Anda di halaman 1dari 16

Kebudayaan Nilai &

Estetika Islam

Disusun Oleh :

Laila Nur Hidayah (1808015052)

Nabila Permata (1808015062)

Kladia Dwi Ramadhani (1808015066)

Rizky Azwar (1808015089)

Erina Nurafifah (1808015095)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita


berbagai macam nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan
membawa keberkahan, baik kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi
pada kehidupan akhirat kelak, sehing ga semua cita-
cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh
manfaat. Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepad a dosen serta
teman-teman sekalian yang telah membantu,baik bantuan berupa moril maupun
materil, sehingga makalah ini terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.

Kami menyadari sekali, didalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan serta banyak kekurangan-kekurangnya, baik dari segi tata bahasa
maupun dalam hal pengkonsolidasian  kepada doosen serta teman-teman sekalian,yang
kadangkala hanya menturuti egoisme pribadi, untuk itu besar harapan
kami jika ada kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah-makah
kami dilain waktu.

Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah, muda
h - mudahan apa yang kami susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-
teman, serta orang lain yang ingin mengambil atau menyempurnakan lagi atau
mengambil hikmah dari judul ini Kebudayaan Nilai & Estetika Islam sebagai tambahan dalam
menambah referensi yang telah ada.
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar belakang
Islam merupakan agama yang luas dan fleksibel. Islam mengkaji banyak hal. Kajian ilmu
dalam islam tidak hanya pada inti ajaran islam itu sendiri, melainkan juga pada ilmu lain yang
relevan terhadap ajaran islam. Semua aspek dan hal dalam kehidupan manusia diatur oleh
islam. Kedatangan Islam membawa perubahan besar dalam segala bidang terutama sekali di
Jazirah Arab. Selama masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin pada umumnya mereka sibuk dengan
dakwah, jihad dan penaklukan. Islam datang dengan Qur’an dan Hadits, keduanya menyelundup
ke dalam lubuk hati mereka dan bersemi abadi dalam zihin mereka, sehingga dengan sangat
cepat merubah adat istiadat mereka, budi dan akhlak mereka, bahkan merubah seluruh bidang
kehidupan mereka dan berbekaslah perubahan itu pada ilmu pengetahuan, tata cara hidup, tata
cara berpikir atau dengan kata lain berbekas pada kebudayaan mereka.

Revolusi Islam yang bernapaskan Al-qur’an dan Sunnah, telah membangun suatu
kebudayaan baru di atas puing-puing kebudayaan Jahiliyyah yaitu kebudayaan Islam. Namun,
saat ini seluruh kebudayaan islam tersebut telah mengalami perkembangan yang sangat
signifikan dan semakin baik. Hal yang sangat mempengaruhi perkembangan kebudayaan islam
adalah adanya konsep pengembangan budaya islam. Kebudayaan Islam adalah peradaban yang
berdasarkan pada nilai-nilai ajaran islam. Nilai kebudayaan Islam dapat dilihat dari tokoh-tokoh
yang lahir di bidang ilmu pengetahuan agama dan bidang sains dan teknologi. Semua itu di
ilhami oleh ayat-ayat Al Quran dan sunnah.

B.Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari kebudayaan dalam islam?
2. Apa yang menjadi dasar-dasar pembentukan budaya islam?
3. Apa yang menjadi sumber dan pembentukan kebudayaan islam?
4. Bagaimana mesjid menjadi pusat keudayaan islam?
5. Apa saja konsep nilai & sumber nilai dalam islam?
6. Jelaskan konsep estetika dalam islam?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebudayaan Islam

