Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

PARADIGMA KESATUAN ILMU PENGETAHUAN DI PERGURUAN


TINGGI ISLAM NEGERI

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Falsafah Kesatuan Ilmu

Dosen Pengampu: Fachri Hakim, M. Pd

Disusun Oleh:

1. Ladun Hikmah Jimat H. (1908076029)


2. Afika Alifia (1908076031)

PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, atas limpahan rahmat dan
karuniaNya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Desain
Praktikum” selesai pada waktunya. Makalah ini disusun untuk memebuhi tugas
Mata Kuliah Manajemen Laboratium Kimia. Di dalamnya berisi mengenai
pengertian desain praktikum, kegiatan praktikum, dan penuntun praktikum. Dalam
kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Fachri Hakim, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafah
Kesatuan Ilmu
2. Kedua orang tua penulis selaku motivator penulis dalam menyelesaikan
makalah ini.
3. Mahasiswi Pendidikan Kimia 4B selaku penyemangat penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak


kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharap kritik dan saran yang
membangun dari pembaca untuk perbaikan makalah selanjutnya.

Semarang, April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

A. Latar Belakang .................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................. 2
C. Tujuan .............................................................................................. 2
D. Manfaat ............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 3

A. Definisi Paradigma Kesatuan Ilmu, Integrasi, Interkoneksi ................ 3


B. Prinsip-Prinsip dan Strategi Paradigma Kesatuan Ilmu ...................... 6
C. Paradigma Kesatuan Ilmu Di Tujuh PTIN ......................................... 8
D. Penjelasan Ayat Al-Qur’an Mengenai Tafakuh fi al-dien ................. 20

BAB III PENUTUP .................................................................................... 22

A. Kesimpulan ..................................................................................... 22
B. Saran .............................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu dalam bahasa Arab disebut dengan al-’ilm yang berarti
pengetahuan (knowledge), sedangkan dalam bahasa Indonesia ilmu
biasanya merupakanterjemahan dari science. Ilmu dalam arti science
hanyalah sebagian dari al-‘ilm. Sedangkan pengetahuan ialah semua yang
telah diketahui. Pengetahuan dapat dikatakan benar apabila rasional dan
empiris. Inilah yang menjadi prinsip dalam mengukur kebenaran dari suatu
teori dalam science. Maka jangan sampai tertipu oleh bukti-bukti yang
empiris saja (Ahmad Tafsir, 2006).
Paradigma dapat diartikan sesuai dengan sudut pandang pada tiap
individu. Dalam paradigma ilmu, para ilmuwan telah mengembangkan
keyakinan dasar dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya.
Kemudian tradisi pengungkapan ilmu tesebut mulai berkembang menjadi
aliran paradigma baru sebagai landasan pengembangan ilmu dalam
kehidupan.
Falsafah kesatuan ilmu merupakan suatu fondasi dalam
membangun pola pikir agar memiliki perspektif yang khas mengenai ilmu
pengetahuan, kemudian akan membimbing pikiran dan tindakan dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan ilmiah. Paradigma
kesatuan ilmu ini bukanlah paradigma yang baru, karena sebelumnya
sudah pernah dipraktikan oleh para ilmuwan diantaranya yaitu: Al-Farabi
(874M-950M), Ibnu Sina (980-1037M) dan Al-Kindi (801M-870M). Ilmu
yang mereka pelajari lebih menekankan pada logos kontemplatif-non
eksperimental yang disesuaikan dengan anjuran ilmiah wahyu, yang
menekankan observasi empiris atas fakta-fakta alam. Jadi alasan mengapa
kita perlu mempelajari paradigma kesatuan ilmu yaitu agar mampu melihat
sesuatu dari sudut pandang yang lain dan tidak terpaku pada satu disiplin
ilmu saja.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam
penyusunan makalah ini yaitu :
1. Apa yang dimaksud dengan paradigma kesatuan ilmu pengetahuan,
intergrasi dan interkoneksi?
2. Apa saja prinsip-prinsip dan strategi paradigma kesatuan ilmu?
3. Bagaimana paradigma kesatuan ilmu di Tujuh PTIN?
4. Bagaimana penjelasan ayat Al-Qur’an mengenai tafakuh fi al-dien?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan dari penyusunan
makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui pengertian dari paradigma kesatuan ilmu
pengetahuan, intergrasi dan interkoneksi.
2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dan strategi paradigma kesatuan
ilmu.
3. Untuk mengetahui paradigma kesatuan ilmu di Tujuh PTIN.
4. Untuk mengetahui penjelasan ayat Al-Qur’an mengenai tafakuh fi al-
dien.
D. Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini untuk penulis maupun
pembaca yaitu agar penulis maupun pembaca mengerti apa itu kolerasi
ilmu, inegrasi dan interkoneksi, bagaimana prinsip-prinsip dan strategi
paradigma kesatuan ilmu, bagaimana kolerasi ilmu di tujuh
PTIN,bagaimana penjelasan ayat Al-Qur’an mengenai tafakuh fi al-dien.
Diharapkan setelah menyusun ataupun membaca makalah ini, penulis dan
pembaca dapat paham terhadap materi tersebut

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Paradigma Kesatuan Ilmu Pengetahuan


