sayap waktu
lungkrah di telapakku
mungkin perlu kusimpan
salur ingatan
kau yang meriang
menembusku
dan pintu ruangan
belum juga terbuka

/2013

Asrina Novianti
Lorong Lelaki

aku memasuki lorongmu


berharap betah di getah tahun
membangun pondok
juga sebuah ranjang hangat
merawatmu seperti lingkar mawar

di sana
aku berdiam diri
mengobati kelammu
dan belajar dari setiap gemetaranmu

/plawad, 2013

Gus Tf
Susi Kulit, Susi Nalar

Lorong tubuhmu: daging terbakar menuju padam. Ah,


erangku parau, biru lebam, tersangkut di nganga jeram.

Lengkung batokku: tebal cangkang tempurung batu. Ah,


nalarmu, Susi, geretak ragu, gorong-gorong di kepalaku.

Tulang kayumu: kering berderak melengking tajam. Ah,


igauku galau, layuh-redam, tertatih di bungkuk malam.

Tegak batangku: serat mengeras menahan waktu. Ah,


kulitmu, Susi, lapis demi lapis: terus mengelupasku.
Gus tf
Susi Lubang

lubang dangingnya, kaututup dengan dagingmu. Kau


membara, bilah tembaga dalam dirimu. Gelogoh itu,
air mendidih dingin membeku.* Dada yang tumpul,
raga yang mandul, serat menganga usus mengepul.
lubang dagingmu, kaututup dengan dagingnya. Kau
menyala, pohon kosmik dalam dirimu. Zaqquum itu,
serat menganga lambung memompa. Jantung yang
tumpul, jiwa yang mandul, entah sampai kapan –

engkau menutup Susi membuka: Lubang Semesta.

2009

Kurnia Effendi
Pengembara dan Sekuntum Bunga

Dalam sore semerbak harum taman, aku bercakap-cakap


dengan sekuntum bunga. Diredamnya luka pasa seluruh
kelopak yang bertahan dari empasan musim telengas

“Ingin kuceritakan kepadamu, Pengembara.”

Dan aku bukan pengembara yang setia


Berulang ingkar janji, tak sepenuhnya menempuh
jalan lurus, mencari sumber benih kelahiran dunia:

Sepercik air yang berkilau cahaya


Segumpal tanah yang gembur dan basah
Sedesir angin yang melekatkan hawa dingin
Atau sedenging suara di hening Hira?

Gamang kuhampiri mulut kebun karena sekuntum bunga


menanti penuh harap. Ia bertahan pada tangkai ringkih,
akar pipih, dan rintih lirih

“Ingin kuwariskan kisah kepadamu, Pengembara.”

Dan aku bukan pengembara sejati


Langkahku berat oleh dendam tak terpadamkan

2019
Kurnia Effendi
Seorang Tamu

Kuintai kendaraannya: seekor bintang. Masih


berjejak garis cahaya memanjang ke awal kelam
Sisa gemuruh memasuki celah pintu – memercik latu

Tak sabar kucari tanda itu:


Sepasang mata yang lama tak tidur
karena cinta membuat sibuk lubuk hatinya

Aku tahu, fajar belum sepenuhnya bangkit


Jubahnya masih melindungi bumi yang sakit
Tapi laung iqamat tak mungkin terlambat
meski dibebani kesumat

Seperti sedang memandang sang penjemput,


jiawaku bergetar. “Bolehkah aku minta waktu
sebentar? Bolehkah?
Dalam beku udara aku lolos dari pintu belakang
: Maut yang membentang

2019

Bening Siti Aisyah


Aforisme

Bagai Nuh dengan kapal kayu yang besar,


Mari berlayar bersama, hingga nun ujung dunia.

Sang puan tercipta dari sebuah gelombang yang menggulung. Ia datang


bertelanjang kaki. Bermahkotakan rumput laut yang alum. Lalu duduk di atas batu
besar. Di dalamnya seakan kekasihnya bersemayam. Tertatah namanya dengan
sederhana: Jaka Banyu. Seorang nakhoda yang hilang. Dipenjara oleh laut selatan. Cakrawala
tergelincir. Sembari mengiringi sang puan membaca pembuka surat
dari kekasihnya.

Kekasihku, Sri Wangi, perempuan berbau bunga. Aku akan


berlayar lurus. Melintasi netra. Kelak akan kutemui engkau saat
tangkai-tangkai cemara mulai basah.

