berapakah malam yang kau pinta hujan yang turun adalah penyeduh ilusi berapakah sunyi yang kau rupakan? gerimis adalah penggoda malam-malam kesepian
sebuah tempat dan sunyi kau rebus demi dahaga yang menahun dalam kotak-kotak kamar hitam dan putih membelah halaman rumah tua
berderet tebal halaman buku di atas rak meja masih tertata juga belum sempat menguliti isi dari pada daging kita, segumpal daging seonggok dosa dan doa mencekam sesudah menyeduh teh panas atau kopi yang membarakan jantung sebatang demi sebatang jadi asap lenyap di udara begitu saja kamu kumandangkan larik-larik resah dan bungah berharap pada tangkai-tangkai yang bertumbuh jadi buah-buah rindu pada siapa kau akan menjaga dan meminangnya?
Jakal KM 14 Yogyakarta, 01 Mei 2012 Ekohm Abiyasa, Malam Sekopi Sunyi
Sepucuk Pagi dan Mimpi Beku
/1/ merengkuh riuh napasmu hati yang membelukar semak semakin liar
ombak menepi di lautmu yang cemar perih rindu pun retak
aku merindu kisahmu yang hingar merangkumnya di belantara dunia yang berkelakar semakin derap kusapa bayangmu
kapal telah lepas jangkar dan dadamu membekas memar
Ruang Maya,Jakal KM 14 Yogyakarta, 28 Desember 2011
/2/ jadi tentang dingin rindu yang ketika kau buka pintu udara berhembus sejuk di dadaku dan pula kisah semalam ada geletar darah yang menggebu ini makin membunuhku rindu pilu
Ruang Maya,Jakal KM 14 Yogyakarta, 10 Juni 2012 Ekohm Abiyasa, Malam Sekopi Sunyi
Riwayat Sunyi
riwayat yang hilang dan setumpuk catatan usang menggenangi mata berserakan!
kertas-kertas dan abu bekas pemujaan semalam tentang dunia ilusi yang melenakan batu-batu bersimbah tinta mengarsir sendiri pada nganga luka semua ada catatan meski tiada berguna lagi namun, mungkin nanti ada saatnya membuka kembali sejarah dan riwayat-riwayat itu setelah sekian tahun terpendam dalam tanah liat dan gersang gurun berpasir darah kembali pada jalan masing-masing guna menghisap dosa dan kesalahan persembahan tak akan sia-sia meski telah dicampakkan
karena kita manusia kita manusia
membekukan dan mencairkan setiap kenangan adalah makna saling bercerita satu sama lain apakah yang kau punyai selain cinta yang semu belaka dan apa pula yang aku bisa selain kesetiaan tiada tara meski pula terkalahkan mungkin hanya bualan saja tak perlu ada usap derai air mata atau malah menertawakan kebodohan diri seumpama rumput itu berhenti bergoyang buat apalagi tumpahan cerita kubuang saja dalam tong sampah biar membusuk lekas duka yang luas, luka yang panas
lekas lekas bias lekas ampas
kembali membekukan kenangan dan air mata matahari tiada lelahnya menertawakan kesendirian boleh aku pinjam bahumu sejenak saja ada racun di mataku, silau dan bercak bergantian
ah, robek saja mukaku aku (tak) pernah mati menyertaimu dengan segumpal kesetiaan
Jakal KM 14 Yogyakarta, 01 Juni 2012 Ekohm Abiyasa, Malam Sekopi Sunyi
Memesan Sunyi
kemudian mengguling-guling memesan sunyi suara parau dari lubang hidup yang tertera di dahi mengejang pekat rerumputan bergidik merdu lirih kau sampaikan salam pada angin dan suara-suara masih serak
kau titipkan juga segepok rindu dalam kepul asap yang tertiup tak ada alasan untuk menggelengkan kepala
oh, marilah kita memesan sunyi lagi aku rindu memegang akar yang menjuntai dari kepalamu aku tanam dalam kerut dada yang kasat
oh, marilah kita menenggak aroma keheningan lagi aku resah menggapai tangan yang terkulai ingin memelukmu di ujung sesuatu, yang aku ragu menyebutkan nama apakah yang tepat
dan suara-suara masih serak aku pun demikian menitipkan jua segepok rindu dalam kepul asap yang tertiup tak ada alasan untuk menggelengkan kepala
Karanganyar-Solo, 06 September 2011 Ekohm Abiyasa, Malam Sekopi Sunyi
Melankoli Penikmat Sunyi
segumpal asap dan melankoli penikmat sunyi hidup bukan lagi soal kata-kata belaka gih ada garis lain yang terbujur menanti dalam spektrum hitam dan putih*
sekerat daging dan tumpukan ludah semakin pudar gelap dan bias urusan rejeki bukan soal mudah mesti berpayah tanpa menyerah lekas
Jakal KM 14 Yogyakarta, 19 Juli 2012 Catatan: * Meminjam dalam lirik lagunya Koil, Kenyataan dalam Dunia Fantasi
Empat Sajak buat Pemburu Kata dan Pelarung Sunyi : Jeni Fitriasha
/1/ Gelisah Pemburu Kata gelisah merah membawa hujan menyentuh tanah lalu terdiam lelah memburu deru yang patah
benar, lelah jua daku memburu dalam daftar menu perburuan panjang musim yang tak menentu kini meski lelah telah memaku bahu kuyakinkan diri tak bisa berhenti di sini hujan yang sempat bersemat cuma sebentar saja melumat debu-debu dikau hey nona perajut butiran kata! tolong sediakan karung yang besar buat menampung pilu
berjalan berkerat diri menuju haluan menuju arsiran debu-debu yang beterbangan
Ruang Maya, 31 Juli 2010
/2/ Ruang Sunyi Untukmu, Jee ruangku sunyi ruangmu pun terlalu sunyi ternyata ada sunyi di setiap diri kita
hariku sunyi harimu pun terlalu sunyi untukku hari ini, bertambahlah kesunyian : yang kau punyai
Ruang Maya, 03 Juni 2011
/3/ Angin dalam Darah ada seutas tali mengikatkan alunan napas pada derap-derap tempo mata memicing seperti anggur yang merasakan kepahitan
ada yang tertawa dia bersembunyi dalam melodi darah di setiap lekukan membulat kenyal mengental daun-daun berkelakar, disambut angin buat kita kumalkan di setiap lekuknya
Ruang Maya, 06 September 2011
/4/ Aku Pinjam Napasmu Sejenak aku tak bisa mencuri napasku sendiri, terlalu sesak mendesak-desak aku ingin meminjam napasmu buat kujelajahi sejenak ruang yang kau berikan; yang luas kemudian aku singgah di pelataran senja yang jingga sambil menahan napasmu yang wangi lalu kita termangu akan kecerobohan kita atau memang itu sudah tertulis dalam kitab di atas sana
kita memungut sisa-sisa hari yang menyesakkan dalam kegalauan yang tidak bisa lagi dirasakan kita sama-sama terkulai malam hitam yang serasa neraka kita tidak bisa meminta napas lagi pada Tuhan kita telah menghilangkan napas-napas itu kita hanya berharap selesap bayang yang menjelma napas-napas kita
entahlah sepertinya telah lelah sangat mengejar bayang itu kembalilah napas, aku hanya ingin menikmati sejenak saja bersama tetes-tetes air penyesalan atau hanya gurau belaka menipu kepada mata yang tak terdeteksi oleh rasa kita yang mudah dicuri oleh senja kemana lagi malam ini menumpahkan hasrat sebab napas kita telah terenggut di ruang sunyi ini kita menabur duka pekat sebab malam akan menikam kita dengan cengkeram maut
dan dengan segala keangkuhan dia tertawa dan dengan segala angkara muntahkan murkanya dan dengan segala duka benamkan air mata nestapa dan dengan segala hitam menancapkan cakar- cakarnya : ke dalam sukma yang terdalam
sepertinya kau takkan kembali, hai senja kukira siluet indahmu menyimpan kisah manis kukira tubuh ini takkan bertahan lama siluetmu yang menggigilkan tubuh ini; tragis
