Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pola pikir yang memiliki pondasi perspektif yang khas tentang ilmu
pengetahuan dapat dibangun dengan mempelajari Falsafah Kesatuan
Ilmu. Perspektif yang khas itu akan menuntun pikiran dan tindakan baik
dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan ilmiah. Salah satu
kajian penting yang dapat dipelajari dalam Falsafah Kesatuan Ilmu adalah
paradigma kesatuan ilmu.
Ilmuwan-ilmuan Islam telah banyak menerapkan paradigma kesatuan
ilmu dalam pengembangan keilmuan mereka. Pengembangan tersebut
disesuaikan dan dimodifikasi dengan anjuran ilmiah bersumber dari wahyu
Tuhan yang menekankan observasi empiris atas fakta-fakta alam.
Ilmu pengetahuan yang bermacam-macam itu disatukan dalam satu
kesatuan oleh wahyu. Semua ilmu yang mereka pelajari kemudian dipadukan
hingga saling memperkaya pemahaman yang didapat. Oleh sebab itu,
diperlukannya mempelajari paradigma kesatuan ilmu karena mempunyai
manfaat membangun pola pikir yang berlandaskan kesatuan ilmu dan dapat
dilihat dari berbagai sudut pandang.
Bagaimana dengan studi Islam di Indonesia, khususnya di lingkungan
Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN)? Dengan melihat
trilogi metafisika ini, studi Islam di Indonesia hingga saat ini dapat dipetakan
dalam tiga fase perkembangan. Fase pertama adalah era sebelum 1990. Pada
fase ini, studi Islam di Indonesia didominasi oleh corak kajian yang bersifat
normatif, karena berpegang pada paradigma “teosentrisme”. Dengan
paradigma ini, banyak di-hasilkan kajian-kajian yang sifatnya normatif-
teologis oleh akademisi PTKI, baik dalam bidang tafsir, hadits, fiqih, kalam
ataupun tasawuf. Fase kedua ada-lah masa antara 1990-2000. Pada fase ini,
studi Islam telah mengalami per-kembangan yang cukup signifikan, dengan
mulai bergeser ke arah penggunaan paradigma “antroposentrisme”. Hal ini
disebabkan telah banyaknya akademisi PTKIN yang berhasil menyelesaikan
studi S2 dan S3 dari negeri Barat.
Studi Islam pada masa ini tidak lagi bersifat normatif, yang berkutat
pada kajian dan telaah tentang tafsir, hadits, fiqih, kalam atau tasawuf. Kajian
itu lebih bersifat antroposentris, dengan digunakannya berbagai pendekatan
yang diambil dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora, mulai dari pendekatan
historis, perbandingan, kontekstual, hingga pendekatan hermeneutis-filosofis.
Fase ketiga adalah masa setelah tahun 2000-an hingga sekarang, yang
ditandai dengan lahirnya UIN-UIN di Indonesia. Pada fase ini, PTKIN telah
membuka kran keilmuan dengan mendirikan fakultas dan program studi
kealaman, di samping studi sosial-humaniora yang lebih dulu eksis.
Paradigma “kosmosentrisme” pada masa ini sudah mulai diperkenalkan oleh
akademisi PTKIN dengan menyelengarakan fakultas seperti sains dan
teknologi, ataupun fakultas ke-dokteran di beberapa UIN.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan?
2. Bagaimana Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan di Berbagai PTKIN
yang Ada di Indonesia
3. Apa Saja Prinsip-prinsip Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan?

C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan.
2. Mengetahui Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan di Berbagai PTKIN di
Indonesia.
3. Mengetahui Prinsip-prinsip Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan


Secara etimologis, paradigma berasal dari bahasa Yunani yaitu dari
kata “para” yang berarti di sebelah atau pun di samping, serta kata “diegma”
yang berarti teladan, model, atau pun ideal. Paradigma secara terminologis
diartikan sebagai sebuah cara pandang yang difungsikan untuk menilai dunia
dan alam sekitarnya, yang merupakan gambaran berupa cara – cara untuk
menjelaskan berbagai macam permasalahan dunia nyata yang sangat
kompleks.
Kesatuan Ilmu Pengetahuan (Unity of sciences) merupakan
pengintegrasian semua cabang ilmu sebagai satu kesatuan holistik, dan
mendialogkan semua ilmu itu menjadi senyawa ilmu yang kaya. Unity of
sciences mampu mengolah semua ilmu menjadi uraian yang padu dan dalam
tentang suatu fenomena ilmiah.
Paradigma kesatuan ilmu pengetahuan merupakan paradigma ilmu
pengetahuan khas umat Islam yang menyatakan bahwa semua ilmu pada
dasarnya adalah satu kesatuan yang berasal dari Allah dan bermuara juga
pada Allah melalui wahyu-Nya baik secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itu, semua ilmu sudah semestinya saling berdialog dan bermuara
pada satu tujuan yakni mengantarkan pengkajinya semakin mengenal dan
semakin dekat pada Allah sebagai al-Alim (Yang Maha Tahu).
B. Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan di Berbagai PTKIN di Indonesia
1. UIN Walisongo Semarang: Integrasi “Intan Berlian Ilmu”
IAIN Walisongo Semarang resmi menjadi Universitas Islam
Negeri (UIN) Walisongo sejak 19 Desember 2014, yang peresmiannya
bersamaan dengan dua UIN yang lain, yaitu UIN Raden Fatah
Palembang dan UIN Sumatera Utara.1 Untuk mengembangkan

1
Silakan akses Luthfiyatul Hiqmah, “Wahdatul Ulum sebagai Konsep Integrasi Islam dan Sains di UIN
Walisongo”, http://hiqmah12.blogspot.co.id/2014/05/wahdatul-ulum-sebagai-konsep-integrasi. html,
diakses pada 20 November 2015.
paradigma integrasi keilmuannya, UIN Walisongo merancang integrasi
“Kesatuan Ilmu” (Unity of Sciences/Waḥdat al-‘Ulūm) dengan model
“Intan Berlian Ilmu”, yang digagas oleh Dr. H. Abdul Muhaya, M.A.
dan Dr. H. Muhyar Fanani, M.Ag.2 Menurut Muhyar Fanani, yang
dimaksud dengan paradigma ini adalah bahwa semua ilmu pada
dasarnya adalah satu kesatuan yang berasal dari dan bermuara pada
Allah melalui wahyu-Nya, baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Oleh karena itu, semua ilmu mestinya ber-dialog dan
bermuara pada satu tujuan, yaitu mengantarkan pengkajinya untuk
semakin mengenal dan dekat dengan Allah sebagai al-‘Ālim (yang
Mahatahu).3
Di tengah hiruk-pikuk semangat dan tanggug jawab keilmuan
perguruan tinggi, paradigma “Kesatuan Ilmu” ini telah ditegaskan
sebagai paradigma keilmuan institusi IAIN Walisongo. Dalam
paradigma ini, wahyu dipandang sebagai fondasi perekat bagi
penyatuan ilmu pengetahuan. Ilmu selalu ber-proses dan berdialog
menuju tujuan tunggal, yaitu Sang Pencipta yang Mahatahu. Lulusan
yang dihasilkan dari paradigma integrasi “Kesatuan Ilmu” ini adalah
sosok pribadi yang komprehensif, yang mampu mengomunikasikan
berbagai bidang ilmu dengan realitas. Paradigma integrasi “Kesatuan
Ilmu” UIN Walisongo ini dapat digambarkan dengan model “Intan
Berlian” yang cemerlang, berkilau dengan sinar 3indah, tajam, dan
mencerahkan dengan lima sisi yang saling berkaitan.
Di dalam mengilustrasikan paradigma integrasi “Kesatuan
Ilmu” UIN Walisongo dengan metapora “intan berlian”, Tsuwaibah
memandang bahwa bahwa intan berlian itu sangat indah, bernilai tinggi,

2Muhyar Fanani, “Paradigma Kesatuan Ilmu (Unity of Sciences) dalam Visi dan Misi IAIN Walisongo”,
Presentasi dalam bentuk Powerpoint disampaikan pada 30 Oktober 2013 di Hotel Novotel, Semarang.
3Imam Taufiq, “Komitmen Kebangsaan IAIN”, Suara Merdeka, 7 April 2014
memancarkan sinar, memiliki sumbu dan sisi yang saling berhubungan
satu sama lain. Sumbu paling tengah menggambarkan Allah sebagai
sumber nilai, doktrin, dan ilmu pengetahuan. Allah menurunkan ayat-
ayat Qur’aniyah dan ayat-ayat kawniyyah sebagai lahan eksplorasi
pengetahuan yang saling melengkapi dan tidak mungkin saling
bertentangan. Eksplorasi atas ayat-ayat Allah menghasilkan lima gugus
ilmu, yaitu:
a) Ilmu Agama dan Humaniora (religion and humanity sciences)
b) Ilmu-ilmu Sosial (social sciences)
c) Ilmu-ilmu Kealaman (natural sciences)
d) Ilmu Matematika dan Sains Komputer (mathematics and computing
sciences)
e) Ilmu-ilmu Profesi dan Terapan (professions and applied sciences).4
2. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang: Integrasi “Pohon Ilmu”
Beberapa gagasan tentang integrasi ilmu dan agama dapat
dijadikan dasar pengembangan keilmuan Islam multidisipliner di
Universitas Islam Negeri. Sebagai contoh adalah struktur keilmuan UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang yang dibangun berdasarkan prinsip
universalitas ajaran Islam yang digambarkan sebagai pohon ilmu yang
rindang dan kokoh. Gagasan Imam Suprayogo tentang “Pohon Ilmu” yang
dijadikan sebagai landasan pengembangan ilmu di UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang.54
Islam sebagai landasan etis, ia menjadi pedoman pemeluknya
untuk bertindak arif dalam hidup, seperti sikap amanah, adil dan lain
sebagainya. Hal ini pun dalam operasionalisasinya harus tunduk pada
ruang dan waktu yang melingkupinya. Namun, bila Islam dipandang
sebagai landasan etis, seharusnya dalam proses pembelajaran pendidikan
agama bukan hanya dijadikan sebagai “pelajaran atau pengetahuan”