1. Paradigma Kesatuan Ilmu
Secara terminologis, istilah paradigma diartikan sebagai
sebuah pandangan atau pun cara pandang yang digunakan untuk
menilai dunia dan alam sekitarnya, yang merupakan gambaran atau
pun perspektif umum berupa cara – cara untuk menjabarkan
berbagai macam permasalahan dunia nyata yang sangat kompleks.
Sedangkan secara etimologis, istilah paradigma pada dasarnya
berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata “para” yang artinya di
sebelah atau pun di samping, dan kata “diegma” yang artinya
teladan, ideal, atau model. Menurut Thomas Kuhn, pengertian
paradigma adalah landasan berpikir atau pun konsep dasar yang
digunakan / dianut sebagai model atau pun pola yang dimaksud
para ilmuan dalam usahanya, dengan mengandalkan studi – studi
keilmuan yang dilakukannya (Nikmah. 2017: 2). Menurut
Setyawati, paradigma adalah pandangan seseorang tentang suatu
pokok permasalahan yang bersifat mendasar agar mengetahui suatu
ilmu ataupun kepercayaan dasar yang menunjukkan seseorang
untuk bertindak dalam kehidupan sehari-hari (Fibriani. 2020: 11).
Menurut Dr. H.Imam Taufiq, M.Ag, ilmu sejatinya adalah
kesatuan takterpisahkan yang berasal dari Sang Pencipta, baik
berupa kalam-Nya yang sakralmaupun terbentang dalam realitas
kenyataan. Ilmu berwatak progresif, aktif, dantidak statis.
Sedangkan wahyu dipandang sebagai fondasi perekat penyatuan
ilmupengetahuan. Ilmu pengetahuan selalu berproses dan berdialog
dengan menujutujuan tunggal, yaitu Sang Pencipta Yang Maha
Tahu (dalam Cahyaningtyas. 2020: 2).
Dr. H. Sholihan, M.Ag, paradigma unity of science adalah
merupakan upaya untuk melakukan integrasi, tidak hanya antara

3
agama dan sains, melainkan juga pada integrasi antara gagasan/
gerakan humanisasi ilmu-ilmu Keislaman dan Islamisasi Ilmu.
Unity of science merupakan suatukeyakinan bahwa Ilmu itu satu.
Tidak ada dikotomi antara ilmu yang datang dari Tuhan maupun
dari manusia. Paradigma ini memakai pendekatan teoantroposentris
yaitu pendekatan yang didasarkan pada pandangan Islam tentang
Ilmu, baik dalam dimensi ontologis, epistemologis, maupun
aksiologisnya.
Paradigma wahdah al-ulum (unity of sciences) telah
dipraktikkan para ilmuwan muslim klasik seperti Ibn Sina, al-
Kindi, dan al-Farabi. Mereka mempelajari ilmu-ilmu Yunani.
Mereka mempelajari semua ilmu dan kemudian mendialogkannya
hingga saling memperkaya. Mendialogkan semua ilmu membuat
seorang ilmuwan semakin kaya wawasan. Itulah makanya, para
ilmuwan muslim klasik itu sesungguhnya seorang ulama yang
dokter, ulama yang filosof, dan ulama yang ahli matimatika.
Dengan kata lain, paradigma unity of sciences akan melahirkan
seorang ilmuwan yang ensiklopedis, yang menguasai banyak ilmu,
memandang semua cabang ilmu sebagai satu kesatuan, dan
mendialogkan semua ilmu itu menjadi senyawa yang kaya. Unity
of sciences tidak menghasilkan ilmuwan yang memasukkan semua
ilmu dalam otaknya bagai kliping koran yang tak saling menyapa,
tapi mampu mengolahnya menjadi uraian yang padu dan dalam
tentang suatu fenomena ilmiah (Adinugraha. 2018: 11).

2. Definisi Integrasi
Integrasi adalah upaya memadukan ilmu umum dan ilmu
agama (Islam). Integrasi ini dalam pandangan Amin Abdullah akan
mengalami kesulitan dalam memadukan studi Islam dan umum
yang kadang tidak saling akur karena keduanya ingin saling
mengalahkan, oleh karena itu diperlukan adanya gagasan
interkoneksi. (Machali. 2015: 34).

4
3. Definisi Interkoneksi
Interkoneksi menurut Amin Abdullah adalah usaha
memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan
dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan
Agama (termasuk agama Islam, dan agama-agama lain) keilmuan
sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri
tanpa kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling
koreksi, dan saling berhubungan antardisiplin keilmuan (Machali.
2015: 34).
Menurut Muhaimin, terdapat tiga peta paradigma dalam
wacana keilmuan, yaitu (dalam Cahyaningtyas. 2020: 4) :
a. Paradigma Dikotomis
Berorientasi pada nilai-nilai keakhiratan dan menganggap masalah
dunia sebagai sesuatu yang tidak penting, serta menekankan pada
pendalaman al‘ulum aldiniyah (ilmu-ilmu keagamaan) sebagai
jalan menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains (ilmu
pengetahuan umum) terpisah dari agama.Hal ini melahirkan
pendekatan keagamaan dalam bentuk normatif, doktriner, dan
absolutis.
b. Paradigma Mekanis
Pendidikan sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat
nilai kehidupan yang bergerak dan berjalan menurut fungsinya
masing-masing. Di sini, agama dan sains dipahami sebagai satu
aspek yang terpisah satu sama lain. Antar keduanya dapat saling
berkonsultasi, atau tidak sama sekali.
c. Paradigma organis atau sistemik
Menganggap hidup sebagai susunan yang bersistem dari
berbagai bagian jasad hidup untuk suatu tujuan.Sains dan agama
memiliki hubungan sebagai sistem yang terdiri dari berbagai
komponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu
untuk mewujudkan relasi yang saling melengkapi