luka-luka yang menancap seakan kekal kita rasakan berdua mata kita semakin lelah menangkap gelap telinga kita semakin tuli menyerap bunyi lantas kita hanya bercakap pada diri masing-masing malam semakin cepat mengelam diri
kau, mendekatlah memeluk erat sisa-sisa kenangan pahit ini sampai bertemu di hidup yang akan datang air mata yang sempat mengalir berhenti ada secercah harapan di ufuk timur kita masih berpagutan sunyi karena duka semalam tak kuasa kita bendung, tak kuasa kita genggam perjalanan ini belum usai dan kita saling memagut pada ketakwarasan ini
Ruang Maya, 25 Desember 2009 Ekohm Abiyasa, Malam Sekopi Sunyi
Ruang Sunyi, Distorsi Rindu : Ibnu Purdiavril Nugroho (Sinyo April)
serupa apa rindu yang kita buat bermalam-malam sunyi kadang kita renggutkan denting-denting sunyi
dan kepul asap secangkir kopi yang melekat kita anyam puisi yang merona di dalam rongga dada yang kasat
Ruang Maya,Karanganyar-Solo, 25 November 2011 Ekohm Abiyasa, Malam Sekopi Sunyi
Adakah Sunyi Lagi
semalam sunyi mengepung diri pada keping sunyi hampir hilang jejakmu selalu terpatri senyummu abadi
serona ini senja menyapa lagi di kebalauan petang semakin rindu lagi semakin sirna diri
Jakal KM 14 Yogyakarta, 30 Mei 2012 Ekohm Abiyasa, Malam Sekopi Sunyi
Kwatrin-kwatrin Pagi di Bali
(1) Matahari bangkit di laut Jawa Wahai! Matahari siapa pula? Baru kemarin ia tenggelam di lepas Kuta Sambil meliak-liukkan pohon-pohon kelapa
(2) Mula-mula fajar cerah dingin di tanah Membagikan uapnya ke pasir yang ramah Tapi pantai belum terjamah kaki resah Bocah bermain dan para turis yang singgah
(3) Semalam laut mencucikan pantai riam Kutahu, bangkai ayam & bunga korban Tapi bau amis sampan & jala para nelayan Tertambat di pasir. Angin mengusir ke pegunungan
(4) Kau menguap melepaskan sisa kantuk Pada riak-riak kecil air yang lengang Kau merentak sia-sia. Kau gapai langit utara Di batas matahari berkain sarung lurik-jingga
(5) Merentang tangan ke laut yang terbuka Tertangkap kepenuhan hidup dalam rasa Tapi tak kita tahu, pisau-sunyi terbawa Kelak, ia menggoresi tulang-tulang iga hampa
Kadisobo, 25 April 1987 Linus Suryadi AG., Rumah Panggung
Gerimis I Seribu gerimis menuliskan kemarau di kaca jendela Basah langit yang sampai melepaskan senja Bersama gemuruh yang dilemparkan jarum jam, kata-kata bermimpilah bunga-bunga menyusun kenangannya dari percakapan terik dan hama
Kau toreh bibirnya yang merkah, kata hama Dan kuhisap isi jantungnya yang masih merah
II Kenapa ia tak terkulai dan masih bertahan juga Dan bersenyum pada surya yang mengunyah-ngunyah air matanya
III Untukku ingar itu pun senantiasa menyurat Atau mimpi Tapi angin masih saja menggigil mendesakkan pagi
IV Tuhan, kau hanya kabar dari keluh
V Burung-burung pun asing di sana karena jarak dan bahasa
1971 Abdul Hadi W. M., Meditasi
Kebiasaan Kecil Makan Coklat
Aku tak suka kakimu berbunyi. Ini coklat, seperti cintaku padamu.
James Saunders membuat drama dari kereta dan permen coklat di situ, menyusun persahabatan dari orang-orang yang tak bisa saling menemani: Kita adalah kegugupan bersama, sejak berusaha mencari arti lewat permen coklat, dan kutu pada lipatan baju. Jangan menyusun flu di situ, seperti menyusun jendela kereta dari dialog-dialog Romeo. Tetapi Suyatna ingin menemani sebuah dunia, sebuah pentas, dengan dekor dan baju-baju, pita- pita pada jalinan rambut sebahu.
Tak ada stasiun kereta pada kerut keningmu, seperti kegelisahan membuat pesta di malam hari. Lihat di luar sana, orang masih percaya pada semacam kebahagiaan, seperti memasukkan seni peran dalam tas koper. Tetapi kenapa kau tinggalkan dirimu dalam toilet. Jangan ledakkan sapu tanganmu, dari kebiasaan kecil seperti itu.
Aih, biarlah kaki itu terus berbunyi, makan coklat terus berlalu, kutu-kutu di baju, cinta yang penuh kegugupan ditonton orang. Tetapi jangan simpan terus ia di situ, seperti dewa- dewa berdebu dalam koper, berusaha memberi arti dengan mengisap permen gula.
Ini coklat untukmu.
Jangan mengenang diri seperti itu.
1994 Afrizal Malna,, Arsitektur Hujan
Mesin Penghancur Dokumen
Ayo, minumlah. Tidak. Saya tidak sedang es kelapa muda. Makanlah kalau begitu, tolonglah. Tidak. Saya tidak sedang nasi rames. Masuklah ke kamar mandi saya, tolonglah kalau tidak haus, kalau tidak lapar, kalau bosan makan. Perkenankan aku memberikan keramahan padamu, untuk seluruh kerinduan yang menghancurkan dinding-dinding egoku. Bagaimana aku bisa keluar kalau kamu tidak masuk.
Kamu bisa mendengar kamar mandiku memandikan tata bahasa, di tangan penggoda seorang penyiar TV. Perkenankan aku membimbing tanganmu. Masuklah di sini yang di sana. Masakini yang di masalalu. Masuklah kalau kamu tak suka tata bahasa. Tolonglah kalau begitu, ganti bajumu dengan bajuku. Mesin cuci telah mencucinya setelah aku mabuk, setelah aku menangis, setelah aku bunuh diri 12 menit yang lalu. Bayangkan tubuhku dalam baju kekosongan itu. Tolonglah bacakan kesedihan- kesedihanmu:
Kemarin aku bosan, hari ini aku bosan, besok akan kembali lagi bosan yang kemarin. Apa tata bahasa harus diubah menjadi museum es krim supaya kamu tidak bosan. Tolonglah. Semua yang dilakukan atas nama bahasa, adalah topeng api. Pasar yang mengganti tubuhmu menjadi mesin penghancur dokumen. Tolonglah, aku hanya seseorang dalam prosa-prosa seperti ini, seorang pelancong yang meledak dalam sebuah kamus. Sebuah puisi murung dalam mulut mayat seorang penyair. Tolonglah, tidurkan aku dalam kesunyianmu yang tak terjemahkan. Mesin penghancur dokumen yang sendirian dalam kisah-kisahmu. Afrizal Malna, Arsitektur Hujan
Kamuflase
Jangan ganggu aku menjaring misteri di awang-awung berloncatan malaikat kepaknya senandung keabadian air pegunungan membasuh resah
Kutangkap senyap senja lenyap didekap gelap sisakan sesak bumi yang penuh kerak hati
mengendarai duka terbang di awang-uwung menuju rimba semu rumput-rumput hijau berbunga pisau menggores ruh purba berpijar lukanya
1992 Bambang J. Prasetya, Tanah Suluk Perdikan
kawat telepon. Hubungan gaib antara kita. Sebaris angka dan selepas apocalypse now engkau membereskan ranjang
aku suka kamu katamu sungguh? bisikmu
ruang yang mengurung itu bermakna sandang pangan waktu dan cinta pun berdenyut sendiri sendiri sendiri sendiri
aku akan menelepon katamu cerewet! teriakmu
menagement hotel menghadirkan sarapan. Telor dadar dan kopi di dinding. Siapa yang iseng mencatat nama nama nama nama nama nama
saat pun usai. Mengapa tak ada yang tersisa?
1980 Beni Setia, Legiun Asing
gedung-gedung menyuruhku mencari hawa segar dan belukar buat kulit. Jalanan merampas waktu, menghancurkan teduh
kapan kita bisa bercakap? katamu di telepon lucu! Bukankah kita sering ingin sendiri? bebas ke sana bebas ke sini. Bebas ber-apa
tapi kita ingin apa? bisikmu. Bar dan diskotik gereja dan pendeta dalam batin. Pesta-pesta adalah upacara pertobatan
lengang dalam kepekakan. Kapan katamu, kita bisa bercakap. Lucu! : apakah itu perlu?