Kebudayaan secara etimologi merupakan perpaduan dari istilah “budi” yang berarti akal,
pikiran, pengertian, paham, perasaan, dan pendapat; dan “daya” yang berarti tenaga, kekuatan,
kesanggupan. Menurut terminologi kebudayaan adalah himpunan segala daya dan upaya yang
dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi, untuk memperbaiki sesuatu tujuan dalam
rangka mencapai kesempurnaan, (Agus Salim, 1954:300).Definisi kebudayaan secara khusus
dikemukakan oleh para seniman dan budayawan Islam sebagai menifestasi dari ruh, zauq, iradah,
dan amal (cipta, rasa, karsa, dan karya) dalam seluruh segi kehidupan insani sebagai fitrah,
ciptaan karunia Allah SWT. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami bahwa kebudayaan
muncul dari pengerahan semua potensi yang diberikan Allah kepada semua manusia.
Kebudayaan Islam selalu terkait dengan nilai-nilai Illahiyah yang bersumber dari ajaran kitab
suci Al-Qur’an dan Hadist, sehingga dapat dipahami bahwa kebudayaan Islam itu adalah
implementasi dari Quran dan Sunnah oleh umat Islam dalam kehidupannya, baik dalam bentuk
pemikiran, tingkah laku, maupun karya untuk kemaslahatan umat manusia dalam rangka
mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah dan mencari keridhoaan-Nya.

B.Dasar –dasar pembentukan budaya islam

Dasar yang bisa dijadikan landasan awal sejarah kebudayaan Islam adalah surat Al-Alaq
ayat 1-5 yang disimpulkan :
1. Keimanan atau kepercayaan kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa
2. Ilmu Penmgetahuan
3. Universal artinya wawasannya luas, mencakup manusia seluruhnya
4. Kemanusiaan yang beradab dan bertamaddun
5. Kasih sayang atau Persaudaraan umat Islam
Kebudayaan Islam di Indonesia mempunyai dasar dan asas yang sama dengan
kebudayaan Islam dimanapun dipermukaan bumi ini. Tetapi ia juga mempunyai corak dan warna
kebudayaan Islam dari bangsa-bangsa lain. Demikian pula kebudayaan Islam di Aceh, di tempat
mana ia memulai sejarahnya di Nusantara, mempunyai corak dan warna khusus yang berbeda
dengan corak dan warna kebudayaan Islam dari suku-suku bangsa Indonesia yang lain.

Sejak terjadinya Kerajaan Samudera Pasai sampai Kerajaan Kembang Gowo-Tallo di Islamkan,
terjadi 3 pola “Pembentukan Budaya” yaitu :
a. Pola Samedera Pasai : yaitu perubahan dari supra desa menjadi Negara yang terpusat. Pada
awlnya, kekuasaan Kerajaan Samudera Pasai masih kecil, tetapi terus menerus bertambah
sehingga memegang hegemoni politik.Samudera Pasai menjadi pusat penjajahan agama.
Konsekuensinya, samudera Pasai memiliki kebebasan budaya untuk memformalisasikan struktur
dan system kekuasaan yang menggambarkan keberadaan dirinya.Pola ini juga berlaku dalam
kelahiran Kerajaan Aceh Darussalam.
b. Pola Sulawesi Selatan : yaitu pola ketika Islamisasi diawali di Keraton. Setelah Raja dan
golongan bangsawan masuk Islam, rakyatnya-pun mengikuti sehingga tidak raja ada persoalan
legitimasi (structural dan cultural.Pola ini berlaku untuk Kerajaan Ternate, Barjarmasin dan
sebagainya.
c. Pola Jawa: yaitu Islam tampil sebagai penentang kekuasaan yang ada. Pada mulanya, pusat-
pusat kekuasaan Islam tumbuh dipesisir yaitu demak, Jepara, Rembang, Tuban, Gersik dan
Surabaya, bertambah kekuasaannya seiring dengan pudarnya kekuasaan Kerajaan
Majapahit.Mereka mulai menjauhkan diri dari pusat kekuasaan di pedalaman.Pada saat
Majapahit semakin lemah, Kerajaan Demak melancarkan perlawanan dan akhirnya, dengan
pimpinan Sunan Kudus, berhasil menggantikannya sekitar tahun 1520-an. Dengan demikian,
timbullah dilema kultural karena telah mapannya system politik yang lama orang baru dalam
bangunan lama merupakan persoalan serius yang dihadapi oleh Kerajaan Demak, Pajang, dan
kemudian Mataram.
Ketiga pola ini memiliki kesamaan yaitu : dominannya peranan Negara sebagai
“Jembatan” Proses Islamisasi di wilayah kedaulatannya. Perbedaannya, dalam 2 pola yang
pertama berbentuk tradisi integrasi yang mulai mantap pada abad ke-17 disini tidak terjadi
perubahan struktur.Dengan mulus, Islam menjadi tradisi khas bagi masyarakat.
C. Agama islam sebagai sumber dan pembentuk kebudayaan islam

Sumber dan pembentukan kebudayaan islam yaitu Al quran dan Hadist.