5
B. Prinsip-Prinsip dan Strategi Paradigm Kesatuan Ilmu
1. Prinsip-Prinsip Paradigma Kesatuan Ilmu
Dalam paradigma kesatuan ilmu atau unity of science telah
menjelaskan bahwa semua ilmu saling berdialog dan menuju satu
tujuan yang sama yaitu untuk memperdalam pengkajiannya agar
semakin dekat dan mengenal sang pencipta, Allah SWT. Prinsip-
prinsip paradigma kesatuan ilmu ini ada 5 diantaranya yaitu
(Muhyar Fanani, 2014) :
a. Meyakini bahwa seluruh ilmu pengetahuan sebagai satu
kesatuan dan saling berhubungan serta bersumber dari ayat-
ayat Allah, atau bisa juga disebut integrasi.
b. Memadukan antara nilai universal islam dan ilmu pengetahuan
modern untuk meningkatkan kualitas hidup dan peradaban
manusia, atau bisa juga disebut kolaborasi.
c. Melakukan dialog-dialog yang intens antara ilmu-ilmu yang
berakar pada wahyu (revealved sciences), modern sciences, dan
local wisdom, atau bisa juga disebut dialektika.
d. Menghasilkan ilmu-ilmu baru yang lebih humanis dan etis yang
bermanfaat untuk pembangunan martabat dan kualitas bangsa
serta kelestarian alam, atau bisa juga disebut prospektif.
e. Meyakini adanya pluralitas realitas, metode, dan pendekatan
dalam seluruh aktivitas keilmuan, atau bisa disebut pluralistik.

2. Strategi Paradigma Kesatuan Ilmu


Terbentuknya paradigma kesatuan ilmu ini berawal dari adanya
krisis epistemologis dalam dunia keilmuan modern yaitu krisis
ilmu naqliyah, krisis ilmu aqliyah dan krisis ilmu local wisdom.
Untuk mengatasi krisis tersebut dibentuklah beberapa strategi
dalam mengimplementasikan paradigma kesatuan ilmu yaitu
(Mahfud Junaedi, 2019) :
a. Humanisme ilmu-ilmu keislaman

6
Humanisme yang dimaksud yaitu yang mana ilmu
keislaman harus hadir untuk memberikan solusi pada persoalan
yang tengah dialami masyarakat. Caranya yaitu merekrontuksi
ilmu-ilmu keislaman agar semakin menyentuh dan memasuki
unsur-unsur modern agar memberikan solusi bagi kehidupan
manusia sendiri dengan mencakup seluruh usaha untuk
memadukan nilai keislaman dan ilmu pengetahuan.
b. Spiritualisasi ilmu-ilmu modern
Yaitu memberikan nilai-nilai keutuhan dan etika terhadap
ilmu-ilmu sekuler untuk memastikan bahwa pada dasarnya
semua ilmu berorientasi pada peningkatan kualitas atau
keberlangsungan hidup manusia dan alam serta penistaan atau
perusakan keduanya. Strategi ini juga meliputi seluruh usaha
dalam membangun ilmu pengetahuan yang baru dan
berlandaskan pada kesadaran kesatuan ilmu yang bersumber
dari ayat-ayat Allah.
c. Reavitalisasi local wisdom
Kearifan lokal yaitu merupakan suatu kekayaan budaya
lokal yang mengandung falsafah hidup. Kearifan lokal juga
merupakan hasil dari kemampuan seseorang dalam
menggunakan kekuatan akal dan pikirannya untuk menyikapi
sebuah permasalahan yang sedang dihadapi.
Revitalisasi adalah membangunkembali hal atau nilai-nilai
penting yang pernah ada. Revitalisasi ini sangat penting karena
dapat menumbuhkan kembali kejayaan yang sebelumnya
pernah didapat. Pelaksanaan revitalisasi local wisdom dapat
dilakukan dengan tiga cara yaitu: (1) pengakuan atas eksistansi
local wisdom; (2) pemanfaatan local wisdom dalam aktivitas
ilmiah; (3) pengembangan dan pelestarian local wisdom dalam
aktivitas ilmiah.Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam usaha
revitalisasi yaitu konservasi, pemberian nilai dan pemilihan
jenis nilai.

7
C. Paradigma Kesatuan Ilmu di Tujuh PTIN
1. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Reintegrasi Keilmuan
Menurut Azyumardi Azra, konsep dasar awal pengembangan
IAIN Jakarta pada tahun 1990-an yaitu dengan perubahan IAIN Jakarta
menjadi UIN “Syarif Hidayatullah” Jakarta. Alasan menjadi UIN yaitu
pertama, karena IAIN belum berperan secara optimal dalam dunia
akademik, birokrasi dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Kedua, kurikulum IAIN belum mampu mengikutii perkembangan IPTEK
dan perubahan masyarakat yang semakin kompleks.
Perubahan bentuk IAIN menjadi UINtelah mendapat
rekomendasi dari Pemerintah dengan ditandatanganinya Surat Keputusan
Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan Nasional RI dan Menteri
Agama RI pada tanggal 21 November 2001 yang kemudian
ditindaklanjuti dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 031 tanggal 20
Mei Tahun 2002 tentang Perubahan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Menurut Prof. Azra “Penandatanganan ini tentu saja menandai
sejarah baru IAIN Jakarta. Kita bertekad untuk tidak mengadakan
dikotomi antara ilmu agama dan ilmu non-agama”. Konsep reintegrasi
keilmuan di atas untuk kali pertama digagas oleh Azyumardi Azra.
Menurutnya, diperlukan rekonsiliasi dan reintegrasi antar ilmu-ilmu
agama dengan ilmu-ilmu umum, yaitu kembali pada kesatuan transenden
semua ilmu pengetahuan. Maka dari itu UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta mengarahkan dirinya pada integrasi keilmuan model
iniberdasarkan pada keyakinan, pengetahuan dan amal salehuntuk
kemudian menjadi basis universitas bagi pengembangan keilmuannya
(Toto Suharto, 2015).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menganut konsep reintegrasi
keilmuan (reintegrasion of sciences) yang berdasarkan paradigma
integrasi dialogis, terbuka, dan kritis, yaitu cara pandang terhadap ilmu
yang terbuka dan menghormati keberadaan jenis –jenis ilmu yang ada
secara proposional dengan tidak meninggalkan sifat kritis (Miftahuddin,
2016).