1982
pohon-pohon menggosok-gosokkan kulit musim dingin riap pucuk-pucuknya. Rontok kuning-kuning daunnya bayang-bayang, seram, mengancam
jalan yang panjang, kata lelah, ya, apa namanya? Dua-puluh satu tahun dihabiskan untuk mencari Bertanya-tanya -- berulang-ulang ditempeleng bosan
nvanvikan sebuah samba, kata arak. Mobil dan motor meraung di tikungan. Pelacur sakit selangkang batuk : siapa berjejer di ujung gang?
pedang panjang! Angin musim dingin menggelisir Tuhan! -- aku masih ingat kamu. Heran
1982 Beni Setia, Legiun Asing
seperti baru kemarin aku menjejakkan kakiku pada lumpur yang kini kekal di museum 5.000 tahun yang lalu di Mohenjo-Daro tidak salah lagi dan seakan-akan setiap 100 tahun aku lahir di tempat lain dan mati di tempat lain lagi. Senantiasa tanpa sadar
melakoni jalan-jalan serupa, menempuh jalinan yang sama. Menuruni jurang, memanjat tebing. Melayari laut Selatan berulang-ulang, dan senantiasa dikurung lengkung langit. Menyerah dalam lelah, mati dan lahir lagi di tempat lain dan kembali ke sini dan kembali berbuat begini. Dengan tanpa sadar
dunia ternyata cuma dirambati ketidakmengertian tubuh hancur dan utuh lagi. Roh dikumpulkan di pinggang Adam. Termangu dan dungu buta dan pekak oleh denyut waktu terpisah dari segala peristiwa, terpisah dairi setiap ingat. Menggelepar dalam ruang sempit. Terkapar mabuk kekinian
kita dikurung dalam peristiwa dan ruang yang melulu itu. Alpa dan tak mau tahu : tidak diberi tahu! Diikat dan dibimbing naluri tunggal, dan senantiasa berbuat sama. Dijebak fatamorgana, dan sadar kita tercecer-cecer. Lesu. Buntu tak mampu menyimak Sejarah Kemanusiaan
1983 Beni Setia, Legiun Asing
kita tidak sedang menunggu. Lepas dari kefanaan dan meluncur masuk keabadian. Meski mungkin akan tetap menderita. Senantiasa, di sini, dalam kekal. Kita tidak hidup dalam waktu. Kita tidak dipertemukan oleh umur oleh waktu. Oleh saat yang sama di sini di dunia. Kita diikat ruang dan jarak. Keterkurungan dan keterpencilan dan lambaian kebersamaan
mari kita rubuhkan benteng, mari kita bakar pagar-pagar. Jalan-jalan berentangan, membentang hingga seluruh hamparan senantiasa bermula dari manusia dan berakhir pada manusia dan berjuluran ajakan dan berjuluran keakraban. Mari kita melabur dinding dengan warna kuning gading dengan warna hijau muda. Dan bukan warna merah, atau putih, atau hitam! mengubur kunci dan grendel. Melebur besi dan menjadikannya genta kumandang bening dentang kasih setiap saat
senantiasa tersenyum. Senantiasa menyapa dan mengajak singgah. Menunjuk istirah dan membicarakan pekerjaan bersama demi kebersamaan bersama-sama Beni Setia, Legiun Asing
Syair Kesedihan
Kusadari malam itu, matamu kata-kata. Pohon cemara sendiri dalam hujan, mengubah kelopak-kelopak airmata jadi permainan cahaya.
Aku melihat seorang anak perempuan pada matamu yang ragu. Mencoba helai demi helai sayap rapuh kupu- kupu; bermimpi menyihir batang cemara jadi sepotong coklat raksasa.
Hidup dan mati seorang penyair berkawan kata- kata. Kata adalah ruh dan keajaiban; keriangan dan kesedihan.
Sebab matamu kata-kata malam itu, aku menjadi seorang pencinta.
Kutanggalkan tubuh penyairku dan kuciumi wangi kerudung rambutmu.
Dari dunia yang murung, Zamzam berkata, "Penyair tidak sedih karena ditinggalkan."
Tidak. Penyair adalah pemburu kesedihan.
Bagi penyair, kesedihan yang sempurna sorga yang dijanjikan.
Hanya pencinta yang tidak pernah bersedih karena ia tahu kelak akan ditinggalkan.
Seorang penyair dan seorang pencinta mengembara dalam tubuhku.
Maka biarkan kuiris matamu dengan puluhan kecupan.
Lukai aku dengan kesedihan.
1996-2006 Cecep Syamsul Hari, 21 Love Poems
Senja di Pelabuhan Kecil Buat Sri Ayati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
Chairil Anwar, Deru Campur Debu
Ada Tari dalam Diam
Napasmu yang ditahan pohon-pohon kabut mencampakkan bercak-bercak ke langit senja dan bunga- bunga yang mencoba baca jadi buta Tangis pun menjadi pohon cuaca yang melindungi tugu garam yang segera akan cair mendengar lagu aneh dari zaman Puangnge ri Lampulungeng Kita memang bukan siput, lumut dan rumput, tapi serasa sehati dengan mereka, hingga kecut asam yang melekat di lidah mereka kuterjemahkan dengan bahasa cambuk dan pisau. Bayang-bayang yang bertumbangan di ketiak ilalang diam- diam menyemaikan bintang pada coklat bumi yang bisu. Menari dalam diam tentu ada panen menanti di belakangnnya Ada
(Puangnge ri Lampulungeng: orang pertama yang berkuasa di daerah Wajo) D. Zawawi Imron, Berlayar di Pamor Badik
Pong Tiku
tak kuhitung berapa awan yang gugur dan keningmu tapi gunung-gunung yang pernah kau taburi rindu masih tetap menyimpan madu
kutahu kini engkau melangkah memahat jejak di batu-batu
dari tongkonan ke tongkonan senyummu menyiratkan gelombang karang jadi harapan kerbau-kerbau yang rajin mencangkul walau kemarau
hutan-hutan itu masih terasa istanamu saja karena kekhidmatan alam punya kemerduan lagu yang amat dalam
pertemuan ini hanya sebuah ketika bintang demi bintang akan tenggelam sedang sorot matamu tajam senantiasa mengintip dari sela-sela hujan yang disiramkan matahari
D. Zawawi Imron, Berlayar di Pamor Badik
Hanya Seutas Pamor Badik
Dalam tubuhku kaunyalakan dahaga hijau Darah terbakar nyaris ke nyawa Kucari hutan sambil berdayung di hati malam
Bintang-bintang mengantuk menunggu giliran matahari Ketika kau tegak merintis pagi selaku musafir kucoba mengerti: Ternyata aku bukan pengembara
Kata-kata dan peristiwa telah lebur pada makna dalam aroma rimba dan waktu
Hanya seutas pamor badik, tapi tak kunjung selesai kulayari
D. Zawawi Imron, Berlayar di Pamor Badik
Ketemu Juga Akhirnya
kucari sosok tubuhmu pada bias sukma di langit meski langit tak mungkin secantik kenangan
nyatanya kau termangu di tikung sungai merenungi percakapan daging dan tulang
ketemu juga akhirnya bayang-bayang yang akan kekal terkatung pada ranting penyesalan
kalau besok kubangun bendungan di sungai hijau maka air harus mengalir menyusul roh-roh yang belum pulang
1979 D. Zawawi Imron, Bulan Tertusuk Lalang
Potret Diri
Inilah aku Lahir dari kawah masa lalu di daratan miring Sebelum tumbuh biji-biji salak pondoh
Matahari tak selamanya sengat Untuk kemarau awal musim tanam tembakau
Aku lebih suka langit yang terbakar Lebih suka minta hujan bersama para hewan Ketimbang menjadi tadah hujan buatan
Aku suka sawah. Benci hama tikus, wereng, dan barisan kera Tapi tak sanggup menolak apalagi mengutuknya Sebab aku dan para tetangga selalu belajar sbagai hamba
Selamatan adalah bahasa hari. Mengepungaminkan tumpeng Adalah caraku menampik bencana Adalah puisiku memuja semesta
Aku tak mengidap sakit ketinggian Pagi sore manjat pohon kelapa, ngobong kayu menyulap nira Menjadi gula jawa Merebus hidup bersama modin dan sesepuh desa
Bajak lembu adalah alat tulisku. Mengaduk rumus humus dan anti pestisida Mencampur air kencing kambing dengan daunnan kering Tanagpun jadi subur tak ada hingga
Inilah aku Suka piara kerbau tapi tak berarti sealur pikir dengan otak kerbau
Magelang, 2012 Dedet Setiadi, Gembok Sang Kala
Kalender Lunar
mencermati bulan gerak putar yang tak pernah diduga tibatiba purnama
kau selalu bercerita tentang malam dan serigala manusia dan petaka sesuatu yang bernama kala
di setiap bentukan bulan kau memandang langit mahabintang tibatiba gerhana
Dian Hartati, Kalender Lunar. Anggur buat Olfato
kata orang, aku dan olfato berteman baik meski kami hanya saling mencintai aku adalah hati, dan olfato berarti naluri
aku menyukai kesedihan yang jatuh dari hujan dan menetes dari anggur karena mereka bening dan segar seperti kristal usia kamu dapat hidup di masa lalu selamanya; karena olfato membenci airmata di tubuhku dan aku dapat membuangnya setiap hujan itu datang
tapi aku tidak mengerti mengapa olfato lebih menyukai perempuan yang bahagia yang selalu kering dan baik-baik saja yang dapat melihat yang benar dan salah pada cinta
di hari kami berpisah aku menyimpan sisa anggur untuk masa tua kami sebab, kata orang, aku dan olfato berteman baik meski bagiku kami hanya saling mencintai
namun olfato tiba sebelum masa tua ia datang bersama perempuan itu: akalnya dan gelas yang kupunya cuma dua jadi kusuguhi mereka dengan kata-kataku saja sampai mereka pergi: perempuan itu tak bisa mengambil milikku lagi!
beruntung, hujan turun kemudian kutenggak anggur sendirian
Dina Oktaviani, Hati yang Patah Berjalan
Stasiun yang Kering
aku menangisi stasiun yang kering dan seperti seharusnya tak seorang pun peduli selembar karcis bekas; penuh kutulisi
aku pernah mencintaimu setiap hari dengan tubuh hijau dan pikir yang memar mengagumi kejahatan-kejahatan kecil : tanda cinta yang orisinil
tapi hari ini mau ke mana aku mau ke mana sekopor pakaian dan buku yang itu-itu juga
dalam sakit aku telah mengganti semua merk dan judulnya agar semua waspada, agar kamu curiga agar tak seorang percaya: dalam hatiku tak satu bisa berubah
senja kesekian memasuki stasiun di seberang gereja lama kamu muncul dengan rindu yang asing seperti kemarin ; mengacung namaku tinggi-tinggi
bibirmu terbuka aku menghambur tanpa malu: memelukmu aku memeluk udara
Dina Oktaviani, Hati yang Patah Berjalan
Taman Ketabang di taman ketabang, kita bercakap tentang hari-hari yang lewat sementara orang-orang di sekitar semakin erat berpelukan atau khusyu mananti kambangan kail bergerak digondol ikan, kita mengurai waktu di antara orang-orang yang berusaha keras menangkap waktu, mengabadikannya dalam kekinian, kita melompat dari kemarin ke kemarinnya lagi, mengeker-eker kubang kenangan, ada jam dimana kita bertengkar tentang cat rumah yang nampak muram, ada juga detik ketika kita saling tersenyum membayangkan anak-anak kita tumbuh menjadi orang-orang berdasi dan bekursi, namun sebelum tuntas segala yang melintas di atas kepala dan percakapan kita, kau tiba-tiba berkata: meski banyak orang dan pohonan di taman ini, meski banyak impian dan harapan berlompatan, namun entah mengapa aku merasa sendiri, sepi dan sunyi, kau tahu, cuaca di tempatku, beberapa waktu ini dilikut kabut, seperti hatiku, beberapa cermin yang terpasang di kamar enggan memantulkan bayangan, bahkan, kertas-kertas yang biasa kutulisi puisi, lembab, tak mau terbuka lagi, seperti pikiranku, sampaikan maafku pada anakmu ketika ia memejamkan mata, atas malam-malam panjang yang hilang darinya, karena kau sedang mendendang kidung tidur buatku, tapi percayalah, tiap linang air mataku adalah sebuah rindu padamu, meski aku tahu, aku telah kehilanganmu sejak awal pertemuan (F. Aziz Manna, Siti Surabaya dan Kisah Para Pendatang)
Montase Kota Mati
/1/ di pagi muram menikam pintu, kelambu dan lampu masih menyala dalam kamar jejak hujan dalam dada jejak kenangan ingatanku berlubang
/2/ terlihat leher bumi yang retak laut mengirimkan air matanya ke serambi jantungku lama sudah tak terdengar ketuk pintu di ruang tidurku
/3/ dari jendela itu terpandang rintik hujan kelopak basah daun jantung patah dan sebuah payung tertinggal sendirian
/4/ o, kenangan hujan dalam dekapan kadang muncul kadang tenggelam di mataku menggenang gemuruh adzan
/5/ hujan pun jatuh di kepala susut di hitam rambut tiris di garis alis tumpah di air mata
/6/ aku pun menulis kisah pada wajah mungil bunga pada televisi dan majalah pada seluruh peta kota dan di sana, di sudut entah dimana, hujan dan aku tak pernah ada
/7/ sementara, tak ada lagi musik indah orang-orang berderap dalam teriak seperti ingin hidup seperti ingin mati seperti warna kopi
/8/ sekawanan gelombang berderap menerobos gerbang kota di pusat pusar air setangkai bunga patah makan terasa sakit dan kau entah kemana
/9/ nyawa melengkung dalam ombak menancap dalam karang mengendap dalam kehijauan pekiknya melulur di jantung kota
/10/ musim mengamuk mengasingkan kenangan dari ruang tunggu matamu dan pintu nasib itu mengembunkan seluruh pikiranku
/11/ hujan bukanlah air bukanlah petir bukanlah geludug bukanlah mendung tebal awan hitam, bukanlah tuhan, kota terus bimbang
/12/ lalu titik menitik entah terus entah putus kata kata dalam haus
/13/ di tikungan jalan itu masih tergambar cinta dan lembut suara, ketika gerimis pecah bayang berbayang aku kau tanggalkan
/14/ seorang anak adalah perahu penyelamat di musim hujan, seorang tua kini dengan bunga di sudut taman kota
/15/ daun-daun melayang kabut tebal mengembang limbung mengambang di sungai panjang bayi mati terbuang
/16/ di taman makam kota terbaca kisah ribuan orang bergerak dalam perang (antara impian dan dendam) payung-payung hitam meninggalkan masa depan waktu hanya hitungan, kota hanya sebutan
/17/ waktu jalan penuh hujan si tua muram berjalan berkerudung kenangan hitam
/18/ dan kota penuh awan penuh gemuruh penuh ledakan penuh wajah ketakutan ciumlah aku maka kau kutinggalkan
menyusuri reruntuhan kota lama Surabaya Utara
/19/ aku berjalan di rawa-rawa mati apakah yang mungkin selain kata dan cinta sedang tubuhku penjara dan wajahmu terlampau berbahaya
/20/ kota-kota halte mulut-mulut menganga seorang orang menggenggam detik jam antara pergi dan mati
/21/ aku terus berjalan di rawa mati, 100 nyawa tercekam dan sejarah dirobohkan, bekasnya jadi lobang penuh kutukan
/22/ orang-orang berkumpul membicarakanmu tapi bahasa hanya bergetar di mulut sendiri waktu telah retak, memusat di tubuh ini tapi kenapa kau lari, lari dariku
/23/ aku pun tenggelam di rawa mati pintu menghadapku sekaligus menghadapmu tapi siapa, yang tiba-tiba saja, merobohkannya?