4 4
Tsuwaibah, “Epistemologi Unity of Science Ibn Sina: Kajian Integrasi Keilmuan Ibn Sina dalam Kitab
Asy-Syifa Juz I dan Relevansinya dengan Unity of Science IAIN Walisongo”, Laporan Hasil Penelitian
Individual, IAIN Walisongo Semarang, 2014, h. 72-73.
5
Tim Penyusun, 4 Tahun Universitas Islam Negeri Malang (Malang: UIN Press, 2009), h 90.
tentang ilmu agama, tetapi seharusnya dilakukan dengan cara penanaman
nilai-nilai luhur dan bentuk keteladanan dan pengalaman yang akan lebih
efektif daripada internalisasi nilai melalui ucapan dan ceramah seperti
yang selama ini terjadi di perguruan tinggi Islam.
Konsep integrasi ilmu umum dan ilmu agama yang digunakan
sebagai landasan pengembangan keilmuan di UIN Malang sebenarnya
merupakan upaya untuk menghilangkan dikotomi keilmuan. Dengan
demikian, Islamic knowledge (al-‘ulûm al-Islâmîyah) yang dikembangkan
oleh UIN Maulana Malik Ibrahim adalah ilmu pengetahuan yang dibangun
berdasarkan ajaran Islam yakni al-Qur’an dan Hadits, sekaligus
pengetahuan yang sama dibangun berdasarkan hasil observasi,
eksperimentasi, dan penalaran logis. Jika al-Qur’an dan Hadits diletakkan
pada posisi sumber ilmu, maka tidak akan terjadi cara pandang ilmu yang
dikotomik yang justru merendahkan posisi Kitab Suci. Sudah tentu sebagai
konsekuensi al-Qur’an yang bersifat universal masih diperlukan sumber
pengetahuan lain yang bersifat teknis, yaitu ilmu pengetahuan yang
diperoleh melalui observasi, eksperimen, dan penalaran logis.6
Berdasarkan pola pengembangan keilmuan tersebut, maka untuk
memperkuat sistem kelembagaan, UIN Maulana Malik Ibrahim
membentuk sembilan Arkân al-Jâmiʻah (rukun perguruan tinggi) sebagai
pilar pengembangan, yaitu:
a). SDM yang unggul; b). Masjid; c). Maʻhad sebagai pengembangan
spiritual, intelektual, dan jiwa profesional; d). Perpustakaan; e).
Laboratorium sebagai wahana penelitian; f). Tempat-tempat pertemuan
ilmiah; g). Perkantoran sebagai pusat pelayanan akademik; h). Pusat-pusat
pengembangan seni dan olahraga; dan i). Sumber pendanaan yang luas dan
kuat.
3. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Reintegrasi Keilmuan
Menurut Azyumardi Azra, konsep dasar awal pengembangan IAIN
Jakar5ta pada 1990-an adalah perubahan IAIN Jakarta menjadi UIN
“Syarif Hidayatullah” Jakarta, atau Universitas Islam Syarif Hidayatullah.
Gagasan menjadi UIN ini bertitik tolak dari beberapa masalah yang
dihadapi IAIN selama ini, yaitu: pertama, IAIN belum berperan secara
optimal dalam dunia akademik, birokrasi dan masyarakat Indonesia secara
keseluruhan. Di antara ketiga lingkungan ini, kelihatannya peran IAIN
lebih besar pada masyarakat, karena kuatnya orientasi dakwah daripada
pengembangan ilmu pengetahuan. Kedua, kurikulum IAIN belum mampu
meresponsi perkembangan IPTEK dan perubahan masyarakat yang
semakin kompleks. Hal ini disebabkan bidang kajian agama yang merupa-
kan spesialiasi IAIN, kurang mengalami interaksi dan reapproachement
dengan ilmu-ilmu umum, bahkan masih cenderung dikotomis.7
Langkah perubahan bentuk IAIN menjadi UIN mendapat
rekomendasi Pemerintah dengan ditandatanganinya Surat Keputusan
Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan Nasional RI dan Menteri
Agama RI tanggal 21 November 2001, yang kemudian ditindaklanjuti
dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 031 Tanggal 20 Mei Tahun
2002 tentang Perubahan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Menanggapi ditandatanganinya SKB ini, Prof.
Azra menilai bahwa “Penandatanganan ini tentu saja menandai sejarah
baru IAIN Jakarta. Kita bertekad untuk tidak mengadakan dikotomi antara
ilmu agama dan ilmu non-agama”. Konsep reintegrasi keilmuan di atas
untuk kali pertama digagas oleh Azyumardi Azra. Menurutnya, diperlukan
rekonsiliasi dan reintegrasi antar ilmu-ilmu6 agama dengan ilmu-ilmu
umum, yaitu kembali pada kesatuan transenden semua ilmu pengetahuan.9

