Anda di halaman 1dari 4

GREBEG SURO MASYARAKAT JAWA

Posted by Indra Kusuma Posted on 00.33 with 13 comments

Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro merupakan bulan istemewah. Selain bulan pertama dalam
kalender Jawa, bulan Suro juga dianggap sebagai bulan yang sangat keramat. Untuk menyambut
datang bulan istimewah ini masyarakat Jawa umumnya akan mengadakan berbagai bentuk ritual
dan perayaan yang bertujuan agar selalu mendapatkan keberkahan dalam kehidupan dan
dihindarkan dari berbagai malapetaka.

Masyarakat Jawa selalu memandang datangnya bulan Suro sebagai datangnya masa-masa
prihatin dalam kehidupan manusia, dan sebagai pintu gerbang untuk masuk ke sebuah keadaan
yang baru. Karena itu sebagian besar masyarakat Jawa yang masih kental memegang tradisi
budayanya mereka selalu menjalankan laku prihatin, yang bertujuan agar mendapatkan petunjuk
dari Tuhan Yang Maha Kuasa, agar bisa menjalani hidup dengan baik.

Dalam tradisi masayarakat Jawa ada keyakinan bahwa sukerta atau sengkala ini harus diruwat
atau dibersihkan. Bila tidak hal ini diyakini akan menjadi mangsa Bhatara Kala. Yang mana bisa
diartikan bahwa hidupnya akan senatiasa sengsara karena selalu dibayang-bayangi oleh bencana.
Entah benar atau tidak, kepercayaan tersebut hingga kini masih tetap dijalankan, dan ritual
ruwatan sebagai taradisi masyarakat Jawa. Dalam ritual ruwatan tersebut biasanya akan digelar
pertunjukkan wayang yang menceritakan tentang kisah hidup Bhatara Kala dari lahir hingga
akhirnya mati. Dan matinya Sang Bhatara Kala ini dipandang sebagai simbol dibersihkannya
sengkala dalam diri para peserta ruwatan. Sehingga di waktu yang akan datang, mereka akan
hidup dengan tenang, tanpa ada rasa takut karena bayang-bayang bencana dari Bhatara Kala.

Puncak dari acara ruwatan biasanya akan diikuti dengan pemotongan sebagian rambut dan kuku
dari peserta sebagai simbol dari kebersihannya atas kesialan dalam diri mereka. Kemudian
benda-benda itu dikumpulkan bersama pakaian yang dikenakan untuk selanjutnya dilarung ke
laut. Namun sebagian kalangan ada yang berpendapat dan mempercayai bahwa melarung benda-
benda tersebut juga dapat dilakukan di sungai yang airnya mengalir cikup deras. Apa yang
dilakukan dalam prosesi ritual tersebut hanyalah simbol dari dibuangnya segala ssengkala dari
dalam diri seseorang.

Bentuk lain ritual yang digelar masyarakat Jawa demi menyambut datangnya bulan Suro,
diantaranya adalah menjamas pusaka serta melarung berbagai macam sesaji di tempat-tempat
keramat yang dalam hal ini adalah Laut Selatan.

Ritual di bulan Suro yang paling populer adalah larung sesaji ke Laut Selatanm. Yang mana
dalam ritual ini ada satu sosok yang menjadi tokoh sentral yaitu Nyi Roro Kidul, yang
mana dipandang sebagai sosok penguasa alam gaib di tanah Jawa.

Larung sesaji sendiri tidak hanya dilakukan di satu tempat. Hampir setiap kelompok masyarakat
di pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa mengadakan acara ini. Hanya saja bagi mereka berlaku
waktu-waktu tertentu yang antara satu dengan yang lain memiliki perbedaan.

Larung sesaji yang paling tersohor dan selalu mencuri perhatian banyak orang, baik itu
wisatawan domestik maupun internasional adalah larung sesaji yang dilakukan di Pantai
Parangtritis Jogjakarta pada tanggal 1 Suro (kalender Jawa) atau 1 Muharam (kalender Islam).

Biasanya ritual larung sesaji diprakarsai oleh pihak keraton Jogjakarta yang memiliki
kepentingan, mengingat dalam sejarah di ceritakan bahwa Panembahan Senopati sang raja
pertama bertemu dan mendapatkan bantuan Ratu Kidul di Pantai Selatan daerah Jogjakarta.