/24/ seperti kekosongan kota ini tak bisa dibingkai seperti puisi atau komposisi bunyi-bunyi kota ini tak mau ditafsiri
/25/ maka jangan kau cinta mereka yang berhasrat tinggal bersama seperti hujan datang dan pergi
Gerbang Kota yang Dirobohkan Malam Hujan Paska Wonokromo Dibakar
/26/ dalam sebuah bait suci adzan melengking putih membisikkan sesuatu yang seluruhnya sia-sia
/27/ ini malam kelam mencekam lubang hujan di jantung karang
/28/ antara mendung dan kembang celung angin tertikam, lanskap garis hujan di tengah ruang kosong malam
/29/ beberapa cahaya dinyalakan beberapa kepala bertopi lebar beberapa jauh di tengah lautan dengan doa dalam hujan
/30/ rumah dalam lingkar mawar sehabis hujan sehabis: tuhan apakah yang kau inginkan? jalan terjal, pintu, aku, dan bayangan menjauh
/31/ seberkas bunga plastik aspal selepas hujan angin bergetar mengikuti bayangan seorang tua dalam wajah ketakutan
/32/ dalam sisa-sisa hujan hanya seorang pejalan hanya angin malam hanya kekosongan wajahmu begitu muram
/33/ seperti cintaku dunia akan menjadi masuk akal jika memang kau berkehendak hujan menerjemahkan gebalau
/34/ dan bila kerinduan bersayap ke jendela kamar tentu akan terbang untuk menculikmu saat ini sebab langit berdusta dengan bahasa cuaca
/35/ waktu telah menetes di balik awan membentuk danau di dadaku di dasarnya jantungku membatu
/36/ kenangan hanya kaca yang lekas pecah ketika hujan tak hendak selesai dan kau berpaling, pulang dalam diam
/37/ kota telah berlayar dalam gelombang dan cerita tinggal gesekan biola lalu bagaimana kusembahyangkan kenangan cintaku padamu
/38/ pintu terbakar dan aku telah sampai pada titik dimana cinta tak mungkin lagi dimulai seperti kopiku yang kian pahit kota kian gelap (F. Aziz Manna, Siti Surabaya dan Kisah Para Pendatang)
Pembunuhan Kopi di Pagi Hari
andaikata kuregang badan sekujur waktu, tetap saja tak kutemukan kau di situ. sejak lama sudah, kecewa ini kupelihara, seperti lumut menyelimuti batu. aku tak pernah sia-sia, walau sekali lagi, sekali lagi, melulu kekalahan kurayakan. secangkir kopi panas yang kuhirup pagi dini sekali, menyodorkan kangen yang selalu datang di permukaan peruntunganku; kapan aku bisa memenangkan kejuaraan yang tak pernah dipertandingkan? kangen yang selalu mengingatkan bahwa kau masih ada. tapi koran pagi, berita radio dan televisi tak henti mengingatkan siapa saja bahwa waktu sudah tiada. karena itu, silakan kita ramai ramai membunuh kecewa. kita tidak bisa lagi mengenali diri sendiri lewat cermin mephistopheles. bahkan kata hati pun sudah tidak jujur pada dirinya sendiri. lidah selalu me- ngatakan yang sebenarnya dari yang sebenarnya bukan. emhhbetapa panas hari, dan tak ada angin di sini. pada- hal masih dini pagi, dan tukang sayur mulai menjajakan koran. pada saat seperti itu, pada suasana seperti itu, hanya satu yang ingin aku nyatakan; aku dapatkan satu dari kamu dengan melenyapkan satu dariku. kau tak tahu.
1992 (Radhar Panca Dahana, Lalu Waktu)
Sajakku, Cinta : rianti jika sungai ini cairan waktu cinta kanyut di dalamnya, hanya, lebih panjang jarak alirnya lebih luar batas tepinya lebih deras kuat arusnya lebih bening corak warnanya lebih tak mungkin merumuskannya tapi, tentang itu telah terlanjut kita bicara, hei kekasih, mana kau senang tenggelam atau berenang?
1985 (Radhar Panca Dahana, Lalu Waktu)
Burung Azan Magrib
seluruh sunyi telah kita dekap dalam degup rindu, sore itu. tapi selalu ada gema, seakan kumandang karang dari perah hatimu. kubaca jengkal tanganmu dalam perih doaku, hingga kita paham: di kamar paling gaib pun sunyi berpintalan dengan diam. lalu kita menangis di helai-helai waktu yang membakar. kita pun berkobar, menari, menggali luka sunyi luka diam dalam firman malam
azan magrib itu kini jadi burung. mengepak dalam airmatamu yang tertahan di doaku. terbang mendekap rindu di antara reranting nafasku
adakah yang lebih dalam dari dekap burung pada rindu?
2002 (Jamal D. Rahman, Garam-garam Hujan)
Anak-anak Tembakau kepada petani tembakau di madura
kami anak-anak tembakau tumbuh di antara anak-anak batu nafas kami bau kemarau campur cerutu
bila kami saling dekap, kami berdekapan dengan tangan kemarau bila kami saling cium, kami berciuman dengan bau tembakau
langit desa kami rubuh seribu kali tapi kami tak pernah menangis sebab kulit kami tetap coklat secoklat tanah tempat kami menggali airmata sendiri
langit desa kami rubuh seribu kali tapi kami tak pernah menyerah
pada setiap daun tembakau kami urai urat hidup kami pada setiap pohon tembakau kami rangkai serat doa kami
2000 (Jamal D. Rahman, Garam-garam Hujan)
Bayang-bayang
pada usia berapakah matahari menciumimu? usia beredar sepanjang ajal: perjalanan yang tak sampai- sampai pada hujan sementara percakapan dengan dinding tak pernah sampai ke cakrawala. berapakah usia matahari, ketika dia turun memeluk nafasmu dalam tidur yang menggelisahkan
tak kujemput bayang-bayangmu pada ufuk matahari yang jauh sebab setiap kali berusaha mengenangmu, aku selalu melupakanmu
di manakah jejak-jejak itu menggariskan airmata? luka tak lagi memercikkan darah, melainkan nyanyian yang dipetik dari gitar kayu: menimbang- nimbang matahari dan kemudian menggulirkannya sepanjang darah sembahyang
ingin menurunkan matahari, aku begitu khusyuk memeluk cakrawala ...
1991 (Jamal D. Rahman, Garam-garam Hujan)
Bernafaslah pada Ombak
bernafaslah pada ombak. karena danau telanjur menyimpan buih. membendung gelombang zaman dan menghanyutkan doa. dari bukit sukmamu batu-batu pun hanyut ke dalam sujud muara, memadatkan tangis benua
dari dasar laut, ombak membangun gelora malam. lampu-lampu nelayan menggeliat, jadi bintang di keluasan matamu. mengedipkan mata ikan pada kail dan jala yang mulai cemas menunggu. di sini, lumpur menghampar, menenggak air sembahyang dari cangkir- cangkir kecemasan
1987 (Jamal D. Rahman, Garam-garam Hujan)
Rubaiyat Matahari
1 dengan bismilah berdarah di rahim sunyi kueja namamu di rubaiyat matahari kau dengar aku menangis sepanjang hari karena dari november-desember selalu lahir januari 2 engkaulah sepi di jemari hujan kabar semilir dari degup gelombang engkaulah api di jemari awan membakar cintaku hingga degup bintang- gemintang 3 atas sepi perahuku bercahaya membawa matahari ke jantung madura atas bara api cintaku menyala menantang matahari di lubuk semesta 4 aku peras laut jadi garam mengasinkan hidupmu di ladang-ladang sunyi aku bakar langit temaram bersiasat dengan bayangmu dalam kobaran api 5 batu karam perahu karam tenggelam di rahang lautan darahku bergaram darahmu bergaram menyeduh asin doa di cangkir kehidupan 6 karena laut menyimpan teka-teki di puncak suaramu kurenungi debur gelombang karena layar hanya selembar sepi di puncak doamu kukibarkan bintang-gemintang 7 pohon cemara ikan cemara menggelombang biru di riak-riak senja antara pohon dan ikan kita adalah cemara mendekap cakrawala di dasar samudera 8 di rahang rahasia rinduku abadi sampai runtuh seluruh sepi rinduku adalah ketabahan matahari menerima sepi di relung puisi 9 di relung malam lambaianku menua juga pandanganmu di kaca jendela alangkah dalam makna senja menanggung berat perpisahan kita 10 dari pintu ke pintu ketukanku kembali tak lelah-lelah mencari januari di reremang pagi dari rindu ke rindu aku pun mengaji tak tamat-tamat membaca cinta di aliflammim puisi
2002-2003 (Jamal D. Rahman, Garam-garam Hujan)
Tentu Saja
tentu saja ada yang tak mengenal kemiskinan sedang pahitnya kutelan sepanjang usia maka namaku salah satu dari nama duka
tentu saja ada yang tak mengenal penindasan beratnya orang dikejar diburu terhalau dari kampung kelahiran sedangkan aku adalah buruan itu sendiri maka jadi kembara
nah, bukankah sejarah penuh tikungan tajam dan mendadak di luar hitungan aljabar hidup kadang seperti meja perjudian
tak ubah medan laga kaya intrik kejam tanpa kasihan kelanggengan sangat jauh dari padanya
tentu saja ada yang tak buta aksara tapi tak sanggup membaca lalu mengambil jalan gampang malas bertanya tak heran sebagai budak membunuh pun jadi tak enggan. bangga!
penyair kukira di sini kau dinanti menarung kejahilan memanusiakan bumi
1990 ((JJ Kusni, Sansana Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan))
Keinginan
aku biarkan diriku menemuimu petang ini kubiarkan musuh-musuh dalam diriku menggiring kuda-kudanya ke padang rumput berwarna merah - cahaya mataku yang merana dan udara bergetar di atas rumputan
kau mungkin mengenang lambaian tangan dan pesan-pesan agar berkabar setelah sampai tujuan, lalu aku mengenang kelam jalan-jalan
adakah kau siap-siaga mengintai debar jiwaku yang kehilangan dan selalu berhasrat menghukumku?