8
2. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta : Integrasi “Jaring Laba-
Laba”
Perubahan IAIN Sunan Kalijaga menjadi UIN Sunan
Kalijaga berdasarkan pada Keputusan Presiden No. 50 Tahun2004
tanggal 21 Juni 2004. Perubahan ini untuk mewujudkan sebuah
paradigma baru dalam melihat dan melakukan studi terhadap ilmu-
ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, yaitu paradigma integrasi-
interkoneksi. Pemaduan atau integrasi dan pengaitan atau
interkoneksi kedua bidang ilmu yang sebelumnya dipandang secara
diametral berbeda itu, memungkinkan lahirnya pemahaman Islam
yang ramah, demokratis, dan menjadi raḥmah li ’l-'ālamīn.
Dalam epistemologi keilmuan integrasi-interkoneksi itu,
tiga wilayah pokok ilmu pengetahuan, yakni natural sciences,
social sciences dan humanities tidak lagi berdiri sendiri tetapi akan
saling terkait satu dengan lainnya. Antara Hadarah al-’Ilm
(science) yaitu ilmu-ilmu empiris yang masuk kategori sains dan
teknologi, Hadarah al-Falsafah(philosophy) yaitu ilmu-ilmu
rasional seperti filsafat dan budaya, dan Hadarah al-Nas (religion)
yaitu ilmu-ilmu normatif tekstual seperti fiqh, kalam, tasawuf,
tafsir, hadits, falsafah, dan lughah akan terintegrasi dan terkoneksi
dalam satu keilmuan integrasi. Dengan model integrasi ini, maka
tiga wilayah keilmuan Islam menjadi terintegrasi-terkoneksi. Tiga
dimensi pengembangan wilayah keilmuan ini bertujuan untuk
mempertemukan kembali ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu
keislaman secara integratif-interkonektifdalam metafora“Jaring
Laba-Laba” sebagai berikut :

9
Epistemologi integrasi “Jaring Laba-laba” di atas
menunjukkan bahwa aktivitas keilmuan di PTKIN di seluruh tanah
air hanya terfokus dan terbatas pada jalur Lingkar Lapis Satu dan
jalur Lingkar Lapis Dua, yang terdiri atas Kalam, Falsafah,
Tasawuf, Hadits, Tarikh, Fiqh, Tafsir, dan Lughah. Itupun boleh
disebut hanya terbatas pada ruang gerak humaniora klasik. IAIN
pada umumnya belum mampu memasuki diskusi ilmu-ilmu sosial
dan humanities kontemporer seperti tergambar pada jalur Lingkar
Tiga (Antropologi, Sosiologi, Psikologi, Filsafat dengan berbagai
pendekatan yang ditawarkannya). Akibatnya, terjadi jurang
wawasan keislaman yang tidak terjembatani antara ilmu-ilmu
keislaman klasik dan ilmu-ilmu keislaman baru yang telah
memanfaatkan analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora
kontemporer(Toto Suharto, 2015).

3. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang : Integrasi “Pohon Ilmu”


Keputusan STAIN Malang menjadi universitas disetujui
oleh Presiden melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 50 Tanggal
21 Juni 2004. Menurut SK Presiden ini tugas utama UIN Malang
adalah menyelenggarakan program pendidikan tinggi bidang ilmu

10
agama Islam dan bidang ilmu umum. Secara akademik UIN
Malang mengembangkan ilmu pengetahuan tidak saja bersumber
dari metode-metode ilmiah melalui penalaran logis seperti
observasi dan eksperimentasi tetapi juga bersumber dari Al-Qur’an
dan Hadits yang selanjutnya disebut paradigma integrasi. Dalam
paradigma ini, posisi Al-Qur’an dan Hadits menjadi sangat sentral
dalam kerangka integrasi keilmuan tersebut.
Menurut Prof. Imam Suprayogo, kehadiran UIN dengan
konsep integrasi dimaksudkan untuk menghilangkan dikotomi ilmu
pengetahuan. Islam adalah agama sekaligus ilmu dan peradaban
yang tinggi. Bahkan kemunduruan umat Islam di antaranya adalah
sebagai akibat adanya dikotomi ilmu pengetahuan ini. Maka dari
itu UIN Malang melakukan rekonstruksi paradigma keilmuan
dengan meletakkan agama sebagai basis ilmu pengetahuan. Setelah
melalui perenungan yang mendalam akhirnya Prof. Imam
Suprayogo menemukan format integrasi keilmuan bagi UIN
Malang dengan metafora ”Pohon Ilmu” sebagai berikut :

11
Dari gambar pohon di atas diketahui bahwa metafora UIN
Malang yang digunakan adalah sebuah pohon yang kokoh,
bercabang rindang, berdaun subur, dan berbuah lebat karena
ditopang oleh akar yang kuat. Akar pohon menggambarkan
landasan keilmuan universitas, yaitu Bahasa Arab dan Inggris,
Filsafat, Ilmu-ilmu Alam, Ilmu-ilmu Sosial, dan Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan. Penguasaan landasan keilmuan
ini menjadi modal dasar bagi mahasiswa untuk memahami
keseluruhan aspek keilmuan Islam yang digambarkan sebagai
pokok pohon yang menjadi jati diri mahasiswa universitas ini yaitu
Al-Qur’an dan Al-Sunnah, Sirah Nabawiyah, Pemikiran Islam, dan
Wawasan Kemasyarakatan Islam. Dahan dan ranting mewakili
bidang-bidang keilmuan universitas ini yang senantiasa tumbuh
dan berkembang. Bunga dan buah menggambarkan keluaran dan
manfaat upaya pendidikan universitas ini yaitukeberimanan,
kesalehan, dan keberilmuan(Toto Suharto, 2015).
UIN Malang mengembangkan konsep integrasi keilmuan
berbasis pada paradigma universalitas ajaran Islam atau integrasi
universalistik. Dalam pandangan UIN Malang Al-Qur’andan Al-
Sunnah merupakan sumber ilmu pengetahuan, yang harus
dikembangkan melalui riset. Turunan dari paradigma ini adalah
bahwa semua ilmu bisa digali dan dikembangkan dari Al-
Qur’andan Al-Sunnah. Dengan demikianuniversalitas ajaran Al-
Qur’an dan Al-Sunnah harus dikembangkan melalui observasi,
eksperimen, dan penalaran logissehingga terbangun tiga jenis ilmu,
yakni ilmu alam (natural sciences), ilmu sosial (social sciences),
dan ilmu humaniora (humanities sciences) (Miftahuddin, 2016).