Berbagai persiapan dilakukan oleh pihak Keraton dalam melakukan upacara ritual yang akan
dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Persiapan-persiapan itu tidak lain yang terkait dengan
sesaji yang niatnyua akan dibuang ke tangah laut dan diperebutkan oleh para pengunjung.
Larung sesaji tersebut merupakan simbol dari hobi yang dilakukan masyarakat sekitar pantai
selatan pada Sang Penguasa alam gaib di sana, yang bertujuan agar senantiasa bisa hidup
berdampingan dengan damai. Sehingga aktifitas sebagai nelayan bisa berjalan tanpa gangguan.
Yang ujung-ujungnya rejeki semakin bertambah, karena hasil tangkapan ikan di laut bisa
berlimpah.

Hal yang tidak kalah mistis sebagai penghormatan atas datangnya bulan Suro (kalender Jawa)
atau pun bulan Muharam (kalender Islam) masyarakat Jogja dan solo memilki tradisi yang unik
yaitu melakukan ritual tapa bisu sambil mengelilingi benteng Keraton. Ritual ini digelar tapat
pada malam 1 Suro, dan diikuti oleh seluruh abdi dalam Keraton serta masyarakat di sekitar
Keraton.

Khusus untuk Kota Solo, rotual ini biasanya akan diikuti dengan kirab kerbau bule yang
dikeramatkan yang bernama Kyai Slamet. Prosesi ritual ini cukup sederhana karena nyaris tidak
memerlukan berbagai perlengkapan termasuk sesaji. Karena inti dari ritual ini adalah intropeksi
diri dan menyatu dalam keheningan malam 1 Suro (kalender Jawa) atau 1 Muharam (kalender
Islam).

Ritual biasanya akan dimulai tepat pukul 00.00, sebagai tanda telah masuk tanggal 1 Suro.
Rombongan pelaku ritual akan berangkat dari halaman Keraton dan terus menyusuri beberapa
jalanan disekitar Keraton hingga mengitari seluruh tembok benteng Keraton. Jumlah putaran
mengelilingi benteng selalu ditetapkan dalam bilangan ganjil, sebab jumlah ini dipandang
memiliki nilai yang baik dan akan membawa keberkahan.
Puncak dari ritual ini adalah pada keesokkan harinya yaitu berebut berkah dari tumpeng raksasa
yang disediakan oleh pihak Keraton. Acara yang biasa disebut Gerebeg Suro ini selalu menjadi
perhatian banyak orang. Karena masyarakat Jawa yang masih kental akan tradisi budayanya
memiliki kepercayaan bahwa, barang siapa yang berhasil mendapatkan sebagian dari sesaji
tumpeng tersebut itu, maka akan senantiasa dilimpahkan keberkahan dalam kehidupannya.

Suatu hal yang menarik dalam acara ritual Grebeg Suro ini yang menjadi catatan penulis dari
masyarakat Jawa yang masih memegang tradisi budaya, yaitu bahwa masyarakat diajarkan untuk
selalu berbuat kebaikan dengan selalu bersedekah kepada setiap makhluk yang ada di alam
semesta ini, agar kehidupan dapat berjalan seimbang seiring sejalan antara manusia dan alam.

Dalam catatan penulis, bahwa sang penguasa (raja) dengan kearifannya mengajak kepada
masyarakatnya untuk selalu menjalan perintah agama dengan melakukan shodaqoh secara
berjamaah, agar siapa yang terlibat dalam acara tersebut nilainya sama di mata Tuhan. Dan
kehidupan kepemerintahan pun berjalan secara damai, masyarakat akan hidup dalam keberkahan.
Suatu pembelajaran yang berarti dalam kehidupan, dengan pengejawantahan kalam Illahi di
setiap lubuk hati manusia.

Namun terkadang masih banyak diantara kita yang selalu melihat hal ini hanya sebelah mata,
tanpa mau mau melihat apa yang tersirat dalam penyampaian suatu upacara ritual yang
sesungguhnya. Bahwasanya suatu tradisi budaya itu terdapat pembelajaran budipekerti yang
luhur atau dengan bahasa agamanya adalah akhlaq mulia sebagai pegangan hidup.

Bila kita dapat menikmati suasana perjalanan ritual ini, maka kita dapat merasakan apa arti
sebuah berbagi bersama tanpa harus meninggalkan suatu tradisi unsur budaya yang eksotik
bernilai religius.Melihat secara langsung betapa seorang pemimpin berbaur bersama rakyatnya
dan dapat memberikan kebahagian secara langsung kepada masyarakatnya. Dan suasana ini
hanya ada di Jogjakarta dan Solo, Jawa Tengah Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai