Anda di halaman 1dari 23

Pencuci Malam

: pencari sunyi yang berkawan dengan aroma kopi



berapakah malam yang kau pinta
hujan yang turun adalah penyeduh ilusi
berapakah sunyi yang kau rupakan?
gerimis adalah penggoda malam-malam kesepian

sebuah tempat dan sunyi kau rebus demi dahaga
yang menahun
dalam kotak-kotak kamar
hitam dan putih membelah halaman rumah tua

berderet tebal halaman buku
di atas rak meja masih tertata juga
belum sempat menguliti isi dari pada daging
kita, segumpal daging
seonggok dosa dan doa mencekam
sesudah menyeduh teh panas atau kopi yang
membarakan jantung
sebatang demi sebatang jadi asap lenyap di udara
begitu saja
kamu kumandangkan larik-larik resah dan bungah
berharap pada tangkai-tangkai yang bertumbuh
jadi buah-buah rindu
pada siapa kau akan menjaga dan meminangnya?

Jakal KM 14 Yogyakarta, 01 Mei 2012
Ekohm Abiyasa, Malam Sekopi Sunyi

Sepucuk Pagi dan Mimpi Beku

/1/
merengkuh riuh napasmu
hati yang membelukar
semak semakin liar

ombak menepi di lautmu yang cemar
perih
rindu pun retak

aku merindu kisahmu yang hingar
merangkumnya di belantara dunia yang berkelakar
semakin derap kusapa bayangmu

kapal telah lepas jangkar
dan dadamu membekas memar

Ruang Maya,Jakal KM 14 Yogyakarta, 28 Desember 2011

/2/
jadi tentang dingin rindu
yang
ketika kau buka pintu
udara berhembus sejuk
di dadaku
dan
pula kisah semalam
ada geletar darah yang menggebu
ini makin membunuhku
rindu pilu

Ruang Maya,Jakal KM 14 Yogyakarta, 10 Juni 2012
Ekohm Abiyasa, Malam Sekopi Sunyi


Riwayat Sunyi

riwayat yang hilang dan setumpuk catatan usang
menggenangi mata
berserakan!

kertas-kertas dan abu bekas pemujaan semalam
tentang dunia ilusi yang melenakan
batu-batu bersimbah tinta
mengarsir sendiri pada nganga luka
semua ada catatan meski tiada berguna lagi
namun, mungkin nanti ada saatnya membuka
kembali sejarah dan riwayat-riwayat itu
setelah sekian tahun terpendam dalam tanah liat dan
gersang gurun berpasir darah
kembali pada jalan masing-masing guna menghisap
dosa dan kesalahan
persembahan tak akan sia-sia meski telah
dicampakkan

karena kita manusia
kita manusia

membekukan dan mencairkan
setiap kenangan adalah makna
saling bercerita satu sama lain
apakah yang kau punyai selain cinta yang semu
belaka
dan apa pula yang aku bisa selain kesetiaan tiada
tara
meski pula terkalahkan
mungkin hanya bualan saja
tak perlu ada usap derai air mata atau malah
menertawakan kebodohan diri
seumpama rumput itu berhenti bergoyang
buat apalagi tumpahan cerita
kubuang saja dalam tong sampah biar membusuk
lekas
duka yang luas, luka yang panas

lekas
lekas bias
lekas ampas

kembali membekukan kenangan dan air mata
matahari tiada lelahnya menertawakan kesendirian
boleh aku pinjam bahumu sejenak saja
ada racun di mataku, silau dan bercak bergantian

ah, robek saja mukaku
aku (tak) pernah mati
menyertaimu dengan segumpal kesetiaan

Jakal KM 14 Yogyakarta, 01 Juni 2012
Ekohm Abiyasa, Malam Sekopi Sunyi


Memesan Sunyi

kemudian mengguling-guling memesan sunyi
suara parau dari lubang hidup yang tertera di dahi
mengejang pekat rerumputan bergidik
merdu lirih kau sampaikan salam pada angin
dan suara-suara masih serak

kau titipkan juga segepok rindu dalam kepul asap
yang tertiup
tak ada alasan untuk menggelengkan kepala

oh, marilah kita memesan sunyi lagi
aku rindu memegang akar yang menjuntai dari
kepalamu
aku tanam dalam kerut dada yang kasat

oh, marilah kita menenggak aroma keheningan lagi
aku resah menggapai tangan yang terkulai ingin
memelukmu
di ujung sesuatu, yang aku ragu menyebutkan nama
apakah yang tepat

dan suara-suara masih serak
aku pun demikian menitipkan jua segepok rindu
dalam kepul asap yang tertiup
tak ada alasan untuk menggelengkan kepala

Karanganyar-Solo, 06 September 2011
Ekohm Abiyasa, Malam Sekopi Sunyi


Melankoli Penikmat Sunyi

segumpal asap dan melankoli penikmat sunyi
hidup bukan lagi soal kata-kata belaka gih
ada garis lain yang terbujur menanti
dalam spektrum hitam dan putih*

sekerat daging dan tumpukan ludah
semakin pudar gelap dan bias
urusan rejeki bukan soal mudah
mesti berpayah tanpa menyerah lekas

Jakal KM 14 Yogyakarta, 19 Juli 2012
Catatan: * Meminjam dalam lirik lagunya Koil,
Kenyataan dalam Dunia Fantasi

Empat Sajak buat Pemburu
Kata dan Pelarung Sunyi
: Jeni Fitriasha

/1/ Gelisah Pemburu Kata
gelisah merah membawa hujan menyentuh tanah
lalu terdiam lelah
memburu deru yang patah

benar, lelah jua daku memburu
dalam daftar menu perburuan panjang musim yang
tak menentu kini
meski lelah telah memaku bahu
kuyakinkan diri tak bisa berhenti di sini
hujan yang sempat bersemat cuma sebentar saja
melumat debu-debu
dikau hey nona perajut butiran kata!
tolong sediakan karung yang besar buat menampung
pilu

berjalan berkerat diri menuju haluan
menuju arsiran debu-debu yang beterbangan

Ruang Maya, 31 Juli 2010

/2/ Ruang Sunyi Untukmu, Jee
ruangku sunyi
ruangmu pun terlalu sunyi ternyata
ada sunyi di setiap diri kita

hariku sunyi
harimu pun terlalu sunyi untukku
hari ini, bertambahlah kesunyian
: yang kau punyai

Ruang Maya, 03 Juni 2011

/3/ Angin dalam Darah
ada seutas tali mengikatkan alunan napas pada
derap-derap tempo mata
memicing seperti anggur yang merasakan kepahitan

ada yang tertawa
dia bersembunyi dalam melodi darah
di setiap lekukan membulat kenyal mengental
daun-daun berkelakar, disambut angin buat kita
kumalkan di setiap lekuknya

Ruang Maya, 06 September 2011


/4/ Aku Pinjam Napasmu Sejenak
aku tak bisa mencuri napasku sendiri, terlalu sesak
mendesak-desak
aku ingin meminjam napasmu buat kujelajahi
sejenak
ruang yang kau berikan; yang luas
kemudian aku singgah di pelataran senja yang jingga
sambil menahan napasmu yang wangi
lalu kita termangu akan kecerobohan kita
atau memang itu sudah tertulis dalam kitab di atas
sana

kita memungut sisa-sisa hari yang menyesakkan
dalam kegalauan yang tidak bisa lagi dirasakan
kita sama-sama terkulai
malam hitam yang serasa neraka
kita tidak bisa meminta napas lagi pada Tuhan
kita telah menghilangkan napas-napas itu
kita hanya berharap selesap bayang yang menjelma
napas-napas kita

entahlah sepertinya telah lelah sangat mengejar
bayang itu
kembalilah napas, aku hanya ingin menikmati
sejenak saja
bersama tetes-tetes air penyesalan atau hanya gurau
belaka
menipu kepada mata yang tak terdeteksi oleh rasa
kita yang mudah dicuri oleh senja
kemana lagi malam ini menumpahkan hasrat
sebab napas kita telah terenggut
di ruang sunyi ini kita menabur duka pekat
sebab malam akan menikam kita dengan cengkeram
maut

dan dengan segala keangkuhan dia tertawa
dan dengan segala angkara muntahkan murkanya
dan dengan segala duka benamkan air mata nestapa
dan dengan segala hitam menancapkan cakar-
cakarnya
: ke dalam sukma yang terdalam

sepertinya kau takkan kembali, hai senja
kukira siluet indahmu menyimpan kisah manis
kukira tubuh ini takkan bertahan lama
siluetmu yang menggigilkan tubuh ini; tragis

luka-luka yang menancap seakan kekal kita rasakan
berdua
mata kita semakin lelah menangkap gelap
telinga kita semakin tuli menyerap bunyi
lantas kita hanya bercakap pada diri masing-masing
malam semakin cepat mengelam diri

kau, mendekatlah
memeluk erat sisa-sisa kenangan pahit ini
sampai bertemu di hidup yang akan datang
air mata yang sempat mengalir berhenti
ada secercah harapan di ufuk timur
kita masih berpagutan sunyi
karena duka semalam tak kuasa kita bendung, tak
kuasa kita genggam
perjalanan ini belum usai dan kita saling memagut
pada ketakwarasan ini