6
Azyumardi Azra, “IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi” dalam Komaruddin Hidayat dan
Hendro Prasetyo, Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: Dirjen Binbaga
Islam, 2000), h. 13.
7Dikutip dari Oman Fathurrahman, “Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A.: Mewujudkan ‘Mimpi’ IAIN menjadi
UIN” dalam Badri Yatim dan Hamid Nasuhi (ed.), Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam, (Jakarta:
IAIN Jakarta Press, 2002), h. 323.
Oleh karena itu, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengarahkan dirinya
pada integrasi keilmuan model ini, berdasarkan pada keyakinan,
pengetahuan dan amal saleh, yang untuk kemudian menjadi basis
universitas bagi pengembangan keilmuannya.
4. UIN Sunan Gunung Djati Bandung: Integrasi “Roda Ilmu”
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
57/2005 tanggal 10 Oktober 2005, status IAIN Bandung diubah menjadi
UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Adalah Prof. Nanat Fatah Natsir yang
telah menggagas model integrasi bagi keilmuan UIN Bandung dengan
metafora ”Roda Ilmu”.87
Menurut Fatah Natsir, roda adalah bagian yang esensial dari
sebuah kendaraan yang bergerak dinamis. Secara fisik, sebuah roda itu
memiliki tiga bagian, yaitu bagian as (poros), bagian velg (dengan jari-
jarinya) dan bagian ban luar (ban karet), yang dapat bekerja secara
simultan dalam kesatuan yang harmonis. Ibarat sebuah roda dengan tiga
bagiannya, maka keilmuan UIN Bandung mengacu pada “Filosofi
Roda” sebagai berikut:
a. As atau poros roda melambangkan titik sentral kekuatan akal budi
manusia yang bersumber dan nilai-nilai ilahiyah, yaitu Allah sebagai
sumber dari segala sumber. Titik sentral ini mencerminkan pusat
pancaran nilai-nilai keutamaan yang berasal dari pemilik-Nya,
sekaligus titik tujuan seluruh ikhtiar manusia. Dengan kata lain,
tawḥīd merupakan pondasi pe-ngembangan seluruh ilmu, baik yang
bersumber dari ayat-ayat qur'āniyyah ataupun dari ayat-ayat
kawniyyah.
b. Velg roda yang terdiri atas sejumlah jari-jari, lingkaran bagian
dalam, dan lingkaran luar, melambangkan rumpun ilmu dengan
beragam jenis disiplin yang berkembang saat ini. Meskipun setiap
ilmu memiliki karakteristiknya masing-masing, tetapi memiliki

8Azyumardi Azra, ”Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam” dalam Zainal Abidin Bagir, dkk. (eds.), Integrasi Ilmu dan Agama:
Interpretasi dan Aksi, cet. I, (Bandung: Mizan, 2005), h. 210-211
fungsi yang sama, yakni ilmu sebagai alat untuk memahami hakikat
hidup. Adanya aneka warna disiplin ilmu sejati-nya tidak
menunjukan keterpisahan yang dapat dimanfaatkan manusia sebagai
fasilitas hidupnya. Putaran velg pada roda melambangkan bahwa
setiap ilmu yang dikembangkan di UIN Sunan Gunung Djati
Bandung selalu memperluas cakrawala cakupannya, untuk secara
terus-menerus ber-kembang sesuai perkembangan zaman.
c. Ban luar yang terbuat dari karet melambangkan realitas kehidupan
yang tidak terpisahkan dari semangat nilai-nilai ilahiyah dan gairah
kajian ilmu. Pada sisi luar ban, terlambang tiga istilah, yaitu iman,
ilmu dan amal saleh. Inilah target akhir dari profil lulusan UIN.
Kekuatan iman ditanamkan melalui proses pendidikan dalam situasi
kampus yang ilmiah dan religius. Kekuatan ilmu merupakan basis
yang dimiliki UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang
mencerminkan dinamika kampus sebagai zona pergumulan para
ilmuwan. Sedangkan amal saleh sebagai wujud perilaku yang ter-
bimbing oleh iman dan ilmu.9
5. UIN Alauddin Makassar: Integrasi “Sel Cemara Ilmu”
Untuk merespons tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan
tekno-logi, diusulkanlah konversi IAIN Alauddin Makassar menjadi
UIN Alauddin Makassar. Berdasarkan Peraturan Presiden Republik
Indonesia No. 57 Tahun 2005 Tanggal 10 Oktober 2005, IAIN
Alauddin Makassar telah resmi alih status menjadi UIN Alauddin
Makassar.
Konsep integrasi keilmuan UIN Makassar digagas oleh Prof.
Azhar Arsyad dengan metafora “Sel Cemara Ilmu” yang
mengintegrasikan dan mengkoneks-ikan antara sains dan ilmu
8
agama. Menurutnya, “Sel Cemara Ilmu” me-ngandung metaforis
akar, alur, ranting dan buah dan tujuan transendental ilmu