Seraya melihat laut yang kayau. Angin bertiup meronai seluruh dadanya. Akar-
akar pandan yang kekar, berluruhan melagukan nyanyian laut yang berhembus
lembut. Selembut pasir pantai yang menyimpan jejak-jejak sepi. Sang puan
melepas kelompangnya dan menyempal menjadi semerbak hibiskus. Tumbuh dan
gugur. Meminang ciuman-ciuman kekasihnya yang asin. Sedang sepasang
kakinya berlarian menuruni bukit, menuju kaki langit.

Gresik, 2018
Bening Siti Aisyah
Otobiografi

Kepada Indah: aku ingin bersua denganmu. Tentu bukan di sebuah tempat yang
indah serupa muara pada matamu. Bukan pula di sebuah tempat yang lebih
nyaman ketimbang pelukanmu. Melainkan di sebuah pawon yang selalu
sederhana dan selalu kita sebut jantung rumah. Kita akan bercengkerama dengan
satuan ayam, belasan daging yang sudah diasapkan, ratusan kacang-kacangan,
hingga ribuan ikan. Tapi ribuan ikanlah yang lebih mengingatkanku padamu.
Ribuan ikan yang habis kau geledah isinya. Ribuan ikan yang tergeletak karena
kalah perang. Mereka harus rela menanggalkan sisik besinya untuk akhirnya
hidup kembali. Kau meriwayatkan padaku: Ikan-ikan itu dulunya pejuang yang
mati sebagai pahlawan di tangan seorang pemukat. Tapi ia tetap berenang bahagia
pada kedalamanmu. Mencari sisa-sisa saat yang kurang dan mendiaminya dengan
bumbu yang selalu mengingatkanmu pada cabai, jahe, bawang, dan daun jeruk.
Mereka bersatu membentuk suatu kesatuan. Mendobrak fluktuasi pada luar
angkasaku. Berpendar dengan aroma yang selalu membuatku lena. Jika kita
membahas ikan tentu aku akan teringat pada pohon waru yang perdu sepertimu.

Kepada Mardi yang selalu lihai dalam beraksara. Aku ingin bercerita padamu
dengan cerita yang tak akan terputus. Cerita tentang seorang anak perempuan
dengan rambut ikal yang mengendarai naga agar dapat mencapai kerinduannya
pada sang rembulan. Kita dapat menebak cerita selanjutnya tentang sang
rembulan yang tak lain adalah ibu kandungnya. Begitu cerita tersebut berlanjut.
Cerita yang tak pernah kita ketahui awal dan akhirnya. Cerita yang akan selalu
kau penggal. Lalu kau kumpulkan beberapa tagmem subjek, predikat, dan
objeknya. Kau kuliti satu per satu dan memberikannya padaku sembari tertawa,
“Hahaha ini dia. Kau lihat. Kau kalah. Kau tak bisa. Kau harus menyerah karena
tak akan menemukan jawabannya.” Kemudian aku mengeja lebih dalam dengan
otak yang mendidih. Lalu kita berdua pun menjadi kera. Aku sebagai kera yang
kalah akan memilih untuk menggaruk punggungmu. Punggung yang luas dan
kuat. Aku pernah mengukur pungungmu dengan jariku. Mungkin aku perlu seribu
jari atau bahkan sepuluh ribu jari. Ah, aku sudah tidak tahu lagi. Karena yang aku
tahu hanya tentang bercerita padamu dengan suara yang keras.

Dan untuk Indah dan Mardi: dapatkah aku tetap mengenang kalian dengan
keterbatasan. Dengan rindu yang selalu mengaksara. Atau dengan cinta yang
selalu beraroma?

Jember, 2018
Mutia Sukma
Pada Tubuh Perempuanmu

Seperti jembatan
Tulang punggungmu yang menonjol
Membelah permukaan tubuhmu

Darahmu yang deras bagai


arus sungai mengantarkan kapal
dan tongkang ke muara
Kali para pemancing yang patah
Tersangkut di rumit urat-uratmu
Menjulur-julur bagai jarang dan pukat nelayan tua

Pada kulit halusmu


Riak sungai naik turun
Tato teratai mekar di bahumu
Seekor katak melompat dari lebar daunnya
Masuk dan menyelami arusmu
yang tampak tenang namun entah di kedalaman

Tubuhmu sungai yang menyempit


Tergerus delta dan batuan gunung
Dadamu kempis
Tersiksa asma dan masa lalu
Isi hati yang tak teraba
Meski permukaannya dapat menjadi tempat bercermin
Memperlihatkan kecipak dan warna-warni
sekawan ikan

Arus yang dalam menyimpan bahaya


Lumpur mengisapnya makin ke dalam.