1. Kebudayaan islam dalam Al quran


Allah subhanahu wata’ala berfirman:

ِ ْ‫ ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوْأ ُمرْ بِ ْالعُر‬.


َ ِ‫ف َوَأ ْع ِرضْ َع ِن ْال َجا ِهل‬
)199 :‫ين (األعراف‬
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang
baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”. (QS. al-A’raf : 199).

Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar
menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam ayat di atas adalah
tradisi yang baik. Al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani berkata:

‫ْرفُهُ النَّاسُ َويَتَ َعا َرفُ ْونَهُ فِ ْي َما بَ ْينَهُ ْم‬ ُ ْ‫َو ْالعُر‬
ِ ‫ف َما يَع‬
“’Urf adalah sesuatu yang dikenal oleh masyarakat dan mereja jadikan tradisi dalam
interaksi di antara mereka”. (Al-Sam’ani, Qawathi’ al-Adillah, juz 1 hlm 29).

Syaikh Wahbah al-Zuhaili berkata:

‫ف فِي ْاَآليَ ِة هُ َو ْال َم ْعنَى اللُّ َغ ِويُّ َوهُ َو اَْأل ْم ُر ْال ُم ْستَحْ َس ُن‬
ِ ْ‫َو ْال َواقِ ُع َأ َّن ْال ُم َرا َد بِ ْالعُر‬
ُ ‫ْال َم ْعر ُْو‬
‫ف‬
“Yang realistis, maksud dari ‘uruf dalam ayat di atas adalah arti secara bahasa, yaitu
tradisi baik yang telah dikenal masyarakat.” (Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 2/836).

Penafsiran ‘urf dengan tradisi yang baik dan telah dikenal masyarakat dalam ayat di atas,
juga sejalan dengan pernyataan para ulama ahli tafsir. Al-Imam al-Nasafi berkata dalam
tafsirnya:
ِ ْ‫)وْأ ُمرْ بِ ْالعُر‬
(‫ف‬ َ ‫ع‬ُ ْ‫ض ْيهَا ْال َع ْق ُل َويَ ْقبَلُهَا ال َّشر‬
ِ َ‫هُ َو ُكل ُّخَصْ لَ ٍة يَرْ ت‬.
“Suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf , yaitu setiap perbuatan yang disukai oleh akal
dan diterima oleh syara’.” (Tafsir al-Nasafi, juz 2 hlm 82).

Al-Imam Burhanuddin Ibrahim bin Umar al-Biqa’i juga berkata:

ِ ْ‫)وْأ ُمرْ بِ ْالعُر‬


(‫ف‬ َ ً ‫ فَِإنَّهُ ِم َن ْال َع ْف ِو ُسه ُْولَةً َو َش َرفا‬،ُ‫ع َوَأ َجا َزه‬
ُ ْ‫َأيْ بِ ُكلِّ َما َع َرفَهُ ال َّشر‬
“Suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf, yaitu setiap perbuatan yang telah dikenal baik
oleh syara’ dan dibolehkannya. Karena hal tersebut termasuk sifat pemaaf yang ringan
dan mulia.” (Al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, juz 3 hlm 174).

Oleh karena yang dimaksud dengan ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik, al-
Imam al-Sya’rani berkata:

‫ض َي هللاُ َع ْنهُ ْم تَ َوقُّفُهْم َع ْن ُك ِّل فِ ْع ٍل َأ ْو قَ ْو ٍل‬


ِ ‫ح’ َر‬
ِ ِ‫ف الصَّال‬ ِ َ‫َو ِم ْن َأ ْخالَقِ ِه ْم َأي ال َّسل‬
‫ف ِم ْن ُج ْملَ ِة‬ َ ْ‫ َأل َّن ْالعُر‬،‫ف‬ِ ْ‫ب َوال ُّسنَّ ِة َأ ِو ْالعُر‬ِ ‫لى ْال ِكتَا‬
َ ‫ْرفُ ْوا ِمي َْزانَهُ َع‬
ِ ‫َحتَّى يَع‬
ِ ْ‫ ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوْأ ُمرْ بِ ْالعُر‬:‫ قَا َل هللاُ تَ َعالَى‬،‫ال َّش ِر ْي َع ِة‬
َ ِ‫ف َوَأ ْع ِرضْ َع ِن ْال َجا ِهل‬
‫ين‬
)199 : ‫(األعراف‬.
“Di antara budi pekerti kaum salaf yang shaleh, semoga Allah meridhai mereka, adalah
penundaan mereka terhadap setiap perbuatan atau ucapan, sebelum mengetahui
pertimbangannya menurut al-Qur’an dan hadits atau tradisi. Karena tradisi termasuk
bagian dari syari’ah. Allah SWT berfirman: ““Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah
orang mengerjakan yang ‘urf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-
orang yang bodoh.”. (QS. al-A’raf : 199).” (Al-Imam al-Sya’rani, Tanbih al-Mughtarrin,
hlm 14).

Paparan di aras memberikan kesimpulan, bahwa tradisi dan budaya termasuk bagian dari
syari’ah (aturan agama), yang harus dijadikan pertimbangan dalam setiap tindakan dan
ucapan, berdasarkan ayat al-Qur’an di atas.”

Contoh : Qurban

Perintah Qurban
Surat Al Kautsar Ayat 2

ْ‫ص ِّل لِ َرب َِّك َوا ْن َحر‬


َ َ‫ف‬
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.
Yang dimaksud berkorban di sini ialah menyembelih hewan Qurban dan mensyukuri
nikmat Allah.

2. Kebudayaan islam dalam Hadist


Perhatian Islam terhadap tradisi juga ditegaskan oleh para sahabat, antara lain Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berkata:

ُ‫ َما َرَآهُ ْال ُم ْسلِ ُم ْو َن َح َسنًا فَه َُو ِع ْن َد هللاِ َح َس ٌن َو َما َرَآه‬: ‫قال عبد هللا بن مسعود‬
‫ رواه أحمد وأبو يعلى والحاكم‬.‫هللا َس ِّي ٌء‬ ِ ‫ْال ُم ْسلِ ُم ْو َن َسيِّئا ً فَه َُو ِع ْن َد‬
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Tradisi yang dianggap baik oleh umat Islam, adalah baik
pula menurut Allah. Tradisi yang dianggap jelek oleh umat Islam, maka jelek pula
menurut Allah.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan al-Hakim).”
Menjaga tradisi, berarti menjaga kebersamaan. Melanggar tradisi dapat menimbulkan
fitnah dan perpecahan di kalangan umat. Demikian ini sebagaimana kita dapati dalam
interaksi para sahabat dan ulama salaf dengan trasidi. Dalam kitab-kitab hadits
diriwayatkan:

‫ْت َم َع‬ َ ِ‫ان بِ ِمنًى َأرْ بَعًا فَقَا َل َع ْب ُد هللا‬


ُ ‫صلَّي‬ ُ ‫صلَّى ُع ْث َم‬ َ ‫ال‬ َ َ‫َع ْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ب ِْن يَ ِزي َد ق‬
‫النَّبِ ِّى صلى هللا عليه وسلم َر ْك َعتَي ِْن َو َم َع َأبِى بَ ْك ٍر َر ْك َعتَي ِْن َو َم َع ُع َم َر َر ْك َعتَ ْي ِن‬
ِ ‫ال اَأل ْع َمشُ فَ َح َّدثَنِى ُم َع‬
َ‫اويَةُ ب ُْن قُ َّرة‬ َ َ‫ ق‬.‫ارتِ ِه ثُ َّم َأتَ َّمهَا‬
َ ‫ص ْدرًا ِم ْن ِإ َم‬ َ ‫َو َم َع ُع ْث َم‬
َ ‫ان‬
َ ‫صلَّي‬
‫ْت‬ َ ‫ْت َعلَى ُع ْث َم‬
َ ‫ان ثُ َّم‬ َ ‫يل لَهُ ِعب‬ َ َ‫صلَّى َأرْ بَعًا ق‬
َ ِ‫ال فَق‬ َ ِ‫اخ ِه َأ َّن َع ْب َد هللا‬
ِ َ‫َع ْن َأ ْشي‬
ُ َ‫ال ْال ِخال‬
‫ رواه أبو داود والبيهقي‬.ٌّ‫ف َشر‬ َ َ‫َأرْ بَعًا ق‬
Dari Abdurrahman bin Yazid, berkata: “Utsman menunaikan shalat di Mina empat
raka’at.” Lalu Abdullah bin Mas’ud berkata: “Aku shalat bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dua raka’at. Bersama Abu Bakar dua raka’at. Bersama Umar dua
raka’at. Bersama Utsman pada awal pemerintahannya dua raka’at. Kemudian Utsman
menyempurnakannya (empat raka’at). Ternyata kemudian Abdullah bin Mas’ud shalat
empat raka’at. Lalu beliau ditanya: “Anda dulu mencela Utsman karena shalat empat
raka’at, sekarang Anda justru shalat empat raka’at juga.” Ia menjawab: “Berselisih
dengan jama’ah itu tidak baik.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi).