9Azhar Arsyad, “Buah Cemara Integrasi dan Interkoneksitas Sains dan Ilmu Agama”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol.
8, No.1, Juni 2011, h.11-12.
pengetahuan yang sifatnya universal, yang bisa terwujuddalam
suatu wadah yang namanya universitas.
Gambaran pohon cemara mengindikasikan sesuatu yang
hidup, tidak mati, sejuk dipandang. Karena ia pohon, maka ia
makin lama makin tumbuh, dan berkembang, lalu mengerucut.
Makin lama makin rindang. Pohon ini akan menghasilkan buah,
dan buah itulah yang menjadi nama suatu ilmu, yang tentunya akan
berbuah lagi. Bagian-bagiannya terintegrasi dan berinter-koneksi.
Gambaran sel menggambarkan segi-segi interkoneksitas sintetik,
sementara cemara menggambarkan transendental akhir, melalui
kerasulan Muhammad menuju Allah.109
6. UIN Sunan Ampel Surabaya: Integrasi “Menara Kembar
Tersambung”
UIN Sunan Ampel juga mengembangkan keilmuan Islam
multidispliner dengan paradigma Integrated Twins-Towers.
Dijelaskan bahwa konsep “menara kembar” di dalam konsepsi
pengembangan ilmu keislaman multidisipliner yang dimaksudkan
adalah membangun struktur keilmuan yaitu ilmu keagamaan dan
ilmu sosial/humaniora di satu sisi serta ilmu alam di sisi lain secara
memadai dan wajar. Keduanya memiliki kewibawaan yang sama,
sehingga antara satu dengan lainnya tidak terdapat superiorioritas
maupun inferioritas. Ilmu keislaman berkembang dalam kapasitas
dan kemungkinan perkembangannya, demikian pula ilmu lainnya
juga berkembang dalam rentangan dan kapasitasnya. Ilmu
keislaman bagaikan sebuah menara yang satu dan ilmu lainnya
seperti menara satunya lagi. Keduanya bertemu dalam puncak yang
saling menyapa, yang dikenal dengan konsep ilmu keislaman
multidisipliner. Menara yang satu menjadi subject matter dan
lainnya sebagai pendekatan.

10Nur Syam, “Membangun Keilmuan Islam Multidisipliner: Memahami Proses Saling Menyapa Ilmu Agama dan Umum” dalam Nur Syam (ed.),
Integrated Twin Towers: Arah Pengembangan Islamic Studies Multidisipliner (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2010), 12-14.)
Konsep Integrated Twins-Towers bila dirumuskan secara
naratif, maka gambarannya yaitu, fondasi keilmuannya ialah al-
Qur’ân dan H}adîth di mana di satu sisi menara terdiri dari ilmu
keislaman murni dan terapan (tafsir, h}adîth, ilmu fiqh, ilmu kalam,
tasawuf, ilmu dakwah, ilmu tarbiyah dan sebagainya), sedangkan di
satu menara lainnya adalah ilmu alam, ilmu sosial dan humaniora
(ilmu kimia, fisika, sosiologi, antropologi, politik, psikologi,
sejarah, filsafat dan sebagainya). Selanjutnya, di puncak kedua
menara terdapat lengkung yang menghubungkan antara menara satu
dengan lainnya yang menyimbolkan pertautan antara dua disiplin
keilmuan, sehingga terdapatlah disiplin sosiologi agama, filsafat
aga10ma, antropologi agama, ekonomi Islam, politik Islam, dan
sebagainya.
Bangunan struktur keilmuan tersebut harus diletakkan di atas
fondasi al-Qur’an dan Hadits, dikarenakan yang akan dibangun
adalah ilmu sosial profetik, ilmu alam profetik, serta culture dan
humaniora profetik menurut pandangan ilmuwan yang
mengembangkan ilmu-ilmu trans-teoretik, yaitu teori yang tidak
hanya digunakan semata untuk teori tetapi teori untuk kemungkinan
pengembangan masyarakat. Dengan demikian, setiap teori yang
dihasilkan oleh ilmuwan Islam hakikatnya adalah bertujuan untuk
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat lebih baik.11
Pembidangan ilmu demikian, tidak hanya akan menghasilkan
substansi keilmuan Islam akan tetapi juga akan menghasilkan
variasi-variasi akademisi yang menjadi hasil pengembangan ilmu-
ilmu keislaman dimaksud. Jadi, melalui pembidangan ilmu akan
didapatkan dua keuntungan, yaitu variasi ilmu-ilmu keislaman dan
variasi pakar ilmu keislaman. Sedangkan pada tataran operasional
praktis, UIN Sunan Ampel mengembangkan tiga pilar program