Mutia Sukma
Celan

Ajaklah aku menjalin tangan kita


jadi jala

sebab ikan bayang hanya akan tersangkut

pada pukat yang besar

sebab jala dan ikan bayang bagai

candu dan ingatan


Iswadi Pratama
Lanskap

di rumpun perdu
mimpi sebutir batu
warna jernih pagi
datang kepada tepi
tak berkata,
tercerap cuaca

di bentang laut malam


bulan berenang
cahaya keperakan
kegelapan pecah
empasan gelombang
sayap-sayap api

lalu biru kembali


seperti pagi.

Iswadi Pratama
Jalan Setapak

engkau jalan setapak di pinggiran tanjungkarang


meliuk di pinggang bukit, lempang di landai pantai
rumpang-lesuh di kampung kumuh

di minggu pagi,
orang-orang, sebagian kecil orang di kota ini
merayakan akhir pekan, melintasimu sambil menduga-duga

seberapa dekat ujungmu pada tanjung


seberapa hampir tubirmu pada pasir
seberapa hirap harapmu pada lanskap

tapi bagi para peronce perih


engkau tak lain rima di runcing lidah
syair yang gampang menggerung getir

umpama buku, sampul mereka kuning belaka


terlalu ricu pada sandi sebab takut terduga
bila luka, merah mereka meraih rona

maka datang lagi aku ketika mereka lelah-jemu


di hari-hari sibuk, di terik tarikh
mengetam kerak ngilu sekujurmu
engkau jalan setapak yang mengantarku
ke hutan di pinggiran tanjungkarang
hutan yang belum pernah mereka temukan

1 Agustus 2012

Mario F Lawi
Collegio del Verbo Divino

In principio erat Verburm,


et Verbum erat apud Deum,
et Deus erat Verbum,
(Ioan, Et)

Dari tempat itu seorang pastor Styria dikirim


Ke sebuah tempat di ujung dunia

Seorang bocah dari ujung dunia


Datang ke sana, di kemudian hari,
Mencari kata pertama yang dilupakan
Ketika si pastor meletakkan semua
Ingatannya di lembaran-lembaran kertas.

“Tak kami kenal huruf,” katanya


Kepada si pemimpin biara, orang yang
Menjemputnya di stasiun metro, dan
Menjamunya dengan pasta, parutan keju
Dan prosciutto.

“Tapi engkau membacanya dengan baik,”


Ujar si pemimpin biara menatapnya
Setelah menelan sepotong semangka.

“Ia berusia sebaya dirimu ketika diutus,


Dan kau tahu, selalu tidak mudah meratakan
Jalan yang bergelombang. Di sana, pada masanya,
Kupikir, bahkan belum ada domba untuk dicari.
Lihat dirimu, kau seekor domba sekarang.”

“Kami tak perlu menjadi domba


Jika hanya dibutuhkan untuk tersesat.”

“Siapa gembalamu?”

Bocah itu coba menebak, apa kemungkinan


Jawaban yang diberikan Yesus kepada Pilatus
Ketika pertanyaan tentang kebenaran belum
Sempar ia jawab, Pilatus malah keluar menemui
Orang-orang Yahudi dan mencuci tangannya.

Belum ia temukan kata pertama, tapi begitu


Banyak pertanyaan lain memenuhi kepalanya.

2017-2018

Mario F Lawi
Seperti Kartago

buat Sitor Situmorang

Bahagia, o bahagia berlimpah, seandainya kapal-kapal


Troya tak pernah menyentuh pantai-pantai kami!
(Vergilius, Aeneis, buku IV, baris 657-658)

Seperti Kartago, habis dihancurkan,


Kulihat Dido mengarahkan pedang putus asa
Ke batang lehernya sendiri,
Tempat suara hilang tak kembali.
Adakah kesalehan Aeneas memancar dari sana?

Seperti Kartago, dibajak lalu tandus digarami,


Apakah yang mesti Vergilius katakan kepada si malang,
Yang dadanya berlubang ditembusi pedang,
Saat sepasang mata beradu sebelum angin melenyapkan pandang?

Adakah Kristus bagi si perempuan yang dirajam?

Seperti Kartago bagi Roma, siapakah lawan, siapakah kawan


Bagi Kristus ketika si mempelai mengabaikan derita kekasihnya?
Apakah cinta jika tak ada bahagia?

2018

Anda mungkin juga menyukai