4. UIN Sunan Gunung Djati Bandung : Integrasi “Roda Ilmu”


Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 57 Tahun 2005 tanggal 10 Oktober 2005, status IAIN
Bandung diubah menjadi UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Prof.

12
Nanat Fatah Natsir telah membuat model integrasi bagi keilmuan
UIN Bandung dengan metafora ”Roda Ilmu” sebagai berikut :

Menurut Fatah Natsir roda adalah bagian yang esensial dari


sebuah kendaraan yang bergerak dinamis. Secara fisik sebuah roda
itu memiliki tiga bagian yaitu bagian as (poros), bagian velg
(dengan jari-jarinya) dan bagian ban luar (ban karet) yang dapat
bekerja secara simultan dalam kesatuan yang harmonis. Ibarat
sebuah roda dengan tiga bagiannya maka keilmuan UIN Bandung
mengacu pada “Filosofi Roda” sebagai berikut :
a. As atau poros roda melambangkan titik sentral kekuatan akal
budi manusia yang bersumber dan nilai-nilai ilahiyah yaitu
Allah sebagai sumber dari segala sumber. Titik sentral ini
mencerminkan pusat pancaran nilai-nilai keutamaan yang
berasal dari pemilik-Nya sekaligus titik tujuan seluruh ikhtiar
manusia. Dengan kata lain tauhid merupakan pondasi
pengembangan seluruh ilmu, baik yang bersumber dari ayat-
ayat qur’aniyyah ataupun dari ayat-ayat kawniyyah.
b. Velg roda yang terdiri atas sejumlah jari-jari, lingkaran bagian
dalam, dan lingkaran luar, melambangkan rumpun ilmu dengan
beragam jenis disiplin yang berkembang saat ini. Meskipun
setiap imu memiliki karakteristiknya masing-masing tetapi

13
memiliki fungsi yang sama, yaitu sebagai alat untuk memahami
hakikat hidup. Adanya aneka warna disiplin ilmu sejatinya
tidak menunjukan keterpisahan yang dapat dimanfaatkan
manusia sebagai fasilitas hidupnya. Putaran velg pada roda
melambangkan bahwa setiap ilmu yang dikembangkan di UIN
Sunan Gunung Djati Bandung selalu memperluas cakrawala
cakupannya, untuk secara terus-menerus berkembang sesuai
perkembangan zaman.
c. Ban luar yang terbuat dari karet melambangkan realitas
kehidupan yang tidak terpisahkan dari semangat nilai-nilai
ilahiyah dan gairah kajian ilmu. Pada sisi luar ban terlambang
tiga istilah, yaitu iman, ilmu dan amal saleh. Inilah target akhir
dari profil lulusan UIN. Kekuatan iman ditanamkan melalui
proses pendidikan dalam situasi kampus yang ilmiah dan
religius. Kekuatan ilmu merupakan basis yang dimiliki UIN
Sunan Gunung Djati Bandung yang mencerminkan dinamika
kampus sebagai zona pergumulan para ilmuwan. Sedangkan
amal saleh sebagai wujud perilaku yang terbimbing oleh iman
dan ilmu(Toto Suharto, 2015).

5. UIN Alaudin Makassar : Integrasi “Sel Cemara Ilmu”


IAIN Alauddin Makassar menjadi UIN Alauddin Makassar.
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 57 Tahun
2005 Tanggal 10 Oktober 2005, IAIN Alauddin Makassar telah
resmi alih status menjadi UIN Alauddin Makassar. Konsep
integrasi keilmuan UIN Makassar digagas oleh Prof. Azhar Arsyad
dengan metafora “Sel Cemara Ilmu” yang mengintegrasikan dan
mengkoneksikan antara sains dan ilmu agama. Menurutnya, “Sel
Cemara Ilmu” mengandung metaforis akar, alur, ranting dan buah
dan tujuan transendental ilmu pengetahuan yang sifatnya universal,
yang bisa terwujuddalam suatu wadah yang namanya universitas.

14
Gambaran pohon cemara itu mengindikasikan sesuatu yang
hidup, tidak mati, sejuk dipandang. Karena ia pohon, maka ia
makin lama makin tumbuh, dan berkembang, lalu mengerucut.
Makin lama makin rindang. Pohon ini akan menghasilkan
buah, dan buah itulah yang menjadi nama suatu ilmu, yang
tentunya akan berbuah lagi. Bagian-bagiannya terintegrasi dan
berinterkoneksi. Gambaran sel menggambarkan segi-segi
interkoneksitas sintetik, sementara cemara menggambarkan
transendental akhir, melalui kerasulan Muhammad menuju
Allah. (Toto Suharto, 2015).