Perhatikan dalam riwayat di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Khalifah Abu
Bakar dan Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhuma menunaikan shalat di Mina (ketika
menunaikan ibadah haji, dengan di-qashar) dua raka’at. Kemudian Khalifah Utsman tidak
melakukan qashar. Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mencela Khalifah Utsman
karena tidak melakukaan qashar shalat sebagaimana dilakukan oleh pemimpin
sebelumnya. Meski begitu, karena Khalifah Utsman dan umat Islam pada saat itu tidak
melakukajn qashar, Ibnu Mas’ud juga tidak melakukan qashar, demi menjaga
kebersamaan dengan jama’ah, karena berbeda dengan jama’ah suatu keburukan. Lalu
Anda bandingkan dengan sikap sebagian ormas Wahabi di Indonesia, setiap awal
Ramadhan dan Syawal selalu berbeda dengan pemerintah dan mayoritas umat Islam
dalam menetapkan waktu ibadah. Kaum Wahabi juga demikian, senang berbeda dengan
umat Islam di sekitarnya, karena tidak tahu bahwa berbeda dengan mayoritas umat Islam
itu suatu keburukan dalam kacamata ulama salaf.
Contoh : Maulid Nabi

:‫ُّصلَّيالله َُع َلي ِْه َو َسلَّ َم‬ َ ‫َقااَل ل َّن ِبي‬


ِ ‫و َم ْنَأ ْن َف َق ِدرْ َهمًافِي َم ْولِدِي َف َكَأ َّن َماَأ ْن َف َق َج َبالً ِم ْن َذ َه ٍبفِي َس ِب ْياِل‬،ِ
‫هلل‬ َ ‫ َم ْن َع َّظ َم َم ْولِدِي ُك ْن ُت َش ِف ْيعًا َل ُه َي ْو َماْل ِق َيا َمة‬.

Artinya: Nabi saw bersabda: “Barang siapa mengagungkan hari kelahiranku, niscaya aku akan
memberi syafa’at kepadanya kelak pada hari kiamat. Dan barang siapa mendermakan satu
dirham di dalam menghormati hari kelahiranku, maka seakan-akan dia telah mendermakan satu
gunung emas di jalan Allah’.”

D.Mesjid Sebagai Pusat Kebudayaan Islam

Sejak awal berdirinya mesjid di zaman nabi berfungsi sebagai pusat peradaban. Sekolah-
sekolah dan universitas-universitas pun bermunculan justru dari mesjid, salah satu contohnya
mesjid Al-Azhar di mesir. Di Indonesia disekitar tahun tujuh puluhan muncul kelompok yang
sadar untuk mengembangkan fungsi mesjid sebagaimana mestinya, terutama di kalangan kaum
intelektual muda. Dimulai dengan pesantren kilat pada awal tahun 1978, pengentasan buta huruf
Al-Qur‟an tahun 1990-an. Fungsi dan peranan masjid dari waktu ke waktu terus meluas seiring
dengan laju pertumbuhan umat Islam baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif dan
peningkatan jumlah intelektual muslim yang sadar dan peduli terhadap peningkatan kualitas
umat Islam. Kondisi inilahyang mendorong terjadinya perluasan fungsi mesjid.