Ruang Maya, 25 Desember 2009
Ekohm Abiyasa, Malam Sekopi Sunyi


Ruang Sunyi, Distorsi Rindu
: Ibnu Purdiavril Nugroho (Sinyo April)

serupa apa rindu yang kita buat
bermalam-malam sunyi kadang kita renggutkan
denting-denting sunyi

dan kepul asap secangkir kopi yang melekat
kita anyam puisi yang merona
di dalam rongga dada yang kasat

Ruang Maya,Karanganyar-Solo, 25 November 2011
Ekohm Abiyasa, Malam Sekopi Sunyi


Adakah Sunyi Lagi

semalam sunyi mengepung diri
pada keping sunyi
hampir hilang
jejakmu selalu terpatri
senyummu abadi

serona ini
senja menyapa lagi
di kebalauan petang
semakin rindu lagi
semakin sirna diri

Jakal KM 14 Yogyakarta, 30 Mei 2012
Ekohm Abiyasa, Malam Sekopi Sunyi



















Kwatrin-kwatrin Pagi di Bali

(1)
Matahari bangkit di laut Jawa
Wahai! Matahari siapa pula?
Baru kemarin ia tenggelam di lepas Kuta
Sambil meliak-liukkan pohon-pohon kelapa


(2)
Mula-mula fajar cerah dingin di tanah
Membagikan uapnya ke pasir yang ramah
Tapi pantai belum terjamah kaki resah
Bocah bermain dan para turis yang singgah

(3)
Semalam laut mencucikan pantai riam
Kutahu, bangkai ayam & bunga korban
Tapi bau amis sampan & jala para nelayan
Tertambat di pasir. Angin mengusir ke
pegunungan

(4)
Kau menguap melepaskan sisa kantuk
Pada riak-riak kecil air yang lengang
Kau merentak sia-sia. Kau gapai langit utara
Di batas matahari berkain sarung lurik-jingga

(5)
Merentang tangan ke laut yang terbuka
Tertangkap kepenuhan hidup dalam rasa
Tapi tak kita tahu, pisau-sunyi terbawa
Kelak, ia menggoresi tulang-tulang iga hampa

Kadisobo, 25 April 1987
Linus Suryadi AG., Rumah Panggung


Gerimis
I
Seribu gerimis menuliskan kemarau di kaca
jendela
Basah langit yang sampai melepaskan senja
Bersama gemuruh yang dilemparkan jarum jam,
kata-kata
bermimpilah bunga-bunga menyusun
kenangannya
dari percakapan terik dan hama

Kau toreh bibirnya yang merkah, kata hama
Dan kuhisap isi jantungnya yang masih merah

II
Kenapa ia tak terkulai
dan masih bertahan juga
Dan bersenyum pada surya
yang mengunyah-ngunyah air matanya

III
Untukku ingar itu pun senantiasa menyurat
Atau mimpi
Tapi angin masih saja menggigil
mendesakkan pagi

IV
Tuhan, kau hanya kabar dari keluh

V
Burung-burung pun
asing di sana
karena jarak dan bahasa

1971
Abdul Hadi W. M.,
Meditasi

Kebiasaan Kecil Makan Coklat

Aku tak suka kakimu berbunyi.
Ini coklat, seperti cintaku padamu.

James Saunders membuat drama dari kereta dan
permen coklat di situ, menyusun persahabatan
dari orang-orang yang tak bisa saling
menemani: Kita adalah kegugupan bersama,
sejak berusaha mencari arti lewat permen
coklat, dan kutu pada lipatan baju. Jangan
menyusun flu di situ, seperti menyusun jendela
kereta dari dialog-dialog Romeo. Tetapi Suyatna
ingin menemani sebuah dunia, sebuah pentas,
dengan dekor dan baju-baju, pita- pita pada
jalinan rambut sebahu.

Tak ada stasiun kereta pada kerut keningmu,
seperti kegelisahan membuat pesta di malam
hari. Lihat di luar sana, orang masih percaya
pada semacam kebahagiaan, seperti
memasukkan seni peran dalam tas koper. Tetapi
kenapa kau tinggalkan dirimu dalam toilet.
Jangan ledakkan sapu tanganmu, dari
kebiasaan kecil seperti itu.

Aih, biarlah kaki itu terus berbunyi, makan
coklat terus berlalu, kutu-kutu di baju, cinta
yang penuh kegugupan ditonton orang. Tetapi
jangan simpan terus ia di situ, seperti dewa-
dewa berdebu dalam koper, berusaha memberi
arti dengan mengisap permen gula.

Ini coklat untukmu.

Jangan mengenang diri seperti itu.

1994
Afrizal Malna,, Arsitektur Hujan


Mesin Penghancur Dokumen

Ayo, minumlah. Tidak. Saya tidak
sedang es kelapa muda. Makanlah kalau
begitu, tolonglah. Tidak. Saya tidak
sedang nasi rames. Masuklah ke kamar
mandi saya, tolonglah kalau tidak haus,
kalau tidak lapar, kalau bosan makan.
Perkenankan aku memberikan keramahan
padamu, untuk seluruh kerinduan yang
menghancurkan dinding-dinding egoku.
Bagaimana aku bisa keluar kalau kamu
tidak masuk.

Kamu bisa mendengar kamar mandiku
memandikan tata bahasa, di tangan
penggoda seorang penyiar TV.
Perkenankan aku membimbing tanganmu.
Masuklah di sini yang di sana.
Masakini yang di masalalu. Masuklah
kalau kamu tak suka tata
bahasa. Tolonglah kalau begitu, ganti
bajumu dengan bajuku. Mesin cuci telah
mencucinya setelah aku mabuk, setelah
aku menangis, setelah aku bunuh diri
12 menit yang lalu. Bayangkan tubuhku
dalam baju kekosongan itu.
Tolonglah bacakan kesedihan-
kesedihanmu:

Kemarin aku bosan, hari ini aku bosan,
besok akan kembali lagi bosan yang
kemarin. Apa tata bahasa harus diubah
menjadi museum es krim supaya kamu
tidak bosan. Tolonglah. Semua yang
dilakukan atas nama bahasa, adalah
topeng api. Pasar yang
mengganti tubuhmu menjadi mesin
penghancur dokumen. Tolonglah, aku
hanya seseorang dalam prosa-prosa
seperti ini, seorang pelancong yang
meledak dalam sebuah kamus. Sebuah
puisi murung dalam mulut mayat seorang
penyair.
Tolonglah, tidurkan aku dalam
kesunyianmu yang tak terjemahkan. Mesin
penghancur dokumen yang sendirian dalam
kisah-kisahmu.
Afrizal Malna, Arsitektur Hujan


Kamuflase

Jangan ganggu aku menjaring misteri
di awang-awung berloncatan malaikat
kepaknya senandung keabadian
air pegunungan membasuh resah

Kutangkap senyap
senja lenyap didekap gelap
sisakan sesak bumi
yang penuh kerak hati

mengendarai duka terbang di awang-uwung
menuju rimba semu
rumput-rumput hijau berbunga pisau
menggores ruh purba
berpijar lukanya

1992
Bambang J. Prasetya, Tanah Suluk Perdikan




kawat telepon. Hubungan gaib antara kita. Sebaris
angka
dan selepas apocalypse now engkau membereskan
ranjang

aku suka kamu katamu
sungguh? bisikmu

ruang yang mengurung itu bermakna sandang
pangan
waktu dan cinta pun berdenyut
sendiri sendiri sendiri sendiri

aku akan menelepon katamu
cerewet! teriakmu

menagement hotel menghadirkan sarapan. Telor
dadar dan kopi di dinding. Siapa yang iseng
mencatat
nama nama nama nama nama nama

saat pun usai. Mengapa
tak ada yang tersisa?

1980
Beni Setia, Legiun Asing

gedung-gedung menyuruhku mencari hawa
segar dan belukar buat kulit. Jalanan
merampas waktu, menghancurkan teduh

kapan kita bisa bercakap? katamu di telepon
lucu! Bukankah kita sering ingin sendiri?
bebas ke sana bebas ke sini. Bebas ber-apa

tapi kita ingin apa? bisikmu. Bar dan diskotik
gereja dan pendeta dalam batin. Pesta-pesta
adalah upacara pertobatan

lengang dalam kepekakan. Kapan katamu,
kita bisa bercakap. Lucu!
: apakah itu perlu?