6. UIN Sunan Ampel Surabaya : Integrasi “Menara Kembar


Tersambung”

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2013, IAIN


Sunan Ampel secara resmi diakui perubahan bentuk
kelembagaannya dari institut menjadi univeritas, yaitu UIN Sunan
Ampel Surabaya. Perubahan status kelembagaan ini menuntut UIN
Sunan Ampel untuk merancang konsep integrasi keilmuannya.

15
Untuk menjalankan visinya, yaitu “Menjadi Universitas Islam yang
unggul dan kompetitif bertaraf internasional”, UIN Sunan Ampel
mengembangkan paradigma integrasi keilmuan yang disebut
“Menara Kembar Tersambung” atau Integrated Twin Towers.
Paradigma integrasi keilmuan ini pada mulanya bernama Twin
Towers (Menara Kembar) yang untuk kali pertama digagas oleh
Prof. Nur Syam pada saat ia menjabat sebagai rektor. Menurutnya,
konsep“Menara Kembar” (Twin Towers) diusungnya pada saat ia
mencalonkan diri sebagai rektor pada Agustus 2008, sebagai
tawaran untuk memberi label bagi ilmu keislaman yang khas bagi
IAIN Sunan Ampel Surabaya. Sejak 2013, paradigma Twin Towers
(Menara Kembar) berubah menjadi “Menara Kembar Tersambung”
atau Integrated Twin Towers (Toto Suharto, 2015).

Menurut Tim UIN Sunan Ampel Surabaya dalam buku


Desain Akademik UIN Sunan Ampel Surabaya: Buiding Character
Qualities for the Smart, Pious and Honourable Nation, secara
epistemologis, paradigma keilmuan “Integrated Twin Towers”
berusaha membangun struktur keilmuan yang memungkinkan ilmu

16
keagamaan dan ilmu sosial/humaniora serta ilmu alam berkembang
secara memadai dan wajar. Keduanya memiliki kewibawaan yang
sama, sehingga antara satu dengan lainnya tidak saling merasa
superior atau inferior. Ilmu keislaman berkembang dalam kapasitas
dan kemungkinan perkembangannya, demikian pula ilmu lainnya
juga berkembang dalam rentangan dan kapasitasnya. Ilmu
keislaman laksana sebuah menara yang satu, dan ilmu lainnya
seperti menara satunya lagi. Keduanya tersambung dan bertemu
dalam puncak yang saling menyapa.
Menara ini menjelaskan bahwa paradigma integrasi
keilmuan “Menara Kembar Tersambung” UIN Sunan Ampel
bermaksud melahirkan lulusan yang ulul alabāb sebagai sumber
daya manusia yang mampu mengintegrasikan antara praktik zikir
dan pikir dalam praktik kehidupan sehari-hari. Dia juga memiliki
kedewasaan bersikap dan mampu mengambil pilihan yang terbaik
dalam hidup berdasarkan petunjuk ilahi, di samping mampu
mempersembahkan kemapanan intelektual. Secara konkret, lulusan
yang ulu al-albāb diterjemahkan dalam Standar Kompetensi
Lulusan (SKL) yang memiliki kekayaan intelektual, kematangan
spiritual, dan kearifan perilaku. Kekayaan intelektual diharapkan
mampu mengatarkan individu lulusan yang memiliki kepribadian
smart (cerdas). Kematangan spiritual diidealisasikan agar tertanam
kuat dalam diri individu lulusan kepribadian honourable
(bermartabat). Kearifan perilaku dimaksudkan agar individu
lulusan diperkaya dengan kepribadian pious (berbudi luhur). Untuk
melahirkan lulusan seperti ini, UIN Sunan Ampel merancang
integrasi keilmuan yang “menyambungkan” antara Menara I
(Keilmuan Keislaman) dengan Menara II (Keilmuan Humaniora,
Sains dan Teknologi). Ketersambungan kedua menara ini diantarai
oleh tiga pilar yaitu penguatan ilmu-ilmu keislaman murni tapi
langka, integrasi ilmu-ilmu keislaman dan sosial-humaniora, dan

17
pembobotan keilmuan sains dan teknologi dengan keilmuan
keislaman.

7. UIN Walisongo Semarang : Integrasi “Intan Berlian Ilmu”


IAIN Walisongo Semarang resmi menjadi Universitas
Islam Negeri (UIN)Walisongo sejak 19 Desember 2014, yang
peresmiannya bersamaan dengan dua UIN yang lain, yaitu UIN
Raden Fatah Palembang dan UIN Sumatera Utara. Untuk
mengembangkan paradigma integrasi keilmuannya, UIN
Walisongo merancang integrasi “Kesatuan Ilmu” (Unity of
Sciences/Waḥdat al-‘Ulūm) dengan model “Intan Berlian Ilmu”,
yang digagas oleh Dr. H. Abdul Muhaya, M.A. dan Dr. H.Muhyar
Fanani, M.Ag. Menurut Muhyar Fanani, yang dimaksud dengan
paradigma ini adalah bahwa semua ilmu pada dasarnya adalah satu
kesatuan yang berasal dari dan bermuara pada Allah melalui
wahyu-Nya,. Oleh karena itu, semua ilmu mestinya berdialog dan
bermuara pada satu tujuan, yaitu mengantarkan pengkajinya untuk
semakin mengenal dan dekat dengan Allah sebagai al-‘Ālim (Yang
Maha Tahu).
Di tengah hiruk-pikuk semangat dan tanggug jawab
keilmuan perguruan tinggi, paradigma “Kesatuan Ilmu” ini telah
ditegaskan sebagai paradigma keilmuan institusi UIN Walisongo.
Dalam paradigma ini, wahyu dipandang sebagai fondasi perekat
bagi penyatuan ilmu pengetahuan. Ilmu selalu berproses dan
berdialog menuju tujuan tunggal, yaitu Sang Pencipta yang Maha
Tahu. Lulusan yang dihasilkan dari paradigma integrasi “Kesatuan
Ilmu” ini adalah sosok pribadi yang komprehensif, yang mampu
mengomunikasikan berbagai bidang ilmu dengan realitas.
Paradigma integrasi “Kesatuan Ilmu” UIN Walisongo ini dapat
digambarkan dengan model “Intan Berlian” yang cemerlang,
berkilau dengan sinar indah, tajam, dan mencerahkan dengan lima
sisi yang saling berkaitan.