11Nur Syam, “Membangun Keilmuan Islam Multidisipliner: Memahami Proses Saling Menyapa Ilmu Agama dan Umum” dalam Nur Syam (ed.),
Integrated Twin Towers: Arah Pengembangan Islamic Studies Multidisipliner (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2010), 12-14.)
akademik, sebagai ciri khasnya yaitu: (1) penguatan ilmu‐ilmu
keislaman murni tapi langka; (2) integralisasi keilmuan keislaman
pengembangan dengan keilmuan sosial‐humaniora; dan (3)
pembobotan keilmuan sains dan teknologi dengan keilmuan
keislaman. Tiga hal ini disebut dengan “integrated twin towers with
three pillars”.
7. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Integrasi “Jaring Laba-laba”
Salah satu perkembangan signifikan yang cukup penting
bagi kelembagaan pendidikan tinggi Islam di Indonesia adalah
transformasi IAIN Sunan Kalijaga menjadi UIN Sunan Kalijaga
berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 2004 Tanggal 21
Juni 2004. P11erubahan institut menjadi universitas dilakukan untuk
mencanangkan sebuah paradigma baru dalam melihat dan
melakukan studi terhadap ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum,
yaitu paradigma integrasi-interkoneksi. Pemaduan (integrasi) dan
pengaitan (interkoneksi) kedua bidang ilmu yang sebelumnya
dipandang secara diametral berbeda itu, memungkinkan lahirnya
pemahaman Islam yang ramah, demokratis, dan menjadi raḥmah li
’l-'ālamīn.12
Dengan visi “Unggul dan terkemuka dalam pemaduan dan
pengembangan studi keislaman dan keilmuan bagi peradaban”,
UIN Sunan Kalijaga memiliki core values, yang salah satunya
adalah epistemologi keilmuan “integrasi-interkoneksi”, yaitu
adanya sistem keterpaduan dalam pengembangan akade-mik,
manajemen, kemahasiswaan, kerjasama, dan entrepreneurship.13
Epis-temologi ini merupakan gagasan Prof. M. Amin Abdullah
ketika menjadi Rektor UIN Sunan Kalijaga. Menurut Amin
Abdullah, jika selama ini terdapat sekat-sekat yang sangat tajam
antara “ilmu” dan “agama” di mana keduanya seolah menjadi
12Silakan akses Tim Redaksi, “Sekilas UIN Sunan Kalijaga”, http://www.uinsuka.ac.id/id/about/ universitas-1-
sekilas-uin.html, diakses pada 12 Juni 2011.
13Tim Redaksi, “Core Values”, http://uin-suka.ac.id/index.php/page/universitas/29-corevalues, diakses
pada 12 Desember 2013.
entitas yang berdiri sendiri, mempunyai wilayah sendiri baik dari
segi objek-formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran,
peran yang di-mainkan oleh ilmuwan hingga institusi
penyelenggaranya, maka tawaran para-digma integrasi-interkoneksi
berupaya mengurangi ketegangan-ketegangan tersebut dengan
berusaha mendekatkan dan mengaitkannya sehingga menjadi
“bertegur sapa” satu sama lain.14
Dalam epistemologi keilmuan integrasi-interkoneksi itu,
tiga wilayah pokok ilmu pengetahuan, yakni natural sciences,
social sciences dan humanities tidak lagi berdiri sendiri, tetapi akan
saling terkait satu dengan lainnya. Antara Haḍārah al-’Ilm yaitu
ilmu-ilmu empiris yang masuk kategori sains dan teknologi,
Haḍārah al-Falsafah yaitu ilmu-ilmu rasional seperti filsafat dan
budaya, dan Haḍārah al-Naṣ yaitu ilmu-ilmu normatif tekstual
seperti fiqh, kalam, tasawuf, tafsir, hadits, falsafah, dan lughah,
akan terintegrasi dan terkoneksi dalam satu keilmuan integrasi.
Dengan model integrasi ini, maka tiga wilayah keilmuan Islam
menjadi terintegrasi-terkoneksi. Tiga dimensi pengembangan
wilayah keilmuan ini bertujuan untuk mempertemukan kembali
ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu keislaman secara integratif-
interkonektif.1512
C. Prinsip-prinsip paradigma Unity of science (Wahdatul Ulum)
Menyadari bahwa paradigma sesungguhnya adalah the consensus of
scientific community, UIN walisongo menawarkan sebuah paradigma baru
yang benih-benihnya sudah muncul dalam diskursus keilmuwan di UIN lain
di Indonesia yang lebih popular dengan sebutan paradigma integrasi keilmuan
islam. Bila ditelusuri kebelakang paradigma ini mengacu pada hasil
konferensi internasional pendidikan islam pertama di Makkah tahun 1976.