1982


pohon-pohon menggosok-gosokkan kulit musim
dingin
riap pucuk-pucuknya. Rontok kuning-kuning
daunnya
bayang-bayang, seram, mengancam

jalan yang panjang, kata lelah, ya, apa
namanya?
Dua-puluh satu tahun dihabiskan untuk mencari
Bertanya-tanya -- berulang-ulang ditempeleng bosan

rumah-rumah menyimpan ramah. Wahai, lengking
bayi
dan erang ibunya. Runcing-runcing cucuran hujan
pening berseliweran. Berseliweran

nvanvikan sebuah samba, kata arak. Mobil dan
motor
meraung di tikungan. Pelacur sakit selangkang batuk
: siapa berjejer di ujung gang?

pedang panjang! Angin musim dingin menggelisir
Tuhan!
-- aku masih ingat kamu. Heran

1982
Beni Setia, Legiun Asing

seperti baru kemarin aku menjejakkan kakiku
pada lumpur yang kini kekal di museum
5.000 tahun yang lalu di Mohenjo-Daro
tidak salah lagi
dan seakan-akan setiap 100 tahun aku lahir
di tempat lain dan mati
di tempat lain lagi. Senantiasa
tanpa sadar

melakoni jalan-jalan serupa, menempuh jalinan
yang sama. Menuruni jurang, memanjat
tebing. Melayari laut Selatan
berulang-ulang, dan senantiasa dikurung
lengkung langit. Menyerah dalam lelah,
mati dan lahir lagi di tempat lain
dan kembali ke sini dan kembali berbuat
begini. Dengan tanpa sadar

dunia ternyata cuma dirambati ketidakmengertian
tubuh hancur dan utuh lagi. Roh dikumpulkan
di pinggang Adam. Termangu dan dungu
buta dan pekak oleh denyut waktu
terpisah dari segala peristiwa, terpisah
dairi setiap ingat. Menggelepar dalam ruang
sempit. Terkapar
mabuk kekinian

kita dikurung dalam peristiwa dan ruang
yang melulu itu. Alpa dan tak mau tahu
: tidak diberi tahu! Diikat dan dibimbing
naluri tunggal, dan senantiasa berbuat
sama. Dijebak fatamorgana, dan sadar
kita tercecer-cecer. Lesu. Buntu
tak mampu menyimak
Sejarah Kemanusiaan

1983
Beni Setia, Legiun Asing

kita tidak sedang menunggu. Lepas dari kefanaan
dan meluncur masuk keabadian. Meski mungkin
akan tetap menderita. Senantiasa, di sini,
dalam kekal. Kita tidak hidup
dalam waktu. Kita tidak dipertemukan
oleh umur oleh waktu. Oleh saat yang sama
di sini di dunia. Kita diikat ruang
dan jarak. Keterkurungan
dan keterpencilan
dan lambaian
kebersamaan

mari kita rubuhkan benteng, mari kita bakar
pagar-pagar. Jalan-jalan berentangan, membentang
hingga seluruh hamparan senantiasa bermula
dari manusia dan berakhir pada manusia
dan berjuluran ajakan dan berjuluran
keakraban. Mari kita melabur dinding
dengan warna kuning gading
dengan warna hijau muda. Dan bukan
warna merah, atau putih, atau hitam!
mengubur kunci dan grendel. Melebur besi
dan menjadikannya genta
kumandang bening
dentang kasih
setiap saat

senantiasa tersenyum. Senantiasa menyapa
dan mengajak singgah. Menunjuk istirah
dan membicarakan pekerjaan
bersama demi kebersamaan
bersama-sama
Beni Setia, Legiun Asing



Syair Kesedihan

Kusadari malam itu, matamu kata-kata.
Pohon cemara sendiri dalam hujan,
mengubah kelopak-kelopak airmata jadi
permainan cahaya.

Aku melihat seorang anak perempuan pada
matamu yang ragu.
Mencoba helai demi helai sayap rapuh kupu-
kupu;
bermimpi menyihir batang cemara
jadi sepotong coklat raksasa.

Hidup dan mati seorang penyair berkawan kata-
kata.
Kata adalah ruh dan keajaiban;
keriangan dan kesedihan.

Sebab matamu kata-kata
malam itu, aku menjadi seorang pencinta.

Kutanggalkan tubuh penyairku dan kuciumi
wangi
kerudung rambutmu.

Dari dunia yang murung,
Zamzam berkata, "Penyair tidak sedih karena
ditinggalkan."

Tidak. Penyair adalah pemburu kesedihan.

Bagi penyair, kesedihan yang sempurna
sorga yang dijanjikan.

Hanya pencinta yang tidak pernah bersedih
karena ia tahu kelak akan ditinggalkan.

Seorang penyair dan seorang pencinta
mengembara dalam tubuhku.

Maka biarkan
kuiris matamu dengan puluhan kecupan.

Lukai aku dengan kesedihan.

1996-2006
Cecep Syamsul Hari, 21 Love Poems


Senja di Pelabuhan Kecil
Buat Sri Ayati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau
berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak
elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa
terdekap.

Chairil Anwar, Deru Campur Debu




Ada Tari dalam Diam

Napasmu yang ditahan pohon-pohon kabut
mencampakkan bercak-bercak ke langit senja
dan bunga-
bunga yang mencoba baca jadi buta
Tangis pun menjadi pohon cuaca yang
melindungi tugu
garam yang segera akan cair mendengar lagu
aneh dari
zaman Puangnge ri Lampulungeng
Kita memang bukan siput, lumut dan rumput,
tapi serasa
sehati dengan mereka, hingga kecut asam yang
melekat di
lidah mereka kuterjemahkan dengan bahasa
cambuk dan
pisau.
Bayang-bayang yang bertumbangan di ketiak
ilalang diam-
diam menyemaikan bintang pada coklat bumi
yang bisu.
Menari dalam diam tentu ada panen menanti di
belakangnnya
Ada

(Puangnge ri Lampulungeng: orang pertama
yang berkuasa di daerah Wajo)
D. Zawawi Imron, Berlayar di Pamor Badik

Pong Tiku

tak kuhitung
berapa awan yang gugur dan keningmu
tapi gunung-gunung yang pernah kau taburi
rindu
masih tetap menyimpan madu

kutahu kini engkau melangkah
memahat jejak di batu-batu

dari tongkonan ke tongkonan
senyummu menyiratkan gelombang karang
jadi harapan kerbau-kerbau
yang rajin mencangkul walau kemarau

hutan-hutan itu
masih terasa istanamu saja
karena kekhidmatan alam
punya kemerduan lagu yang amat dalam

pertemuan ini hanya sebuah ketika
bintang demi bintang akan tenggelam
sedang sorot matamu tajam
senantiasa mengintip
dari sela-sela hujan yang disiramkan matahari

D. Zawawi Imron, Berlayar di Pamor Badik

Hanya Seutas Pamor Badik

Dalam tubuhku kaunyalakan dahaga hijau
Darah terbakar nyaris ke nyawa
Kucari hutan
sambil berdayung di hati malam

Bintang-bintang mengantuk
menunggu giliran matahari
Ketika kau tegak merintis pagi
selaku musafir kucoba mengerti:
Ternyata aku bukan pengembara

Kata-kata dan peristiwa
telah lebur pada makna
dalam aroma rimba dan waktu

Hanya seutas pamor badik, tapi
tak kunjung selesai kulayari

D. Zawawi Imron, Berlayar di Pamor Badik


Ketemu Juga Akhirnya

kucari sosok tubuhmu
pada bias sukma di langit
meski langit tak mungkin secantik kenangan

nyatanya kau termangu di tikung sungai
merenungi percakapan daging dan tulang

ketemu juga akhirnya
bayang-bayang yang akan kekal
terkatung pada ranting penyesalan

kalau besok kubangun bendungan di sungai
hijau
maka air harus mengalir
menyusul roh-roh yang belum pulang

1979
D. Zawawi Imron, Bulan Tertusuk Lalang

Potret Diri

Inilah aku
Lahir dari kawah masa lalu di daratan miring
Sebelum tumbuh biji-biji salak pondoh

Matahari tak selamanya sengat
Untuk kemarau awal musim tanam tembakau

Aku lebih suka langit yang terbakar
Lebih suka minta hujan bersama para hewan
Ketimbang menjadi tadah hujan buatan

Aku suka sawah. Benci hama tikus, wereng, dan
barisan kera
Tapi tak sanggup menolak apalagi mengutuknya
Sebab aku dan para tetangga selalu belajar
sbagai hamba

Selamatan adalah bahasa hari.
Mengepungaminkan tumpeng
Adalah caraku menampik bencana
Adalah puisiku memuja semesta

Aku tak mengidap sakit ketinggian
Pagi sore manjat pohon kelapa, ngobong kayu
menyulap nira
Menjadi gula jawa
Merebus hidup bersama modin dan sesepuh
desa

Bajak lembu adalah alat tulisku. Mengaduk
rumus humus dan anti pestisida
Mencampur air kencing kambing dengan
daunnan kering
Tanagpun jadi subur tak ada hingga