18
d. Di dalam mengilustrasikan paradigma integrasi “Kesatuan
Ilmu” UIN Walisongo dengan metapora “intan berlian”,
Tsuwaibah memandang bahwa bahwa intan berlian itu sangat
indah, bernilai tinggi, memancarkan sinar, memiliki sumbu dan
sisi yang saling berhubungan satu sama lain. Sumbu paling
tengah menggambarkan Allah sebagai sumber nilai, doktrin,
dan ilmu pengetahuan. Allah menurunkan ayat-ayat
Qur’aniyah dan ayat-ayat kawniyyah sebagai lahan eksplorasi
pengetahuan yang saling melengkapi dan tidak mungkin saling
bertentangan. Eksplorasi atas ayat-ayat Allah menghasilkan
lima gugus ilmu, yaitu ilmu agama dan humaniora (religion
and humanity sciences), ilmu-ilmu sosial (social sciences),
ilmu-ilmu kealaman (natural sciences), ilmu matematika dan
sains komputer (mathematics and computing sciences), dan
ilmu-ilmu profesi dan terapan (professions and applied
sciences). Dari tujuh epistemologi integrasi keilmuan UIN di
atas tampak bahwa keilmuan UIN telah menjadikan wahyu (al-
Qur’an dan Sunnah) sebagai core atau basis bagi keilmuan
yang dikembangkannya. Keilmuan model inilah yang
dikembangkan kaum Muslim periode klasik. Pada periode ini,

19
apapun keahlian seorang intelektual Muslim, baik dalam
bidang ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial ataupun humaniora,
senantiasa menjadikan sumber ajaran Islam (al-Qur’an dan
Sunnah) sebagai basis dan core bagi spirit keilmuannya. Spirit
ini pada gilirannya membawa intelektualisme Muslim
mencapai era keemasannya, yang semuanya berkat semangat
dan dorongan wahyu pertama, yang telah menjiwai kehidupan
masyarakat Muslim pada saat itu (Suharto, 2015: 265-272).

D. Ayat Al-Qur’an Mengenai Tafakuh Fi Al-Dien


Tafakuh fi al-dien merupakan perantara dan alat untuk berjihad
dengan menggunakan hujjah dan bukti-bukti. Ia merupakan unsur
tetap (ar-ruknu ar-rakiin) di dalam dakwah menuju keimanan dan
menegakkan penyangga agama Islam. Jihad tidak dilakukan dengan
pedang kecuali untuk menjaga dakwah dari serangan dan gangguan
orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Hukum Tafakuh fi al-
dienjuga diwajibkan sebagai perantara untuk jihad dan mempertegak
ajaran-ajaran Agama Islam (Machfudz, 2020).
Ruang lingkup Tafakuh fi al-dienadalah meliputi semua ilmu yang
dikembangkan dalam Islam, yang meliputi seluruh ilmu agama itu
sendiri dan ilmu-ilmu umum yang lain sesuai dengan perkembangan
zaman dan kebutuhan manusia (Machfudz, 2020).Tafakuh fi al-dien
dijelaskan didalam Al-Quran yang didalamnya berisi pula sebuah
perintah Allah SWT untuk tetap memperdalam agama agar tetap
terjaga, dan senantiasa menyertakan Allah didalam sesuatu yang
dilakukan. Dimana dalam surat At-Taubah ayat 122, Allah Subhanahu
Wa Ta'ala berfirman:

ٌ‫طا ٓ ِئفَة‬
َ ‫وا َكآفَّةً ۚ فَلَ ْو ََل نَفَ َر ِمن ُك ِل ِف ْرقَ ٍة ِم ْن ُه ْم‬ ۟ ‫َو َما َكانَ ْٱل ُمؤْ ِمنُونَ ِل َين ِف ُر‬
َ‫وا قَ ْو َم ُه ْم ِإذَا َر َجعُ ٓو ۟ا إِلَ ْي ِه ْم لَ َعلَّ ُه ْم َي ْحذَ ُرون‬
۟ ‫ِين َو ِليُنذ ُِر‬
ِ ‫وا فِى ٱلد‬ ۟ ‫ِل َيتَفَقَّ ُه‬

20
Artinya : “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya”.

Tafsir dari ayat tersebut menurut Al-Muyassar ialah bahwa tidak


semestinya orang-orang mukmin itu berangkat semua ke medan
perang, karena mereka bisa ditumpas habis apabila musuh mereka
berhasil mengalahkan mereka. Semestinya sebagian dari mereka pergi
ke medan jihad dan sisanya tinggal di rumah untuk menemani
Rasulullah SAW dan memperdalam ilmu agama melalui ayat-ayat Al-
Qur’an dan ketentuan-ketentuan hukum syariat yang mereka dengar
dari Rasulullah SAW, kemudian mereka bisa mengajarkan ilmu yang
telah mereka pelajari kepada kaum mereka setelah kembali ke rumah
mereka, agar mereka dapat menghindari azab dan hukuman Allah
dengan cara menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Hal ini terkait dengan pasukan-pasukan yang
dikirim oleh Rasulullah ke berbagai daerah dan beranggotakan
sejumlah sahabat pilihan.