Konsepsi tentang mesjid sejak zaman Rasulullah hingga sekarang tidak akan pernah
berubah. Paradigma yang digunakan adalah Al-Qur‟an sehingga kita akan berfikir tentang
konsep tujuan dan perlakuan terhadap masjid itu memiliki kesamaan. Dalamsyari‟at Islam,
masjid memiliki dua fungsi utama yaitu :

1.Sebagai pusat ibadah ritual

2.Sebagai pusat ibadah sosial Dan titik sentralnya bahwa fungsi utama mesjid adalah sebagai
pusat pembinaan umat Islam.

E.Konsep Nilai dan Sumber Nilai dalam Islam

Nilai dapat diartikan sebagai suatu tipe kepercayaan yang menjadi dasar bagi seseorang
maupun sekelompok masyarakat, dijadikan pijakan dalam tindakannya, dan sudah melekat pada
suatu sistem kepercayaan yang berhubungan dengan manusia yang meyakininnya.Nilai
merupakan sesuatu realitas yang abstrak, nilai mungkin dapat dirasakan dalam diri seseorang
masing-masing sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi pedoman dalam
kehidupan.Nilai juga dapat terwujud keluar dalam pola-pola tingkah laku, sikap dan pola pikir.
Nilai dalam diri seseorang dapat ditanamkan melalui suatu proses sosialisasi, serta melalui
sumber dan metode yang berbeda-beda, misalkan melalui keluarga, lingkungan, pendidikan, dan
agama. Jika dikaitkan dengan pendidikan disuatu lembaga pendidikan nilai yang dimaksudkan
disini adalah nilai yang bermanfaat serta berharga dalam praktek kehidupan sehari-hari menurut
tinjauan keagamaan atau dengan kata lain sejalan dengan pandangan ajaran agama Islam.

1. Nilai Ilahi adalah nilai yang difitrathkan Tuhan melalui para rasul-Nya yang berbentuk
iman, takwa, adil, yang diabadikan dalam wahyu Illahi. Nilai Illahi ini merupakan sumber
utama bagi para penganutnnya. Dari agama, mereka menyebarkan nilai-nilai kebajikan
untuk diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang dijelaskan dalam Q.S.
al-An’am/6: 115

’ُ‫ص’ ْد’ قً’ ا’ َو’ َع’ ْد’ اًل ۚ’ اَل ُم’ بَ’ د’ِّ’ َل’ لِ’ َك’ لِ’ َم’ ا’تِ’ ِه’ ۚ’ َو’ هُ’ َ’و’ ا’ل’س’َّ’ ِم’ ي’ ُع’ ا’ ْل’ َع’ لِ’ ي’م‬
ِ ’‫ك‬ ’ْ ’‫َو’ تَ’ َّم‬
’ُ ’‫ت’ َك’ لِ’ َم‬
َ ’ِّ’‫ت’ َر’ ب‬

Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil.
Tidak ada yang dapat merubah rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha
Mendenyar lagi Maha Mengetahui.(Q.S Al-An’am /6:115)

2. Nilai insani ialah nilai yang tumbuh atas dasar kesepakatan manusia serta hidup dan
berkembang dari peradaban manusia, nilai ini bersifat dinamis. Seperti dalam firman
Allah dalam Q.S. Al-Anfal/8:53

’ٌ‫ك’ ُم’ َغ’ ي’ِّ’ ًر’ ا’ نِ’ ْع’ َم’ ةً’ َأ ْن’ َع’ َم’ هَ’ ا’ َع’ لَ’ ٰ’ى’ قَ’ ْ’و’ ٍ’م’ َح’ تَّ’ ٰ’ى’ يُ’ َغ’ ي’ِّ’ ُر’ و’ا’ َم’ ا’ بِ’ َأ ْن’ فُ’ ِس’ ِه’ ْم’ ۙ’ َو’ َأ َّن’ هَّللا َ’ َس’ ِم’ ي’ ٌع’ َع’ لِ’ ي’م‬ ’َ ’ِ‫ٰ’ َذ’ ل‬
ُ ’َ‫ك’ بِ’ َأ َّن’ هَّللا َ’ لَ’ ْم’ ي‬

Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang
telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa yang ada pada diri
mereka sendiri dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Q.S.
Al-Anfal/8:53).