Inilah aku
Suka piara kerbau tapi tak berarti sealur pikir
dengan otak kerbau

Magelang, 2012
Dedet Setiadi, Gembok Sang Kala

Kalender Lunar

mencermati bulan
gerak putar yang tak pernah diduga
tibatiba purnama

kau selalu bercerita
tentang malam dan serigala
manusia dan petaka
sesuatu yang bernama kala

di setiap bentukan bulan
kau memandang langit mahabintang
tibatiba gerhana

Dian Hartati, Kalender Lunar.
Anggur buat Olfato

kata orang, aku dan olfato berteman baik
meski kami hanya saling mencintai
aku adalah hati, dan olfato berarti naluri

aku menyukai kesedihan yang jatuh dari hujan
dan menetes dari anggur
karena mereka bening dan segar seperti kristal usia
kamu dapat hidup di masa lalu selamanya;
karena olfato membenci airmata di tubuhku
dan aku dapat membuangnya setiap hujan itu datang

tapi aku tidak mengerti mengapa
olfato lebih menyukai perempuan yang bahagia
yang selalu kering dan baik-baik saja
yang dapat melihat yang benar dan salah pada cinta

di hari kami berpisah
aku menyimpan sisa anggur untuk masa tua kami
sebab, kata orang, aku dan olfato berteman baik
meski bagiku kami hanya saling mencintai

namun olfato tiba sebelum masa tua
ia datang bersama perempuan itu: akalnya
dan gelas yang kupunya cuma dua
jadi kusuguhi mereka dengan kata-kataku saja
sampai mereka pergi:
perempuan itu tak bisa mengambil milikku lagi!

beruntung, hujan turun kemudian
kutenggak anggur sendirian

Dina Oktaviani, Hati yang Patah Berjalan


Stasiun yang Kering

aku menangisi stasiun yang kering
dan seperti seharusnya tak seorang pun peduli
selembar karcis bekas; penuh kutulisi

aku pernah mencintaimu setiap hari
dengan tubuh hijau dan pikir yang memar
mengagumi kejahatan-kejahatan kecil
: tanda cinta yang orisinil

tapi hari ini mau ke mana aku mau ke mana
sekopor pakaian dan buku yang itu-itu juga

dalam sakit aku telah mengganti semua merk dan
judulnya
agar semua waspada, agar kamu curiga
agar tak seorang percaya:
dalam hatiku tak satu bisa berubah

senja kesekian memasuki stasiun
di seberang gereja lama kamu muncul
dengan rindu yang asing seperti kemarin
; mengacung namaku tinggi-tinggi

bibirmu terbuka
aku menghambur tanpa malu:
memelukmu aku memeluk udara

Dina Oktaviani, Hati yang Patah Berjalan


Taman Ketabang
di taman ketabang, kita bercakap tentang hari-hari
yang lewat
sementara orang-orang di sekitar semakin erat
berpelukan atau
khusyu mananti kambangan kail bergerak digondol
ikan, kita
mengurai waktu di antara orang-orang yang
berusaha keras
menangkap waktu, mengabadikannya dalam
kekinian, kita
melompat dari kemarin ke kemarinnya lagi,
mengeker-eker
kubang kenangan, ada jam dimana kita bertengkar
tentang
cat rumah yang nampak muram, ada juga detik
ketika kita saling
tersenyum membayangkan anak-anak kita tumbuh
menjadi
orang-orang berdasi dan bekursi, namun sebelum
tuntas
segala yang melintas di atas kepala dan percakapan
kita, kau
tiba-tiba berkata: meski banyak orang dan pohonan
di taman
ini, meski banyak impian dan harapan berlompatan,
namun
entah mengapa aku merasa sendiri, sepi dan sunyi,
kau tahu,
cuaca di tempatku, beberapa waktu ini dilikut kabut,
seperti
hatiku, beberapa cermin yang terpasang di kamar
enggan
memantulkan bayangan, bahkan, kertas-kertas yang
biasa
kutulisi puisi, lembab, tak mau terbuka lagi, seperti
pikiranku,
sampaikan maafku pada anakmu ketika ia
memejamkan mata,
atas malam-malam panjang yang hilang darinya,
karena kau
sedang mendendang kidung tidur buatku, tapi
percayalah, tiap
linang air mataku adalah sebuah rindu padamu,
meski aku tahu,
aku telah kehilanganmu sejak awal pertemuan
(F. Aziz Manna, Siti Surabaya dan Kisah Para
Pendatang)

Montase Kota Mati

/1/
di pagi muram menikam
pintu, kelambu dan lampu masih menyala
dalam kamar jejak hujan
dalam dada jejak kenangan
ingatanku berlubang

/2/
terlihat leher bumi yang retak
laut mengirimkan air matanya
ke serambi jantungku
lama sudah tak terdengar
ketuk pintu di ruang tidurku

/3/
dari jendela itu terpandang rintik hujan
kelopak basah
daun jantung patah
dan sebuah payung
tertinggal
sendirian

/4/
o, kenangan
hujan dalam dekapan
kadang muncul kadang tenggelam
di mataku
menggenang gemuruh adzan

/5/
hujan pun jatuh di kepala
susut di hitam rambut
tiris di garis alis
tumpah di air mata

/6/
aku pun menulis kisah pada wajah mungil bunga
pada televisi dan majalah pada seluruh peta kota
dan di sana, di sudut entah dimana, hujan
dan aku tak pernah ada

/7/
sementara, tak ada lagi musik indah
orang-orang berderap dalam teriak
seperti ingin hidup seperti ingin mati
seperti warna kopi

/8/
sekawanan gelombang berderap
menerobos gerbang kota
di pusat pusar air
setangkai bunga
patah
makan terasa sakit
dan kau entah kemana

/9/
nyawa melengkung dalam ombak
menancap dalam karang
mengendap dalam kehijauan
pekiknya
melulur di jantung kota

/10/
musim mengamuk
mengasingkan kenangan
dari ruang tunggu
matamu dan pintu nasib itu
mengembunkan seluruh pikiranku

/11/
hujan bukanlah air
bukanlah petir
bukanlah geludug
bukanlah mendung tebal
awan hitam, bukanlah
tuhan, kota terus bimbang

/12/
lalu titik
menitik
entah terus entah putus
kata kata dalam haus

/13/
di tikungan jalan itu
masih tergambar cinta
dan lembut suara, ketika
gerimis pecah
bayang berbayang
aku kau tanggalkan

/14/
seorang anak adalah perahu penyelamat
di musim hujan, seorang tua
kini dengan bunga
di sudut taman kota

/15/
daun-daun melayang
kabut tebal mengembang
limbung
mengambang
di sungai panjang
bayi mati terbuang

/16/
di taman makam kota terbaca kisah
ribuan orang bergerak dalam perang
(antara impian dan dendam) payung-payung hitam
meninggalkan masa depan
waktu hanya hitungan, kota hanya sebutan

/17/
waktu
jalan
penuh hujan
si tua muram berjalan
berkerudung kenangan
hitam

/18/
dan kota penuh awan
penuh gemuruh penuh ledakan
penuh wajah ketakutan
ciumlah aku maka kau kutinggalkan

menyusuri reruntuhan kota lama
Surabaya Utara

/19/
aku berjalan di rawa-rawa mati
apakah yang mungkin
selain kata dan cinta
sedang tubuhku penjara
dan wajahmu terlampau berbahaya

/20/
kota-kota halte
mulut-mulut menganga
seorang orang menggenggam detik jam
antara pergi dan mati

/21/
aku terus berjalan
di rawa mati, 100 nyawa tercekam
dan sejarah dirobohkan, bekasnya
jadi lobang penuh kutukan

/22/
orang-orang berkumpul membicarakanmu
tapi bahasa hanya bergetar di mulut sendiri
waktu telah retak, memusat di tubuh ini
tapi kenapa kau lari, lari dariku

/23/
aku pun tenggelam di rawa mati
pintu menghadapku
sekaligus menghadapmu
tapi siapa, yang tiba-tiba saja, merobohkannya?

/24/
seperti kekosongan
kota ini tak bisa dibingkai
seperti puisi atau komposisi bunyi-bunyi
kota ini tak mau ditafsiri

/25/
maka jangan kau cinta mereka
yang berhasrat tinggal bersama
seperti hujan datang
dan pergi

Gerbang Kota yang Dirobohkan
Malam Hujan Paska Wonokromo Dibakar

/26/
dalam sebuah bait suci
adzan melengking putih
membisikkan sesuatu
yang seluruhnya sia-sia

/27/
ini malam
kelam
mencekam
lubang hujan di jantung karang

/28/
antara mendung dan kembang celung
angin tertikam, lanskap garis hujan
di tengah ruang kosong
malam

/29/
beberapa cahaya dinyalakan
beberapa kepala bertopi lebar
beberapa jauh di tengah lautan
dengan doa dalam hujan

/30/
rumah dalam lingkar mawar
sehabis hujan
sehabis: tuhan apakah yang kau inginkan?
jalan terjal, pintu, aku, dan bayangan
menjauh

/31/
seberkas bunga plastik
aspal selepas hujan
angin bergetar mengikuti bayangan
seorang tua dalam wajah ketakutan

/32/
dalam sisa-sisa hujan
hanya seorang pejalan
hanya angin malam
hanya kekosongan
wajahmu begitu muram

/33/
seperti cintaku
dunia akan menjadi masuk akal
jika memang kau berkehendak
hujan menerjemahkan gebalau

/34/
dan bila kerinduan bersayap
ke jendela kamar tentu akan terbang
untuk menculikmu saat ini
sebab langit berdusta dengan bahasa cuaca