kau menemuiku bagai cahaya yang melesat seketika alam di sekitarku padam aku telah kehilangan waktu untuk abai padamu
miri-sawit, juni 2005
( Tak Jadi Hujan di Singaraja
Aku tau kau tak ingin pulang tanpa hujan Burung-burung sudah jauh. Peluit kapal terdengar senja di daratan Oktober penuh teka teki. Bunga bunga mekar tak ingin membagi wangi Aku terluka. Tanah hitam purbanimu mengerjarku bagai akar akar anggur penuh doa ; mungkin sebentang layar. layar? bukan! hanya angin puyuh seribu tangan batu yang sunyi tiba- tiba meronta ingin tumbuh! tiang tiang patah kendi kendi penuh dongeng berjatuhan di pucuk pucuk tanah bagai serpihan kaca benggala lapar dagingku tak puas mengunyahnya
Saat itulah aku ingin melupakan segala yang pernah kuketuk di tubuhmu ; desa desa menuju malam. menuju lampu! kutu kutu tanpa pohon mengendap di dasar senyap impianku; buah-buahan yang tak pernah matang gugusan arca dan aroma cengkeh di bukit adalah ombak yang ingin tidur di hamparan pasir penuh bulan
Engkau ingin menyepuhnya untukku. Untukku? Jangan, Kekasih! Biarkan saja begitu. Bukankah engkau ingin menjadi hujan yang tak pernah turun di altar cemas musim tanamku? Cuaca begitu liar Dan di bawah bintang jatuh doa doa hanyalah gumpalan angin garam yang gampang terbakar
Padam bersama waktu Kembang kembang api di laut adalah tangan lembut bidadari yang ingin kau sentuh dengan hati kanak-kanakmu
2003 ((Riki Dhamparan Putra, Percakapan Lilin)) )
Tasbih, Sebuah Prolog
Aku meninggalkan jalan penuh pasir. Kadang berkelebat seperti bayangan, kadang dingin, kadang haru seperti gerak lilin. Kadang hanya aku. Pucat seperti tepi langit yang berdiri tanpa kaki dan kepala. Dan kalau kudapatkan kembali kaki dan kepalaku, bumi berubah lengkung seperti huruf U. Bagaimana aku akan berdiri tenang di situ.? Matahari seperti penyakit. Dedaun seperti teduh yang bermusim dipingit. Kau apa, adakah kau Nama yang hidup dalam panggilanku? Adakah Kau Kata yang membasahi gurun pasir kering dalam perjalanan nasibku? Adakah kau Huruf yang menyusun ingatan dan tulang-tulangku? Ada nggak Kau bagiku?Aku tak pernah ingin meragukan Adaku. Aku hanya rindu. Tapi ketika kau tak muncul muncul juga dalam gamang sembahyangku, berkeluh kesahlah aku. Dan ketika semua Tanya berakhir pada batu, menjadi hampalah semua bagiku. Jalan-jalan berujung pada kelahiran baru. Kelahiran menjadi pintu bagi penderitaan baru. Penderitaan member persimpangan atas dua pengetahuan. Yaitu kesiaan dan pencapaian. Aku inginkan pencapaian. Aku daki Kau pada jalan yang berputar-putar seperti lingkaran aksara pada biji tasbih. Hingga akupun merasa ditinggalkan oleh semua keinginan itu. Oleh Kau yang tetap menjadi rahasia dalam semesta istighfarku. Di kota-kota aku terluntas seperti angin. Rambutku berombak, sepasang mataku adalah layar yang ujungnya samar. Dan tanganku melambai seperti garis yang dungu, berputus-putus dengan kaku. Tak ada awal, tak ada akhir. Tak ada perjalanan yang terlalu istimewa untuk dipuja sebagai takdir. Tak ada dalam perjalanan ini. Apakah artinya Kau bagiku? Malam menjelma kotak yang makin sempit. Cinta menjelma lorong-lorong. Dan ingatan merapuh seperti ludah laba-laba yang terayun di karang- karang purba kegelapan. Garis-garis menjelma aksara yang nista, tak ada ujung pangkalnya. Aku tak pernah ingin meragukanmu Adaku. Aku hanya ingin mengalirkan. Karena akata-kata adalah air yang harus dialirkan. Dan seluruh pengetahuanku adalah bendungannya. Namun mengalirkannya tidak mudah. Ia memerlukan pengetahuan dan keyakinan, nyawanya adalah keikhlasan. Pengetahuan seperti bintang-bintang yang bertebar di langit malam, dan keyakinan adalah gunung gunung batu yang bersila meneguhkan isi alam. Keikhlasan adalah pintunya. Darimana seorang kekasih dipanggil untuk lenyap bersama cahaya yang menggantikan fana jasadnya. Sementara bumi dan penghuninya akan terus membusuk. Mereka yang tak terbebas, akan lahir kembali untuk membersihkan seluruh masa lalunya. Tulang dan kayu kayu lahir menjadi energi materi, dan sebagiannya lahir menjadi pepohonan. Begitu terus, hingga suatu hari lingkaran itu terputus, dan bola bola tasbih yang mengepungnya menggelinding menjadi gelembung gelembung cahaya yang kudus. Serasa dekat dengan Budha, aku pun bersila. Karena semua yang bersila dengan istighfar adalah tubuh bagi sang Budha. Semua yang terbebaskan dan tercerahkan adalah ruh bagi Budha. Rinduku adalah jalan. Engkau yang maha hidup adalah sumber tenaga bagi semua kendaraan. Kemudian aku menunggang kendaraan itu dengan penyesalan dan ketakberdayaanku. Pergi dengan dentang lonceng yang mendengung jauh di ubun dan urat jantungku. Hingga di sebuah kapal aku dilemparkan ke laut lepas dan menjadi mangsa Ikan Nun. Dan selama bertahun- tahun selimutku adalah hawa dingin, duniaku adalah kegelapan yang membentuk labirin. Akupun menyalakan lilin. Selama bertahun-tahun pula lilin itu menyala dari penyesalan dari ketakberdayaanku. Bila Ikan itu merasa panas, diapun memuntahkan aku ke sebuah pantai senja. Bumi terus berguncang. Negeri-negeri tak pernah aman. Aku yang membisu, belajar menjadi saksi bagi setiap kejadian yang hendak menunjukkan keberadaan dan kuasaMu. Kejadian-kejadian yang kusut. Dan aku terus mengurainya dengan tangan yang gemetaran. Sehelai demi sehelai, aku memilahnya. Menariknya lurus ke arah kebenaran dan keindahanMu. Tapi benang ini terlalu panjang untuk direntang lurus. Dan juga terlalu panjang untuk kembali digulung dengan tanganku yang lemas dan kurus. Bagaimana kau berdiam, bagaimana kau bersemayam? Adakah kau yang berdetak setiap kali aku sunyi memandangi lampu lampu malam? Mereka seperti pepohonan dengan buahnya yang menyala. Tapi di kejauhan, aku tak melihat tampuknya. Aku inginkan itu wahai Kau yang menjadi tampuk semua buah rindu. Aku inginkan itu,
2003 ((Riki Dhamparan Putra, Percakapan Lilin))
Migrasi Sebuah Zaman kepada Afrizal Malna
Sejarah yang adil Telah memberi amanah kepada benda- benda Yaitu kehidupan Hingga tak ada lagi benda mati Semua bergerak mencipta zaman
Aku kehilangan sahabat tak sanggup mengucap diri dalam benda-benda Karena kupikir benda-benda mengalami kiamat Aku terdakwanya
Aku benar-benar membenci cinta hari ini Ketika pada hari yang lain Tak ada tampak yang kekal untuk dikasihi Keinginanku yang terbesar adalah membunuh Sebagaimana benda-benda itu menang dengan gemilang menang dengan gemilang Tapi sejarahlah yang paling gemilang Ia hendak mengadili diriku dalam dirimu Ketika migrasi besar-besaran Terjadi ke dalam benda- benda itu
2001 ((Riki Dhamparan Putra, Percakapan Lilin))
Ragukan Aku Tanpa Ragu :cahaya tidak seberat itu, anakku pikul yang kau pundak di berat tubuhmu. itu semata beban sejarahku ego-obsesi buruk ayahmu membuat pikirmu tunduk tawamu suntuk dan sekujur tubuhmu takluk.
semua itu salah, salahku tak menangkap lapang ruang di dadamu langit tak berwarna di benakmu. aku mensyukurinya dengan dusta semua kata yang kuwariskan ke diriku sendiri, ke pantulan matamu. ke cerobohku menata kasihmu.