Nilai-nilai insani yang kemudian melembaga menjadi tradisi-tradisi yang diwariskan


turun-temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Nilai Illahi mempunyai
relasi dengan nilai insani. Namun nilai Illahi (hidup etis religius) memiliki kedudukan vertikal
yang lebih tinggi daripada nilai hidup lainya.Di samping hirarkinya lebih tinggi, nilai keagamaan
mempunyai konsekuensi pada nilai lainya, dan sebaliknya nilai lainnya itu memerlukan nilai
pijakan yang berupa nilai etis religius.

Nilai-nilai keislaman atau agama mempunyai dua segi yaitu: “segi normatif” dan “segi
operatif”.Segi normativ menitik beratkan pada pertimbangan baik buruk, benar salah, hak dan
batil,diridhoi atau tidak. Sedangkan segi operatif mengandung lima kategori yang menjadi
prinsipstandarisasi prilaku manusia, yaitu baik buruk, setengan baik, netral, setengah buruk dan
buruk.Yang kemudian dijelaskan sebagai berikut:
1. Wajib (baik)
Nilai yang baik yang dilakukan manusia, ketaatan akan memperoleh imbalan jasa
(pahala)dan kedurhakaan akan mendapat sanksi.
2. Sunnah (setengah baik)
Nilai yang setengah baik dilakukan manusia, sebagai penyempurnaan terhadap nilai
yangbaik atau wajib sehingga ketaatannya diberi imbalan jasa dan kedurhakaannya
tanpamendapatkan sangsi.
3. Mubah (netral)
Nilai yang bersifat netral, mengerjakan atau tidak, tidak akan berdampak imbalan
jasaatau sangsi.
4. Makruh (setengah baik)
Nilai yang sepatutnya untuk ditinggalkan. Disamping kurang baik, juga
memungkinkanuntuk terjadinya kebiasaan yang buruk yang pada akhirnya akan
menimbulkankeharaman.
5. Haram (buruk)
Nilai yang buruk dilakukan karena membawa kemudharatan dan merugikan diri
pribadimaupun ketenteraman pada umumnya, sehingga apabila subyek yang melakukan
akanmendapat sangsi, baik langsung (di dunia) atau tidak langsung (di akhirat).
(Muhaimin;1993:117)
Kelima nilai yang tersebut diatas cakupannya menyangkut seluruh bidang yaitu
menyangkut nilaiilahiyah ubudiyah, ilahiyah muamalah, dan nilai etik insani yang terdiri dari
nilai sosial, rasional,individual, biofisik, ekonomi, politikdan estetik. Dan sudah barang tentu
bahwa nilai-nilai yang jelek tidak dikembangkan dan ditinggalkan. Namun demikian sama-
sama satu nilai kewajibanmasih dapat didudukkan mana kewajiban yang lebih tinggi
dibandingkan kewajiban yang lainnyayang lebih rendah hierarkinya. Hal ini dapat dikembalikan
pada hierarki nilai menurut NoengMuhadjir, contohnya: kewajiban untuk beribadah haruslah
lebih tinggi dibandingkan dengan

F. Konsep Estetika dalam Islam

Estetika berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu “aesheton” yang berarti kemampuan
melihat lewat pengindraan, atau persepsi, perasaan, pengalaman, dan pemandangan.

Islam merupakan agama yang memiliki kitab suci Al-Quran yang memiliki banyak nilai
di dalamnya.Baik nilai pendidikan, seni, dan ilmu pengetahuan.Berkenaan dengan itu, maka Al-
Quran merupakan salah satu kitab yang memiliki nilai estetika yang banyak di dalamnya.Baik
dari huruf-hurufnya yang khas maupun dalam seni membacanya.

Dewasa ini dunia Islam sangat menghargai seni dan bahkan dalam apresiasinya dunia
Islam sendiri telah banyak memperlombakan cabang-cabang seni yang berkaitan dengan Islam
itu. Contohnya MTQ, Kaligrafi, beberapa praktek ibadah yang mengandung nilai seni.

