i
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasululloh SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas
makalah Islam Interdisipliner.
Makalah tentang paradigma pengembangan ilmu pengetahuan ini disusun untuk
melengkapi tugas Islam Interdisipliner. Pengembangan dan penyusunan materi diberikan secara
urut. Penyajian materi didesain untuk memperuat pemahaman konsep tentang paradigm
pengembangan ilmu pengetahuan dengan penjelasan yang cukup panjang.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penyusun hadapi.
Namun penyusun menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan dan dorongan sehingga kendala-kendala tersebut dapat teratasi.
Penyusunan makalah ini disesuaikan dengan referensi yang didapat dari buku maupun
internet. Segala kritik dan saran yang membangun senantiasa diharapkan penyusun demi
penyempurnaan tugas makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih
luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca dan bermanfaat bagi pendidik serta
rekan-rekan dalam mengembangkan ilmu Islam Interdisipliner.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan ………………………...4
B. Aspek Pengembangan Paradigma Ilmu ………………………………….……..4
C. Jenis Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan ………...……….…………5
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Ikatan para penyidik atau ahli – ahli sains kepada sesuatu paradigma yang tertentu
mendatangkan kesan positif dan negatif. Kesan positifnya akan menyebabkan fenomena
tumpuan dikaji secara mendalam untuk berbagai situasi dan dari berbagai aspek. Kesan
negatifnya pula ialah ia boleh menghalang para pengkaji menggunakan cara lain untuk
melakukan penghasilan terhadap subjek atau bahan kajian. Walaupun penyelidik-
penyelidik daripada paradigma tertentu mungkin mendalam, tetapi seringkali tersekat dari
segi keleluasannya. Kewujudan paradigma dalam disiplin-disiplin ilmu merupakan satu
fenomena yang umum untuk semua disiplin,ada yang tergolong dalam sains tulen (sains
formal) atau sains social. Contohnya dalam disiplin sains fisik terdapat paradigma
Copernicus, Newton, Lavoisier, dan Einstein. Dalam disiplin psikologi, wujud paradigma
yakni strukturalisme, behaviorisme, non-behaviorisme, fungsionalisme dan sebagainya.
Dalam disiplin psikolinguistik pula terdapati dua paradigma yang utama yaitu mentalis
dan behaviorisme. Kewujudan dua paradigma utama ini memberi implikasi yang besar
kepada penyelidikan-penyeledikan dalam bidang linguistik,yaitu mewujudkan dua cara
utama untuk menafsir berbagai fenomena bahasa. Kedua golongan ahli
psikolinguistik,yaitu yang berpegang kepada paradigma mentalis dan
behavioris,menguraikan fenomena-fenomena bahasa dengan cara yang seringkali
bertentangan antara satu sama lain. Pertentangan ini paling terlihat semasa mereka
menguraikan fenomena-fenomena yang berhubungan dengan penguasaan sistem-sistem
bahasa pertama seseorang kanak-kanak.
Paradigm juga memiliki fungsi utama, “Fungsi utama paradigm adalah sebagai
acuan dalam mengarahkan tindakan, baik tindakan sehari-hari maupun tindakan ilmiah.
Sebagai acuan, maka lingkup suatu paradigm mencakup berbagai asumsi dasar yang
berkaitan dengan aspek onyologis, epistimologis, dan metodologis. Dengan kata lain,
paradigm dapat diartikan sebagai cara berfikir atau cara memahami gejala dan fenomena
semesta yang dianut oleh sekelompok masyarakat. Seorang pribadi dapat mempunyai
cara pandang yang spesifik, tetapi cara pandang itu bukanlah paradigma, karena sebuah
paradigm harus dianut oleh komunitas”. Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa
paradigma memiliki fungsi utama mengarah tindakan sehari-hari ataupun tindakan ilmiah
yang digunakan oleh suatu komunitas.
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka masalah dalam makalah ini
dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimana definisi paradigma pengembangan ilmu pengetahuan?
2. Bagaimana aspek pengembangan paradigma ilmu?
3. Bagaimana jenis paradigm pengembangan ilmu pengetahuan?
C. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah yang diutarakan tersebut, maka makalah ini
bertujuan untuk:
1. Mengetahui definisi paradigma pengembangan ilmu pengetahuan
2. Mengetahui aspek pengembangan paradigma ilmu
3. Mengetahui jenis paradigma pengembangan ilmu pengetahuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
termuat dalam setiap kenyataan atau dalam rumusan Lorens Bagus menjelaskan yang
ada meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Istilah-istilah penting yang terkait dengan ontologi adalah: yang ada (being) kenyatan
atau realitas (reality) eksistensi (eksistence) esensi (essence) subtansi (substance)
perubahan (chang) tunggal (singular) dan jamak (plural).