/35/
waktu telah menetes di balik awan
membentuk danau di dadaku
di dasarnya
jantungku membatu

/36/
kenangan hanya kaca yang lekas pecah
ketika hujan tak hendak selesai
dan kau berpaling, pulang
dalam diam

/37/
kota telah berlayar dalam gelombang
dan cerita tinggal gesekan biola
lalu bagaimana kusembahyangkan
kenangan cintaku padamu

/38/
pintu terbakar dan
aku telah sampai pada titik
dimana cinta tak mungkin lagi dimulai
seperti kopiku yang kian pahit
kota kian gelap
(F. Aziz Manna, Siti Surabaya dan Kisah Para
Pendatang)


Pembunuhan Kopi di Pagi Hari

andaikata kuregang badan sekujur waktu, tetap
saja tak kutemukan kau di situ. sejak lama
sudah, kecewa ini kupelihara, seperti lumut
menyelimuti batu. aku tak pernah sia-sia, walau
sekali lagi, sekali lagi, melulu kekalahan
kurayakan.
secangkir kopi panas yang kuhirup pagi dini
sekali, menyodorkan kangen yang selalu datang
di permukaan peruntunganku; kapan aku bisa
memenangkan kejuaraan yang tak pernah
dipertandingkan? kangen yang selalu
mengingatkan bahwa kau masih ada. tapi koran
pagi, berita radio dan televisi tak henti
mengingatkan siapa saja bahwa waktu sudah
tiada. karena itu, silakan kita ramai ramai
membunuh kecewa. kita tidak bisa lagi
mengenali diri sendiri lewat cermin
mephistopheles. bahkan kata hati pun sudah
tidak jujur pada dirinya sendiri. lidah selalu me-
ngatakan yang sebenarnya dari yang
sebenarnya bukan. emhhbetapa panas hari,
dan tak ada angin di sini. pada- hal masih dini
pagi, dan tukang sayur mulai menjajakan koran.
pada saat seperti itu, pada suasana seperti itu,
hanya satu yang ingin aku nyatakan; aku
dapatkan satu dari kamu dengan melenyapkan
satu dariku. kau tak tahu.

1992
(Radhar Panca Dahana, Lalu Waktu)



Sajakku, Cinta
: rianti
jika sungai ini cairan waktu
cinta kanyut di dalamnya, hanya,
lebih panjang jarak alirnya
lebih luar batas tepinya
lebih deras kuat arusnya
lebih bening corak warnanya
lebih tak mungkin merumuskannya
tapi, tentang itu
telah terlanjut kita bicara,
hei kekasih, mana kau senang
tenggelam atau berenang?

1985
(Radhar Panca Dahana, Lalu Waktu)


Burung Azan Magrib

seluruh sunyi telah kita dekap dalam degup
rindu, sore itu. tapi
selalu ada gema, seakan kumandang karang dari
perah hatimu.
kubaca jengkal tanganmu dalam perih doaku,
hingga kita paham:
di kamar paling gaib pun sunyi berpintalan
dengan diam. lalu
kita menangis di helai-helai waktu yang
membakar. kita pun
berkobar, menari, menggali luka sunyi luka
diam dalam firman
malam

azan magrib itu kini jadi burung. mengepak
dalam airmatamu
yang tertahan di doaku. terbang mendekap rindu
di antara
reranting nafasku

adakah yang lebih dalam dari dekap burung
pada rindu?

2002
(Jamal D. Rahman, Garam-garam Hujan)


Anak-anak Tembakau
kepada petani tembakau di madura

kami anak-anak tembakau
tumbuh di antara anak-anak batu
nafas kami bau kemarau campur cerutu

bila kami saling dekap,
kami berdekapan dengan tangan kemarau
bila kami saling cium,
kami berciuman dengan bau tembakau

langit desa kami rubuh seribu kali
tapi kami tak pernah menangis
sebab kulit kami tetap coklat
secoklat tanah
tempat kami menggali airmata sendiri

langit desa kami rubuh seribu kali
tapi kami tak pernah menyerah

pada setiap daun tembakau
kami urai urat hidup kami
pada setiap pohon tembakau
kami rangkai serat doa kami

2000
(Jamal D. Rahman, Garam-garam Hujan)







Bayang-bayang

pada usia berapakah matahari menciumimu?
usia beredar
sepanjang ajal: perjalanan yang tak sampai-
sampai pada hujan
sementara percakapan dengan dinding tak
pernah sampai
ke cakrawala. berapakah usia matahari, ketika
dia turun
memeluk nafasmu dalam tidur yang
menggelisahkan

tak kujemput bayang-bayangmu pada ufuk
matahari
yang jauh sebab setiap kali berusaha
mengenangmu,
aku selalu melupakanmu

di manakah jejak-jejak itu menggariskan
airmata?
luka tak lagi memercikkan darah, melainkan
nyanyian
yang dipetik dari gitar kayu: menimbang-
nimbang matahari
dan kemudian menggulirkannya sepanjang
darah sembahyang

ingin menurunkan matahari, aku begitu khusyuk
memeluk cakrawala ...

1991
(Jamal D. Rahman, Garam-garam Hujan)

Bernafaslah pada Ombak

bernafaslah pada ombak. karena danau telanjur
menyimpan buih. membendung gelombang
zaman
dan menghanyutkan doa. dari bukit sukmamu
batu-batu pun hanyut ke dalam sujud muara,
memadatkan tangis benua

dari dasar laut, ombak membangun gelora
malam.
lampu-lampu nelayan menggeliat, jadi bintang
di keluasan matamu. mengedipkan mata ikan
pada kail dan jala yang mulai cemas
menunggu. di sini, lumpur menghampar,
menenggak air sembahyang dari cangkir-
cangkir kecemasan

1987
(Jamal D. Rahman, Garam-garam Hujan)




Rubaiyat Matahari

1
dengan bismilah berdarah di rahim sunyi
kueja namamu di rubaiyat matahari
kau dengar aku menangis sepanjang hari
karena dari november-desember selalu lahir
januari
2
engkaulah sepi di jemari hujan
kabar semilir dari degup gelombang
engkaulah api di jemari awan
membakar cintaku hingga degup bintang-
gemintang
3
atas sepi perahuku bercahaya
membawa matahari ke jantung madura
atas bara api cintaku menyala
menantang matahari di lubuk semesta
4
aku peras laut jadi garam
mengasinkan hidupmu di ladang-ladang sunyi
aku bakar langit temaram
bersiasat dengan bayangmu dalam kobaran api
5
batu karam perahu karam
tenggelam di rahang lautan
darahku bergaram darahmu bergaram
menyeduh asin doa di cangkir kehidupan
6
karena laut menyimpan teka-teki
di puncak suaramu kurenungi debur gelombang
karena layar hanya selembar sepi
di puncak doamu kukibarkan bintang-gemintang
7
pohon cemara ikan cemara
menggelombang biru di riak-riak senja
antara pohon dan ikan kita adalah cemara
mendekap cakrawala di dasar samudera
8
di rahang rahasia rinduku abadi
sampai runtuh seluruh sepi
rinduku adalah ketabahan matahari
menerima sepi di relung puisi
9
di relung malam lambaianku menua
juga pandanganmu di kaca jendela
alangkah dalam makna senja
menanggung berat perpisahan kita
10
dari pintu ke pintu ketukanku kembali
tak lelah-lelah mencari januari di reremang pagi
dari rindu ke rindu aku pun mengaji
tak tamat-tamat membaca cinta di aliflammim
puisi

2002-2003
(Jamal D. Rahman, Garam-garam Hujan)

Tentu Saja

tentu saja ada yang tak mengenal
kemiskinan
sedang pahitnya kutelan sepanjang
usia
maka namaku salah satu dari nama
duka

tentu saja ada yang tak mengenal
penindasan
beratnya orang dikejar diburu
terhalau dari kampung kelahiran
sedangkan aku adalah buruan itu
sendiri maka jadi kembara

nah, bukankah sejarah penuh
tikungan
tajam dan mendadak di luar hitungan
aljabar
hidup kadang seperti meja perjudian

tak ubah medan laga
kaya intrik kejam tanpa kasihan
kelanggengan sangat jauh dari
padanya

tentu saja ada yang tak buta aksara
tapi tak sanggup membaca
lalu mengambil jalan gampang malas
bertanya
tak heran sebagai budak membunuh
pun jadi
tak enggan. bangga!

penyair
kukira di sini kau dinanti
menarung kejahilan memanusiakan
bumi

1990
((JJ Kusni, Sansana Anak Naga dan
Tahun-Tahun Pembunuhan))



Keinginan

aku biarkan diriku
menemuimu petang ini
kubiarkan musuh-musuh dalam diriku
menggiring kuda-kudanya
ke padang rumput berwarna merah
- cahaya mataku yang merana
dan udara bergetar di atas rumputan

kau mungkin mengenang
lambaian tangan dan pesan-pesan
agar berkabar setelah sampai tujuan,
lalu aku mengenang kelam jalan-jalan

adakah kau siap-siaga mengintai debar jiwaku
yang kehilangan
dan selalu berhasrat menghukumku?