14Azyumardi Azra, “IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi” dalam Komaruddin Hidayat dan
Hendro Prasetyo, Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: Dirjen Binbaga
Islam, 2000), h. 13.
15Dikutip dari Oman Fathurrahman, “Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A.: Mewujudkan ‘Mimpi’ IAIN menjadi
UIN” dalam Badri Yatim dan Hamid Nasuhi (ed.), Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam, (Jakarta:
IAIN Jakarta Press, 2002), h. 323.
Mengingat memiliki kekhasan tersendiri, paradigma UIN Walisongo diberi
nama paradigma kesatuan ilmu pengetahuan wahdat al-ulum (unity of
sciences). Terdapat perbedaan cukup mendasar antara paradigma ini dengan
paradigma integrasi. Perbedaan yang mendasar itu adalah:
1. Paradigma kesatuan ilmu pengetahuan berangkat dari kesadaran yang
muncul di UIN Walisongo bahwa terdapat tiga krisis dalam dunia
keilmuan modern, yakni krisis pada ilmu-ilmu naqliyah, krisis pada ilmu-
ilmu aqliyah, dan krisis pada local genius (local wisdom). Krisis pertama
ditandai dengan adanya irelanci pemahaman doktrin agama sehingga
muncul pemahaman agama yang tidak membumi. Krisis kedua ditandai
dengan munculnya bahaya sains modern yang jauh dari nilai-nilai
ketuhanan dan telah berdampak pada kerusakan alam dan lingkungan
yang ada pada akhirnya justru membahayakan kehidupan manusia. Krisis
ketiga ditandai dengan fenomena tergerusnya jati diri manusia akibat
tuntutan globalisasi yang pada gilirannya akan menjadikan manusia
teralienasi dan tercerabut dari hakikatnya sebagai manusia. Paradigma
kesatuan ilmu pengetahuan dimaksudkan untuk menjawab tiga krisis yang
dimaksud dengan menetapkan tiga strategi sekaligus yakni humanisasi
untuk ilmu-ilmu naqliyah, dan spiritualisasi untuk ilmu-ilmu aqliyah,
revitalisasi local wisdom untuk local genius.
2. Paradigma kesatuan ilmu pengetahuan memandang bahwa integrasi
hanyalah salah satu prinsip dari paradigma baru ini dan masih ada prinsip
lain yakni kolaborasi, dialektika, prospektif, dan pluralistik. Prinsip
integrasi meyakini bahwa bangunan semua ilmu pengetahuan sebagai satu
kesatuan yang saling berhubungan yang kesemuanya bersumber dari ayat-
ayat Allah baik yang di peroleh melalui para nabi, eksplorasi akal,
maupun eksplorasi alam. Prinsip kolaborasi memadukan nilai universal
islam dengan ilmu pengetahuan modern guna peningkatan kualitas hidup
dan peradapan manusia. Prinsip dialektika meniscayakan dialog yang
intens antara ilmu-ilmu yang berakar pada wahyu (revealet sciences).
Ilmu pengetahuan modern (modern sciences), kearifan local (local
wisdom). Prinsip prospektif meyakini bahwa wahdatul ulum akan
menghasilkan ilmu-ilmu baru yang lebih humanis dan etis yang
bermanfaat bagi pembangunan martabat dan kualitas bangsa serta
kelestarian alam. Sementara prinsip pluralistic meyakini adanya pluralitas
realitas dan metode dalam semua aktivitas keilmuan.
3. Paradigma kesatuan llmu pengetahuan bertekad untuk menangani 3 krisis
itu berlangsung secara simultan dan tidak berlangsung berat sebelah.
Dengan kata lain, humanisasi ilmu-ilmu naqliyah akan belangsung sama
giatnya dengan spiritualisaisi ilmu-ilmu aqliyah (sains modern), begitu
juga dengan revitalisasi local wisdom.1613
Adapun prinsip–prinsip dalam pengembangkan paradigma kesatuan
ilmu pengetahuan (uniy of sciences) sebagai berikut:
1. Integrasi.
Prinsip ini meyakini bahwa bangunan semua ilmu pengetahuan
sebagai satu kesatuan yang saling berhubungan yang kesemuanya
bersumber dari ayat-ayat Allah baik yang diperolehmelalui para nabi,
eksplorasi akal, maupun eksplorasi alam.
2. Kolaborasi
Prinsip ini memadukan nilai universal Islam dengan ilmu
pengetahuan modern guna peningkatan kualitas hidup dan peradaban
manusia.
3. Dialetika
Prinsip ini meniscayakan dialog yang intens antara ilmu-ilmu
yang berakar pada wahyu (revealed sciences), ilmu pengetahuan
modern (modern sciences) dan kearifan lokal (local wisdom).
4. Prospektif
Prinsip ini menyakini bahwa wahdatul ulum akan menghasilkan
ilmu-ilmu yang lebih humanis dan etis yang bermanfaat bagi
pembangunan martabat dan kualitas bangsa serta kelestarian alam.
5. Pluralistik