Tafakuh fi al-dien meniscayakan sebuah proses belajar. Jika belajar


meniscayakan adanya perubahan pemahaman, perilaku dan sikap,
maka Tafakuh fi al-dienlebih dari itu. Mengingat Tafakuh fi al-
dienmempunyai tujuan inzdar, yaitu untuk memberikan peringatan dan
penyadaran kepada kaumnya setelah kembali belajar menekuni agama,
maka tentu dia telah mengamalkan ilmunya sendiri. Dalam arti proses
Tafakuh fi al-dientelah merubah pemahaman, sikap dan perilakunya
sendiri secara otomatis. Karena tidak mungkin memberikan peringatan
dan penyadaran kepada orang lain, sebelum dirinya sendiri baik.

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Paradigma kesatuan ilmu adalah merupakan upaya untuk melakukan
integrasi, tidak hanya antara agama dan sains, melainkan juga pada
integrasi antara gagasan/ gerakan humanisasi ilmu-ilmu Keislaman dan
Islamisasi Ilmu.
2. Integrasi adalah upaya memadukan ilmu umum dan ilmu agama
(Islam).
3. Interkoneksi menurut Amin Abdullah adalah usaha memahami
kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia,
setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan.
4. Prinsip dari paradigma kesatuan ilmuyaitu Integrasi, kolaborasi,
dialektika, prospektif, dan pluralistik. Sedangkan strategi dari
paradigma kesatuan ilmu yaitu dengan humanisasi ilmu-ilmu
keislaman, spiritulisasi ilmu-ilmu modern, dan revitalisasi local
wisdom.
5. Paradigma kesatuan ilmu di tujuh PTIN yaitu :
a. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : Reintegrasi Keilmuan
b. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Integasi “Jaring Laba-Laba”
c. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang: Integrasi “Pohon Ilmu”UIN
Sunan Gunung Djati Bandung: Integrasi “Roda Ilmu”
d. UIN Alaudin Makassar: Intergrasi “Sel Cemara Ilmu”
e. UIN Sunan Ampel Surabaya: Integrasi “Menara Kembar
Tersambung”
f. UIN Walisongo Semarang: Integrasi “Intan Berlian Ilmu”
6. Tafakhuh fi al-dienmerupakan perantara dan alat untuk berjihad
dengan menggunakan hujjah dan bukti-bukti. Dijelaskan didalam Q.S
At-Taubah ayat 122 berisi perintah agar sebagian kaum muslim ikut

22
jihad dan sebagiannya lagi memperdalam serta mengajarkan ilmu
agama.

B. Saran
Sebagaimana tujuan penulisan dalam makalah ini, penyusun
makalah menyadari masih banyaknya kekurangan. Semoga dapat
senantiasa memahami, menambah wawasan terkait paradigma kesatuan
ilmu, dan bermanfaat. Maka dari itu, kritik dan saran kami terima untuk
pembelajaran untuk kedepan agar lebih baik lagi.

23
DAFTAR PUSTAKA

Adinugraha, Hendri Hermawan., dkk. 2018. Fenomena Integrasi Ilmu di


Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri: Analisis Terhadap Konsep
Unity of Sciences di UIN Walisongo Semarang. Journal for Integrative
Islamic Studies ISSN: 2460-531X (Print) 2503-3042 Vol. 4, No. 1.

Ahmad Tafsir, 2006.Filsafat Ilmu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Arsyad, Arha. 2015. Buah Cemara Integrasi dan Interkoneksitas Sains dan Ilmu
Agama.Jurnal Studia Islamika Vol.8 No. 1.

Cahyaningtyas, Tarisma., dkk. 2020. Paradigma Kesatuan Ilmu Di PTIN.


Makalah.

Fibriani, Irda Dwi., dkk. 2020. Paradigma Kesatuan Ilmu Sebagai Basis
Pendidikan Karakter. Jurnal Pendidikan, September 2020, Volume 15
Nomor 2,

Junaedi, Mahfud. 2019. Pengembangan Paradigma Keilmuan Persepsi


Epistemologi Islam. Jakarta: Prenamedia.

Machali, Imam. 2015. Pendekatan Integrasi-Interkoneksi Dalam Kajian


Manajemen Dan Kebijakan Pendidikan Islam. Jur nal eL-Tarbawi
Volume VIII, No.1.

Machfudz. 2020. Tafsir Tematis Al-Qur’an dan Hadits terhadap ayat “Tafaqquh
Fiddin” (Relasi Epistimologis Ayat dan Pendidikan Islam).Jurnal
Qolamuna, 5(2), 214.

Miftahuddin. 2016. IntegrasiPengetahuan Umumdan Keislamandi Indonesia:


Studi Integrasi Keilmuandi Universitas Islam Negeri di
Indonesia.Journal Of Islamic Culture and Education, 1(1), 109-110.

Muhyar Fanani. 2014.Transformasi Paradigma dan Implikasinya pada Desain


Kurikulum Sains: Studi atas UIN Syarif Hidayatullah, UIN Sunan

24
Kalijaga, dan UIN Maliki. Semarang: Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN Walisongo.

Nikmah, Kosrotun.2017. Langkah-Langkah Menjalankan Paradigma Kesatuan


Ilmu Pengetahuan Dalam Ilmu Sosial Dan Humaniora. Makalah.

Suharto, toto. 2015. The Paradigm Of Theo-Anthropo-Cosmocentrism: Reposition


of the Cluster of Non-Islamic Studies in Indonesian State Islamic
Universities.Jurnal Walisongo, 23(2),259-272.

https://tafsirweb.com/3138-quran-surat-at-taubah-ayat-122.html (Diakses pada 24


April 2021 pukul 14.00 WIB).

https://images.slideplayer.info/40/11123822/slides/slide_16.jpg (Diakses pada 23


April 2021 pukul 23.23 WIB).

25

Anda mungkin juga menyukai