kau menemuiku bagai cahaya yang melesat
seketika alam di sekitarku padam
aku telah kehilangan waktu
untuk abai padamu

miri-sawit, juni 2005


(
Tak Jadi Hujan di Singaraja

Aku tau kau tak ingin pulang
tanpa hujan
Burung-burung sudah jauh. Peluit
kapal
terdengar senja di daratan
Oktober penuh teka teki. Bunga
bunga mekar
tak ingin membagi wangi
Aku terluka. Tanah hitam purbanimu
mengerjarku
bagai akar akar anggur penuh doa
; mungkin sebentang layar. layar?
bukan!
hanya angin puyuh
seribu tangan batu yang sunyi tiba-
tiba meronta
ingin tumbuh!
tiang tiang patah
kendi kendi penuh dongeng
berjatuhan
di pucuk pucuk tanah
bagai serpihan kaca benggala
lapar dagingku tak puas
mengunyahnya

Saat itulah aku ingin melupakan
segala yang pernah kuketuk di
tubuhmu
; desa desa menuju malam. menuju
lampu!
kutu kutu tanpa pohon
mengendap di dasar senyap impianku;
buah-buahan yang tak pernah matang
gugusan arca dan aroma cengkeh di
bukit
adalah ombak yang ingin tidur
di hamparan pasir penuh bulan

Engkau ingin menyepuhnya untukku.
Untukku?
Jangan, Kekasih! Biarkan saja
begitu.
Bukankah engkau ingin menjadi hujan
yang tak pernah turun
di altar cemas musim tanamku?
Cuaca begitu liar
Dan di bawah bintang jatuh
doa doa hanyalah gumpalan angin
garam
yang gampang terbakar

Padam bersama waktu
Kembang kembang api di laut
adalah tangan lembut bidadari yang
ingin kau sentuh
dengan hati kanak-kanakmu

2003
((Riki Dhamparan Putra, Percakapan
Lilin))
)

Tasbih, Sebuah Prolog

Aku meninggalkan jalan penuh pasir. Kadang
berkelebat seperti bayangan, kadang dingin, kadang
haru seperti gerak lilin. Kadang hanya aku. Pucat
seperti tepi langit yang berdiri tanpa kaki dan kepala.
Dan kalau kudapatkan kembali kaki dan kepalaku,
bumi berubah lengkung seperti
huruf U. Bagaimana aku akan berdiri tenang di situ.?
Matahari seperti penyakit. Dedaun seperti teduh
yang bermusim dipingit. Kau apa, adakah kau Nama
yang hidup dalam panggilanku? Adakah Kau Kata
yang membasahi gurun pasir kering dalam
perjalanan nasibku? Adakah kau Huruf yang
menyusun ingatan dan tulang-tulangku? Ada nggak
Kau bagiku?Aku tak pernah ingin meragukan
Adaku. Aku hanya rindu. Tapi ketika kau tak
muncul muncul juga dalam gamang sembahyangku,
berkeluh kesahlah aku. Dan ketika
semua Tanya berakhir pada batu, menjadi hampalah
semua bagiku.
Jalan-jalan berujung pada kelahiran baru. Kelahiran
menjadi pintu bagi penderitaan baru. Penderitaan
member persimpangan atas dua pengetahuan. Yaitu
kesiaan dan pencapaian. Aku inginkan pencapaian.
Aku daki Kau pada jalan yang berputar-putar seperti
lingkaran aksara pada biji tasbih. Hingga akupun
merasa ditinggalkan oleh semua keinginan itu. Oleh
Kau yang tetap menjadi rahasia dalam semesta
istighfarku.
Di kota-kota aku terluntas seperti angin. Rambutku
berombak, sepasang mataku adalah layar yang
ujungnya samar. Dan tanganku melambai seperti
garis yang dungu, berputus-putus dengan kaku. Tak
ada awal, tak ada akhir. Tak ada perjalanan yang
terlalu istimewa untuk dipuja sebagai takdir. Tak ada
dalam perjalanan ini. Apakah artinya Kau bagiku?
Malam menjelma kotak yang makin sempit. Cinta
menjelma lorong-lorong. Dan ingatan merapuh
seperti ludah laba-laba yang terayun di karang-
karang purba kegelapan. Garis-garis menjelma
aksara yang nista, tak ada ujung pangkalnya.
Aku tak pernah ingin meragukanmu Adaku. Aku
hanya ingin mengalirkan. Karena akata-kata adalah
air yang harus dialirkan. Dan seluruh pengetahuanku
adalah bendungannya. Namun mengalirkannya tidak
mudah. Ia memerlukan pengetahuan dan keyakinan,
nyawanya adalah keikhlasan.
Pengetahuan seperti bintang-bintang yang bertebar
di langit malam, dan keyakinan adalah gunung
gunung batu yang bersila meneguhkan isi alam.
Keikhlasan adalah pintunya. Darimana seorang
kekasih dipanggil untuk lenyap bersama cahaya
yang menggantikan fana jasadnya.
Sementara bumi dan penghuninya akan terus
membusuk. Mereka yang tak terbebas, akan lahir
kembali untuk membersihkan seluruh masa lalunya.
Tulang dan kayu kayu lahir menjadi energi materi,
dan sebagiannya lahir menjadi
pepohonan. Begitu terus, hingga suatu hari lingkaran
itu terputus, dan bola bola tasbih yang
mengepungnya menggelinding menjadi gelembung
gelembung cahaya yang kudus.
Serasa dekat dengan Budha, aku pun bersila. Karena
semua yang bersila dengan istighfar adalah tubuh
bagi sang Budha. Semua yang terbebaskan dan
tercerahkan adalah ruh bagi Budha. Rinduku adalah
jalan. Engkau yang maha
hidup adalah sumber tenaga bagi semua kendaraan.
Kemudian aku menunggang kendaraan itu dengan
penyesalan dan ketakberdayaanku. Pergi dengan
dentang lonceng yang mendengung jauh di ubun dan
urat jantungku. Hingga di sebuah kapal aku
dilemparkan ke laut lepas dan
menjadi mangsa Ikan Nun. Dan selama bertahun-
tahun selimutku adalah hawa dingin, duniaku adalah
kegelapan yang membentuk labirin. Akupun
menyalakan lilin. Selama bertahun-tahun pula lilin
itu menyala dari penyesalan dari
ketakberdayaanku. Bila Ikan itu merasa panas,
diapun memuntahkan aku ke sebuah pantai senja.
Bumi terus berguncang. Negeri-negeri tak pernah
aman. Aku yang membisu, belajar menjadi saksi
bagi setiap kejadian yang hendak menunjukkan
keberadaan dan kuasaMu. Kejadian-kejadian yang
kusut. Dan aku terus mengurainya dengan tangan
yang gemetaran. Sehelai demi sehelai, aku
memilahnya. Menariknya lurus ke arah kebenaran
dan keindahanMu. Tapi benang ini terlalu panjang
untuk direntang lurus. Dan juga terlalu panjang
untuk kembali digulung dengan tanganku yang
lemas dan kurus. Bagaimana kau berdiam,
bagaimana kau bersemayam? Adakah kau yang
berdetak setiap kali aku sunyi memandangi lampu
lampu malam?
Mereka seperti pepohonan dengan buahnya yang
menyala. Tapi di kejauhan, aku tak melihat
tampuknya.
Aku inginkan itu wahai Kau yang menjadi tampuk
semua buah rindu. Aku inginkan itu,

2003
((Riki Dhamparan Putra, Percakapan
Lilin))



Migrasi Sebuah Zaman
kepada Afrizal Malna

Sejarah yang adil
Telah memberi amanah kepada benda-
benda
Yaitu kehidupan
Hingga tak ada lagi benda mati
Semua bergerak mencipta zaman

Aku kehilangan sahabat
tak sanggup mengucap diri
dalam benda-benda
Karena kupikir benda-benda mengalami
kiamat
Aku terdakwanya

Aku benar-benar membenci cinta
hari ini
Ketika pada hari yang lain
Tak ada tampak yang kekal
untuk dikasihi
Keinginanku yang terbesar adalah membunuh
Sebagaimana benda-benda itu menang
dengan gemilang menang
dengan gemilang
Tapi sejarahlah yang paling gemilang
Ia hendak mengadili diriku dalam
dirimu
Ketika migrasi besar-besaran
Terjadi ke dalam benda-
benda itu

2001
((Riki Dhamparan Putra, Percakapan
Lilin))





Ragukan Aku Tanpa Ragu
:cahaya
tidak seberat itu, anakku
pikul yang kau pundak
di berat tubuhmu.
itu semata beban sejarahku
ego-obsesi buruk ayahmu
membuat pikirmu tunduk
tawamu suntuk dan sekujur
tubuhmu takluk.

semua itu salah, salahku
tak menangkap lapang
ruang di dadamu
langit tak berwarna di benakmu.
aku mensyukurinya dengan dusta
semua kata yang kuwariskan
ke diriku sendiri,
ke pantulan matamu.
ke cerobohku menata kasihmu.