16
Muhyar Fanani, Buku Ajar FalsafahKesatuanIlmu, (Semarang: UIN Walisongo, 2015), hal 274.
Prinsip ini meyakini adanya pluralitas realitas dan metode dalam
semua aktivitas keilmuan. Selain memiliki prinsip, paradigma
wahdatul ulum juga memiliki pendekatan. Pendekatan yang dimaksud
adalah teo-antroposentris. Pendekatan ini membimbing para pengkaji
agar selalu menjadikan Tuhan sebagai asal dan tujuan dari segala
proses ilmiah tanpa meninggalkan peran manusia sebagai makhluk
yang memiliki mandat ilmiah.1714

17
Muhyar Fanani, Buku Ajar FalsafahKesatuanIlmu, (Semarang: UIN Walisongo, 2015), hal 274.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan merupakan paradigma ilmu
pengetahuan khas umat Islam yang menyatakan bahwa semua ilmu
pada dasarnya adalah satu kesatuan yang berasal dari Allah dan
bermuara juga pada Allah melalui wahyu-Nya baik secara
langsung maupun tidak langsung.
2. Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan terdapat di berbagai
PTKIN di Indonesia seperti Unity Of Sciences di UIN Walisongo
Semarang, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, UIN
Alauddin Makassar, UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
3. Prinsip-prinsip Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan yaitu:
a. Integrasi
b. Kolaborasi
c. Dialetika
d. Prospektif
e. Pluralistrik
B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat, guna memenuhi tugas mata
kuliah Falsafah Kesatuan Ilmu. kami mohon maaf apabila dalam
penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan. Kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat kami perlukan demi penyempurnaan
pembelajaran berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Fanani, Muhyar, “Paradigma Kesatuan Ilmu (Unity of Sciences) dalam Visi


dan Misi IAIN Walisongo” (Paradigm in Unity of Sciences in IAIN
Walisongo’s Vision and Mission), presented in Powerpoint on October 30th,
2013. Semarang: UIN Walisongo.
Rahman, Shahid. 2004. The Unity of Science in the Arabic Tradition: Science,
Logic, Epistemology, and Their Interactions. New York: Springer.
Syafei, Rahmat. 2008. Integrasi Ilmu Agama dalam Sistem Kurikulum UIN”
dalam Nanat Fatah Natsir (ed.), Pandangan Keilmuan UIN Wahyu
Memandu Ilmu. Bandung: Gunung Jati Press.
Syam, Nur. 2010. Membangun Keilmuan Islam Multidisipliner: Memahami
Proses Saling Menyapa Ilmu Agama dan Umum” dalam Nur Syam (ed.),
Integrated Twin Towers: Arah Pengembangan Islamic Studies
Multidisipliner. Surabaya: Sunan Ampel Press.
Tim Penyusun. 2009. 4 Tahun Universitas Islam Negeri Malang. Malang: UIN
Press.
Tim Penyusun. 2013. Laporan Kegiatan Workshop Penyusunan Kurikulum
Berbasis Unity Of Sciences IAIN Walisongo di Hotel Quest 22-24
Oktober 2013. Semarang: UIN Walisongo.
Zainiyati, Husniyatus Salamah. 2012. Desain Pengembangan Kurikulum
Integratif IAIN Menuju UIN Sunan Ampel. Surabaya: IAIN Sunan Ampel
Press.
https://pengertiandefinisi.com/pengertian-paradigma/ Diakses pada tanggal 07
November 2019 pukul 20.29 WIB.

Anda mungkin juga menyukai