seberat semesta yakinku pada duniamu, pada semua enerji yang percaya padamu. namun untukmu, nak
pilihlah semua ragu untuk semua yakinku. sebab tinggal haru tinggal biru menggenang di langitku tinggal gelombang dan karang di laut kembaraku.
laut di mana semua tetesnya adalah cinta, untukmu semata tapi lagi sekali, ragukan aku bila tetap tersedu, tetap jadi aku ragukan semua tanpa ragu (Radhar Panca Dahana, Lalu Aku)
Halte, 2
tubuh adalah halte yang kelak roboh, seperti rumah kayu yang dihancurkan rayap dan cuaca gelap
lalu apa makna persinggahan bagi yang mengangkut dan menurunkan penumpang? Kau tahu, sinyal itu
kembali mengirim isyarat ke arah yang lain seperti kedip lampu morse dalam kabut Waktu.
lalu setelah itu tajam mandau perpisahan kembali menyayat sang kalbu di ruang dalam yang kelam lezat yang tinggal karat
2003 (Soni Farid Maulana, Angsana)
Cahaya Kecil
di ujung dermaga seseorang menanti ia jatuh cinta pada cahaya kecil di bola matamu. Dicatatnya harum rambutmu dalam tujuh larik puisi yang ringkas
jika salju turun seluas kalbumu kau pasti memburunya tanpa ragu. Sebab api yang menyala di rongga dadanya: adalah kehangatan hidup yang kau cari
ya, memang sepanjang jarum jam berputar di dinding jantungmu: ia hanya buih yang menanti kawih. Tapi, jika waktunya tiba ia metafora dalam merdu kawihmu.
2005 (Soni Farid Maulana, Angsana)
Pernjataan kepada C.A.
Aku makin mendjauh Dari tempatmu berkata kesekian kali Laut-laut makin terbuka Dibawah langit remadja biru pengap melanda
Apakah tjinta tinggal tjinta, kujup Tanpa kehendak biar sajup? Berkata tentang diri sendiri Berkatja dan kembali berlari?
Balai malam jang gugup Mendjadi saksi kita berdua Terhadap makna dan kata-kata Jang hidup dalam hidup keras berdegup
1955 (Toto Sudarto Bachtiar, Suara)
Ibukota Sendja
Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telandjang mandi Disungai kesajangan, o, kota kekasih Klakson oto dan lontjeng trem saing-menjaingi Udara menekan berat diatas djalan pandjang berkelokan
Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam sendja Mengurai dan lajung-lajung membara dilangit barat daja O, kota kekasih Tekankan aku pada pusat hatimu Ditengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu
Aku seperti mimpi, bulan putih dilautan awan belia Sumber-sumber jang murni terpendam Senantiasa diselaputi bumi keabuan Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas Menunggu waktu mengangkut maut
Aku tiada tahu apa-apa, di luar jang sederhana Njanjian-njanjian kesenduan jang bertjanda kesedihan Menunggu waktu keteduhan terlanggar dipintu dinihari Serta dikeabadian mimpi-mimpi manusia
Klakson dan lontjeng bunji bergiliran Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari Antara kuli-kuli jang kembali Dan perempuan mendaki tepi sungai kesajangan
Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa Dibawah bajangan samar istana kedjang Lajung-lajung sendja melambung hilang Dalam hitam malam mendjulur tergesa
Sumber-sumber murni menetap terpendam Senantiasa diselaputi bumi keabuan Serta sendjata dan tangan menahan napas lepas bebas O, kota kekasih setelah sendja Kota kediamanku, kota kerinduanku
1951 Toto Sudarto Bachtiar, Suara)
Sarang Capung
kau memasuki sarang capung peliharaan peri hutan lebat tetumbuhan pakis dann percik air terjun bagai butiran tepung batu-batu di sepanjang sungai bernyanyi lumut-lumut menguapkan harum tanah
aku terkurung dalam sarang capung kembali bocah itu menawariku kalung untaian butir-butir kerang yang dipungutnya di pasir sungai
letih telah membawaku menjauh dari waktu tak mampu lagi kugurat kata pada batu-batu sungai kata-kata yang akan mengabarkan kisahku sejauh waktu menenun sarang laba-laba air
peri-peri hutan mengantar ruhku ke tengah sungai dari mana perjalanan baru kumulai kudengar merdu nyanyi serangga hutan kulihat bocah itu melambai :selamat tinggal bumi! (Wayan Jengki Sunarta, Malam Cinta)
Laron
tuhan, sampai kapan kau meminjami aku sayap? (Wayan Jengki Sunarta, Malam Cinta)
Endless Tape
Seperti sekian lagu yang berulang-ulang, seperti sekian mimpi kembali mengganggu.
Hidup lebih baik apakah itu? Hidup lebih baik apakah itu ketaatan mesin pada program
Kau tak lebih dari musik kamar yang gemetar, telantar.
Menggelepar lapar hidup, atau jadi sekrup (Wing Kardjo, Fragmen Malam)
Reinier Si Juru Tulis dari Middelburg
Aku ikut! Teriak seorang pemuda yatim Kepada kapten kapal yang akan bertolak Dari Middelburg ke Hindia
Akan kuhitung jarak Langkah Bintang Akan kuhitung segala di mata Dan akan kucatat semua di kepala. Baik, kata sang kapten Kini kau hitung berapa banyak Papan kayu kapal ini
Sambil mengepel lantai palka Reinier muda mulai menghitung dan menulis. Delapan ribu papan besar Dan empat ribu lembar papan ukuran sedang Lapornya, saat kapal merapat di Nieuw Amsterdam Lalu Reinier menghitung dan mencatat Jarak langkahnya menuju tangga Stadhuis Tidak lebih dua belas tahun Katanya, dalam hati.
Reinier menukar bedil dengan pena bulu. Ia menghitung dan mencatat: Ribuan orang Cina menggelepar di jalan dan di sungai Panjang pantai utara Pulau Jawa Ribuan pohon pala Pulau Banda Reinier akhirnya menjadi kruidenier Yang mencatat secara akurat: Luas tanah, ratusan budak, emas-perak, vila mewah, dan hutang piutang miliknya ke dalam daghregister.
Reinier lelah, Seakan semua telah ditulis Rhematik keburu memilin pergelangannya Padahal, ia belum sempat melaporkan dan tak akan berani melaporkan Kepada para Heeren Banyaknya tikus berpesta setiap hari Di Graanpakhuizen milik mereka.
1999 (Zeffry J. Alkatiri, Dari Batavia sampai Jakarta 1619-1999))
mitologi keluarga kami : frans nadjira
lihat, ibu mengunyah permen di beranda merasa burung di gaunnya berkicau. ada angin menerbangkan kebayanya ke lautan. kemudian ibu memuja warna langit yang hitam, seperti warna api yang melahap gladiol tua di vas bunga, negeriku gumam ibu, hanya derit keranda di tepi jurang : tahun-tahun berkejaran. langit meranggas
(adik melompati pagar. usianya memanjang pada pilar-pilar jalan. seakan pohon pinus tak pernah menyentuh langit. betapa nestapa!)
bapak tiba dengan lukisan. setiap hari ada kuda terpanah, juga pohon-pohon menaburi kamar dengan erangan panjang. mengapa tak lahir sebait puisi sufi dari seutas tali penjerat leher teriak bapak di sajadah, ketika senja mengguyur jalan. rerumputan mencuri embun dari gelas
sedang aku melubangi matahari. menggenggam api dari meteor yang dilempar senja. tapi aku ingin mengapur langit. sebab malam akan memancung bulan di samudera. menggantungnya di dahan
1993 (Zen Hae, Paus Merah Jambu)
paus merah jambu : iswadi pratama
seekor paus lapar, bung, ingin mencaplok gunung sebuah sajak mengumpaninya tongkang dan kecubung
bermalam-malam kau terbangun oleh runcing taring dan luas rahang ombak gagu yang menggeram di punggung tebing hitam arwah basahmu timbul-tenggelam mencari pesisir menjeritkan suaka di antara keriut perut berhentilah mengejaku ambil harpunmu bebaskan aku!