seberat semesta yakinku
pada duniamu, pada semua
enerji yang percaya padamu.
namun untukmu, nak

pilihlah semua ragu
untuk semua yakinku.
sebab tinggal haru tinggal biru
menggenang di langitku
tinggal gelombang dan karang
di laut kembaraku.

laut di mana semua tetesnya
adalah cinta, untukmu semata
tapi lagi sekali, ragukan aku
bila tetap tersedu, tetap jadi aku
ragukan semua
tanpa ragu
(Radhar Panca Dahana, Lalu Aku)

Halte, 2

tubuh adalah halte yang kelak roboh,
seperti rumah kayu
yang dihancurkan rayap
dan cuaca gelap

lalu apa makna persinggahan
bagi yang mengangkut dan menurunkan
penumpang? Kau tahu, sinyal itu

kembali mengirim isyarat ke arah yang lain
seperti kedip lampu morse
dalam kabut Waktu.

lalu setelah itu tajam mandau perpisahan
kembali menyayat sang kalbu
di ruang dalam yang kelam
lezat yang tinggal karat

2003
(Soni Farid Maulana, Angsana)


Cahaya Kecil

di ujung dermaga seseorang menanti
ia jatuh cinta pada cahaya kecil
di bola matamu. Dicatatnya harum rambutmu
dalam tujuh larik puisi yang ringkas

jika salju turun seluas kalbumu
kau pasti memburunya tanpa ragu. Sebab api
yang menyala di rongga dadanya:
adalah kehangatan hidup yang kau cari

ya, memang sepanjang jarum jam berputar
di dinding jantungmu: ia hanya buih
yang menanti kawih. Tapi, jika waktunya tiba
ia metafora dalam merdu kawihmu.

2005
(Soni Farid Maulana, Angsana)


Pernjataan
kepada C.A.

Aku makin mendjauh
Dari tempatmu berkata kesekian kali
Laut-laut makin terbuka
Dibawah langit remadja biru pengap melanda

Apakah tjinta tinggal tjinta, kujup
Tanpa kehendak biar sajup?
Berkata tentang diri sendiri
Berkatja dan kembali berlari?

Balai malam jang gugup
Mendjadi saksi kita berdua
Terhadap makna dan kata-kata
Jang hidup dalam hidup keras berdegup

1955
(Toto Sudarto Bachtiar, Suara)

Ibukota Sendja

Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan
telandjang mandi
Disungai kesajangan, o, kota kekasih
Klakson oto dan lontjeng trem saing-menjaingi
Udara menekan berat diatas djalan pandjang
berkelokan

Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam
sendja
Mengurai dan lajung-lajung membara dilangit
barat daja
O, kota kekasih
Tekankan aku pada pusat hatimu
Ditengah-tengah kesibukanmu dan
penderitaanmu

Aku seperti mimpi, bulan putih dilautan awan
belia
Sumber-sumber jang murni terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Dan tangan serta kata menahan napas lepas
bebas
Menunggu waktu mengangkut maut

Aku tiada tahu apa-apa, di luar jang sederhana
Njanjian-njanjian kesenduan jang bertjanda
kesedihan
Menunggu waktu keteduhan terlanggar dipintu
dinihari
Serta dikeabadian mimpi-mimpi manusia

Klakson dan lontjeng bunji bergiliran
Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan
sehari-hari
Antara kuli-kuli jang kembali
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesajangan

Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa
Dibawah bajangan samar istana kedjang
Lajung-lajung sendja melambung hilang
Dalam hitam malam mendjulur tergesa

Sumber-sumber murni menetap terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Serta sendjata dan tangan menahan napas lepas
bebas
O, kota kekasih setelah sendja
Kota kediamanku, kota kerinduanku


1951
Toto Sudarto Bachtiar, Suara)


Sarang Capung

kau memasuki sarang capung
peliharaan peri hutan
lebat tetumbuhan pakis
dann percik air terjun bagai butiran tepung
batu-batu di sepanjang sungai bernyanyi
lumut-lumut menguapkan harum tanah

aku terkurung dalam sarang capung
kembali bocah itu menawariku kalung
untaian butir-butir kerang
yang dipungutnya di pasir sungai

letih telah membawaku menjauh dari waktu
tak mampu lagi kugurat kata
pada batu-batu sungai
kata-kata yang akan mengabarkan kisahku
sejauh waktu menenun sarang laba-laba air

peri-peri hutan
mengantar ruhku ke tengah sungai
dari mana perjalanan baru kumulai
kudengar merdu nyanyi serangga hutan
kulihat bocah itu melambai
:selamat tinggal bumi!
(Wayan Jengki Sunarta, Malam Cinta)

Laron

tuhan, sampai kapan kau
meminjami aku sayap?
(Wayan Jengki Sunarta, Malam Cinta)


Endless Tape

Seperti sekian lagu yang
berulang-ulang, seperti
sekian mimpi kembali
mengganggu.

Hidup lebih baik apakah itu?
Hidup lebih baik apakah
itu ketaatan mesin
pada program

Kau tak lebih
dari musik kamar
yang gemetar, telantar.

Menggelepar lapar
hidup, atau jadi
sekrup
(Wing Kardjo, Fragmen Malam)


Reinier Si Juru Tulis dari
Middelburg

Aku ikut!
Teriak seorang pemuda yatim
Kepada kapten kapal yang akan bertolak
Dari Middelburg ke Hindia

Akan kuhitung jarak
Langkah
Bintang
Akan kuhitung segala di mata
Dan akan kucatat semua di kepala.
Baik, kata sang kapten
Kini kau hitung berapa banyak
Papan kayu kapal ini

Sambil mengepel lantai palka
Reinier muda mulai menghitung dan
menulis.
Delapan ribu papan besar
Dan empat ribu lembar papan ukuran
sedang
Lapornya, saat kapal merapat
di Nieuw Amsterdam
Lalu Reinier menghitung dan mencatat
Jarak langkahnya menuju tangga Stadhuis
Tidak lebih dua belas tahun
Katanya, dalam hati.

Reinier menukar bedil dengan pena
bulu.
Ia menghitung dan mencatat:
Ribuan orang Cina menggelepar di jalan
dan di sungai
Panjang pantai utara Pulau Jawa
Ribuan pohon pala Pulau Banda
Reinier akhirnya menjadi kruidenier
Yang mencatat secara akurat:
Luas tanah, ratusan budak, emas-perak,
vila mewah, dan hutang piutang
miliknya
ke dalam daghregister.

Reinier lelah,
Seakan semua telah ditulis
Rhematik keburu memilin pergelangannya
Padahal, ia belum sempat melaporkan
dan tak akan berani melaporkan
Kepada para Heeren
Banyaknya tikus berpesta setiap hari
Di Graanpakhuizen milik mereka.

1999
(Zeffry J. Alkatiri, Dari Batavia sampai
Jakarta 1619-1999))

mitologi keluarga kami
: frans nadjira

lihat, ibu mengunyah permen di beranda
merasa burung di gaunnya berkicau. ada
angin
menerbangkan kebayanya ke lautan.
kemudian ibu
memuja warna langit yang hitam,
seperti warna api
yang melahap gladiol tua di vas bunga,
negeriku
gumam ibu, hanya derit keranda di tepi
jurang
: tahun-tahun berkejaran. langit
meranggas

(adik melompati pagar. usianya
memanjang
pada pilar-pilar jalan. seakan pohon
pinus
tak pernah menyentuh langit. betapa
nestapa!)

bapak tiba dengan lukisan. setiap hari
ada kuda terpanah, juga pohon-pohon
menaburi
kamar dengan erangan panjang. mengapa
tak lahir
sebait puisi sufi dari seutas tali
penjerat leher
teriak bapak di sajadah, ketika senja
mengguyur
jalan. rerumputan mencuri embun dari
gelas

sedang aku melubangi matahari.
menggenggam api
dari meteor yang dilempar senja. tapi
aku ingin
mengapur langit. sebab malam akan
memancung
bulan di samudera. menggantungnya di
dahan

1993
(Zen Hae, Paus Merah Jambu)

paus merah jambu
: iswadi pratama

seekor paus lapar, bung, ingin mencaplok gunung
sebuah sajak mengumpaninya tongkang dan kecubung

bermalam-malam
kau terbangun oleh runcing taring dan luas rahang
ombak gagu yang menggeram di punggung tebing hitam
arwah basahmu timbul-tenggelam mencari pesisir
menjeritkan suaka di antara keriut perut
berhentilah mengejaku
ambil harpunmu
bebaskan aku!