2. Dalam dimensi Epistimologis, disebut the theory of knowledge atau teori pengetahuan,
epistemology berusaha mengidentifikasi dasar dan hakikat kebenaran dan pengetahuan
dan mungkin inilah bagian paling penting dari filsafat untuk para pendidik. Pertanyaan
khas epistemology adalah bagaimana kamu mengetahui (how do you know?). Pertanyaan
ini tidak hanya menanyakan apa (what) yang kita tahu (the products), tetapi juga tentang
bagaimana (how) kita sampai mengetahuinya (the process). Para epistimolog adalah para
pencari yang yang sangat ulet. Mereka ingin mengetahui apa yang diketahui (what is
known), kapan itu diketahui (when is it known), siapa yang tahu atau dapat
mengetahuinya (who knows or can know), dan yang terpenting bagaimana kita tahu (how
we know). Mereka adalah para pengawas dari keluasan ranah kognitif manusia.
3. Dalam dimensi aksiologi, istilah axiology berasal dari kata axios dan logos. Axiosartinya
nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Axiology artinya teori nilai,
penyelidikan mengenai kodrat, criteria, dan status metafisik dari nilai.
Sesuatu yang ingin dicapai dari aksiologi adalah membicarakan tentang tujuan
ilmu pengetahuan itu sendiri dan bagaimana manusia menggunakan ilmu tersebut. Jadi
yang ingin dicapai dari aksiologi adalah hakikat dan manfaat yang terdapat dalam suatu
pengetahuan.
5
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte yang
tertuang dalam karya utamanya yakni Cours de Philosophic Positive, yaitu kursus tentang
Filasafat Positif (1830-1842) yang diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu, karyanya yang
pantas disebutkan di sini ialah Discour Lesprit Positive (1844) yang artinya pembicaraan
tentang jiwa positif.
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata “positif” di sini sama artinya dengan
factual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positifisme pengetahuan kita
tidak boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi
contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Kemudian filsafat pun harus meneladani
contoh itu. Oleh karena itu pulalah, positivisme menolak cabang filsafat metafisika.
Menanyakan “hakikat” benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya”, bagi positivisme,
tidaklah mempunyai arti apa-apa. Ilmu pengetahuan termasuk juga filsafat, hanya
menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta.
Dibawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan
maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Saintific Proporsition) haruslah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: dapat di/ter amati (observable), dapat di/terulang
(repeatable), dapat di/terukur (measurable), dapat di/teruji (testable) dan dapat
di/terramalkan (predictable). Syarat tersebut pada bagian 1 s/d 3 merupakan syarat-syarat
yang diberlakukan atas objek ilmu pengetahuan, sedangkan dua syarat terakhir
diberlakukan atas proposisi-proposisi ilmiah karena syarat-syarat itulah, maka paradigma
postivisme ini sangat bersifat behavioral, oprasional, dan kuantitatif.
Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuan untuk
mengungkapkan kebenaran realitas. Setelah postivisme ini berjasa dalam waktu yang
cukup lama (+ 400 tahun), kemudian berkembang sejumlah aliran paradigma baru yang
menjadi landasan pengembangan ilmu dalam berbagai bidang dalam kehidupan.[13]
Dengan demikian, positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta
yang positif sesuatu yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam
pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.
6
Positifisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya
menyempurnakan emperisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia
menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya
eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama
denganemperisme plus rasionalisme.
b. Postpositivisme
Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan dari
paradigma positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung
terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang
memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam,
tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia
(peneliti). Oleh karena itu, secar metodologis pendekatan eksperimental melalui
observasi tidaklah cukup, tetapi haruslah menggunakan metode triangulation yait
penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Secara epistimologis, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau
realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, seperti yang diusulkan oleh aliran
positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat
kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek
secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan objek harus bersifat
interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat se-netral mungkin, sehingga
tingkat subjektifitas dapat dikurangi secara minimal.
c. Konstruktivisme
Konstruktivisme, satu di antara paham yang menyatakan bahwa positivisme dan
pospositivisme merupakan paham yang keliru dalam mengungkap realitas dunia. Karena
itu, kerangka berpikir kedua paham tersebut harus ditinggalkan dan diganti dengan
paham yang bersifat konstruktif. Paradigma ini muncul melalui proses yang cukup lama
setelah sekian generasi ilmuan berpegang teguh pada paradigma positivisme.