kamarku terguncang oleh pelbagai suara tapi aku terus membaca menyusuri bait-bait tegang hingga jerit paraumu menjelma semburan tinta gigil tubuhmu merontokkan huruf dan tanda baca seperti lidi-lidi kemarau berjatuhan dari matahari hijau tua
tapi anak-anak yang mengutip biji-biji usiamu setiap kau tidur dan tersesat di lorong bercecabang yang bermuara di teluk hitam hanya tertawa sekeras guntur di kuburan. punggung mereka berkilatan di laut rumput pagi hari mereka menunggumu dengan sayap berkelepakan yang bunyinya membuatmu menangis di atas ranjang besi berkemul seribu-satu lapis doa penolak bala
kamar ini menjelma bubu saat kututup buku kau melompat-lompat dengan tubuh berlendir banjir kiriman dari gunung hujan berlapis-lapis di laut lepas membujuk kapal-kapal merapat sepanjang malam menantang orang-ikan mengosongkan sarang kau bergegas di kepalamu rahang-rahang paus lapar umpan mahabesar
ke teluk, paman, ke teluk. kupeluk, abang, kupeluk
jalan ke teluk dijaga sembilan pungguk pepohon berdahan karang merah berdaun lokan perak sulur-sulurnya terjuntai menggenggam batu bukit-bukit di selatan sehijau-sebisu bangkai kapal terdampar ribuan tahun setelah badai meteor menggebah dan pulau-pulau berpindah melulu begitu! hingga matamu memejam mencari segala ciptaan yang pernah dikabarkan para perawi dari samudera dan jazirah mahajauh : rupa, suara, rasa, gerak elmaut serupa sapu dan kautemukan pada sebuah bait murung bintang-bintang kuning gading dari rasi tak dikenal mencair menjelma ikan dan orang usiran
semesta tubuh kami adalah umpan segar. kami rindu taring runcing, liur asin, daging koyak, tulang retak kraak!
kau teringat kembali akan seekor paus yang terluka dan menjerit di samudera biru tua sebuah tembakan harpun membuat lorong di tubuhnya seorang nabi hanya berdoa. sepotong tangan tuhan akan berdarah di sorga inna lillahi semua ikan dan udang akan ditangkap akan terus ditangkap terkubur bumbu di atas nampan diperam di dalam kaleng
paus itu berkuasa di laut dalam paus itu berpuasa di musim kawin tubuh raksasanya hanya sebesar guling di selembar hasrat orang-orang berwajah api yang lidahnya terjulur ke tanah ludahnya hijau muda nafsu makannya serakus setan tasmania hauk!
seekor paus sekarat, bang, menabrak tongkang sebuah sajak menguburnya dalam bait-bait riang
kau menanti sekelompok pemburu paus kapal mereka merapat di bawah hujan selebat baleen lunasnya hitam, layarnya rompang, tiangnya goyang kelasi-kelasinya turun. bersiul sebunyi kalkun ini pemburuan paling sial, syahbandar seluruh paus bermigrasi ke selat hangat kawin dan beranak.
kau hanya anak kecil di situ. pengisap dongeng berharap asap mukjizat memandu langkah mereka ke samudera dan jazirah impianmu. tetapi tak langkah mereka bergetar di bawah matahari tujuh jari bayang mereka terjulur ke rumah bambu tempat aneka suara bergema dan kembali ke lautan sebunyi camar kawin di rumah itu paus-paus merah jambu menunggu dengan berkendi-kendi arak dan sepotong lagu nina-bobo akan menidurkan para pemburu selama ratusan tahun tubuh mereka akan kisut tulang-belulang sekeras batu dipeluk pasir dan debu sementara duabelas matahari mabuk terbakah di tiang-tiang kapal dan gulungan layar oleng dan jatuh ke geladak muntah bara menunggu arak-arakan tiga saf panjang pemadam
kakimu menjejak pasir. di bawah riak air bayang-bayangmu serupa tokoh kartun biji-biji khayali itu pecah lagi kaupecahkan lagi : pasir terasa rumput, ketam bagai belalang tubuh ringkihmu menyesap serbuk taifun kembung dan melayang-melayang meledak menjelma jutaan ikan dengan girang mereka berlompatan memancing paus lapar naik ke pantai
2004 (Zen Hae, Paus Merah Jambu) di halte malam jatuh
akhirnya, aku mahir menggambar hujan menirukan langkah-langkah pulang menulis reklame-reklame sunyi dan menempelnya di bebatang pohon sepanjang jalan dan di sebuah tikungan tujuh kelopak bintang gugur sebelum pagi kembali
bus yang penuh sesak itu akan berangkat? tanyamu. orang-orang masih terus mengembara tak ada bintang di langit : nujuman nasib, kompas para kafilah di mana-mana kautanam bendera. aku ingin berkibar-kibar mengikut gelombang hujan menjejaki liang rahasia sepanjang uluran senja tetapi, duh, selalu ada yang kauisyaratkan lewat deru angin yang tertahan di awal musim
aku jadi terbiasa menyimpan cinta di batu-batu. mungkin besok akan menjelma gadis kecil yang belajar mengeja kata-kata bunga aku akan menunggunya, memberinya ciuman menyematkan melati (dan belati) dan bus itu, kataku, akan berhenti di terminal yang tak ada bintang. seperti usia kota-kota lapar. letih dan tidur tiktiktik hujan menombaki senja malam jatuh dengan ubun terluka
1992 (Zen Hae, Paus Merah Jambu) aku dan tungganganku : agam wispi (1930-2003)
kau menyebutku orang buangan. aku seorang kelana, sebenarnya. aku tidur dan jaga di atas kudaku. aku dan tungganganku adalah satu. kami saling meringkik saling menggoda. hiya, sambil melintasi kota-kota masa silam, kuseru kata-kata paling tajam. kubisikkan lagu paling merdu: tubuh digodam pulang jiwa ditebas terbang. oi
ah, betapa ajaib siklus waktu. kutagih pagi dibayar petang. kuminta pulang diberi buang. dari kandang macan ke asem lama ke teluk tonkin ke nanking ke leipzig ke kanal-kanal amsterdam. tersuruk di rumah jompo bagai orang mabuk gadung. menunggu salju turun, memindai tahun mati.
pernah kuminta camar bersarang dan bertelur di atas tumpukan buku. menetas jadi lidah-lidah api. huruf- huruf terbakar. kata-kata mengaduh. bukan karena api tapi karena rindu. anak-bini berbiak di benak, seperti jamur kuping di kayu lapuk. mekar dalam suhu minus duapuluh. ribuan mil jauhnya, ribuan mil jauhnya, tapi dapat kudekap dalam sekejab. bisa kucium dalam sajak.
tapi sajakku jutaan bintang merah di bawah langit tanpa pintu. setiap malam melayang-meliuk-menukik, jatuh dan aus di pepucuk putri malu. serupa arah luku ditarik kerbau mabuk daun singkong sampo kuru. sajakku jejak kaki kaum tani yang menghadang buldoser selepas zuhur. racau pemabuk di tepi danau ketika panen tiba. sedang doa, mantra merah tua itu, hanya batu penyusun dinding. tindih-menindih, saling jabat. makin tinggi makin pedih. tuhan pergi dari puncak menara, ternyata.
kukenang turang. jalan turun-naik sepanjang medan- lubuk pakam. oi, kampung halaman, hanya bisa kukenang. bukankah tubuh dibikin dari tanah. tapi jiwa menampik bentuk di mula cipta. menolak rumah di ujung usia. jiwaku pergi ke mana suka. tidak ke kubur, bukan ke sorga atau neraka. mungkin ke planet paling jauh. asal ada kopi dan tembakau dan perempuan bermata biru dan bintang-bintang berekor putih.
mungkin aku akan pulang sebelum sebuah negeri tenggelam oleh kutuk tuhan. tapi aku tak tahu negeri apa, pulang ke mana, tuhan siapa. kugelar peta buta. telunjukku menunjuk seperti ke jantung seorang tiran, ke negeri impian: satria uzur dan putri cantik, baju zirah dan tombak kayu, kincir angin dan iblis hijau, seekor bagal kurus dan langit coklat tua. tembok-tembok hitam yang meruapkan bau gandum, menggemakan sepotong nyanyian orang gipsi:
sepasang mata perempuan melarutkan hari-hari tuan dalam sekendi khamar. ngak ngik ngok seorang satria memburu sebilah pedang di malam-malam badai. tang ting tung
tak ada yang datang ke pondokku minggu dini hari itu. orang-orang masih tertidur di atas panggang musim dingin. mimpi musim panas, sebuah pulau menyala di lautan. aku terbangun di tahun yang baru tumbuh. tak ada ibadah minggu. hanya secangkir kopi dan puntung rokok, berserakan seperti prajurit kalah perah. aku berbenah dan menata ingatan seperti buku-buku di dalam rak. lalu kusepuh lidahku dengan haiku. tidakkah aku tahu, bung, katak yang jatuh ke kolam menjelma lagu?
aku dan tungganganku berjalan ke arah cahaya. kota-kota baru dibangkitkan. segalanya masih sangat muda