kamarku terguncang oleh pelbagai suara
tapi aku terus membaca menyusuri bait-bait tegang
hingga jerit paraumu menjelma semburan tinta
gigil tubuhmu merontokkan huruf dan tanda baca
seperti lidi-lidi kemarau
berjatuhan dari
matahari hijau tua

tapi anak-anak yang mengutip biji-biji usiamu
setiap kau tidur dan tersesat di lorong bercecabang
yang bermuara di teluk hitam hanya tertawa
sekeras guntur di kuburan. punggung mereka
berkilatan di laut rumput pagi hari
mereka menunggumu dengan sayap berkelepakan
yang bunyinya membuatmu menangis
di atas ranjang besi
berkemul seribu-satu lapis
doa penolak bala

kamar ini menjelma bubu saat kututup buku
kau melompat-lompat dengan tubuh berlendir
banjir kiriman dari
gunung
hujan berlapis-lapis
di laut lepas
membujuk kapal-kapal merapat sepanjang malam
menantang orang-ikan mengosongkan sarang
kau bergegas di kepalamu
rahang-rahang paus lapar
umpan mahabesar

ke teluk, paman, ke teluk. kupeluk, abang, kupeluk

jalan ke teluk dijaga sembilan pungguk
pepohon berdahan karang merah berdaun lokan perak
sulur-sulurnya terjuntai menggenggam batu
bukit-bukit di selatan sehijau-sebisu bangkai kapal
terdampar ribuan tahun
setelah badai meteor menggebah
dan pulau-pulau berpindah
melulu begitu!
hingga matamu memejam
mencari segala ciptaan yang pernah dikabarkan
para perawi dari samudera dan jazirah mahajauh
: rupa, suara, rasa, gerak elmaut serupa sapu
dan kautemukan pada sebuah bait murung
bintang-bintang kuning gading
dari rasi tak dikenal mencair
menjelma ikan
dan orang usiran

semesta tubuh kami adalah umpan segar. kami rindu
taring runcing, liur asin, daging koyak, tulang retak
kraak!

kau teringat kembali akan seekor paus
yang terluka dan menjerit di samudera biru tua
sebuah tembakan harpun membuat lorong di tubuhnya
seorang nabi hanya berdoa. sepotong tangan tuhan
akan berdarah di sorga inna lillahi
semua ikan dan udang akan ditangkap
akan terus ditangkap
terkubur bumbu di atas nampan
diperam di dalam kaleng

paus itu berkuasa di laut dalam
paus itu berpuasa di musim kawin
tubuh raksasanya hanya sebesar guling
di selembar hasrat orang-orang berwajah api
yang lidahnya terjulur ke tanah
ludahnya hijau muda
nafsu makannya
serakus setan tasmania
hauk!

seekor paus sekarat, bang, menabrak tongkang
sebuah sajak menguburnya dalam bait-bait riang

kau menanti sekelompok pemburu paus
kapal mereka merapat di bawah hujan selebat baleen
lunasnya hitam, layarnya rompang, tiangnya goyang
kelasi-kelasinya turun. bersiul sebunyi kalkun
ini pemburuan paling sial, syahbandar
seluruh paus bermigrasi ke selat hangat
kawin dan beranak.

kau hanya anak kecil di situ. pengisap dongeng
berharap asap mukjizat memandu langkah mereka
ke samudera dan jazirah impianmu. tetapi tak
langkah mereka bergetar
di bawah matahari
tujuh jari
bayang mereka terjulur ke rumah bambu
tempat aneka suara bergema dan kembali ke lautan
sebunyi camar kawin
di rumah itu paus-paus merah jambu
menunggu dengan berkendi-kendi arak
dan sepotong lagu nina-bobo akan menidurkan
para pemburu selama ratusan tahun
tubuh mereka akan kisut
tulang-belulang sekeras batu
dipeluk pasir dan debu
sementara duabelas matahari mabuk
terbakah di tiang-tiang kapal dan gulungan layar
oleng dan jatuh ke geladak muntah bara
menunggu arak-arakan
tiga saf panjang
pemadam

semesta tubuhku adalah umpan segar. kurindu
taring runcing, liur asin, daging koyak menjelma sajak

kakimu menjejak pasir. di bawah riak air
bayang-bayangmu serupa tokoh kartun
biji-biji khayali itu pecah lagi kaupecahkan lagi
: pasir terasa rumput, ketam bagai belalang
tubuh ringkihmu menyesap serbuk taifun
kembung dan melayang-melayang
meledak
menjelma jutaan ikan
dengan girang mereka berlompatan
memancing paus lapar
naik ke pantai

2004
(Zen Hae, Paus Merah Jambu)
di halte malam jatuh

akhirnya, aku mahir menggambar hujan
menirukan langkah-langkah pulang
menulis reklame-reklame sunyi dan menempelnya
di bebatang pohon sepanjang jalan
dan di sebuah tikungan tujuh kelopak bintang
gugur sebelum pagi kembali

bus yang penuh sesak itu akan berangkat?
tanyamu. orang-orang masih terus mengembara
tak ada bintang di langit
: nujuman nasib, kompas para kafilah
di mana-mana kautanam bendera. aku ingin
berkibar-kibar mengikut gelombang hujan
menjejaki liang rahasia sepanjang uluran senja
tetapi, duh, selalu ada yang kauisyaratkan
lewat deru angin yang tertahan di awal musim


aku jadi terbiasa menyimpan cinta
di batu-batu. mungkin besok
akan menjelma gadis kecil
yang belajar mengeja kata-kata bunga
aku akan menunggunya, memberinya ciuman
menyematkan melati (dan belati)
dan bus itu, kataku, akan berhenti di terminal
yang tak ada bintang. seperti usia
kota-kota lapar. letih dan tidur
tiktiktik hujan menombaki senja
malam jatuh dengan ubun terluka

1992
(Zen Hae, Paus Merah Jambu)
aku dan tungganganku
: agam wispi (1930-2003)

kau menyebutku orang buangan. aku seorang kelana,
sebenarnya. aku tidur dan jaga di atas kudaku. aku dan
tungganganku adalah satu. kami saling meringkik saling
menggoda. hiya, sambil melintasi kota-kota masa silam,
kuseru kata-kata paling tajam. kubisikkan lagu paling
merdu: tubuh digodam pulang jiwa ditebas terbang. oi

ah, betapa ajaib siklus waktu. kutagih pagi dibayar
petang. kuminta pulang diberi buang. dari kandang
macan ke asem lama ke teluk tonkin ke nanking ke
leipzig ke kanal-kanal amsterdam. tersuruk di rumah
jompo bagai orang mabuk gadung. menunggu salju turun,
memindai tahun mati.

pernah kuminta camar bersarang dan bertelur di atas
tumpukan buku. menetas jadi lidah-lidah api. huruf-
huruf terbakar. kata-kata mengaduh. bukan karena api
tapi karena rindu. anak-bini berbiak di benak, seperti
jamur kuping di kayu lapuk. mekar dalam suhu minus
duapuluh. ribuan mil jauhnya, ribuan mil jauhnya, tapi
dapat kudekap dalam sekejab. bisa kucium dalam sajak.

tapi sajakku jutaan bintang merah di bawah langit tanpa
pintu. setiap malam melayang-meliuk-menukik, jatuh
dan aus di pepucuk putri malu. serupa arah luku ditarik
kerbau mabuk daun singkong sampo kuru. sajakku jejak
kaki kaum tani yang menghadang buldoser selepas zuhur.
racau pemabuk di tepi danau ketika panen tiba. sedang
doa, mantra merah tua itu, hanya batu penyusun dinding.
tindih-menindih, saling jabat. makin tinggi makin pedih.
tuhan pergi dari puncak menara, ternyata.

kukenang turang. jalan turun-naik sepanjang medan-
lubuk pakam. oi, kampung halaman, hanya bisa
kukenang. bukankah tubuh dibikin dari tanah. tapi jiwa
menampik bentuk di mula cipta. menolak rumah di ujung
usia. jiwaku pergi ke mana suka. tidak ke kubur, bukan
ke sorga atau neraka. mungkin ke planet paling jauh. asal
ada kopi dan tembakau dan perempuan bermata biru dan
bintang-bintang berekor putih.

mungkin aku akan pulang sebelum sebuah negeri
tenggelam oleh kutuk tuhan. tapi aku tak tahu negeri apa,
pulang ke mana, tuhan siapa. kugelar peta buta.
telunjukku menunjuk seperti ke jantung seorang tiran, ke
negeri impian: satria uzur dan putri cantik, baju zirah dan
tombak kayu, kincir angin dan iblis hijau, seekor bagal
kurus dan langit coklat tua. tembok-tembok hitam yang
meruapkan bau gandum, menggemakan sepotong
nyanyian orang gipsi:

sepasang mata perempuan melarutkan hari-hari tuan
dalam sekendi khamar. ngak ngik ngok
seorang satria memburu sebilah pedang di malam-malam
badai. tang ting tung

tak ada yang datang ke pondokku minggu dini hari itu.
orang-orang masih tertidur di atas panggang musim
dingin. mimpi musim panas, sebuah pulau menyala di
lautan. aku terbangun di tahun yang baru tumbuh. tak
ada ibadah minggu. hanya secangkir kopi dan puntung
rokok, berserakan seperti prajurit kalah perah. aku
berbenah dan menata ingatan seperti buku-buku di
dalam rak. lalu kusepuh lidahku dengan haiku. tidakkah
aku tahu, bung, katak yang jatuh ke kolam menjelma
lagu?

aku dan tungganganku berjalan ke arah cahaya. kota-kota
baru dibangkitkan. segalanya masih sangat muda

2003
(Zen Hae, Paus Merah Jambu)

Anda mungkin juga menyukai