Konstruktivisme muncul setelah sejumlah ilmuan menolak tiga prinsip dasar postifisme:
(1) ilmu merupakan upaya mengungkap realitas; (2) hubungan antara subjek dan objek
penelitian harus dapat dijelaskan; (3) hasil temuan memungkinkan untuk digunakan
proses generalisasi pada waktu dan tempat yang berbeda.
7
Secara ontologis, paradigma ini menyatakan bahwa realitas bersifat sosial dan
karena itu akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari masyarakatnya.
Dengan demikian tidak ada realitas yang dapat dijelaskan secara tuntas oleh suatu ilmu
pengetahuan. Realitas ada sebagai seperangkat bangunan yang menyeluruh dan bermakna
yang bersifat konfliktual dan dialektis. Karena itu paham ini menganut prinsip relativitas
dalam memandang suatu fenomena alam atau sosial. Jika tujuan penemuan ilmu dalam
positivisme adalah untuk membuat generalisasi terhadap fenomena alam lainnya, maka
konstruktivisme lebih cenderung menciptakan ilmu yang diekspresikan dalam bentuk
pola-pola teori, jaringan atau hubungan timbal balik sebagai hipotesis kerja, bersifat
sementara lokal dan spesifik. Dengan pernyataan lain, bahwa realitas itu merupakan
konstruksi mental, berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik dan
tergantung kepada orang yang melakukannya. Karena itu suatu realitas yang diamati
seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang seperti yang biasa dilakukan
kalangan postivis atau pospositivis.
Dengan ditemukannya paradigma konstruktivisme ini, dapat memberikan
alternative paradigma dalam mencari kebenaran tentang realitas sosial, sekaligs menandai
terjadinya pergeseran model rasionalitas untuk mencari dan menentukan aturan-aturan
kemodel rasionalitas praktis yang menekankan peranan contoh dan inter pretasi mental.
Konstruktivisme dapat melihat warna dan corak ilmu sosial, yang memerlukan intensitas
interaksi antara peneliti dan objek yang dicermati, sehingga akan berpengaruh pada nilai-
nilai yang dianut, etika akumulasi pengetahuan, model pengetahuan, dan diskusi ilmiah.
d. Critical Theory
Aliran ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih
tepat disebt ideologically oriented inquiry, yaitu suatu wacana atau cara pandang
terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideology
ini meliputi: Neo-Marxisme, materialism, Feminisme, freireisme, Partisipatory
inquiry, dan paham-paham yang setara. Critical Theory merupakan suatu aliran
pengembangan keilmuan yang didasari pada suatu konsepsi kritis terhadap berbagai
pemikiran dan pandangan yang sebelumnya ditemukan sebagai paham keilmuan lainnya.
8
Dilihat dari segi ontologis, paradigma ini sama dengan postpositivisme yang
menilai objek atau realitas secara (critical realism), yang tidak dapat dilihat secara benar
oleh pengamatan manusia. Karena itu untuk mengatasi masalah ini, secara metodologis
paham ini mengajukan metode dialog dan komonikasi dengan transformasi untuk
menemukan kebenaran realitas yang hakiki.
Secara epistemologis, hubungan antara pengamat dan realitas yang menjaid objek
adalah merupakan suatau hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu aliran ini lebih
menekankan pada konsep subjektivitas dalam menemukan ilmu pengetahuan, karena nilai
yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam menentukan kebenaran
tentang suatu hal.
Keempat paradigma tersebut memiliki tampilan yang sangat berbeda. Dengan
melihat paparan diatas kemudian timbul pertanyaan, paradigma mana yang paling baik?
Tidak ada satupun paradigma yang sanggup mengungguli satu sama lain, mengingat
paham ini merupakan cara pandang seseorang terhadap suatu realitas yang tergantung
pada keadaan tertentu. Dalam bidang-bidang ilmu eksak, biasanya paham positivisme dan
postpositivisme yang mungkin paling banyak digunakan, sedangkan dibidang sosial,
critical teory atau constructivism yang mendapat tempat yang mapan. Dalam menyikapi
pemikiran Khun tentang paradigma ilmu Suparlan, dalam kutipan Agus Salim
mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang secara bertahap atau
mengalami evolusi selaras dengan hukum alam, tetapi melalui sebuah revolusi sebuah
keilmuan.
9
BAB III
KESIMPULAN
10
DAFTAR PUSTAKA
Afifuddin. 2011. Filsafat Sains. Bandung: Pustaka Setia.
Hakim, Atang Abdul . 2008. Filsafat Umum: dari Metologi Sampai Teofilosofi. Bandung:
Pustaka Setia.
Muslih, Muhammad. 2004. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.
Ritzer, George. 2010. Teori Sosiologi: dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Bantul: Kreasi Wacana.
11