Selanjutnya Estetika merupakan salah satu bagian dari cara untuk meluaskan ajaran
agama Islam itu sendiri. salah satu contohnya dapat kita lihat bagaimana sejarah Wali Songo
dalam memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa.
Menurut salah satu ilmuan Islam terkemuka yaitu  Al-faruqi menerangkan  keindahan
adalah salah satu sifat Allah dan oleh karena itu untuk mencapai keridhoan Allah, manusia dapat
menggunakan pendekatan dalam melakukan ibadah kepadanya. Dalam islam nilai atau sifat
keinahan yang di timbulkan haruslah mengekspresikan nilai ibadah, yakni mencari ridho Allah
dan memiliki manfaat bagi pembentukan nilai – nilai akhlak atau budi pekerti yang mulia[3].
Kemudian Drs. Sidi Gazalba mendefinisikan sebagai berikut: penciptaan bentuk-bentuk yang
mengandung nilai estetika berpadu dengan nilai estetika islam. Istilah untuk estetika islam itu
ialah akhlak. Kesenian sebagai suatu aspek kehidupan, tunduk kepada syari’at Allah S.W.T seni
yang tidak membawa mudarat atau kerusakan merupakan hal yang diharuskan, yang mungkin
memudaratkan atau merusakkan dimakruhkan dan yang pasti membawa mudarat atau kerusakan
adalah diharamkan.
Contoh estetika dalam islam:
1. Kaligrafi

Kaligrafi adalah salah satu karya kesenian Islam yang paling penting. Kaligrafi Islam
yang muncul di dunia Arab merupakan perkembangan seni menulis indah dalam huruf Arab
yang disebut khat. Seni kaligrafi yang bernafaskan Islam merupakan rangkaian dari ayat-ayat
suci Al-qur’an. Tulisan tersebut dirangkai sedemikian rupa sehingga membentuk gambar,
misalnya binatang, daun-daunan, bunga atau sulur, tokoh wayang dan sebagainya. Contoh
kaligrafi antara lain yaitu kaligrafi pada batu nisan, kaligrafi bentuk wayang dari Cirebon dan
kaligrafi bentuk hiasan.
.
2. Batu Nisan

Batu nisan berfungsi sebagai tanda kubur. Tanda kubur yang terbuat dari batu
bentuknya bermacam-macam. Pada bangunan batu nisan biasanya dihiasi ukir-ukiran dan
kaligrafi. Kebudayaan batu nisan diduga berasal dari Perancis dan Gujarat. Di Indonesia,
kebudayaan tersebut berakulturasi dengan kebudayaan setempat (India).

3. Bentuk Mesjid
Sejak masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia banyak mesjid didirikan
dan termasuk mesjid kuno, di antaranya mesjid Demak, mesjid Kudus, mesjid Banten, mesjid
Cirebon, mesjid Ternate, mesjid Angke, dan sebagainya.
Mesjid Demak
Mesjid Demak didirikan pada masa pemerintahan Raden Patah. Bangunan mesjid
terletak di Kadilangu, Demak. Mesjid ini beratap tumpang yang mirip dengan bentuk pura
Hindu. Mesjid Demak didirikan dengan bantuan para wali (walisongo). Pembangunan mesjid
dipimpin langsung oleh Sunan Kalijaga. Keunikan mesjid ini terletak pada salah satu tiang
utamanya, yakni terbuat dari bahan pecahan-pecahan kayu yang disebut tatal (soko tatal).

BAB III
KESIMPULAN

Kebudayaan Islam adalah implementasi dari Quran dan Sunnah oleh umat Islam dalam
kehidupannya, baik dalam bentuk pemikiran, tingkah laku, maupun karya untuk kemaslahatan
umat manusia dalam rangka mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah dan mencari keridhoaan-
Nya. Dasar dari kebudayaan islam adalah surat Al alaq ayat 1-5. Adapun sumber dan
pembentukan agama islam adalah Al quran dan Hadist. Kebudayaan Islam adalah peradaban
yang berdasarkan pada nilai-nilai ajaran islam. Nilai kebudayaan Islam dapat dilihat dari nilai-
nilai insani yang kemudian melembaga menjadi tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun
dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Nilai Illahi mempunyai relasi dengan
nilai insani. Namun nilai Illahi (hidup etis religius) memiliki kedudukan vertikal yang lebih
tinggi daripada nilai hidup lainya. Di samping hirarkinya lebih tinggi, nilai keagamaan
mempunyai konsekuensi pada nilai lainya, dan sebaliknya nilai lainnya itu memerlukan nilai
pijakan yang berupa nilai etis religius. Selanjutnya Estetika merupakan salah satu bagian dari
cara untuk meluaskan ajaran agama Islam itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai